Februari 2017

Senin, 27 Februari 2017

Moammar Emka's Jakarta Undercover


Pras (Oka Antara) adalah seorang wartawan, tapi ia merasa dirinya tidak memiliki signifikansi untuk orang banyak. Ia ingin menulis artikel yang bisa berpengaruh terhadap banyak orang. Secara tak sengaja, Pras bertemu dengan Awink (Ganindra Bimo) lelaki feminin yang mengajak Pras ke sebuah club malam. Secara tak sengaja pula, Pras bertemu dengan Yoga (Baim Wong) yang sedang sekarat. Pras membawa Yoga ke rumah sakit. Sejak saat itu, mereka akhirnya berteman. Pras akhirnya tahu kehidupan Jakarta yang lain. Gemerlap namun juga kelam. Meriah namun juga menyedihkan. Ia pun menulis sebuah artikel berjudul Jakarta Undercover, kehidupan Jakarta dengan tingkat seksualitas yang tinggi

Di waktu yang lain, Pras berkenalan dengan seorang wanita sexsy bernama Laura. Pras tidak tahu pekerjaan Laura yang sebenarnya apa. Yang jelas, ia jatuh cinta pada Laura.

Jakarta Undercover membuka mata gue sebagai orang di luar Jakarta bahwa memang ada sisi itu. Pesta sepanjang malam, tapi tidak semuanya berbahagia. Jakarta Undercover adalah potret gemerlap sekaligus kelam dari Jakarta.

Film yang disutradarai oleh Fajar Nugros ini membuat gue ngeri. Gue sebagai cewek cupu yang kalau keluar malam-malam pakai baju terbuka langsung masuk angin merasa takut. Kehidupan malam ternyata seliar dan sekeras itu. Di balik pernak-pernik mewah itu ternyata tersimpan kepahitan. Alasan mengapa mereka mau hidup di dunia Jakarta pada malam hari.

Gue ga jauh beda lah sama Pras. Katro gitu. Gue kalau diajak ke club juga pasti celingukan ga ngerti. Lagunya ga ada liriknya. Intro semua. Wkwkwkwkkw.

Yeah! Oka Antara sebagai pemeran utama memegang peranan penting. Gimana gue bisa senyam-senyum waktu dia ngobrol sama Laura, gue ikutan geli waktu dia digodain Awink, gue takut dan frustasi waktu Yoga marah, dan gue ikutan mewek waktu dia bilang kangen sama Laura. Ending yang anjay (?) banget pokoknya. Oka ga butuh barisan kata puitis untuk meyakinkan gue kalau dia beneran kangen. Cuma satu kata; kangen. Yang dia ucapin sambil nangis. Kangeeeennnnn. Ya ampun masih kepikiran gue sampe sekarang :(

Selain Oka, Ganindra Bimo dan Baim Wong juga berakting sangat cemerlang. Bimo yang bertato dan berotot sangat bertolak belakang dengan sifat femininnya. Ampe geli ya ampun idola gue ituuu. Wkwk. Tapi gue suka. Kalau gue sampe geli, berarti akting dia berhasil. Kemudian Baim Wong yang gue kenal dari sinetron menunjukkan bahwa akting dia berada di level yang lebih tinggi. Semoga Baim lebih sering main film lagi.

Begitu pula dengan pemain lain. Porsi yang sedikit ga bikin mereka jadi terlupakan. Apalagi itu orang gila depan supermarket. Heran. Dapat baju dari mana sih dia? Ganti ganti terus. Wk jenius sih.

Yang mengganggu gue di film ini cuma satu, Richard Kyle. Dia ngomong apa kaga ngerti gue. Bahasa indonesia, ga jelas. Inggris apalagi:(( untung ganteng. Wkwkw

Pada akhirnya gue sangat puas menonton film ini. Senang, jijik, miris, kesel, takut, lucu, sampai akhirnya nangis. Kangeeennnnn. Hahahah

9,5/10

Minggu, 26 Februari 2017

Lebih Dari Plester part 18 & Epilog


Karena Gabriel sudah pernah merasakan ini dulu. Maka ia bisa membandingkan. Sialnya kali ini entah mengapa jauh lebih sakit. Mungkin karena ia sendiri yang terlebih dahulu menyakiti.

Karma? Ini bukan karma. Ia tidak percaya pada karma. Tapi ini memang resiko yang harus diterimanya. Berani menyakiti berati harus siap tersakiti pula. Ia masih tidak mengerti mengapa ia mengambil jalan ini. Setan mana yang telah merasukinya? Ia sama sekali tidak tahu. Yang jelas setelah peristiwa di dufan itu ia tidak pernah bisa tenang walau hanya sekedar menghela napas. Kalimat yang diucapkan Ify tempo lalu terngiang terus di benaknya.

“Hati Ify sudah patah.”

“…Patah.”

“…Patah.”

“Arghttttt!” Gabriel mengacak rambutnya sendiri. Begitu kacau. Pemuda itu tidak tahu bagaimana akan ia rekatkan kembali hati Ify. Akankah semudah ia memperbaiki kacamata Ify? Hanya dengan plester dinosaurus? Tidak mungkin. Gabriel merasa putus asa.

Di tengah kesendiriannya, Gabriel terus saja menyesali apa yang telah ia perbuat. Mengapa waktu itu ia tidak mengingat betapa Ify membangun semuanya dari titik nol? Betapa kerasnya Ify mendobrak benteng itu. Hingga akhirnya ia berhasil. Gadis itu bukan hanya menyentuh hatinya, tapi juga menciumnya. Tepat di intinya. Dan bagaimana Gabriel bisa lupa bahwa Ify melambungkan harap yang begitu tinggi padanya. Meskipun isinya teramat sederhana. Hanya ingin menjadi ‘mata’. Dan sekarang, bagaimana nasib Ify? Siapa yang akan menjadi matanya kalau bukan dirinya?

Gabriel tidak bisa tinggal diam sekarang. Sudah waktunya ia berlari. Mengejar dan meraih apa yang diinginkannya. Bukan hanya diam dan membusuk bersama segala penyesalan. Pemuda itu menyambar kunci mobilnya. Bergegas.

***

Cakka sesungguhnya kasihan melihat Sivia bersedih. Gadis itu selalu didapati tengah menangis dan nanar menatap langit dari balkon kamarnya. Tapi dia bisa apa? Toh ini kan yang dipilih Sivia?

Cakka tak bisa menyalahkan siapa pun atas semua ini. Tidak ada yang salah. Pun dengan keadaan. Semua resiko ini sudah diprediksi dari awal keputusan itu diambil. Jadi, yang terjadi, biarkanlah! Toh semua sudah terlewati. Sekarang, lanjutkanlah hidup masing-masing. Tidak usah ada yang disesali. Perbaiki diri saja.

Pemuda itu mendesah berat. Sebenarnya enggan melakukan ini. Tapi apa boleh buat. Sepertinya ini penting.

Cakka kemudian menghampiri Sivia. Menyentuh bahu gadis itu.

“ify ingin ketemu kamu. Dia di rumah sakit sekarang.”

Sivia terkesiap. Menatap Cakka tak percaya. Jani? Ingin bertemu dengannya? Untuk apa? Untuk memproklamirkan kemenangan telak atas dirinya? Seperti itu? Dan mengapa gadis –yang menurutnya sok- polos itu di rumah sakit? Pura-pura sakit agar dikasihani Gabriel? Supaya pemuda itu lebih memilihnya? Licik!

Berbagai macam celaan Sivia muntahkan dalam hati. Sumpah serapah diucapkannya. Gadis itu mendengus kesal. Lantas meminta Cakka untuk mengantarnya ke rumah sakit. Gadis itu akan membuat pehitungan dan memberi Ify pelajaran.

***

“Lo ga asyik banget sih, Fy! Masak pas libur sakit. Jadi kan gue sekarang liburannya di rumah sakit. Tadinya mau ngajakin lo ke Surabaya tahuuuu!” Oik mengulum bibirnya.

“Aduhh maaf deh! Tapi kan dengan Oik liburan di rumah sakit, Kara bisa ketemu sama dokter-dokter ganteng. Kali aja bisa jadi pacar. Jangan jomblo terussss.” Ify jahil menggoda Oik.

“Ify mahhhh!”

Suara ceklikan pintu mengakhiri perbincangan kecil antara Ify dan Oik. Keduanya terfokus pada pintu. Menanti siapa yang akan memasuki ruangan itu. Sosok Sivia diikuti Cakka di belakangnya menyembul dari balik pintu. Sontak membuat Oik membelalak.

Ify hanya menyunggingkan senyum tipis. Sama sekali tidak terkejut. Kedatangan Sivia justru begitu dinantinya.

“Ngapain lo ke sini?”

Pertanyaan Oik itu cepat dijawab oleh Ify. "Ify yang minta. oik sama Cakka boleh keluar dulu? Ify mau bicara berdua sama Sivia.”

Oik melirik Ify. Memastikan bahwa Ify akan baik-baik saja.

Ify mengangguk. Ia tidak akan kenapa-napa. Kan dia bukan ditinggal di kandang harimau.

Maka Oik disusul Cakka pun keluar dari ruangan itu. Menyisakan ify, Sivia, dan suara tetesan cairan infus.

“Makasih ya sudah mau datang!” ucap Ify tulus. Dijawab dengan putaran bola mata saja oleh Sivia. Muak sekali melihat wajah gadis perebut pemudanya itu.

“Ify juga mau minta maaf. Ify sama sekali tidak pernah bermaksud untuk merebut Gabriel dari Sivia. Sungguh Ify tidak tahu. Ketika Ify ke sini, Gabriel sedang sendiri. Mungkin dia kesepian. Jadi dia memilih bersama Ify…” Gadis itu menggigit bibirnya. Mengumpulkan kekuatan untuk mampu menyelesaikan apa yang ingin ia sampaikan.

“Tapi sekarang sudah ada Sivia di sini. Jadi wajar kalau Gabriel lebih memilih untuk bersama Sivia.”

Apa? Gabriel lebih memilih dirinya? Apa ify bercanda? Jelas-jelas Gabriel mencampakannya demi tetap bersama Ify. Dasar sok suci! Umpat Sivia dalam hati.

“Sekarang, Ify kembalikan Gabriel pada Sivia. Maaf Ify meminjam Gabriel tanpa izin. Maaf membuat Sivia sakit. Maaf! Maafkan Ify!”

Sivia dibuat Ify terhenyak. Apalagi ketika mendengar Ify mulai terisak. Dia tidak menyangka bahwa Ify akan melakukan ini. Ia pikir, Ify sama egoisnya dengan dirinya. Ingin tetap memiliki Gabriel. Tapi ternyata tidak. Gadis itu justru ikhlas merelakan Gabriel untuknya, meskipun pemuda itu telah terang-terangan menolaknya.

Ify lalu mengambil kotak yang telah disiapkannya. Kotak pusaka yang berisi benda-benda kesayangannya. Yang sayangnya kini justru harus berpindah tangan darinya. Gadis itu menyerahkannya pada Sivia.

“Ini. ify kembalikan juga benda-benda yang pernah Gabriel kasih untuk Ify. Ify juga tidak berhak atas semua benda ini. Hanya Sivia yang berhak.”

Sivia gemetar memegangi sang kotak pusaka.

“Benda-benda itu mungkin dititipkan Gabriel pada Ify untuk suatu saat Ify berikan pada Sivia. Dan inilah saatnya. Sekarang semuanya benar-benar milik Sivia. Seutuhnya. Tidak ada lagi yang Ify pinjam. Termasuk hati Gabriel.”

Pada akhirnya, entah karena apa, Sivia ikut menitikan air mata. Ia sungguh tidak pernah bisa membayangkan bagaimana rasanya menjadi Ify. Sivia tahu Ify hanya berpura-pura merelakan Gabriel untuknya. Sivia tahu ini tidak semudah kelihatannya. Tapi Ify berusaha keras menekan egonya. Ia mencoba melapangkan hatinya seluas mungkin. Karena tidak seperti dirinya yang justru selalu mengorek pembenaran atas kesalahan yang dilakukannya.

Sivia merasakan hatinya mencelos. Ternyata melihat musuh menyerah itu tidak membuatnya merasa menang. Justru menampar dirinya bahwa ia telah kalah telak. Karena di sini, pepatah mengalah bukan berarti kalah pun berlaku.

Dalam tangisnya yang menyedihkan, Ify mengucapkan banyak sekali doa. Semoga ia masih bisa bertahan walau dengan hatinya yang patah. Semoga dengan ini, tidak akan ada lagi luka. Semoga ia segera berhenti berpura-pura bahwa ia merelakan Gabriel pergi darinya. Semoga ia bisa melupakan Gabriel meski ia tahu itu tidak akan mudah. Dan banyak lagi semoga lain yang Jani bisikkan dalam hati.

***

Gabriel memukul setir mobilnya dengan keras. Sial! Mengapa tidak ada yang memberitahu dirinya bahwa Ify sedang sakit? Setidak pentingkah sekarang ia untuk Ify? Oke! Ia tahu ia sudah begitu menyakiti Ify. Tapi paling tidak, statusnya masih belum berubah. Ia tetap pacar Ify.

Pemuda itu kini menginjak gas kuat-kuat. Membelah jalanan menuju rumah sakit.

Tak butuh waktu lama, Gabriel kini sudah berdiri di depan ruangan di mana Ify dirawat. Beberapa menit setelah Sivia, Caka, dan Oik  pergi.

Ify kini sendiri di dalam ruangan itu. Menguras habis air matanya yang masih tersisa.

Ify tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya ketika melihat Gabriel masuk dan melangkah mendekatinya. Gadis itu terburu-buru memasang topengnya. Mengkamuflase rasa cinta yang tak bisa ia tampik masih tersisa di hatinya.

“Ify aku minta maaf. Aku tahu aku salah. Tapi aku… aku… aku cinta sama kamu,” ujar Gabriel seraya menggenggam tangan Ify. Nada bicaranya terdengar memilukan.

Tak dinyata, Ify kasar membebaskan tangannya. Ia memalingkan wajahnya. Tidak ingin melihat wajah Gabriel yang menggoda untuk ia sentuh. Tidak ingin luluh oleh dua bola mata coklat yang selama ini dikaguminya.

Tapi Gabriel belum mau menyerah. “Aku mau memperbaiki semuanya. Tolong!”

“Tapi yang patah hati Ify. Kalau sudah patah, mau diapakan lagi? Diperbaiki bagaimana pun tidak akan utuh. Dibalut oleh plester apa pun tidak akan sembuh. Patah, ya patah!” cicit Ify lebih memilukan.

Gabriel merasa dihantam sebuah martil raksasa. Sakit. Menghancurkan. Sebegitu jahatkahnya dirinya pada Ify? Sampai-sampai Ify tidak mau memberinya satu lagi kesempatan.

“Gabriel pergi saja. Ify tak apa tidak mempunyai mata. Karena sekarang Ify tahu, dengan apa Ify melihat. Dengan hati. Ya. Hati yang sudah Gabriel patahkan…” Gadis itu kembali menangis. Kali ini berkali lipat lebih memilukan.

“Jangan kembali lagi pada Ify! Ify bukan dunia Gabriel lagi.”

Dari sekian kalimat yang bagai belati untuk Gabriel, kalimat itulah yang paling mematikan. Kalimat eksekusi yang menjagal hatinya hingga bersimbah darah. Ia tak bisa apa-apa lagi. Kali ini ia terpaksa menyerah. Dan tentunya kalah.

Mereka sudah resmi berpisah. Tak bisa lagi dibantah. Gabriel pergi. Membawa hatinya yang kini juga sudah patah. Sama seperti Ify, ia tidak tahu bagaimana menyembuhkannya. Semua karena kebodohannya.

Berteman kesendirian, Ify merapalkan kata-kata motivasi yang tidak akan membuatnya menarik kembali semua keputusan yang telah diambilnya lima menit yang lalu. Dan agar tahu saja, Ify bukan tidak mau memberikan Gabriel satu kesempatan lagi. Ia hanya merasa tidak adil saja. Berkali-kali Gabriel mendapatkan kesempatan darinya, tapi selalu disia-siakan. Sementara ada seseorang yang tak pernah sekalipun mendapat sebuah kesempatan, tapi selalu menjadikan Ify satu-satunya pilihan.

Gadis itu melirik tangan kirinya. Sebuah karet gelang kumal melingkar di sana. Tanpa sadar gadis itu tersenyum. Walau ia tahu semua tidak akan mudah, tapi paling tidak ia mau berusaha. Ia tahu, pemuda itu pasti akan memberikannya kepingan hati yang baru yang akan menggantikan hatinya yang telah patah. Ia yakin, pemuda itu mempunyai sesuatu yang lebih dari plester.

Gadis itu melanjutkan hidupnya dengan terus berusaha. Bertemankan penyakit matanya, ia terus berjalan. Memenangkan kepingan hati baru yang sempurna.

***

Epilog

Harusnya, gadis yang tengah tertidur dalam dekapannya itu menari di bawah hujan. Bukan malah menangis dan berlomba dengan hujan untuk menjadi yang paling deras. Tapi toh, baik ketika menari ataupun menangis, ia tetap rela menemani gadis itu. Apa pun itu, momen bersama gadis itu terlalu berharga untuk tidak dinikmatinya.

Ia tahu dirinya bukan siapa-siapa untuk gadis itu. Namun ia tak mau mundur begitu saja. Gadis itu telah mengubah banyak hal dalam dirinya yang membuatnya lebih baik. Maka ia akan terus berjuang hingga akhirnya gadis itu berhasil ia dapatkan. Meski ia tak tahu kapan.

Ia menyentuh wajah gadis itu yang dirasanya begitu dingin. Andai tangannya adalah sebuah cairan, mungkin saat itu juga akan berhasil dibekukan. Ia tersenyum miring. Dalam keadaan sekacau ini pun, baginya gadis itu selalu terlihat cantik.

Ia merasa bahwa anak-anak rambut yang menempel di wajah sang gadis mengganggu kecantikannya. Ia memutuskan untuk mengambil sebuah karet gelang yang ada didalam saku celananya, lalu menggunakan karet itu untuk mengumpulkan rambut sang gadis dalam satu ikatan. Voila. Gadis itu semakin terlihat cantik.

*tamat*

***

Setelah bertahun-tahun, akhirnya aku punya keberanian untuk memposting ending dari tulisan ini, tulisan yang aku mulai sejak SMA. Gila! Laptopku aja udah ganti 3 kali. Hahahahhahaha.
Alasan aku baru ngepost sekarang adalah karena aku selalu merasa bahwa ini adalah ending yang (kayaknya) mengecewakan. Meskipun aku sangat puas, jujur. Hahaha.
Aku ga akan memaksa kalian untuk tidak kecewa. Silakan kecewa sepuasnya. Tapi yang jelas, aku mau mengucapkan terimakasih yang sudah menemani perjalanan Ify, Gabriel, Rio Kece, Sivia, Cakka, Oik, dan Dino. Terimakasih. Dan maaf sudah menunggu terlalu lama (itu pun kalau masih ada yang nunggu).

wehehehe. Love you all!

Lebih Dari Plester part 17


Mereka telah memasuki masa-masa yang mereka tunggu selama beberapa bulan lalu. Libur panjang setelah menyelesaikan semester ganjil. Ify tidak membuat rencana liburan. Ia memutuskan tinggal di rumah, atau hanya berkeliling kota saja. Toh selama ini, belum semua tempat di kota itu ia kunjungi.

Untuk hari pertama liburannya, ia mengajak Gabriel pergi ke Dunia Fantasi. Kemarin Ify mendapatkan dua tiket Dufan dari Papa. Katanya hadiah karena sudah berhasil mendapatkan peringkat pertama di sekolah barunya.

Ify baru saja turun dari taksi, ketika dilihatnya Gabriel keluar dari halaman rumah dengan motornya. Tapi yang membuat Ify sangat terkejut, Gabriel tidak sendiri. Di belakangnya seorang gadis melingkarkan tangan. Ify tahu pasti siapa gadis itu. Ya siapa lagi.

Ify menggigit bibirnya kuat-kuat untuk menahan tangis. Merasakan pedih yang kembali hadir karena ulah Gabriel. Ini bukan kali pertama Gabriel membuatnya sakit. Sudah berulang kali. Bahkan dalam kurun waktu sebulan ini, begitu seringnya pemudanya itu membuat hatinya terluka.

Yang menambah kesakitan Ify adalah bahwa tadi malam Gabriel sudah berjanji akan pergi ke Dufan bersamanya. Tapi sekarang pemuda itu pergi. Bersama gadis lain pula. Apakah pemuda itu lupa kalau dia masih berstatus pemudanya?

Ify tidak mau menangis. Tapi matanya sendiri yang membuatnya perih. Pada akhirnya ia tetap menangis. Masih di tempatnya berdiri. Ia jatuh tersungkur. Lututnya mencium tanah.

Kala Ify masih meratapi kesedihannya, kala itu pula Rio datang. Entah mengapa pemuda itu selalu datang saat Ify sendirian. Seperti janjinya waktu itu. Tidak seperti Gabriel. Banyak janjinya yang justru ia langgar.

“Ify lo kenapa?”

Ify mendongakkan kepala. Mendapati Rio telah berdiri di hadapannya. Tergesa Ify menghapus air matanya. Kemudian tersenyum walau tidak selebar biasanya. “Halo!” Gadis itu malah menyapa Rio.

“Lo ga apa-apa?” tanya Rio. Ngeri juga. Bukankah beberapa detik yang lalu ia jelas-jelas melihat Ify menangis. Mengapa sekarang tiba-tiba gadis itu tersenyum dan mengatakan halo? Gadis itu selalu saja ajaib.

Ify menggeleng cepat. Lalu teringat sesuatu. “Kita ke Dufan yuk!” matanya yang masih menyisakan air melebar.

“Ha?” Rio kaget bukan main. Kenapa sih dengan gadis itu?

“Ayooo! ify tidak ada teman. Ify punya dua tiket. Sayang kalau ga dipakai. Berlaku hari ini saja.”

Rio mengucapkan O tanpa suara. Ia tahu sekarang mengapa gadis itu menangis. Pasti karena…

Ah, mengapa ia tidak bisa menduganya dari awal? Gadis itu jelas-jelas menangis di depan rumah Gabriel. Apa lagi yang telah dilakukan sahabat sialannya itu pada Ify?

“Mau yaaa! Please!” Ify memasang wajah memelas yang malah terlihat lucu.

Rio mengangguk. Apa pun, Fy. Ucapnya dalam hati.

***

Gabriel tak tahu apa yang terjadi dengan dirinya. Mengapa ia ada di sini saat ini. Bersama gadis cantik yang lekat bergelayut manja di lengannya sedari tadi. Ia tahu ia tidak seharusnya melakukan ini. Ada hal penting yang telah ia lupakan. Sialnya ia tidak tahu apa yang ia lupakan itu.

“Aku sayang sama kamu.”

Gabriel hanya diam. Tidak membalas sepatah kata pun ketika gadis bidadarinya melontarkan sebuah kalimat manis itu. Bahkan ia menulikan telinganya sendiri. Demi agar tidak mendengar apa pun. Ia sedang berusaha mengingat apa yang sesungguhnya telah ia lupakan. Ia yakin sesuatu itu lebih penting dari apa pun. Bahkan kehadiran Sivia-gadis di sebelahnya.

“Ini bagus ga?” tanya Sivia ketika mencoba sebuah bando yang ada di toko souvenir yang disambanginya.

Lagi-lagi Gabriel hanya diam. Masih mencoba mengingat. Rasanya ia ingin membenturkan kepalanya sendiri pada tembok. Mengapa ia susah sekali mengingatnya?

Akhirnya saat matanya fokus pada sebuah titik, ia mendapatkan kembali ingatannya. Apa yang ia lupakan adalah apa yang jatuh di retinanya. Gadisnya.

Gabriel tidak bisa berkata-kata ketika dilihatnya Ify tengah berkejaran bersama Rio. Apa ini? Mereka berselingkuh di belakangnya?

Pemuda itu diliputi cemburu yang sama sekali tidak masuk akal. Ia berlari dan meraih tangan Ify, sehingga gadis itu berhenti mengejar Rio.

Ify pun tidak kalah terkejut mendapati siapa yang memegang pergelangan tangannya. Gadis itu kemudian membatu. Merasakan bahwa kebahagiaan bermain bersama Rio akan segera lenyap.

“Ify ngapain kamu di sini? Sama Rio? Kalian… Kalian… Kamu selingkuh?” ujar Gabriel dengan nada yang kelewat tinggi.

Sekonyong-konyong tersambar petir di siang bolong, Ify mencelat dan hampir saja terjengkang. Gadis itu menggeleng samar. Entah mengapa pita suaranya tidak berfungsi. Padahal banyak kata yang ingin diluncurkannya.

Menyadari bahwa Ify sudah tidak mengejarnya lagi,Rio pun berbalik. Lalu matanya mendapati Gabriel di sana. Pantas saja. Pemuda itu mendesah berat. Lalu tiba-tiba merasakan aura ketegangan yang terkuar dari sepasang kekasih itu. Dia memutuskan untuk menghampiri mereka.

“Pantas aja kamu selalu bangga-banggain Rio. Kamu suka kan sama Rio?” entah iblis mana yang sedang merasuki tubuh dan meracuni otak Gabriel, hingga berani berprasangka seperti itu pada gadis polosnya.

Rio mendengar kalimat terakhir Gabriel. Pemuda itu tidak terima –meskipun ia mengharapkan hal itu-. Kalau Ify menyukainya, gadis itu tidak mungkin menerima Gabriel menjadi pacarnya. Sudah jelas Jani hanya menyukai Gabriel. Setiap air mata berharganya selalu tercipta untuk dan karena Gabriel.

Gabriel kini mengalihkan pandangannya pada Rio. Sahabatnya itu selalu saja jadi rivalnya. Entah itu masalah bola, juga masalah hati seperti saat ini.

“Gue ga ngerti sama lo, Yo! Lo sahabat gue, tapi kenapa lo nusuk gue dari belakang. Gue tahu lo suka sama Ify. Tapi lo harusnya tahu diri. Ify sekarang pacar gue.”

Rio mengerutkan kening. Mengapa jadi dirinya yang disalahkan?

Sementara Ify menunduk dalam. Menatapi buliran air matanya berjatuhan ke bumi. Tepat di ujung sepatunya. Membuat genangan di sana. Ia sudah tidak dapat menahan semuanya. Gabriel terlalu jahat padanya. Atau mungkin memang Ify yang salah? Atau siapa? Ify merasa tidak salah. Ia hanya ingin bahagia. Itu sebuah kesalahankah?

“Lo ga usah ngerasa yang paling sakit deh di sini. Tusukan gue ga sebanding sama apa yang lo udah lakuin sama Ify. Lo ga tahu apa, lo udah terlalu sering nyakitin Ify…

“Lo tahu kenapa gue ada di sini sama dia sekarang? Tadi gue nemuin dia di depan rumah lo. Nangis. Itu karena lo. Dan sekarang, lo malah ada di sini. Bersenang-senang sama cewek plester lo itu.” Rio menunjuk Sivia yang tengah berjalan ke arah ketiganya. “Lo lupa apa yang udah dia lakuin sama lo? Dia pergi tanpa kabar. Buat lo jadi monster yang mati rasa. Lalu Ify datang. Dia bikin rasa lo hidup lagi. Sekarang, lo ninggalin Ify cuma buat cewek ini?”Rio mendelik tajam pada Sivia yang kini sudah ada di samping Gabriel.

Sivia tahu apa yang tengah terjadi. Ini sudah diduganya sejak awal. Tapi toh ia tak mau menyerah. Ia masih mau memperjuangkan perasaannya. Tidak peduli akan ada perasaan lain yang tersakiti, hingga mungkin teronggok mati.

Ify kemudian memberanikan diri mengangkat kepalanya. Lalu tidak sengaja matanya bertumbuk dengan mata Sivia yang menatapnya tajam. Kalau saja itu belati, mungkin saja Ify sudah terbunuh dan mati. Hatinya mencelos melihat Sivia. Pantas saja Gabriel  lebih memilih Sivia ketimbang dirinya. Gadis itu cantik, putih, tinggi, wajahnya mulus  dan yang pasti dia memiliki sepasang ‘mata’, hingga Gabriel tidak perlu repot-repot menjadi mata. Ah iya. Mungkin selama ini Ify merepotkan Gabriel.

Gadis itu kini menatapi ekspresi wajah Gabriel yang begitu kaku. Pemuda itu tengah mencongkeli kebenaran yang selama ini ia timbun dalam-dalam. Bahwa benar kata Rio. Tidak ada yang lebih tersakiti di sini selain Ify. Bahwa kesalahan terbesar dalam prahara ini adalah dirinya sendiri. Pemuda itu merasa dadanya sesak. Terkena hantaman peluru yang begitu telak.

Di sisi lain, Sivia melirik Gabriel dari ekor matanya. Mengapa pemuda itu diam saja? Harusnya pemuda itu memberikan pernyataan bahwa hanya dirinyalah yang pantas mendampingi pemuda itu. Bukan gadis mungil yang hanya bisa menangis itu. Maka demi dirinya dan perasaanya, gadis itu angkat bicara.

“Aku ga kenal sama kamu ya, Fy! Tapi aku kaget banget saat aku pulang, kamu udah ada di sini, sama Gabriel. Kamu rebut Gabriel dari aku. Kamu buat dia bingung hatinya untuk siapa. Kamu buat dia bimbang harus memilih siapa. Padahal hanya aku satu-satunya pilihan dia. Aku yang udah ada di hatinya jauh sebelum kamu hadir di kehidupan dia. Kamu penjahat Ify!” ujar Sivia dengan aksen membentak yang tertahan. “Bahkan kamu bukan hanya mencuri Gabriel dari aku. Kamu mencuri kalung aku.”

Begitu menyakitkan apa yang dikatakan Siviaa. Karena dari situlah Ify tahu posisinya apa. Ia penjahat. Untuk hatinya terutama.

Rio tahu rasanya jadi Ify seperti apa. Tidak tahu apa-apa, tapi harus menanggung akibat dari kesalahan yang tidak dilakukannya. Rio berubah mejadi pengacara. Rela membela Ify tanpa imbalan apa-apa.

“Lo ga tahu diri banget sih. Yang jahat itu Ify atau lo? Lo lupa lo udah bikin Gabriel sakit? Lo ga tahu tiga tahun itu bukan waktu yang sebentar. Dan sekarang lo balik, seenak udel lo minta Gabriel buat nerima lo dan ninggalin Ify. See? Siapa yang paling jahat?

“Dan lo, Gab!” Rio kini menyerang Gabriel yang hanya bisa membisu. Tidak berguna, seperti patung. “Lo pengecut! Lo buat Ify sama Sivia jatuh cinta, tapi lo ga bisa tanggung jawab. Lo penakut. Lo ga pernah bisa tegas. Oh iya, gue mau menekankan satu hal. Lo hanya boleh matahin kacamata Ify, bukan hatinya.”

Gabriel terkesiap. Ucapan Rio mengingatkannya pada peristiwa beberapa bulan silam, ketika dirinya mematahkan kacamata Ify. Tapi pada akhirnya, Gabriel bisa memperbaikinya. Membalut kacamata itu dengan plester dinosaurus. Lalu kalau hati Ify yang ia patahkan, harus dengan plester apa ia merekatkannya?

“Tapi hati Ify sudah patah. Ify tidak tahu bagaimana menjadikannya utuh kembali. Ify tidak punya plester yang bisa mengobati hati. Ify tidak tahu!” ujar Ify dengan sesenggukan. Lalu memutuskan untuk pergi. Entah ke mana. Yang pasti berlari. Menghindar dari sana. Tempat pejagalan hatinya.

“IFYYY!” Rio berlari mengejar Ify. Meninggalkan Gabriel dan Sivia yang berkutat dengan pikiran masing-masing. Gabriel tenggelam dari perasaan bersalah yang teramat memilukan. Sementara Sivia terus melapalkan pembenaran pada dirinya sendiri. Dia bukan penjahat di sini. Dia justru dijahati. Mereka saja yang tidak pernah mengerti.

***

Rio akhirnya bisa menggapai tangan Ify dan membuat gadis itu berhenti berlari. “Please jangan lari lagi!”

Ify menatap Rio dengan matanya yang masih saja berair. Melihat wajah Rio yang menyerupa malaikat saat itu. Teringat betapa tadi pemuda itu mati-matian melindungi hatinya, meskipun nyatanya terlambat dan sia-sia.

Rio menggigit bibir. Mengapa ia tidak mencintai Julio kecenya saja? Andai ia bisa mengemudikan hatinya untuk jatuh cinta pada siapa. Bukan pada Gabriel yang selalu membuat mata kesayangannya menangis. Membuat hatinya baret hingga kini patah menjadi dua.

Ify semakin terisak. Kini menangkupkan kedua telapak tangan pada wajah manisnya. Lalu sejurus kemudian menjatuhkan tubuhnya pada dada kokoh pemuda di hadapannya. Melanjutkan tangis yang tak kunjung reda.

Rio mengusap punggung Ify yang naik turun. Menenangkan. “Lo boleh nangis, Fy! Tapi jangan lupa buat senyum lagi.”

“Bagaimana kalau Ify lupa caranya tersenyum?” tanya Ify retoris.

“Ga akan. Lo selalu buat orang di sekitar lo senyum. Karena itu lo ga akan lupa,” ujar Rio mantap. Erat mendekap gadis yang masih belum mau berhenti menangis.

Tak berapa lama, alam juga menumpahkan tangisnya. Seakan ingin berlomba dengan Ify untuk menjadi yang paling deras.

Mereka masih di sana. Tidak beranjak sejengkal pun. Menikmati setiap tetesan hujan yang menghujam tubuh.

“Lihat! Langit aja ampe nangis lihat lo nangis. Banyak banget kan yang sayang sama lo. So, jangan sedih lagi!” bisik Rio tepat di telinga Ify.

Gadis itu keluar dari tubuh Julio. Mendongakkan kepalanya menatap langit. Meresapi setiap rintik yang menimpanya. Membiarkan air matanya tersapu dan terkamuflase sang hujan. Ia merasa agak lebih baik. Setidaknya detik ini dia bisa berhenti menangis. Ia menarik ujung-ujung bibirnya ke atas. Aroma hujan yang khas membantunya begitu banyak.

Rio benar. Dirinya tidak akan lupa bagaimana caranya tersenyum. Senelangsa apa pun nasibnya. Gadis itu menatap Rio yang juga kuyup sepertinya. Gurat wajahnya nampak tegas dengan hiasan bulir hujan yang bergelayut di sana. Kemudian menghambur kembali ke pelukan Rio. Ini pelukan terimakasih. Terimakasih untuk tidak pernah meminta pamrih apa pun dari Ify, meski telah begitu banyak kebaikan yang telah ia beri.

***

Efek hujan tadi ternyata tidak cukup baik untuk tubuh Ify yang mudah sekali terserang penyakit. Malam ini gadis itu demam tinggi. Menggigil kedinginan. Dua selimut tebal tidak cukup menghangatkannya.

Karena suhu tubuh Ify yang tidak kunjung normal, Mama dan Papa memutuskan untuk membawanya ke rumah sakit. Di luar masih hujan. Mereka menerobos derasnya hujan, membelah jalanan yang tergenang.

***

“Kita harus menyelesaikan semuanya malam ini juga,” ucap Gabriel. Dia baru saja dilemparkan pada akal sehatnya. Harusnya ia melakukan ini sejak lama. Tidak menunggu gadisnya sakit terlebih dahulu.

“Apa?” tanya Siva. Berpura-pura tidak tahu.

“Kita…” Gabriel menghela napas berat. “Aku cinta sama Ify. Hanya Ify,” ujar Gabriel dengan mantap.

Sivia menggeleng tidak percaya. Dia merasakan kedua matanya memanas. Kalimat itu adalah kalimat yang tidak mau ia dengar seumur hidupnya.

“Maaf! Kadang, plester aja ga cukup buat nyembuhin luka. Kamu tahu, Ify punya sesuatu yang lebih dari plester. Dia sempurna nyembuhin luka yang udah kamu buat di hati aku. Bahkan dia nawarin potongan hati yang baru. Yang utuh. Yang sempurna, tanpa lebam sedikit pun.”

Setetes air mata jatuh dan lancar meluncur membelah pipi pualam Sivia. Mengapa eksekusi ini berjalan lebih cepat dari yang ia kira? Gadis itu menggigit bibir. Entah harus melakukan apa.

Jujur saja. Gabriel kasihan melihat Sivia. Tidak pernah terbayangkan olehnya, bahwa ia akan membuat gadis plesternya menangis di hadapannya. Rasanya ia ingin memotong rantai air mata itu. Tapi ia cegah kuat-kuat tangannya untuk tidak bergerak. Sekarang bukan tugasnya lagi Pemuda itu akhirnya berjingkat dari kursinya. Pergi meninggalkan Sivia dalam runtuhan pesakitan. Ia tidak memedulikan apa pun. Termasuk derasnya hujan yang sejak sore membungkus kota. Ia menerjang sang hujan.

Satu masalah akhirnya terselesaikan, meski terhitung begitu terlambat. Gadisnya terlanjur jatuh. Terjatuh dalam palung kesedihan.

Sekitar sepuluh meter dari eksekusi itu terjadi, dari balik tembok, Cakka menyaksikan segalanya. Bahwa meski pahit, pada akhirnya itu harus tetap terjadi. Layaknya obat. Mungkin efeknya bisa menyembuhkan. Meski ia tak tahu akan bereaksi dalam jangka waktu berapa lama. Semoga saja Sivia bisa cukup lapang menerima .

***

Karena penyesalan selalu saja hadir tidak tepat waktu. Terlambat sudah Gabriel menjaga hati Ify untuk tidak tersakiti. Ia dengan segala kesadarannya menyayat hati gadis itu dengan begitu keji. Lebam di sana-sini. Lalu patah dan menjadi tak berarti.

Selama ini Gabriel selalu merapalkan pembenaran atas segala apa yang ia lakukan. Menjadikan otaknya tumpul dan tidak dapat lagi membedakan, mana cinta mana euphoria. Dia hanya mencintai Ify. Tidak ada gadis lain. Sedangkan Sivia hanya euphoria yang datang sejeenak lantas berlalu dalam sekejap. Dia hanya wujud atas segala rindu yang toh kini sudah menguap di langit-langit masa lalu. Tidak dapat kembali menjadi tetesan rasa yang dulu selalu menggenangi hatinya.

Malam ini, diiringi orkestra rintikan hujan, Gabriel menyesali segalanya. Pemuda itu menangis. Karena dalam penyesalannya, ia tak tahu harus berbuat apa selain menangis. Bahkan untuk meminta sepucuk maaf pun, ia merasa tidak pantas.

Hingga malam itu berakhir, pemuda itu masih saja menangis. Kini tanpa air mata. Namun dengar! Hatinya menangis jauh lebih kencang. Sungguh menyedihkan.

***

Ify benci rumah sakit. Harusnya tidak ada yang namanya rumah sakit di muka bumi ini. Itu adalah bentuk diksriminasi bagi orang sakit. Harusnya rumah sakit diganti dengan rumah sehat. Supaya orang-orang yang sakit menjadi sehat.

Sialnya, sejak kecil Ify harus selalu berhubungan dengan rumah sakit. Tubuhnya yang mungil sangat rentan terkena penyakit. Bahkan hanya karena guyuran air hujan. Ify tahu penyebab ia tumbang kali ini. Bukan hanya karena hujan. Tapi juga karena kondisi hatinya yang patah. Ingin rasanya ia meminta pada dokter untuk memeriksa hatinya. Bagaimana keadaannya sekarang? Hanya lebam atau seperti yang ia katakan? Patah? Seperti itu? Gadis itu mendesah berat. Tidak menyangka bahwa ia bisa sebegitu cintanya pada Gabriel. Bahkan ia mencintai pemuda itu bukan hanya dengan hatinya, tapi juga sepenuh jiwanya.

Lamunan Ify akhirnya buyar ketika seseorang tiba-tiba memasuki kamar di mana ia dirawat. Mama. Wanita itu tadi pagi izin untuk pulang sebentar. Mengambil beberapa barang. Tadi Ify sempat meminta Mama untuk membawakannya sebuah kotak di kamarnya. Kini, lihatlah! Mama begitu kerepotan membawa barang-barang itu. Dengan napas tersengal, wanita itu menaruh semuanya di meja kecil di sana.

“Ify sudah lebih baik?” tanya Mama.

Ify mengangguk. “Ma, pesanan Ify mana?”

“Ini!” Mama mengangkat sebuah kotak, lantas memberikannya pada Ify.

“Mama ketemu dokter dulu ya! Muahh!” mengecup kening Ify, lalu kembali meninggalkan ruangan itu. Membuat Ify kembali sendiri. Tidak. Kali ini ia ditemani kotak pusakanya.

Ify menghela napas berat. Menyusuri setiap sudut kotak. Lalu patah-patah mulai membukanya. Beberapa detik kemudian, bayangan benda-benda kesayangannya pun jatuh di retinanya. Gadis itu mengeluarkannya satu persatu. Sebuah boneka dinosaurus berbalut kaus merah muda. Mahluk tak bersuara yang selalu menemani malamnya. Mengantarkannya menggapai mimpi tiap kali terlelap. Tempat ia menumpahkan segala curahan hatinya. Ify menyentuh pipi Dino dengan lembut dan penuh kasih sayang. Dengan tatapan nanar, gadis itu berucap setengah berbisik. “Dino, sebentar lagi kita berpisah. Aku ga mau itu terjadi. Tapi aku ga berhak lagi atas kamu. Dari awal, kamu emang seharusnya bukan dengan aku.”

Gadis itu menggigit bibir. Sekelebat bayangan Gabriel meracaukan otaknya. Membuat hatinya semakin sakit, dadanya semakin sesak.

“Aku sayang kamu, Dino!” ucap Ify dengan terbata-bata, lalu membawa Dino ke dalam pelukannya. Menciumi wajah Dino yang baginya selalu terlihat manis dan menggemaskan.

Setelah Dino, Ify kini beralih pada sebuah buku jumbo yang pernah ia khatamkan dulu. Buku yang membuatnya jatuh cinta pada hewan menyeramkan yang kini telah punah. Dinosaurus. Yang juga memberinya pemahaman bahwa tidak ada yang perlu ditakutkan dalam hidup ini. Tapi sekarang Ify mencoba menyangkalnya. Ia takut. Takut menerima kenyataan bahwa ia akan berpisah dengan semua yang berbau dinosaurus yang dulu begitu akrab dengannya. Tanpa sadar, gadis itu menitikan air mata. Setelah sekian lama ia berusaha menahannya.

Benda ketiga yang Ify keluarkan dari kotak adalah sebuah kalung cantik yang berkilau terkena sinar matahari yang menembus kaca jendela. Kalung ini. Meski telah tinggal bersamanya dalam waktu yang cukup lama, meski pernah dikenakannya beberapa waktu, tapi sesungguhnya tidak pernah menjadi miliknya. Gadis itu kemudian mencelos. Mengingat bahwa Gabriel pun seperti itu statusnya. Meski telah melewati berbagai hal bersamanya, meski telah mengucap kata cinta padanya, tapi sebenarnya pemuda itu pun tak pernah dimilikinya. Setidaknya hatinya.

Gadis itu mendesah kentara, lantas meletakkan kembali kalung itu ke dalam kotak.

Benda terakhir yang belum dijamahnya adalah sebuah kacamata yang sudah dibebat oleh plester dinosaurus. Kacamata itu memang miliknya. Mutlak miliknya. Tapi perekatnya bukan. Perlahan Ify melepas plester itu dari batang kacamatanya. Kacamatanya kembali terbagi menjadi dua.

Gadis itu memegangi dadanya yang semakin sesak. Kacamata itu mungkin replika dari hatinya yang kini juga patah. Meski ia tak tahu entah menjadi berapa bagian.

Plester itu pun Ify kembalikan ke dalam kotak.

Lalu tak sengaja, mata Ify tertumbuk pada apa yang melingkar di pergelangan tangan kanannya. Gadis itu tertegun sejenak. Haruskah gelang itu juga ia lepas dan ia masukkan ke dalam kotak? Gelang yang sejak pertama dipasangkan tidak pernah lagi ia lepas untuk alasan apa pun. Dan apakah kali ini alasannya cukup kuat? ify mengingat percakapannya dengan Mama tadi pagi.

***

“Mama pernah patah hati?” celetukan Ify tiba-tiba mengejutkan Mama yang tengah membuatkan segelas susu untuk anak sematawayangnya itu.

Mama masih melanjutkan prosedur pembuatan susu. Belum mau menjawab.

“Apa Mama pernah patah hati oleh Papa? Apa Mama akan menerima kembali Papa kalau Papa membuat Mama patah hati? Atau Mama akan menyembuhkan hati Mama sendiri tanpa Papa?” pertanyaan-pertanyaan itu Ify ucapkan dalam satu helaan napas. Membuat Mama tidak bisa berpura-pura tuli. Ia tahu apa yang tengah terjadi dengan putrinya itu. Tapi selama ini ia membutakan penglihatannya demi alasan tidak mau ikut campur. Mungkin sudah saatnya Mama terjun langsung untuk menyelamatkan putrinya.

Mama tersenyum menyeringai, menyerahkan segelas susu yang sudah dibuatnya pada Ify. Gadis itu menggeleng. Tidak mau minum susu sebelum Mama menjawab semua pertanyaan Ify.

Lagi-lagi Mama tersenyum. “Papa tidak pernah membuat hati Mama patah. Sesekali, Papa mungkin menyakiti hati Mama. Tapi tidak pernah sampai patah. Hanya lebam sedikit, kemudian Papa sembuhkan lagi.”

Ify hendak menyela ucapan Mama. Namun terlambat sepersekian detik oleh Leni yang melanjutkan perkataannya. “Tapi dulu, seorang lelaki pernah mematahkan hati Mama. Ketika itu kami berpacaran. Namun tiba-tiba, dia meninggalkan Mama dan menikah dengan perempuan lain. Bisa dibayangkan seperti apa hati Mama saat itu?” Mama bertanya retoris.

“Tapi pernikahan itu tidak berlangsung lama. Mereka kemudian berpisah. Lelaki itu kembali dan meminta hati Mama lagi. Hati yang sudah dan masih patah itu. Dengan tegas Mama menolaknya. Meskipun waktu itu jujur Mama masih sangat mencintainya.”

“Kenapa?” tanya Ify.

“Karena cinta adalah kehormatan. Bukan melulu tentang perasaan. Dan bagi Mama, hati yang patah tidah bisa direkatkan kembali. Jalan satu-satunya ya diganti. Dan meskipun butuh waktu yang lama, Mama akhirnya menemukan kepingan hati yang baru. Yang dikasih Papa kamu.”

Ify menatap takjub pada Mama. Begitu arif dan bijaksana dalam ketegasannya. Harusnya Ify pun seperti itu. Tidak lagi dilema. Tidak lagi mengabaikan kehormatannya. Lihatlah Mama kini! Telah berbahagia dengan kepingan hatinya yang baru. Hati yang patah dulu telah disemayamkan. Ditinggalkan hanya untuk menjadi kenangan yang tak pernah lagi dikenang.

“Ayo sekarang minum susu dulu!” ujar Mama. Membuyarkan lamunan Ify. Gadis itu terkekeh. Lalu menuruti titah sang mama.

***

Ify terkesiap. Menyangkal hatinya yang kembali meragu. Tidak boleh. Tidak ada lagi kebimbangan yang dipersilakan Ify untuk menguasainya. Ia sudah memantapkan diri. Biarkan hatinya patah. Tak akan ia apa-apakan lagi.

Ify kini melepaskan gelangnya. Memasukannya ke dalam kotak untuk tinggal bersama benda-benda yang sebentar lagi akan ia serahkan kepada seseorang yang berhak. Lalu menutup rapat kotak itu. Ify kemudian meraih ponselnya. Mengetik sebuah pesan yang hanya terdiri dari satu kalimat. Pendek pula. Lalu ia kirim ke salah satu kontak di ponselnya.

***

Jumat, 24 Februari 2017

Split


Apa rasanya jika kalian bertemu dengan orang yang memiliki 23 kepribadian? Serem ga sih? Jangankan 23 kepribadian, muka dua aja serem (??). Terus ini pakai diculik segala? Aduh! Gue sih udah pasrah aja, tobat.

Kevin adalah seseorang dengan 23 kepribadian itu. Dennis, salah satu kepribadiannya yang rapi, sok bersih, tapi juga jahat (?), menculik 3 anak perempuan. Tujuan penculikan Denis adalah untuk menyambut kedatangan kepribadian kedua puluh empat yang disebut-sebut sebagai monster.

Dennis, Patricia (kepribadian ibu-ibu kejam), dan Hedwig (kepribadian anak umur 9 tahun yang ngefans sama Kanye West yang percaya kalau ciuman bisa bikin cewek hamil. Di luar juga ada joke macam gitu. Wk) percaya kalau kepribadian ke-24 itu ada, tapi dokter bilang itu cuma khayalan. Nonton aja lah ya supaya tahu ada atau enggaknya.

Split adalah sajian penuh ketegangan. Siapa ga tegang coba berhadapan dengan orang berkepribadian banyak. Kita ga tahu dia lagi jadi siapa dan mau ngapain. Split membuat penonton fokus pada setiap perubahan kepribadian Kevin.

Split tidak berjalan cepat sampai membuat dada sesak, tapi juga tidak lambat sampai bikin ngantuk. Split membuat gue ga mau lihat apa-apa lagi selain layar, ga mau mikirin apa-apa lagi selain si monster yang keberadaannya masih diragukan.

Split adalah pertanyaan. Nih gue sampai sekarang masih belum tahu jawabannya. Gue selalu suka sama film yang bikin gue gregetan.

Penghormatan tertinggi untuk si botak yang jadi Kevin. Gila! Dia akting dengan macam-macam karakter dalam satu film, bahkan ada satu scene di mana dia ganti-ganti kepribadian. Keren ga sih? Gue mah merinding lihatnya, apalagi pas dia mau bengkokin jeruji besi (??) .

Tak lupa pula pemeran Casey yang cantik tapi kuat. Akan ada flashback dari kehidupan Casey kecil, yang akan membuat kalian mengangguk mengerti padahal sebelumnya bertanya ini ngapain sih si Casey lagi kemping ditampilin juga (??)

Split adalah film thriller psikologi yang menyenangkan sekaligus menegangkan. Betewe, gue suka waktu Hedwig joget joget denger lagu Kanye West. Swag gitu lah yogs (?)

9/10 for Split.

Jumat, 17 Februari 2017

Tidak Butuh Judul [18 & epilog]


Setiap kehilangan akan digantikan. Tapi sebelum kehilangannya yang pertama mendapat ganti, ia rasakan kembali sebuah kehilangan untuk yang kedua kali. Sekarang Ify benar-benar merasa bahwa dirinya adalah orang paling menderita seluruh dunia.

Ify membanting kotak beledu pemberian Rio dengan kasar. Isi kotak beledu yang ternyata adalah sebuah buku sketsa itu melayang ke sudut ruangan. Gadis itu meringis. Miris sekali jadi Ify. Sekarang ia punya dua buku sketsa baru, tapi tak punya satu pun orang yang mencintainya. Di sela tangisnya, gadis itu tersenyum miring.

Ify memegangi kepalanya yang sakit. Mungkin batok kepalanya sebentar lagi akan meledak, dan sebelum itu terjadi, ia segera meminum aspirin. Kemudian ia lanjutkan agenda mengasihani diri sendiri di dalam kamarnya. Sebelum akhirnya jatuh tertidur, tangisannya tidak pernah mereda.

***

“Yo, kayaknya kita ga bisa deh balik kayak dulu lagi,” ujar Sivia santai seraya menikmati alunan musik berisik yang menggema menyesaki seisi club.

Rio hampir saja tersedak ketika mendengar ucapan Sivia. Eh maksudnya apa ya? Masak baru dua minggu bersama sudah putus lagi? Jangan main-main ya! “Maksud lo apa?”

“Ya gue rasa, kita udah ga cocok. Hubungan kita ga seasyik dulu. Bosan ah gue sama lo,” ujar Sivia tanpa perasaan bersalah.

Rio tidak terima. Ia menatap Sivia tajam, tapi yang ditatap justru malah menantangnya. Pemuda itu merutuk dalam hati. Harusnya sejak awal dia tidak memercayai perempuan ular di hadapannya. Harusnya ia hapal bahwa Sivia hanya ingin bermain-main dengan cinta. Harusnya tak ia kesampingkan sebuah fakta bahwa Sivia dengan mudahnya meninggalkan Deva kemudian datang padanya. Fakta itu harusnya membuat Rio tahu bahwa Sivia juga akan dengan mudah pergi lagi darinya.

“Ya udah kalau gitu! Pergi aja sana! Lo pikir gue peduli apa?” tanya Rio sarkatis kemudian pergi dari sana.

Yang sesungguhnya tidak peduli ternyata adalah Sivia. Karena sedetik setelah Rio pergi, ia sudah menemukan penggantinya yang baru. Seorang lelaki tampan berwajah oriental yang ia temui kemarin siang di kampus.

Sebaliknya, Rio justru sangat peduli, terlebih pada hatinya sendiri. Ia tak tahu mengapa dirinya bodoh sekali. Bisa-bisanya ia tertipu oleh Sivia. Pemuda itu memukul setir mobilnya dengan kasar.

Rio merasa semakin bodoh karena bayangan Ify tiba-tiba berkelebat melintasi benaknya. Pemuda itu berdecak! Ia sama sekali tidak punya ide lain selain menemui Ify. Gadis itu mungkin tidak akan mau bertemu dengannya. Sial sekali! Rio terkesiap. Tapi kan malam ini ia datang sebagai teman yang sedang patah hati. Yang hanya ingin didengarkan curahan hatinya, yang butuh teman berbagi. Ia datang dengan damai.

Karena ia sudah tahu, datang pada Ify dengan membawa segunung cinta pun takkan mampu membuat gadis itu berpaling dari Gabriel.

Karena Rio sudah malas jadi si bodoh, yang ketika memiliki masalah malah melarikan diri ke alkohol, lebih baik ia mendatangi Ify. Peduli amat perasaannya pada Ify akan membuncah lagi. Daripada ia minum sampai mabuk, kemudian menabrak trotoar lagi. Siapa yang bisa menjamin bahwa kali ini ia akan selamat? Ia tidak mau mati dalam keadaan bodoh.

***

Ketukan tak sabar pada pintu apartemennya membuat Ify terperanjat dan segera bangkit dari tempat tidurnya. Ia berjalan dengan langkah besar menuju pintu. Diraihnya kenop pintu kemudian ia tarik untuk kemudian menampilkan seorang laki-laki dengan wajah lusuh. Matanya yang berwarna merah menatapnya nanar. “Kak Rio,” cicit Ify pelan.

Rio menggeleng samar kemudian melompat memeluk Ify. Ia lilitkan kedua tangannya untuk merengkuh punggung itu. Di bahu gadis itu, ia menumpahkan tangis. Mencurahkan segala kesedihan yang menyesakkan hatinya.

Ify menahan napasnya untuk sekian detik untuk merasakan kehangatan dari setiap gestur tubuh Rio. Ia mengangkat kedua tangannya untuk kemudian ia simpan di punggung Rio. Perlahan, ia usapi punggung itu. Diam-diam ia menarik ujung-ujung bibirnya ke atas. Untuk kali pertama ia berada dalam dekapan Rio tanpa perasaan bersalah. Ia pejamkan kedua matanya.

“Fy...” ucap Rio seraya tersedu. “Sivia lagi-lagi ninggalin gue. Gue ga tahu salah gue apa, sampai dia tega ngelakuin ini semua sama gue. Rasanya sakiiitt banget!”

Sontak rintihan Rio itu membuat Ify membelalak. Eskpresinya berubah mengeras. Gadis itu mendorong tubuh Rio menjauh darinya. Dorongan terlalu keras yang membuat Rio terpelanting dan punggungnya menghantam pintu.

Rio mengurut punggungnya yang berdenyut sakit. Ia menatap Ify bingung. Apa yang salah dari seseorang yang sedang patah hati?

“Berhenti ngerasa jadi orang paling sakit! Berhenti berlaga jadi yang paling sengsara!” tukas Ify tajam.

Rio mengerenyit. Sama sekali tidak mengerti apa yang diucapkan gadis itu. “Maksud lo apa sih, Fy?”

Ify berdecak sebal. Ia menghentakkan kakinya ke lantai. Sampai kapan sih Rio akan mempermainkan hatinya? Gadis itu mengeluh tertahan. Ia menunduk dalam. Merasa tak mampu untuk menjelaskan ketidak jelasan perasaannya saat ini.

“Gue salah apa sih, Fy?” tanya Rio retoris. Sama sekali tidak menyadari bahwa kemarahan Ify saat ini berhubungan dengan apa yang tadi ia katakan, tentang Sivia. Mungkin ia tidak ingat bahwa Ify pernah memberikan tatapan kecewa ketika melihat ia tengah bersama Sivia.

“Kak Rio masih tanya salah Kak Rio apa? Sadar dong!” ucap Ify gemas. “Gabriel pergi ninggalin aku gara-gara Kak Rio! Karena apa yang udah Kak Rio lakuin sama aku waktu itu!”

Rio merasa hatinya mencelos ketika mengetahui bahwa Ify sudah tidak lagi bersama Gabriel. Namun ia tidak bisa memungkiri bahwa separuh hatinya yang lain bahagia menyambut kabar itu.

“Bertahun-tahun aku sama Gabriel, tapi kurang dari sebulan untuk dia pergi ninggalin aku cuma karena dia kira Kak Rio cinta sama aku. Dia salah!” Ify menahan dirinya untuk tidak menangis. Bibirnya bergetar saat melanjutkan ucapannya. “Kak Rio ga pernah cinta sama aku. Yang ada di hati Kak Rio cuma Kak Sivia!” tandasnya. Ia kemudian bergerak mundur dan menjatuhkan tubuhnya ke atas sofa. Di sana ia tak lagi bisa menahan air matanya. Ia pun menangis. Untuk semua kenyataan pahit yang harus ditelannya.

Yang dilihat Ify selama ini mungkin Rio yang hadir sebagai temannya, seperti apa yang pernah Ify katakan. Ia mungkin tidak pernah melihat segala bentuk perhatian yang Rio berikan. Yang Ify tahu selama ini mungkin adalah Rio selalu patah hati karena Sivia. Ia mungkin tidak pernah mengetahui bahwa hatinya bukan hanya patah, tapi hancur saat melihat Ify bersama Gabriel. Ify mungkin tidak merasakan apa pun di setiap momen mereka bersama, namun Rio merasakan cinta itu terlalu nyata ada di hatinya.

Rio berjalan tersaruk mendekati Ify. Ia kemudian berlutut di hadapan gadis itu. Diambilnya kedua tangan Ify yang lembut yang kemudian ia genggam erat.

“Gabriel ga salah, Fy!” gumam Rio pelan. Terlalu pelan hingga Ify tak bisa mendengar apa pun. Ia mengangkat genggamannya untuk kemudian ia cium apa yang ia bawa.

Ify melihat dan merasakan Rio mencium punggung tangannya. Gadis itu meringis kemudian terkesiap. Segera ia tarik tangannya.

“Aku ngerasa bodoh banget! Aku udah punya Gabriel yang luar biasa baik dan dia cinta sama aku. Tapi aku bikin dia pergi. Pernah aku coba percaya kalau Kak Rio emang beneran cinta sama aku. Tapi kemudian aku lihat Kak Rio sama Kak Sivia. Dan sekarang Kak Rio datang ke aku karena Kak Sivia. Lagi-lagi aku dibodohi sama cinta.”

Rio mengubah posisinya hingga membungkuk. Ia rengkuh tubuh Ify masuk tenggelam dalam dadanya. Disana, ia bisikan kalimat yang dari dulu sudah membayangi otaknya. Alasan mengapa ia ada disana.

“Gue cinta sama lo, Fy!”

Ify telah belajar untuk tidak mudah percaya pada apa yang dikatakan orang lain padanya. Bahkan Gabriel saja yang baginya adalah malaikat tega menghianatinya. Gadis itu menggeleng. Meronta meminta Rio membebaskan dirinya.

“Jangan bilang gitu! Gabriel juga bilang kalau dia cinta sama aku, tapi dia tetap ninggalin aku!” gadis itu sesenggukan, memukuli dada Rio kuat-kuat.

Tenaga Ify tak cukup kuat untuk membuat Rio melepaskan pelukannya. Pemuda itu masih bertahan. Berusaha untuk membuat Ify percaya bahwa sekarang dan jauh sebelum detik ini, telah ia tambatkan hatinya hanya untuk Ify.

“Gue ga percaya sama yang namanya cinta. Gue merasa gue bisa dapatin semua cewek. Sampai akhirnya gue ketemu Sivia. Gue pikir gue cinta sama dia karena saat dia pergi, rasanya sakit banget. Tapi semua itu ga ada apa-apanya ketika gue ketemu sama lo. Karena lo, gue belajar bagaimana mencintai. Untuk lo, gue berusaha memercayai cinta. Tapi tiba-tiba Gabriel datang. Gue ngerasa bego banget tahu ga! Gue ga tahu lagi harus ngapain. Terus Sivia datang saat gue yakin gue ga akan pernah bisa milikin lo. Gue percaya sama satu-satunya orang yang harusnya ga gue percayai. Bego banget, kan?” tenggorokkan Rio tercekat. Ia menarik napas panjang kemudian mengurai pelukannya. Pemuda itu kembali berlutut, lalu menatap mata Ify dalam-dalam, lembut.

“Tapi kalau semuanya ga terjadi, gue ga mungkin ada disini. Kita sama, Fy! Sama-sama udah dibegoin sama cinta. Tapi untuk lo, gue ga pa-pa jadi orang bego. Sama lo, gue mau bego terus,” tandasnya dengan suara bergetar. Kedua matanya basah.

Ify terkesima dengan apa yang baru saja diucapkan Rio. Rio yang ia kenal selama ini adalah Rio yang pongah, yang tidak akan mungkin mau merendahkan dirinya untuk orang lain. Tapi di hadapan Ify kali ini adalah Rio yang berbeda, yang mau berlutut untuknya, yang hampir menangis karenanya.

“Gue emang ga sesempurna Gabriel, gue ga sebaik dia, gue ga bisa kayak dia. Tapi buat lo, gue usaha keras untuk mengeluarkan yang terbaik yang gue punya.” Rio menghela napas panjang. “Gue cinta sama lo, Lifyana Rossa. Mau lo bantah mati-matian pun, ga akan mengubah apa-apa. Hati gue udah ga bisa ke mana-mana lagi.”

Ucapan itu mungkin tanpa sadar sudah Ify tunggu sejak lama. Sejak malam bertabur gemintang di Puncak kala itu. Tanpa seorang pun tahu termasuk dirinya sendiri, ia terus menunggu. Dalam ruang paling gelap di hatinya tersimpan seutas harap yang tak pernah berani ia ungkap. Kini, ia pun telah menyadari bahwa telah lama hatinya berpaling.

“Aku cinta sama Gabriel, setengah mati,” tukas Ify.

Rio merasa hatinya mencelos saat itu juga. Pelatuk itu telah ditariknya. Dan seberapa pun menyedihkannya ia meminta, panah itu tidak pernah tertuju padanya. Ia menunduk dalam. Menyembunyikan tangis disana.

Ify menyeka air mata di pipinya. “Setengahnya lagi aku hidup. Setengah hidup ini aku mau kasih ke Kak Rio, supaya Kak Rio tahu kalau sampai Kak Rio pergi juga, aku udah ga punya lagi hidup.”

Seketika Rio terkesiap. Ia mendongakkan kepala. Meminta penjelasan Ify.

“Aku cinta sama Kak Rio. Bahkan untuk mencintai Kak Rio, aku pertaruhkan setengah hidup yang masih aku punya,” Ify berdecak samar kemudian menjatuhkan tubuhnya ke dalam pelukan Rio. Ia dekap erat hidupnya kini, yang takkan sanggup untuk ia kehilangan nanti.

Rio tersenyum di sela tangis haru. Karena sudah begitu lama ia tidak pernah sebahagia ini. Kebahagiaan ketika seseorang yang ia cintai memercayakan hidup padanya. “Lo akan hidup selamanya, Fy! Sumpah!”

Ify menarik tubuhnya. Ia kemudian duduk bersila. Menatap langit-langit apartemennya. Ia tersenyum. Mengingat segala yang pernah terjadi. Mengingat perjalanannya untuk sampai pada titik ini, berpindah dari satu hati ke hati yang lain. Sebuah perjalanan yang tidak pernah ia rencanakan namun tidak akan pula ia sesalkan. Semuanya terlalu indah.

“Perempuan bodoh, dan laki-laki bego. Kalau kisah kita dijadiin novel, kira-kira judul yang tepat apa ya, Kak?” tanya Ify retoris.

Rio terkekeh pelan. “Kisah kita ga butuh judul, Fy. Cinta ga pernah butuh apa-apa, selain lo dan gue.”

Ify menoleh ke arah Rio. Sekali lagi ia menghambur ke dalam pelukan pemuda itu, yang sudah jadi miliknya, yang sudah jadi hidupnya.

Malam itu, di apartemennya yang luas, Ify tahu bahwa tidak pernah ada kata yang mampu menjuduli kisahnya bersama Rio. Tidak akan pernah ada waktu yang tepat untuk menamatkan kisahnya.

Malam itu, dengan Ify dalam pelukannya, Rio belajar banyak. Bahwa cinta tidak butuh judul karena cinta adalah judul itu sendiri. Bahwa cinta hanya butuh ada dan selamanya ia akan tetap ada.

**

Epilog

Sepotong roti berlumur selai nanas menjadi menu wajibnya setiap pagi. Lelaki itu tak habis pikir mengapa bisa selai nanas yang dulu tidak pernah berani ia coba karena baunya itu menjadi selai favoritnya kini. Semuanya karena kejadian tiga tahun silam saat dirinya tidak sengaja memakan roti yang ternyata bukan miliknya. Bekal makannya tertukar dengan orang lain. Roti berisi selai nanas itu pun kemudian menjadi awal perkenalannya dengan seorang wanita keturunan Jawa-Paris yang ia temui di taman. Perempuan yang kini membuatkan roti selai nanas untuknya setiap pagi.

Selagi lelaki itu menyantap roti selai nanasnya, di sampingnya seorang bayi laki-laki berusia satu tahun tengah heboh di kursi makannya. Kedua tangannya menggenggam wortel rebus. Bergantian ia masukkan ke dalam mulutnya yang mungil.

Lelaki dengan roti selai nanas itu menoleh ke arah sang bayi. Ia terkikik pelan melihat sang bayi semangat memakan wortelnya. “Owen makan yang banyak ya! Biar cepat gede dan nanti bisa main bola sama Papa.”

“Owen makan yang banyak, tapi jangan cepat gede ah kalau cuma buat main bola. Nanti Mama dicuekin,” ujar seorang wanita.

Lelaki itu tertawa menyeringai. “Kamu nih, masih aja cemburu sama bola.”

Wanita itu tersenyum. Kemudian menyerahkan sebuah undangan berwarna emas pada lelaki itu. Lelaki itu segera membaca undangan tersebut. Ia tersenyum. Undangan pernikahan. Dua nama yang dikenalnya tertulis di sana. Akhirnya.

*Selesai*

GUYS! FINALLY! Dua tahun (atau lebih) aku tulis cerita ini. Cerita yang endingnya aku tulis duluan! Wk. Sebulan kemaren adalah sebulan terberat karena aku sakit dan skripsiku stuck. Saat itu, entah kenapa tiba-tiba aku jadi semangat banget buat menyelesaikan cerita ini. Ya, dan skripsi sama sekali tak ku sentuh._.
Terimakasih untuk semua yang sudah, sempat, atau berniat baca cerita yang karena aku pusing judulnya apa, ya udah aku kasih judul Tidak Butuh Judul aja._. Yang ngikutin dari aku post di facebook, blog, hingga wahana bermain yang baru aku coba ini, wattpad. Meskipun jumlahnya ga banyak, aku sangat senang bisa membagi dongeng-dongeng aku sama kalian. Terimakasih untuk selalu percaya pada tulisan aku.
Dan maafkan kalau tanpa aba-aba, cerita ini selesai. Dari awal, emang cuma sampai situ ceritanya. Kalau dilanjut, aku bakalan butuh judul dan itu memusingkan (ga jago kasih judul aku :()
Di bagian terakhir ini, aku mau meminta sesuatu sama siapa pun yang baca untuk memberikan aku komentar, unek-unek, dan kritiknya. Hinaan dan cacian juga boleh.
Sekali lagi, terimakasih dan banyak cinta dari Snap, juru dongeng dari Neverland.

Kamis, 16 Februari 2017

Tidak Butuh Judul [17]


Gabriel tidak pernah tahan mendiamkan Ify lama-lama. Tapi kesalahan gadisnya itu tidak bisa ia terima. Bertahun-tahun bersama, masih kurangkah pembuktiannya bahwa ia tidak pernah main-main dengan hubungan itu?  

Ketika Gabriel menyatakan cinta pada Ify, tidak pernah ada niat dalam benaknya untuk menjalin sebuah hubungan ‘jalani saja dulu’. Karena telah jelas sekali ia melihat gambaran masa depan ia temukan dalam sosok Ify. Meskipun ia masih SMA kala itu, ia bisa melihat bahwa di masa yang akan datang, Ify yang akan berjalan bersamanya mencapai sesuatu bernama pernikahan.

 Pernikahan masih jauh sekali untuk digapainya, namun Ify telah terlebih dahulu berpaling darinya. Telah ia temukan lelaki lain yang mungkin jauh lebih baik darinya. Karena meskipun dalam banyak hal ia berada di atas lelaki itu, untuk sebuah kehadiran ia jauh tertinggal. Gabriel tidak pernah ada di samping Ify. Menemani gadis itu melewati banyak hal, susah atau senang. Jadi mungkin bukan salah Ify jika ia memilih bersama lelaki itu.  

Gabriel melirik sebuah bungkusan yang tergeletak di kursi belakang mobilnya. Bungkusan itu berisi buku sketsa baru yang rencananya akan ia berikan pada Ify. Ia beli setelah mengantar Ify pulang sehabis belanja satu hari sebelum pesta ulang tahun Sivia. Kala itu hubungannya dan Ify masih baik-baik saja. Esoknya, semua berubah. Dan kini hubungannya dengan Ify semakin parah.  

“Fy, anggap aja ini ancaman ya! Kamu awas ya kalau sampai selingkuh. Nanti aku bakalan...”

 “Kamu bakalan apa? Marah sama aku?”

 “Aku ga akan marah sama kamu. Cuma aku ga akan segan ninggalin kamu. Aku tuh ga akan pernah bisa diselingkuhin.”  

Percakapan antara dirinya dan Ify di masa lalu tiba-tiba terlintas di benaknya. Sampai sekarang isi percakapan itu belum berubah. Perselingkuhan adalah sesuatu yang tidak bisa diterimanya.

 Seminggu adalah waktu yang cukup untuknya berpikir akan kelanjutan hubungannya dengan Ify. Seminggu yang telah menghasilkan sebuah keputusan yang sedari dulu tak pernah terlintas dalam benaknya.

 Cintanya untuk Ify begitu besar seperti matahari. Dan Gabriel harus ingat bahwa matahari adalah bola api raksasa yang suatu saat bisa membunuhnya.

Cintanya untuk Ify banyak sekali seperti bintang. Tapi cahaya lampu jalan membuat sinar sang bintang tak lagi kelihatan.

 Malam itu Gabriel katakan pada Ify bahwa mungkin itulah pertemuan mereka yang terakhir. Sekarang ia meralat ucapan itu. Ia harus bertemu Ify, mungkin untuk satu kali lagi.

***  

Tadi sore Gabriel meneleponnya. Tapi tidak ada sapaan hangat seperti biasanya. Ify mengeluh dalam hati. Haruskah ia mulai membiasakan diri? Pemuda itu hanya bilang bahwa ia ingin bertemu.

 Ify belum siap dengan kemungkinan terburuk yang akan diterimanya malam ini. Tapi ia pun tak bisa lagi bersembunyi.

Seraya merapal doa, ia hampiri Gabriel yang sudah menunggunya di sana. Pemuda itu menjadi satu-satunya penghuni balkon, ketika semua orang memilih untuk berada di ruang utama cafe karena kebetulan malam itu seorang penyanyi ibukota yang tengah berada di puncak popularitasnya datang ke sana. Semua orang tidak ingin melewatkan penampilannya. Gabriel duduk sendiri tanpa antusias. Bahkan kalau malam itu yang datang adalah Lea Salonga, penyanyi favoritnya, ia akan tetap berada di tempatnya. Detik ini tidak ada yang lebih penting selain dirinya dan Ify.

 Ify hadir di hadapan Gabriel. Pemuda itu berdiri, menyambut. Ia tarik sebuah kursi, mempersilakan Ify duduk.

 Tidak ada pelukan hangat, senyuman lebar, bahkan ucapan selama datang. Sebuah firasat buruk menghantui benak Ify.  

“Apa kabar?” tanya Gabriel dengan ekspresi datar.

 Ify menghela napas panjang. “Ga sebaik dulu, Gab!”

 “Kamu mau pesan makan atau minum dulu?”  

Ify menggeleng. Ia sama sekali tidak berselera

 Gabriel berdeham pelan kemudian menggeser sebuah bungkusan yang ada di atas meja ke dekat Ify.

“Janji aku yang terakhir sama kamu. Jangan sampai masuk ke tong sampah lagi ya! Buku ini bukan sampah. Cukup aku aja yang ngerasa jadi sampah.”  

Ucapan Gabriel itu seketika membuat Ify mencelos. Ia membuat lelaki terhebat yang pernah dikenalnya merasa tak berharga layaknya sampah. Gadis itu mengeluh tertahan.  

“Pertama kali aku bilang kalau aku cinta sama kamu, waktu itu aku yakin banget bahwa kita akan selamanya bareng-bareng. Waktu aku pergi ke Paris, yang aku khawatirin cuma kamu. Kekhawatiran aku dulu sekarang kejadian, Fy!” Gabriel menelan ludahnya yang terasa sangat pahit.  

“Maaf ya, Fy! Aku pergi dan ga ada di samping kamu. Aku bikin kamu kesepian. Aku bikin kamu cari orang lain. Jujur aku sakit banget tahu semuanya. Tahu kalau yang kamu cinta bukan lagi cuma aku. Sekarang aku punya saingan.”

 Ify menggeleng samar.  

“Aku ga bisa saingan sama Rio, Fy! Dia udah menang. Dia bikin kamu jatuh cinta waktu kamu masih sama aku. Aku mau nyerah dan mundur. Bukannya aku ga mau berjuang buat kamu. Tapi kamu sendiri yang pilih untuk ga lagi berjuang sama aku. Kita kayaknya emang harus berhenti sampai sini,” ucap Gabriel. Lonceng itu telah dipukulnya. Menimbulkan bebunyian yang mampu menghancurkan hatinya. Gabriel tahu itu.  

“Aku mau ngomong boleh?” Ify mengusap matanya yang mulai basah. “Dulu waktu aku terima kamu jadi pacar aku, ga ada sedikit pun aku ragu. Aku cinta kamu dengan segala keyakinan aku. Waktu kamu pergi, aku ga pernah khawatir tentang apa pun karena aku percaya kita bisa lewatin semuanya. Terus aku ketemu sama Kak Rio. Semuanya terjadi tiba-tiba dan aku ga pernah tahu.” Ify tercekat. Sekarang ia berani jujur pada Gabriel karena menyembunyikan apa yang sudah bukan lagi rahasia adalah percuma.  

“Tapi kemudian aku sadar ga ada yang lebih baik selain kamu buat aku. Aku mau memperbaiki kesalahan aku. Aku minta satu kesempatan lagi dari kamu, Gab!” ujar Ify memohon.  

“Bertahun-tahun aku kasih kamu kesempatan untuk cuma mencintai aku. Apa yang udah kamu lakuin sama aku bikin aku kecewa. Kesempatan itu udah ga ada, Fy,” tukas Gabriel berat.  

“Kamu udah ga cinta lagi sama aku?” tanya Ify. Ia semakin sesenggukan.

 “Cinta aku banyak buat kamu. Yang habis dari aku adalah kesempatan, Fy. Maafin aku.”  

Ucapan terakhir Gabriel akhirnya menamparnya begitu telak bahwa sekeras apa pun ia berusaha, hubungannya dengan Gabriel tidak akan bisa diselamatkan. Semuanya sudah selesai dan berakhir. Sebuah kisah yang belum sempat ia beri judul itu pun terpaksa ditamatkannya.  

“Kamu jangan takut, Fy! Kamu ga akan sendiri. Kan ada Rio,” ucap Gabriel tulus. Ia mulai mengikhlaskan Ify untuk yang lain. “Rio cinta sama kamu.”  

Ify mencibir. Masa bodoh dengan Rio! Ia sama sekali tidak peduli. Si pengacau itu pasti senang telah memisahkan dirinya dari Gabriel.  

“Besok aku balik ke Paris. Lebih cepat beberapa hari dari rencana.”  

Ify menatap Gabriel nanar. “Kita bisa ketemu lagi ga ya?” tanyanya retoris.  

Gabriel bangkit dari kursinya kemudian memeluk Ify. Menyediakan tempat untuknya menangis. Ia dekap gadis itu erat. Dekapannya yang terakhir. Pemuda itu mengeluh. Ia menyadari bahwa melepas Ify adalah hal terberat yang pernah dilakukannya.  

“Kalau kita emang harus ketemu, kita bakalan ketemu, Fy. Ga tahu kapan dan di mana,” bisik Gabriel.  

Pelukan itu adalah pertanda bahwa Gabriel masih menyisakan banyak sekali cinta untuk Ify, yang berharap dapat ia jejalkan habis padanya detik itu juga. Pelukan itu adalah gerbang untuk sebuah kisah baru dalam hidupnya tanpa Ify.

 Sementara bagi Ify, pelukan itu serasa godam yang menghancurkan seluruh cakrawala yang ia bentangkan atas nama cinta. Cakrawala itu runtuh bersama dengan hatinya yang patah. Ia kemudian tahu, bahwa setelah pelukan ini berakhir, ia harus melangkah seorang diri tanpa Gabriel.

***

 Ify merasa sudah tak memiliki siapa-siapa lagi. Gabriel sudah bukan lagi kekasihnya, Rio takkan mungkin diharapkannya, dan Papa jauh di Jayapura sana. Ia tak tahu harus ke mana lagi sekarang.

 Kemudian ia teringat seseorang. Sahabatnya satu-satunya, Alvin. Gadis itu bergegas pergi ke tempat kost Alvin. Hendak mengadu.  

Alvin langsung disergap Ify pada detik pertama ia membuka pintu. Gadis itu datang dalam keadaan menangis. Tangisannya kian kencang di bahu Alvin.  

Alvin tahu apa yang sudah terjadi. Sejak lama ia sudah bisa memprediksi. Kedekatan Ify dengan Rio memang tidak wajar. Jadi, ia tidak bisa menyalahkan Gabriel atas keputusannya. Hal itu mungkin pantas untuk Ify.

Tapi sebagai sahabat yang baik, ia tidak akan mungkin mengatakan hal sekejam itu pada sahabatnya yang tengah patah hati. Bisa-bisa Ify mengamuk atau lebih parah lagi memutuskan untuk bunuh diri.  

Masih dengan derai tangis, Ify masuk ke dalam kamar kost Alvin. Gadis itu kemudian menjatuhkan dirinya di lantai, duduk memeluk lutut.

 “Kamu pernah bilang kalau Gabriel serupa organ buat kamu, di mana tanpa dia kamu ga bisa hidup. Ify, kamu masih bisa hidup tahu. Kamu kan bisa cari donor,” ujar Alvin. Pemuda itu duduk bersila di hadapan Ify.

 Ify menatap Alvin penuh tanya. “Maksud kamu apa?”

 “Putus sama Gabriel bukan akhir dari segalanya, kan?”

 “Dia tahu aku cinta sama dia dan aku ga mau kehilangan dia, Vin! Tapi dia tetap pergi ninggalin aku!” ujar Ify terisak.  

“Ya udahlah!” ujar Alvin santai.  

“Kok ya udahlah?”

 “Ya, ya udah. Semuanya udah kejadian. Nikmatin aja!”

 “Ini sama sekali ga nikmat, Alvin!” ujar Ify gemas.

 “Ya udahlah!”

 “Kok ya udahlah lagi?” Ify mendesah frustasi. Sepertinya ia datang pada orang yang salah.

 “Kamu tuh butuh waktu sendiri, Fy! Supaya pikiran kamu lebih jernih, supaya kamu lebih tenang. Orang lagi patah hati emang susah dinasihatin. Mending sekarang kamu pulang karena ini udah malam dan aku ga mau diusir sama ibu kost karena ketahuan ada cewek di sini malam-malam.”

 Ify merengut. Sekarang Alvin malah mengusirnya? Sahabat macam apa coba?!!! Gadis itu berjingkat pergi dari sana.

 “Fy…”  

Ify menghentikan langkahnya tepat di ambang pintu ketika tiba-tiba Alvin memanggilnya. Gadis itu menoleh. Apa? Mau bilang ya udahlah lagi? Awas saja!

 “Setiap kehilangan pasti akan digantikan kok!” ucap Alvin.  

Ify mengangkat bahu. Ia tidak yakin Gabriel akan tergantikan. Gadis itu kemudian pergi.

***  

Meskipun tidak percaya dengan apa yang diucapkan Alvin, tapi sepanjang perjalanan pulang ucapan sahabatnya itu justru terus terngiang dalam otaknya. Setiap kehilangan pasti akan digantikan. Mungkinkah Rio yang akan menjadi pengganti Gabriel? Nama itu tiba-tiba muncul di langit-langit pikirannya.  

Ify menatap ke luar jendela dengan nanar. Melihat hujan rintik-rintik itu menari di sana. Gadis itu memejamkan mata beberapa detik kemudian kembali membukanya. Ternyata begini rasanya patah hati. Inilah patah hatinya yang pertama dan rasanya sakit sekali.  

Jika setiap kehilangan akan digantikan, apakah hati yang patah bisa disembuhkan? Dan kalau bisa, siapakah yang akan menjadi penawar lukanya? Mungkinkah Rio? Sosok pemuda itu kembali terlintas dalam pikirannya.  

Gabriel bilang Ify takkan sendiri karena akan ada Rio. Tapi sekarang ia tidak tahu keberadaan pemuda itu. Bahkan ia tidak yakin bahwa Rio serius dengan ucapannya kala itu. Pernyataan cinta darinya mungkin hanya sebuah senjata untuk menghancurkan Ify. Sekarang, bisa jadi Rio tengah bersenang-senang, merayakan kemenangannya.

 Tapi bisa jadi Rio memang benar-benar mencintainya. Karena ketika pertama kali ia mengenalkan Gabriel pada Rio, ia kembali melihat Rio yang dulu. Rio yang patah hati dan menyedihkan. Rio yang seringkih anak kucing. Karena saat Rio menyatakan cinta, kedua matanya juga ikut berbicara.

 Ify mengurut pelipisnya yang berdenyut. Mungkin sesampainya di apartemen, ia harus meminum aspirin untuk menghilangkan sakit kepalanya. Semoga saja, sakit di hatinya juga turut hilang.

***  

Ternyata hari itu masih menyisakan satu lagi kemalangan untuk Ify. Sebuah kenyataan pahit yang ia temukan di lobby apartemennya. Saat ia berjalan masuk dengan langkah tersaruk, gadis itu bertemu dengan Rio dan ia tidak sendiri. Sivia bergelayut manja menggamit lengannya. Mereka bercengkrama dengan ceria.  

“Kak Rio…” cicit Ify pelan. Namun tak cukup pelan untuk akhirnya membuat Rio beserta Sivia menghentikan gerakan kakinya. Mereka menoleh pada Ify.  

Rio menatap Ify  canggung. Ia tak membalas sapaan Ify karena tiba-tiba tenggorokkannya tercekat.  

Sedangkan Ify dibuat linglung. Entah apa yang harus dilakukannya sekarang. Untuk marah pun ia tidak berhak. Gadis itu mengeluh tertahan.

 “Halo, Ify! Baru pulang ya? Eh kita baru mau pergi,” ujar Sivia dengan nada mengejek. Gadis itu tidak melepaskan tangan Rio sedetik pun.  

Ify menggeleng. Tanpa sepatah kata pun, ia melengos pergi.  

Dan Rio masih jadi patung bodoh di sana, yang hanya bisa berkutat dalam alam pikirannya sendiri. Apa itu tadi? Mengapa Ify menatapnya seperti itu? Apa seperti itu ekspresi orang yang cemburu? Ia sama sekali tidak tahu. Kemarin-kemarin ia tidak sempat berkaca.

 Sial! Rio mengumpat dalam hati. Mustahil sekali Ify cemburu melihat dirinya bersama Sivia. Jelas-jelas gadis itu tidak mencintainya. Ia telah menolaknya mentah-mentah. Lebih memilih untuk tetap bersama Gabriel dan potongan rambutnya yang aneh itu. Rio mengerjap kemudian mengikuti langkah Sivia. Ia berjanji dalam hati untuk tidak lagi memikirkan Ify. Sekarang ia hanya ingin fokus pada Sivia seorang saja yang jelas-jelas ada di sampingnya.

***

Tidak Butuh Judul [16]


Terakhir kali Rio datang ke tempat ini adalah ketika dirinya ditinggalkan Sivia. Sekarang, ia kembali lagi-lagi untuk gadis itu. Rio mengangkat bahu. Kita lihat saja nanti apa yang akan terjadi. Pemuda itu berjalan masuk.  

“Rio, ke mana aja lo?” seseorang tiba-tiba menepuk pundak Rio.  

Rio terkesiap. Mendapati Raynald di sana. Salah satu temannya yang dulu tidak pernah menolak untuk diajak ke club. Sekarang, Raynald telah percaya diri datang ke tempat itu tanpa Rio.  

“Hai, Ray! Sibuk gue. He,” Rio terkekeh pelan. “Eh, lihat Sivia ga?”

 “Sivia? Tuh di sana,” Raynald menunjuk ke salah satu tempat di ujung club.

 “Oke. Thanks, ya! Gue samperin Sivia dulu!” ujar Rio kemudian melipir pergi.  

Rio mendapati Sivia. Semenjak putus, ia belum pernah menemui Sivia secara khusus. Bahkan di acara ulang tahun Sivia kala itu, ia hanya menyapa Sivia sekilas untuk mengucapkan selamat.  

“Ada apa?” tanya Rio langsung, tanpa prolog apa pun.

 Sivia menoleh pada Rio. Matanya sembab bekas tangisan. Gadis dalam balutan dress ketat berwarna hitam itu langsung melompat meraih Rio. Melanjutkan tangisnya yang tadi sempat mereda.  

Rio berdecak samar. Ia memutar bola matanya kesal. Drama apa lagi yang hendak dipertunjukkan Sivia kali ini? Ia tidak tahu. Pemuda itu menjauhkan tubuh Sivia darinya.  

“Kenapa? Berantem sama Deva?” tanya Rio sarkatis.  

Sivia menggeleng. “Gue kangen sama lo.”  

Rio mencibir. “Serius kangen?”  

“Please, Yo! Gue lagi banyak masalah banget. Gue cuma pengen senang-senang.”

 Rio menatap Sivia seraya berpikir. Ia juga sedang menghadapi masalah, dan mungkin Sivia memang sengaja dikirimkan Tuhan untuk membuatnya sejenak melupakan masalah itu. Yeah! Rio, malam ini anggap saja tidak terjadi apa-apa. Anggap saja luka di pipimu adalah bekas menabrak pintu. Anggap saja sesak di dadamu karena asap rokok yang berterbangan memenuhi club ini. Mari bersenang-senang!  

“Let’s have fun tonight, Sivia!” Rio meraih tangan Sivia. Menariknya menuju keramaian. Ikut bergabung bersama manusia-manusia lain yang mungkin juga sama sepertinya. Bersenang-senang dan tak lagi peduli dengan masalah yang ditanggungnya.

Rio dan Sivia menggerakkan tubuhnya. Sesekali mereka berpelukan. Saling membagi peliknya masalah yang tengah mereka hadapi.

***  

Semakin malam, club semakin ramai. Orang-orang datang dengan bermacam masalah, tapi tak jarang pula yang datang tanpa membawa apa pun. Ia hanya ingin bersenang-senang.

 Rio dan Sivia menepi, memesan minuman.

“Deva ga suka gue undang lo ke pesta ulang tahun gue kemarin. Selesai pesta kami berantem hebat,” celetuk Sivia setelah menenggak habis segelas minuman beralkohol yang baru saja disuguhkan padanya.

“Kalau Deva ga suka lo masih berhubungan sama gue, ngapain sekarang lo minta ketemu?” tanya Rio sarkatis.

“Bodo! Biar aja dia makin marah. Ga peduli gue!” Sivia meminta gelasnya diisi kembali. Seorang bartender sigap memenuhi permintaannya. Gadis itu benar-benar kalap.

Rio cuma bisa melongo ketika Sivia telah menghabiskan minuman pada gelas keduanya dan sekarang ia meminta yang ketiga sementara dirinya masih menyisakan tiga perempat minuman di tangannya. Sedari dulu, Rio memang tidak terlalu suka meminum alkohol. Dia datang ke club hanya karena tuntutan pergaulan. Dan ia agak trauma dengan kejadian berbulan lalu saat ia minum terlalu banyak dan ia hampir mati karena mobilnya menabrak trotoar. Meskipun ia tidak bisa memungkiri bahwa ia mensyukuri hal itu terjadi. Coba saja malam itu dia tidak minum hingga mabuk berat, coba saja tidak ada truk yang melaju kencang dari arah berlawanan dan membuatnya membanting setir hingga menabrak trotoar, coba saja ia kuat untuk mencapai kamarnya tanpa harus jatuh tersungkur di depan kamar Ify, ia mungkin tidak akan sampai di titik ini, di mana ia menjatuhkan cintanya begitu dalam untuk Ify.

Rio terkesiap. Coba saja Rio untuk malam ini lupakan Ify! Rutuknya dalam hati. Oh, ia tidak yakin bisa.

 “Oh iya, gue pikir lo pacaran sama Ify,” ujar Sivia. Gelasnya kembali terisi untuk kesekian kali. Rio sudah tidak lagi menghitungnya.  

“Maunya sih gitu,” ujar Rio.  

“Pipi lo kenapa?” tanya Sivia. Pandangannya kini mengabur, tapi lebam di pipi Rio telah dilihatnya sejak tadi. Hanya saja baru kini ia mendapatkan kesempatan untuk bertanya.   

“Ditonjok Gabriel.”  

“Kok bisa?”

 “Bisa lah! Orang cemburu bisa lakuin apa aja.”

 “Waktu gue sama Deva, lo cemburu ga? Kok lo ga lakuin apa-apa?”

Sivia tidak tahu saja Rio hampir mati cemburu saat itu.  

Rio memicingkan mata. Sepertinya Sivia harus berhenti minum. Gadis itu sudah mabuk.

 “Sivia kayaknya kita harus pulang,” ujar Rio seraya menjauhkan gelas alkohol dari Sivia.

 “Gue ga mau pulang! Pokoknya gue mau di sini sama lo,” tukas Sivia dan sedetik kemudian ia jatuh terkulai yang untungnya segera ditangkap oleh Rio.  

Akhirnya, Rio menggendong Sivia yang tak sadarkan diri ke dalam mobilnya. Kemudian ia bawa pulang ke apartemennya.

***

 Rio merasakan punggungnya ngilu. Menggendong Sivia dari lobi hingga kamarnya ternyata cukup membuat tulang punggungnya kesakitan bahkan hingga berlalu beberapa jam. Belum sembuh pipinya yang kini berwarna biru, sekarang harus ditambah pula dengan sakit di punggung, dan jangan lupa dengan sakit hatinya yang kian terasa ketika dirinya sendiri.  

“Yo...”  Rio terperanjat ketika mendengar sapaan itu. Ia menoleh dan melihat Sivia berjalan mendekatinya. Gadis itu baru saja bangun.

 “Makasih ya!” ujar Sivia kemudian duduk di samping Rio.  

Rio hanya mengangguk samar.

 “Gue mau pulang.”

 “Mau gue antar?”

 “Ga usah, gue udah telepon  supir gue suruh jemput.”  

Kemudian mereka hanya bertatapan tanpa suara untuk beberapa saat. Rio melihat Sivia tanpa perasaan apa pun. Cinta yang dulu begitu besar sampai membuatnya hampir gila kini sudah tak lagi ada. Sosok yang bahkan ketika bangun tidur pun masih sebegini cantiknya, yang kini duduk berdempetan dengannya, tak mampu membuat hatinya berbunga. Seseorang yang lain telah membuat hatinya sesak.  

Sedangkan Sivia memandang Rio dengan tatapan yang sulit sekali diartikan. Kelebihan Sivia yang lain selain wajah cantik adalah ia mampu menyembunyikan rahasia di balik kedua pelihatnya. Tidak pernah ada yang bisa menebaknya. Mungkin saja saat ini Sivia tengah menatap rindu pada mantan kekasihnya. Atau bisa jadi ia justru tengah menatap menggoda, ingin mempermainkan pemuda itu seperti yang pernah dilakukannya dulu. Tidak ada yang tahu.

 “Gue ke bawah sekarang ya! Kayaknya supir gue udah datang deh! See you!” ujar Sivia kemudian bergerak semakin dekat dan mendaratkan sebuah ciuman di pipi Rio yang bengkak. Sebuah ciuman yang dulu sangat biasa diberikan Sivia ketika berpamitan pergi. Gadis itu menghilang di balik pintu.

 Ciuman itu biasa kalau terjadi berbulan yang lalu. Ciuman itu biasa kalau status mereka bukan sebagai mantan. Sekarang, ciuman itu jadi tak biasa karena mendarat saat Rio dan Sivia bernasib sama, membutuhkan seseorang yang bisa membuat mereka lupa pada masalah yang menggantungi benaknya.  

Rio masih tertegun di tempatnya. Ia menyentuh pipinya. Sakit di sana kemudian hilang, berganti hangat dan gemuruh di dadanya.

***

 Ify berjalan gontai seraya menjinjing kantung kresek berisi bubur ayam yang baru saja dibelinya untuk sarapan. Pagi ini ia sama sekali kehilangan mood untuk memasak.

 Masih teringat jelas di benaknya kejadian semalam, bagaimana ia melihat Gabriel meledak karena bom waktu yang dirakitnya. Berkali-kali ia mencoba menghubungi pemuda itu, tapi tak sekali pun membuahkan hasil.

 Ify sadar dirinya telah menyakiti Gabriel. Tapi ia juga tak bisa memungkiri bahwa di hatinya kini juga telah ada Rio, yang entah sejak kapan tepatnya ia menyelinap masuk ke sana. Ify hanya tidak ingin membohongi dirinya sendiri. Dan ia pun sudah berjanji bahwa pelukan semalam adalah pelukan perpisahan. Ia tidak menyangka bahwa  kemungkinan besar yang akan ia berikan salam perpisahan adalah Gabriel.

 Seseorang di ujung lorong tiba-tiba membuat Ify membelalakkan kedua matanya. Ia jelas melihat orang itu adalah Sivia, baru saja keluar dari kamar Rio. Ada urusan apa? Sepagi ini?

 Ify berjalan dengan kaku, sementara Sivia berjalan seperti tanpa beban. Ia tersenyum miring kala dirinya berpapasan dengan Ify. Kemudian menghilang masuk ke dalam lift.  

Kalau sepagi ini dia pergi, jadi sejak kapan Sivia di apartemen Rio? Batin Ify berbisik.

Tiba-tiba kegelisahan menyelimuti hatinya. Gadis itu berlari masuk ke kamarnya.

 Di sana ia menekuri semuanya. Ketidakmengertiannya atas semua yang terjadi. Mengapa bisa ia mencintai dua orang sekaligus dan egoisnya ia tidak ingin kehilangan salah satu dari mereka. Kejadian semalam adalah peringatan bahwa bisa saja Gabriel meninggalkannya.

Dan menemukan Sivia keluar dari kamar Rio barusan adalah peringatan berikutnya bahwa Rio juga takkan segan pergi darinya.

Pada akhirnya ia akan sendiri. Temannya yang tak pernah pergi bernama sakit hati.

***  

Entah karena Tuhan menyayanginya, atau justru sedang mempermainkannya, karena setiap kali Rio patah hati, selalu hadir sosok lain dalam hidupnya.

Dulu ketika Sivia meninggalkannya, Ify datang untuknya. Sekarang saat Ify mengabaikan perasaannya, berbalik Sivia yang datang padanya.  

Rio tidak tahu nasib Ify bagaimana setelah kejadian malam itu. Tidak pernah lagi ia melihat wajah cantik itu. Ia juga tidak tahu bagaimana kelanjutan hubungan Ify dan Gabriel. Mungkin mereka tak seberapa peduli padanya dan kembali melanjutkan hidupnya seperti biasa. Rio seperti debu yang cukup disapu saja hilang. Ya, memang sebegitu tidak pentingnya dirinya di mata Ify.

 Rio pernah patah hati sebelumnya, dan ia berhasil menyembuhkan segalanya. Untuk kali ini ia pun yakin bisa. Perempuan yang bergelayut manja di sampingnya yang dulu melukai hatinya kini menjelma menjadi obatnya.  

Ify berhasil dikesampingkan Rio saat detiknya terisi dengan kehadiran Sivia. Meskipun saat ia pulang ke apartemennya, sendirian di kamarnya, bayangan Ify kembali menamparnya telak bahwa ia menjadikan Sivia sebuah pelarian. Yang menyesaki hati dan jiwanya kini adalah Ify dan Ify lagi.

 “Mungkin kita bisa bareng-bareng lagi kaya dulu, Yo!” ujar Sivia suatu hari ketika ia menghabiskan makan siang bersama Rio.  

Rio tidak menjawab. Tapi seminggu yang telah ia lalui bersama Sivia bisa menjadi jawaban bahwa ia tengah mencoba untuk memulai semuanya dari awal. Kembali pada Sivia dan mengubur dalam-dalam perasaannya pada Ify.

***

Tidak Butuh Judul [15]


Minimal satu kali dalam sehari Gabriel menyapanya lewat ponsel, entah itu telepon atau hanya sekadar pesan singkat. Satu sapaan yang selalu mengingatkannya ia punya seseorang yang selalu setia padanya.  

Sudah dua hari sapaan itu tak hadir. Rasanya aneh sekali. Seperti sebagian dari dirinya juga hilang. Bertahun-tahun bersama, dan inilah perasaan kehilangannya yang pertama.

 Ify menghempaskan tubuhnya ke atas sofa. Yang dibutuhkannya bukanlah waktu untuk berpikir. Seribu waktu yang diberikannya tidak akan mampu memberikan jawaban akan pertanyaan besar di hatinya. Sebenarnya, sekarang ia mencintai siapa?  

Yang ia butuhkan sekarang adalah duduk berdua dengan Gabriel. Supaya ia yakin bahwa Rio sama sekali tidak pantas untuk dipilih. Gabriel tidak boleh pergi begitu saja. Mana janjinya yang akan selalu ada di segala situasi? Ify menghembuskan napas berat. Sialnya, situasi kacau ini telah ia buat sendiri. Jadi ia yang harus bertanggung jawab.  

Di balik tembok itu, Rio berdiri. Malam itu ia tahu bahwa hubungan Ify dan Gabriel terguncang. Dua hari ia mengamati, tidak didapatinya eksistensi Gabriel di samping Ify. Baguslah! Ini kesempatannya.  

Rio belum pernah berjuang sebegini susahnya. Bahkan pada Sivia, setelah hari di mana gadis itu meminta berpisah, tak sekalipun ia mendatangi gadis itu untuk meminta kembali. Sekarang untuk Ify ia mau berjuang lebih keras. Ia datang lagi. Meyakinkan Ify untuk dapat menerimanya.

 Rio mengetuk pintu apartemen Ify dengan tidak sabar, bahkan terkesan menggedor.  Usaha itu berhasil membuat si empunya kamar membuka pintu dengan cepat.  

Kalau senjata berupa kata-kata tidak mempan, mungkin Rio harus mencoba senjata yang lain. Kali ini tanpa memberikan kesempatan untuk Ify bertanya tujuannya ke sana, Rio sudah terlebih dahulu meraih bahunya. Mendorongnya menjauhi pintu, kemudian memeluknya erat.  

Ify meronta-ronta minta dilepaskan. Ia pukul punggung Rio keras-keras. Tapi bagi Rio itu tidak ada apa-apanya. Ia hanya ingin mendekap gadis itu. Membaui aroma tubuhnya yang menenangkan. Merasakan kehangatan yang begitu ia rindukan.  

“Tolong lepasin aku, Kak!” Ify bercicit. Memohon dengan sangat agar ia dibebaskan.  

Rio akhirnya melepaskan Ify. Tidak tega karena ia mulai mendengar Ify menangis sesenggukan.  

“Shit!” Rio berdecak kesal. Sungguh ia tidak bermaksud menyakiti Ify. Pelukannya tadi adalah pelukan sayang yang harusnya membuat Ify nyaman, bukan malah menangis ketakutan.  

“Gue tuh cuma sayang sama lo, cinta sama lo. Gue salah?” tanya Rio retoris.  

“Gue tuh ga rela lo sama cowok lain. Gue sakit hati. Gue salah?” Rio semakin frustasi.

 “Gue peluk lo supaya lo tahu cinta gue banyak buat lo. Terus sekarang lo malah nangis. Gila ya! Segitu serba salahnya jadi gue!” pemuda itu mengacak rambutnya sendiri.  

Ify masih di sana. Menangis tersedu. Coba kalau bukan sekarang ia bertemu Rio. Coba kalau bertahun-tahun yang lalu, sebelum ia bertemu dengan Gabriel. Coba saja! Mungkin akan lain hasilnya. Ify tidak bisa apa-apa. Cintanya masih lebih banyak untuk Gabriel.  

“Gue harus apa supaya lo terima gue? Gue bisa usahain semuanya buat lo. Jangan nangis! Gue ga bisa lihat orang yang gue sayang nangis!” Rio mengeluh tertahan.  

Tapi tiba-tiba Ify bergerak menghampirinya. Gadis itu menjatuhkan tubuhnya pada bahu Rio. Ia dekap pemuda itu erat. Tangisnya semakin meleleh di sana.  

Rio tidak tahu apa yang terjadi. Ia bahkan masih tidak percaya Ify memeluknya. Demi menyakinkan diri bahwa ia sedang tidak bermimpi, ia usap kepala Ify. Saat itulah ia yakin bahwa Ify yang ada di sana. Mendekapnya. Pemuda itu tersenyum. Kebahagiaan baru saja membuncah di sana.  

Ify tahu apa yang dilakukannya salah. Tapi biarkan ini menjadi kesalahannya yang terakhir, sebelum ia pergi. Karena ia harus melarikan diri sejauh mungkin dari Rio supaya perasaannya bisa lenyap. Maka izinkanlah detik ini ia dekap pemuda itu. Supaya ia bisa mengenangnya suatu hari nanti bahwa pernah suatu kali ia begitu dekat dengan Rio. Wangi parfumnya bisa ia baui dengan leluasa. Deru napasnya bisa ia dengar dengan seksama. Detak jantungnya bisa ia rasakan berima.  

Setelah ini, tidak akan ada lagi Rio dan kebimbangan. Ify sudah tahu akan dibawa ke mana kisahnya.  

“Gue cinta sama lo, Fy!” ungkap Rio.  

Ify mengangguk di bahu Rio. Ia sudah tahu. Jangan lagi diucapkan! Karena akan semakin berat untuk dirinya pergi. Gadis itu mendekap Rio lebih erat.  

Ify dan Rio menikmati pelukan itu. Mereka sama-sama tidak tahu bahwa seseorang berjalan menuju tempat mereka berdua. Pintu apartemen Ify terbuka dan membuat orang itu masuk tanpa permisi. Kemudian ia hanya bisa berdiri kaku di sana. Melihat pemandangan paling menyakitkan hatinya. Setetes air mata jatuh dari pelupuknya. Tetes yang lain turut mengikutinya.  

Kedua matanya masih tergenang, tapi kemampuan Ify untuk melihat tidak lantas menghilang. Kabur ia melihat seorang pemuda berdiri tak jauh dari sana. Ify membuka mulutnya tanpa suara. Gadis itu segera menjauhkan tubuhnya dari Rio.  

Rio bingung mengapa Ify tiba-tiba melepaskan pelukannya. Tapi kemudian ia menyadari sesuatu saat ia menangkap fokus Ify kini tak lagi padanya, tapi pada pemandangan di belakangnya. Sontak Rio berbalik dan hampir terjengkang karena kaget setelah mendapati ada Gabriel di sana. Menatap Ify dengan mata yang basah.  

Gabriel tiba-tiba bergerak ke arah Rio. Tanpa aba-aba, ia daratkan sebuah tinju di wajah Rio. Membuat pemuda itu terpelanting jatuh ke lantai. Ini adalah akumulasi dari emosinya sejak malam itu. Orang dewasa juga berhak marah kalau apa yang menjadi miliknya direbut oleh orang lain.  

Ify menjerit. Seumur-umur ia mengenal Gabriel, tak pernah sekalipun ia memergoki pemuda itu marah bahkan hingga memukul seseorang. Gabriel yang ia tahu adalah pemuda paling sabar seluruh dunia. Tapi ternyata sabar juga ada batasnya. Dan Ify tahu batas itu adalah dirinya.  

“Lo pergi! Gue ga mau lihat lo di sini,” ujar Gabriel dingin.

 Rio meringkuk di lantai, tapi ia masih bisa membuat pembelaan. “Gue cinta sama Ify, dan Ify juga.”  

Gabriel tidak mau mendengar kalimat yang menyerupai kutukan itu. Ia membuang pandangannya jauh-jauh. “Gue bilang lo pergi.”

 Rio cukup tahu diri dengan tidak memberikan perlawanan. Tinjuan yang mencium wajahnya telah cukup untuk membuatnya tahu bahwa Gabriel bukan tandingannya dalam hal berkelahi. Meskipun untuk urusan Ify, ia yakin dirinya yang akan menang. Sembari memegangi pipinya yang berdenyut sakit, ia kemudian melipir pergi.  

Di ruangan itu hanya tertinggal Gabriel dan Ify. Keduanya kini saling berhadapan.  

“Dua hari kita ga ketemu. Aku cuma mau ngasih kita waktu untuk sama-sama berpikir. Tapi nyatanya, kita berdua ga mikir sama sekali. Aku yakin, waktu kamu ngelakuin hal itu tadi, kamu ga mikirin aku. Dan aku ke sini juga ga pakai mikir kalau aku bakalan lihat adegan kayak tadi,” ujar Gabriel dengan suara yang berat.  

“Kamu bisa jelasin sama aku soal yang tadi? Bisa ga? Atau semuanya emang udah jelas?” Gabriel melanjutkan.

   Ify menggeleng samar.  

“Aku sombong, Fy!  Yakin banget kalau kamu segitu cintanya sama aku. Yakin banget kalau kamu ga bakalan khianatin aku. Kenyataannya, sekarang hati kamu udah ga buat aku lagi,” pemuda itu mengeluh.

 Ify masih membisu.

 “Aku bisa maafin apa pun kesalahan kamu. Tapi untuk yang satu ini, aku ga bisa kompromi. Aku ga tahu lagi mau ngapain. Bisa jadi ini terakhir kalinya kita ketemu.”  

Gabriel mungkin tidak sepenuhnya menyadari apa yang baru saja meluncur dari mulutnya. Mungkin saja saat itu ia tengah ditunggangi emosi dan cemburu yang luar biasa. Tapi mungkin bisa jadi benar. Karena baginya perselingkuhan adalah kesalahan besar yang takkan bisa dimaafkannya. Berjuta kebaikan yang diberikan Ify untuknya, takkan cukup untuk menebus satu perselingkuhan yang dilakukannya.  

Gabriel memutar tubuhnya, saat Ify akhirnya berani berbicara. Satu kalimat bernada penyesalan. Kalimat yang tak seberapa panjang pula.  

“Tapi aku cinta sama kamu, Gab!” ujarnya patah-patah. Air matanya masih mengalir deras membelah pipi.  

“Mungkin kamu lupa kalau aku jauh lebih cinta sama kamu,” ujar Gabriel sebelum akhirnya pergi. Menghilang di balik pintu apartemen Ify.  

Saat itu Ify menyadari bahwa ia akan kehilangan seseorang terbaik dalam hidupnya, yang justru ia sia-siakan begitu saja. Ia akan menyesal seumur hidup.

***  

Rio pulang dengan babak belur. Wajahnya, dan hatinya. Malang sekali nasibnya. Tidak cukup ditolak Ify, harus pula ia dapatkan tinjuan di pipi.  

Pemuda itu kemudian mengerjap. Tunggu dulu. Tadi Ify tidak menolaknya. Justru gadis itu yang datang padanya dan memeluknya. Andai saja Gabriel tidak datang, apa coba yang bakalan dilakukan Ify selanjutnya? Sial sekali itu yang namanya Gabriel! Merusak momennya saja.  

Tapi bagaimana kalau pelukan itu ternyata pelukan perpisahan? Yang takkan Ify berikan untuk kedua kalinya karena mungkin setelah ini ia tidak akan pernah mau bertemu dengannya lagi. Kalau bisa, mungkin ia ingin melarikan diri ke luar angkasa.

 “Aww!” pemuda itu mengurut pipinya yang masih terus berdenyut. Kemudian teringat suatu kali pernah Ify mengobati lukanya. Suatu malam ketika ia pulang sehabis kecelakaan karena menyetir dalam keadaan mabuk. Andai Ify sekarang juga ada di sini. Mengompres pipinya yang bengkak.  Lagi-lagi berharap. Rio mengumpat dalam hati.  

Dering ponsel yang menyalak dari atas meja membuat Rio terperanjat. Dengan gerakan yang tak secepat biasanya, ia meraih ponsel itu. Kemudian membelalak ketika sebuah nama muncul di layar ponselnya. Sivia? Ragu ia menerima panggilan itu.

 “Halo,” ucap Rio pelan.  

Dari sebrang sana, terdengar sebuah isakan. Sivia menangis? Sivia menangis dan meneleponnya?  

“Yo, kita bisa ketemu ga?” tanya Sivia.  

Rio tertegun sejenak. Ada apa tiba-tiba Sivia ingin bertemu dengannya? Aneh sekali. Setelah beberapa hari yang lalu Sivia mengundangnya ke pesta ulang tahunnya, sekarang dia menangis dan minta bertemu. Maksudnya apa? Kode-kode ia ingin balikan dengannya? Maaf-maaf saja ya! Rio tidak mudah digoda.  

“Yo, please! Gue mau ketemu sama lo. Di club biasa ya! Gue pingin senang-senang. Cuma lo yang gue tahu bisa menyenangkan gue,” pinta Sivia.

 Rio mencibir. Apa coba pakai gombal segala. Kemarin ke mana saja? Kalau cuma Rio yang bisa menyenangkan, mengapa dulu dia meninggalkannya dan memilih bersama si Deva itu? Rio yakin saat ini Sivia sedang bermasalah dengan Deva, makanya gadis itu mencarinya.  

“Halo, Yo! Lo dengar gue, kan?”  

Kegalauan akhirnya membuat Rio tergoda juga untuk menuruti permintaan Sivia. Dipikir-pikir, buat apa juga dia menggalau sendiri di apartemennya. Memikirkan Ify yang jelas-jelas tidak peduli padanya. Sivia mungkin telah sadar bahwa Rio adalah yang terbaik untuknya. Mungkin dia menyesal telah meninggalkannya. Jadi, mari kita coba.

 “On the way ya,” ujar Rio sebelum memutus panggilannya.

 Rio tidak tahu bahwa ia baru saja masuk ke kandang ular paling berbisa.

***