Oktober 2011

Minggu, 30 Oktober 2011

HUJAN, Kita Dan Mimpi part 18B


Perang dingin. Saling tak bertegur sapa. Mungkin itulah yang terjadi pada kami. Aku tak pernah bermaksud melakukan segalanya. Kesalahanku dalam mengambil sikap kini berdampak buruk -setidaknya untukku-. Aku membuat kehangatan yang sempat ku genggam enyah seketika. Membentang jarak tak kasat mata namun sangat terasa. Membangun sekat penghalang di antaranya. Memisahkan kami. Aku dan dia. Dia yang masih menjadi salah satu alasanku untuk bertahan. Dia pemilik setitik rasa yang masih bersemayam di bagian istimewa hatiku. Dia yang entah sampai kapan akan menjadi pangeranku. Pangeran Matahariku.

Sementara sang rival tak ambil pusing dibuatnya. Dia mengambil tantangan yang ditawarkan. Sama sekali tak merasa gentar. Bahkan apa yang dilakukannya jauh lebih menyakitkan. Dia menebarkan aura penolakkan yang sangat amat kentara. Suasana hangat yang biasanya selalu ia cipta, kini berubah menjadi hawa dingin yang menusuk tulang. Mencekam.

Dan semuanya terjadi saat ini. Saat kami berdua duduk berhadapan. Hanya terhalang meja putih panjang. Namun aku merasakan jurang pemisah yang terjal tengah melintang. Kami hanya diam. Tak mengeluarkan suara sekecil apa pun. Seakan kalau ada sedikit pun suara, maka hawa dingin itu akan meledak seketika. Menghancurkan siapa pun yang termasuk di dalamnya. Semakin memperbesar jurang pemisahnya. Sangat sensitif.

Maka kini diam adalah sikap yang ku ambil. Ya, karena hanya diam yang dapat ku lakukan. Sambil sesekali mendesah tak kentara. Sampai tak ada siapa pun yang mendengarnya. Sementara kepalaku, terus menunduk. Tenggelam menatapi ujung-ujung rokku. Menggigit bibir. Berteriak dalam hati. Mengatakan bahwa disini, di organ vital bernama hati ini, tersimpan setumpuk rindu. Rindu yang ingin segera ku serahkan padanya. Pada si empunya.

Rio. Dia tak melakukan apa-apa. Berhenti melahap pisang gorengnya. Menatap dengan tatapan menerawang. Dan aku menemukan ekspresi yang baru kali ini ia pasang di wajah tampannya. Ekspresi datar namun tegas. Menciutkan nyali siapa saja yang memandangnya. Termasuk aku, yang merasakan sesak yang mendalam, kala aura penolakan itu semakin mengental. Dia benar-benar berubah. Dan tanpa sadar, akulah yang berperan besar dalam perubahan itu.

Oh Tuhan, kenapa kau harus menjebakku dalam situasi ini? Berdua dengannya memang sebuah harapanku. Tapi kalau suasana sedingin Antartika yang harus ku rasakan, sungguh jauh dari harapku. Yang ada, hanyalah menyesakkan hatiku. Maka monster yang tadi sejenak terlelap, kembali terjaga. Memukul-mukul dadaku. Menambah pilu yang harus ku rasakan. Ia berteriak. Memerintahkanku untuk mencairkan suasana. Memaksa lidahku untuk mencipta seuntai kalimat. Kalimat ajaib yang akan merubah segalanya. Hei, monster itu salah. Aku bukanlah Gabriel yang selalu mempunyai jutaan kalimat ajaib yang menakjubkan. Aku bukan dia. Ah ya, kemanakah dirinya? Mengapa membeli minuman saja ia lama sekali? Apa ia sengaja membiarkanku berjuang sendirian? Tak tahukah ia, aku lemah tanpa bisikkan tulusnya. Aku rapuh tanpa lengkung senyuman mempesonanya. Aku kehilangan kekuatan tanpa genggaman hangat tangannya. Aku membutuhkan segala yang ada pada dirinya. Tanpa ku sadari, ada bagian yang lain dari hatiku yang mencelos saat kesederhanaannya tak lagi mendampingiku. Aku butuh dia saat ini. Aku butuh Gabriel.

Dan pada akhirnya, suara baritone lembut Riolah yang memecahkan keheningan yang sejak lama mencekamku. Dia mengucapkan sebuah kalimat. Kalimat yang benar-benar ajaib. Karena setelah mendengarnya, aku langsung mendongakkan kepala. Menggigit bibir semakin kuat. Menahan sakit akibat jutaan keping hatiku yang kembali didera pedih. Menyakitkan.

"Aku cinta Keke!" ujarnya. Terdengar seperti sebuah penegasan akan statusnya saat ini. Menekankan agar aku tak perlu dan tak berhak lagi atasnya. Termasuk tak berhak menyimpan rasa cinta yang memenuhi tempat istimewa di hatiku. Menyuruh untuk memusnahkannya sesegera mungkin.

"Dan aku ga mau siapa pun nyakitin dia. Termasuk kamu. Pelangi yang aku sayang."

Aku terkesiap mendengar kalimat terakhir yang menjadi kalimat penghujung ucapannya. Pelangi yang aku sayang. Aku pelangi. Pelangi-nya. Pelangi yang ia sayang. Dia masih ingat itu? Aku fikir, pesona Aurora telah melenyapkan hal itu dari otaknya. Tidak. Bahkan dia masih menyimpan sayang itu di sana. Di bagian kecil hatinya yang takkan bisa terjamah oleh siapa pun. Tak terkecuali Auroranya.

Aku membuka mulutku. Berusaha untuk mengeluarkan sejuta pembelaanku. Aku tak bermaksud melakukannya. Segalanya terjadi tanpa campur tangan logikaku. Semuanya hanya sebatas emosi saja. Ya, mana mungkin aku tega menyakiti Keke, sahabat manisku. Kalau pun ia, aku pasti akan menyesalinya dan mengutuk diriku sendiri seperti saat ini. Tapi semua kata-kataku seakan tercekat di rongga tenggorokkan. Tak mampu terlontar seperti yang ku inginkan. Sang monster tengah menahannya.

Rio mendesah. Menohok mataku yang berair. Lantas berkata, "Kamu bukan pelangi yang aku sayang. Pelangiku baik. Dia sayang sama sahabatnya. Selalu mau membuat sahabatnya tersenyum. Bukan malah membuatnya menangis semalaman."

Keke? Menangis semalaman? Ternyata benar. Kantung mata yang ku lihat tadi pagi adalah dampak dari tangisannya. Mata bulatnya yang indah itu berkantung. Mengharuskannya memakai sebuah kacamata untuk menutupinya. Meski memang, dia masih terlihat cantik dengan kacamata. Ya, apa pun yang ia kenakan, tak mengikis sedikit pun kecantikannya. Karena Keke memiliki hati yang jauh lebih cantik dari parasnya.

"Ma... maaf..." ujarku terbata-bata. Setetes air mata, terjun melewati pipiku. Kemudian bergelayut sejenak di ujung dagu runcingku. Sampai akhirnya mendarat di meja putih panjang di hadapanku. Aku menghela nafas. Mulai berbicara kembali. "Maaf mengecewakanmu! Maaf telah membuatmu menyesal memberikan panggilan Pelangi untukku. Maaf karena... karena aku tak pantas kamu sayangi."

"Aku yakin kamu bisa berubah. Berubah menjadi pelangi yang dulu. Yang aku sayang." Rio meraih jemari tanganku. Menggenggamnya lembut. Ini genggaman yang dulu selalu hadir di setiap ia mendaratkan kepalanya di bahuku hanya untuk menghilangkan kantuknya. Ini genggaman yang ku rindukan. Maka lewat getaran itu aku membuang setumpuk rinduku padanya. Habis tak bersisa. Tak ku sadari, rasa cinta ikut terbuang bersamanya.

"Aku sayang kamu pelangi!" ujarnya. Semakin mempererat genggamannya. Yang entah kenapa, rasanya sedikit berbeda. Tak sehangat dan menenangkan seperti dulu.

Aku menarik ujung-ujung bibirku. Mencipta seulas senyum. Senyum yang menandakan bahwa aku akan berubah menjadi pelangi yang ia sayangi seperti apa yang ia mau. Senyum yang menunjukkan bahwa kini aku kuat dan mampu bertahan. Meski tanpanya dan tanpa cinta yang telah lama tinggal di hatiku yang menghilang seiring dengan tautan jemari kami yang terurai.

"Kamu masih pakai kalung pelangi dariku?" tanyanya dengan ekspresi ingin tahu.

"Tentu."

"Kamu pakai kalung itu terus ya!" Rio memelas.

Aku mengangguk. Meski cinta itu sudah pergi entah kemana, tapi paling tidak sesuatu yang ia berikan masih tetap menggantung di leherku. Penegasan bahwa aku ini pelangi. Tetap menjadi pelangi. Tak tergoyahkan oleh segala macam prahara.

Maka kini segalanya telah usai. Kesakitanku memang belum sepenuhnya enyah. Jutaan luka itu masih menganga dan menampilkan keadaan yang menyedihkan. Tapi aku percaya, secepatnya akan ada cinta yang menyentuh relung hatiku. Lantas dengen ketulusannya akan menyembuhkan luka itu. Menyusun tiap keping hatiku sampai utuh kembali. Lalu menyempurnakannya dengan kesederhanaan sikapnya. Dan entah mengapa, aku berharap bahwa pemuda berhati malaikat itulah yang akan menjadi pemilik cinta itu.

Aku terkesiap saat mendengar suara yang sangat familiar di telingaku. Maka aku mendongak. Tersenyum mendapatinya baru saja tiba bersama seorang wanita yang kira-kira berusia 20 tahunan. Wanita itu membawa sebuah nampan dengan empat gelas berisi teh manis dingin di atasnya. "Taruh di situ aja Mbak Lilis." ujarnya dengan ramah.

Mbak Lilis mengangguk. Memindahkan keempat gelas teh manis itu ke atas meja. Sejurus kemudian membungkukkan badan seraya mengucapkan "Permisi". Kemudian segera bergegas.

Gabriel mengucapkan terimakasih. Menatapku seraya tersenyum. Aku mendesah. Lega dia telah kembali.

"Keke kemana?" tanya Gabriel.

"Ke toilet. Tapi kok lama ya? Aku susul dia dulu ya!" kata Rio lantas bergegas meninggalkan aku dan Gabriel berdua.

Keheningan kembali tercipta. Aku merasakan sesuatu yang berbeda. Perasaan canggung mulai merayapi hatiku. Kecanggungan yang tak pernah terjadi sebelumnya. Tentulah. Karena Gabriel memang selalu pandai menghangatkan suasana. Namun kali ini, dia hanya terdiam. Mengunci rapat mulutnya untuk tak berbicara. Namun kedua bola matanya tak henti menohok manik mataku. Mengajakku untuk masuk ke dalam dunianya. Lantas bersama-sama menjelajahi sebuah rasa. Rasa cinta yang kini telah kembali Tuhan titipkan pada hatiku. Dan kali ini cinta itu berisikan jutaan mimpi yang dalam tiap jengkalnya berisikan pemuda berhati malaikat itu.

"Gimana?" tanya Gabriel.

Aku mengerjap. Apa tadi katanya? Oh Tuhan, ada apa dengan diriku? Mengapa tiba-tiba aku merasa gugup? Padahal aku sudah sering mendapat tatapan teduhnya. Lalu sekarang, mengapa semuanya nampak sangat berbeda? Lebih menawan. Mempesona.

Gabriel mengulang pertanyaanya. "Gimana?" lantas menambahkan kata yang memperjelas pertanyaan tersebut. "Gimana sama kamu dan hati kamu?"

Aku tersenyum. "Aku baik-baik aja. Aku kan kuat. Dan akan selalu kuat." ujarku.

Gabriel pun ikut tersenyum. Senyuman lebar khas miliknya. Lantas ia menggerakkan tangannya untuk mengacak rambutku. Lalu menepuknya perlahan.

Dan saat itu pula, sang monster tengah tertawa. Seraya menggodaku jahil. Maka aku merasakan pipiku memanas. Sepertinya semburat merah tengah mewarnai pipiku. Ah, aku tersipu. Aku malu.

"Kamu aneh." ujarnya sambil memicingkan matanya. Tangannya masih menyentuh puncak kepalaku. Sementara tangan yang lainnya ia gunakan untuk menyentuh ujung daguku. Mengangkatnya perlahan. Lalu mengamati setiap lekuk wajahku.

Tercekat. Aku menahan nafasku. Saat wajah Gabriel semakin saja mendekat dengan wajahku. Ya Tuhan, nafas hangatnya menyapu lembut wajahku. Melihat wajah pahatan sempurna miliknya, ternyata mampu membuat tubuhku kaku. Sang getaran misterius kembali hadir. Mengacaukan kerja otakku. Semakin menambah semburat merah pada pipiku.

Dan saat jarak antara wajah kami hanya tinggal beberapa centi, Gabriel terkekeh lantas menjawil hidungku. "Kamu lucu ya!" katanya seraya mengedipkan matanya nakal lantas kembali ke posisinya yang semula. Sejurus kemudian meraih segelas teh manis yang ada di meja lalu meminumnya.

Maka aku mendesah lega. Memegangi hidungku yang baru saja terkena jawilannya. Tersenyum saat kembali mendapati siluetnya yang selalu nampak sederhana. Lantas menunduk untuk mencoba menetralisir laju darahku yang tadi mengalir tak normal. Seraya terus menyusun kepingan hatiku untuk menyediakan tempat yang lebih lapang untuk menyimpan cinta yang baru diciptakan Tuhan. Cinta yang jauh lebih sederhana untuk pemuda berhati malaikat yang sederhana pula.

Dan, pada akhirnya, aku kembali mencipta jutaan harap. Harap agar cintaku tak kan bernasib semengenaskan cintaku yang pertama. Harap agar sang prahara tak kan hadir kembali untuk merusak kebahagiaan yang kelak nanti akan ku dapatkan darinya. Dan kini, aku kembali berani untuk bermimpi. Tentu saja. Karena kisah ini tercipta dari mimpi. Maka sudah sepatutnya pulalah mimpi-mimpi itu selalu mengiringi tiap inci kisah klasik ini. Tentang Hujan, Kita dan Mimpi.

*

Hujan, kini seluruh mimpiku, setiap harapku,
ada dan tercipta untuknya, Pangeran Hujanku.

*

bersambung

*

HUJAN, Kita Dan Mimpi part 18A


Sesungguhnya ku berpura-pura relakan kau pilih cinta yang kau mau.

~Tangga~

*

Hidup itu pilihan. Kita dibebaskan untuk memilih apa yang menurut kita baik. Tapi Tuhan jauh lebih tahu apa yang terbaik. Maka jangan salahkan takdir Tuhan. Karena, pada saat kita mencapai titik dimana kita ikhlas akan takdir yang digariskan Tuhan. Maka takdir itu pun adalah pembuktian cinta kasih Tuhan kepada mahluk-Nya.

*

Apa yang salah dari ini semua? Dari kisah sederhana yang menjelma menjadi kisah sepelik ini. Kisah yang akan tetap baik-baik saja jikalau prahara tak pernah datang dan mengacaukan segalanya. Dan seharusnya, aku tak perlu mencari apa dan siapa yang salah. Sungguh, tak ada yang salah dari ini semua. Semua peristiwa yang terjadi adalah salah satu dari bagian-bagian krusial yang menyusun tiap jejak langkah kisahku ini. Maka sekarang, aku dituntut menjadi dewasa. Ya, tiap detik yang terlewat memang adalah jalan pendewasaan.

Aku merenung. Menyelami lebih dalam makna dari kalimat ajaib yang diucapkan Gabriel tadi sore mengenai takdir. Ya, takdir yang mempertemukanku dengan Rio. Menumbuhkan cinta seiring gelak tawa yang tercipta kala bersamanya. Membuat cinta semakin membuncah tak dapat terbantah. Takdir yang juga mempertemukan Rio dengan gadis penerbit cintanya. Membuatnya merasa bahwa tak ada yang lebih penting di dunia ini selain gadisnya. Tak peduli bahwa akan ada hati lain yang terluka. Dan segalanya memang karena takdir. Lalu aku ditakdirkan untuk menjadi yang paling tersiksa. Karena gadis penerbit cinta di hati Rio adalah Keke, sahabat manisku yang paling tulus. Sedangkan mereka berdua tak pernah tahu itu. Mereka tak tahu kalau dalam hatiku ada sebuah perasaan asing bernama cinta yang sangat luar biasa. Mereka tak tahu bahwa cinta yang ku punya tercipta untuk dan karenanya. Karena pemuda tampan yang ku temui di sore berhujan silam. Pemuda yang selalu mendaratkan kepalanya di bahuku saat tiap rinai hujan menari di balik kaca jendela bis yang kami naiki. Pemuda yang selalu terlihat keren saat rahangnya bergerak untuk mengunyah tiap potong pisang goreng. Pemuda yang justru memilih cinta yang lain daripada seonggok cinta sederhana yang ku tawarkan. Pemuda yang kini telah berbahagia dengan dunia Auroranya.

Maka tak ada yang salah. Ini takdir. Takdir yang telah diputuskan Tuhan jauh sebelum kisah ini tercipta. Maka apakah aku akan menyalahkan takdir? Tidak. Hanya orang picik saja yang melakukannya. Dan aku sama sekali tak sudi termasuk ke dalamnya. Lalu sekarang aku merasa menjadi penjahat terkejam. Teringat akan sikapku pada Keke tadi dan beberapa hari sebelumnya. Membentaknya. Menolak pisang goreng buatannya. Mendakwa bahwa tersangka dari jutaan luka menganga di hati ini adalah perbuatannya. Menghukum atas dosa yang sama sekali tak dilakukannya, dengan menjauhinya. Mengabaikan permintaan tulusnya yang berisikan kalau dia hanya ingin menjadi sahabat kecilku. Menyalahi nada bicaranya yang manja dan tawanya yang renyah. Merutuki pipi kembang kempisnya yang telah membuat Rio terpesona. Dan kini, aku bahkan lebih jahat dari para koruptor.

Maka kini, yang ku lakukan hanyalah menangis di balkon kamar. Menyesali segalanya. Segala yang ku lakukan yang telah membuat hati Keke tertohok. Sebenarnya, setan apa yang membisikku niat busuk itu? Sungguh, ini bukan mauku. Tentu saja. Perbuatanku telah menodai janji suciku. Janji untuk tidak pernah membuat air mata Keke jatuh berlinang lagi, walau barang setetes. Janji untuk terus mengabadikan lengkung senyum manis yang tergambar pada bingkai wajahnya. Dan tadi sore, aku mengingkarinya. Sungguh. Aku menyesal. Teramat menyesal.

Dan kalian boleh membenciku atas semua yang telah ku lakukan. Kalian berhak. Tuhan pun juga sepertinya harus memberikan hukuman yang berat atas pengingkaran janjiku. Aku berhak menerimanya. Seluruh penghuni bumi boleh mengutukku. Tapi satu. Jangan melarangku untuk memperbaiki hubunganku dengan Keke. Jangan memintaku untuk pergi dari kehidupan Keke, karena kalian fikir aku akan melukainya lagi. Biarkan aku menebus segalanya. Menggantikan tangisannya dengan tawa renyah seperti dulu. Meski resikonya hatikulah yang akan jadi korban. Tapi paling tidak, bukan hati Keke yang terluka. Karena hatiku pun akan merasakan luka yang sama seperti luka yang dirasakan Keke. Maka inilah yang terbaik. Membiarkan Keke bahagia bersama Rio. Tanpa yakin, apakah aku juga akan ikut bahagia. Atau bahkan sebaliknya. Semakin terluka. Akhirnya mati saja.

*

Gadis itu tengah duduk sendirian sambil menekuri buku catatannya. Sesekali ia menjumputkan rambutnya yang terurai ke belakang telinga. Ia duduk sendirian. Rasanya aneh. Bukankah biasanya, setiap pagi dia selalu ditemani pemudanya yang gemar menjawil pipinya. Tapi pagi ini, pemuda itu sama sekali tak nampak. Dan aku mendesah lega. Karena hatiku tak akan mendapatkan hadiah luka sepagi ini. Aku melangkah menghampirinya.

"K-Keke." ucapku pelan, tak lebih nyaring dari desauan angin. Sehingga Keke tak bisa mendengarnya, lantas terus menekuri bukunya. Ini karena aku agak ragu mengucap namanya. Aku takut dia akan langsung menolakku. Aku takut dia tak mau berteman dengan gadis jahat sepertiku lagi. Tuhan, hilangkan ketakutanku. Pintaku dalam hati.

Maka pintaku pun terkabul saat kalimat ajaib pemuda berhati malaikat yang berada di antah berantah itu terngiang di benakku. "Dia tetap sahabatmu. Tak ada yang berubah." Ah ya, dia benar. Apa pun yang ku perbuat, seburuk apa pun itu, Keke akan tetap menjadi sahabatku. Bukankah itu yang Keke mau? Menjadi sahabatku. Harapan yang sederhana nan mulia, bukan? Dan aku yakin, hati Keke seluas samudera. Dia akan tetap menerima permintaan maaf yang akan ku lontarkan. Dia akan menerimaku lagi untuk menjadi sahabatnya. Aku sangat yakin itu. Maka aku menghela nafas lalu mulai membuka mulut untuk mengucapkan sesuatu.

Dan sebelum satu kata pun berhasil ku ucapkan, tiba-tiba Keke mendongak. Dan hatiku seketika mencelos saat mendapati kantung mata yang cukup besar di bawah kelopak mata indah Keke. Tuhan, Keke pasti menangis. Maka dari itu, matanya berkantung. Aku meneguk ludah. Menatapnya nanar. Yang ditatap malah tersenyum. Balas menatapku dengan ekspresi tak terduga. Dan akhirnya menyambutku dengan sangat ramah. Ketakutanku musnah semua.

"Ifyyyy!" pekiknya. Aku menarik ujung-ujung bibirku. Membuat seulas senyum untuk sahabatku.

"Aku mau..."

Belum selesai ucapanku, Keke tiba-tiba memotongnya. "Kamu duduk sama aku lagi ya! Duduk sama Debo ga seru tauuuu!" Keke berkata dengan nada khasnya yang manja. Matanya mengerjap-ngerjap seraya menganggukan kepala cepat. Wajahnya nampak polos dan menggemaskan.

Lihat. Keke masih bersikap ramah dan menyenangkan padaku. Seakan aku tak pernah melakukan kesalahan. Seakan antara kami tak pernah ada apa-apa. Sungguh, penyesalanku semakin membesar.

Maka aku langsung mengangguk yakin. Tak sedikit pun ragu dan berniat menolak permintaannya yang sangat sederhana itu. Lantas aku pun duduk di tempatku dulu. Tempat yang sempat ku tinggalkan lebih dari sepekan. Sejurus kemudian meletakan tas di atas meja.

"Makasih ya Ifyku sayaaang!" ujar Keke seraya tertawa menyeringai.

Ah. Ternyata melihat Keke tertawa lebih menyenangkan dari apa pun. Ya, tawa Keke memang renyah dan lucu. Aku suka itu. Dan wajar saja kalau Rio menyukai tawa Keke yang seperti itu. Sudahlah, aku belum mau membahas mengenai pemuda itu. Yang harus aku lakukan kini, meluruskan segalanya. Membenahi rajutan persahabatan yang sebelumnya kusut dan terbengkalai.

"Maafin aku ya Ke!" kataku seraya menundukkan kepala. Tak berani menatap wajah Keke. Apalagi dengan kantung matanya yang selalu saja membuat hatiku mencelos.

Keke menempelkan telunjuknya pada ujung daguku. Mengangkatnya lalu menatapku tajam. "Maaf untuk apa?" tanya Keke.

Apa? Dia masih bertanya? Apa Keke lupa apa yang telah aku lakukan kemarin? Aku membuatnya menangis. Dia masih bertanya? Aku sungguh tak habis fikir. Lantas aku mendesah.

"Keke yang salah. Ify ngelakuin itu karena Keke yang salah. Ify ga suka ya Keke pacaran sama Rio?"

Sekarang, apa yang harus aku lakukan? Mengangguk dan menceritakan bahwa aku sama sekali tidak menyukai hubungan Keke dengan Rio? Tapi apakah aku akan tega? Tentu saja tidak. Melihat sikapnya yang tak pernah berubah sedikit pun padaku, apalagi dia malah menyalahkan dirinya sendiri atas sikapku, aku takkan sanggup melakukannya. Maka kini, aku menggeleng. Memutuskan untuk berpura-pura bahagia dengan hubungan mereka. Tak peduli rasa sakit yang pasti akan ku dapat nanti.

Keke tersenyum dan mendesah lega. Kemudian kembali berujar. "Syukurlah kalau kamu suka. Abisan, Rio kan cinta pertama aku. Eh tapi, kalau kamu beneran ga suka, aku ga apa kok putus sama Rio. Asal kamunya seneng dan tetap jadi sahabat aku."

Maka sungguh, cakrawala keegoisanku luluh lantak seketika mendengar ucapan penuh ketulusan yang terlontar dari bibir manisnya. Ah mulia sekali hatinya. Hanya ingin aku merasa senang dan tetap jadi sahabatnya. Oh Tuhan, terbuat dari apa hatinya? Putih. Tak ada prasangka buruk di dalamnya. Lalu aku semakin saja merasa bersalah. Bagaimana bisa aku menorehkan luka di hati mulianya itu? Sedangkan di dalamnya hanya ada kebaikan dan ketulusan. Maka aku meloncat menghambur ke pelukannya. Merengkuh tubuh Keke. Menghadiahinya setumpuk maaf atas kesalahanku. Membersihkan hatiku dari niat untuk membiarkannya merasakan sakit yang pernah menguasai hatiku lantas membuangnya jauh. Memejamkan mata seraya berharap takkan ada lagi yang mengganggu jalinan persahabatanku ini. Apa pun itu. Sekalipun hatiku yang tersakiti lalu akhirnya teronggok mati.

Dan sepertinya, ini memang yang terbaik dari segalanya. Aku yakin aku kuat menjalaninya. Ya, kekuatan ajaib selalu disediakan Tuhan melalui senyum lebar dari pemuda berhati malaikat yang baru saja lewat. Gabriel. Dia tersenyum dan mengangguk. Meyakinkan bahwa apa yang ku lakukan adalah benar. Maka kini aku percaya dengan kalimat ajaibnya. Aku kuat dan akan selalu kuat.

*

Aku mengaku bisa. Walau hati tak bisa. Tapi Tuhan tahu aku bisa. Maka aku pun bisa.

*

Aku menceritakan segalanya pada Gabriel. Tentang penyesalanku. Sikap ramah Keke yang memukul hatiku telak. Keputusan terbaik yang ku ambil. Dan cinta yang diam-diam masih terus ku pertahankan. Cinta yang mungkin tak akan terbalaskan. Gabriel mengacungi jempol atas segalanya. Tak terkecuali kepingan cinta yang masih tersisa. Ia betul-betul memahami hatiku. Memahami bahwa cinta yang ku punya bukan cinta biasa dan terlalu tangguh untuk digoyahkan oleh apa pun. Termasuk prahara yang kejam mendera. Maka ia terus mendukungku. Senyum lebarnya menciptakan kekuatan untukku. Kalimat-kalimat ajaibnya menuntun langkahku. Dan tanpa sadar, ketulusan hatinya membuka celah istimewa di hatiku.

"Kamu hebat Ify!" ujar Gabriel seraya menepuk puncak kepalaku.

Aku tersenyum. Tersanjung atas pujiannya. Lalu menimpalnya dengan pujian juga. "Kamu ajaib Gabriel!"

"Ahahaha!" kami pun akhirnya tertawa. Tak peduli orang-orang yang ada disekitar kami. Inilah salah satu keajaiban Gabriel. Dia selalu mampu membuatku melupakan sejenak kesakitanku. Lalu yang keluar adalah gelak tawa, senyum menyeringai, candaan yang hangat, dan tentunya keyakinan yang menguatkan.

Kemudian tawaku seketika lenyap. Tersapu oleh angin yang menuntun tatapanku menuju siluet tampan di ujung kantin sana. Dia tak sendiri. Di sampingnya berdiri seorang gadis yang nampak berbeda dengan kacamatanya. Mataku pun akhirnya tertuju pada tangan mereka yang saling bertautan. Maka aku hanya bisa terdiam. Merasakan getaran hebat yang telah lama terlelap kembali hadir. Lantas getaran tersebut seakan mengaum. Mengamuk dan memaksa untuk keluar dari ragaku saat sepasang kekasih itu berjalan menghampiri tempat aku dan Gabriel berada.

Getaran itu pun seakan berubah menjadi monster menyeramkan dengan tubuh besar dan kuku panjang nan tajam saat kini mereka berdua telah berdiri di hadapanku. Lantas sang monster tajam mencakar hatiku saat aku menatap sang pemuda, dan yang ditatap enggan membalasanya, malah tega memalingkan muka. Hatiku mencelos kembali. Ditambah perih bekas cakaran sang monster.

"Kita boleh duduk di sini ga?" tanya Keke.

Sang pemuda yang kini terlihat angkuh itu pun menoleh pada Keke. Mengerenyit dan mengisyaratkan bahwa dia enggan berada di sini. Secara langsung dia menolak kehadiranku. Pemuda yang dulu begitu membuat hatiku buncah oleh perasaan bahagia kini telah berubah secepat kilat.

Keke tersenyum. Mengedikan kepala. Meminta pemudanya untuk duduk dan bergabung bersama kami. Kemudian sang pemuda menuruti permintaan Keke -walau dengan raut wajah keterpaksaan-. Dan ternyata, Keke memang memiliki kekuatan magis. Dan dengan magisnya, ia mengikat sang pemuda untuk terus menerus terpesona padanya. Bahkan bersedia melakukan sesuatu yang tidak dikehendakinya.

Aku menoleh ke arah Gabriel. Untung saja pemuda berhati malaikat ini ada di sampingku. Kalau tidak, aku yakin monster di tubuhku akan keluar dan memakan hidup-hidup dua mahluk di depanku. Tapi senyum lebarnya, anggukan kepalanya, kedipan matanya, menahan monster itu. Membelainya lantas sang monster pun terlelap. Aku mendesah lega. Kembali menghadapkan kepala pada dua siluet yang kini telah duduk manis di depanku. Terhalang meja putih panjang yang berada di antara kami.

"Keke bawa pisang goreng lho! Bukan buatan Keke sih, tapi ga pa-pa kan? Makan yuk!" ujar Keke seraya meletakan kotak berwarna biru di atas meja. Kemudian membuka tutupnya.

"Ga pa-pa deh! Meski bukan buatan kamu, aku yakin pasti enak. Kan Auroraku yang bawa!" ujar Rio. Dia meraih pipi Keke, lantas mencubitnya gemas.

"Rio centiiil! Kan malu tauuu!" Keke memegangi pipinya. Menoleh ke arah Rio. Lantas mengulum bibir.

Maka Rio terkekeh lucu. Sejurus kemudian mengambil sepotong pisang goreng dari kotak yang ada di atas meja. Mendekatkannya pada bibir Keke yang tengah mengerucut. Hendak menyuapi Keke.

Keke mendelik ke arah Rio. Tersenyum lantas menerka pisang goreng yang tepat berada di depan mulutnya. Seketika Rio terkekeh. Lalu memasukkan sisa potongan pisang ke dalam mulutnya. Mereka tertawa menyeringai bersama. Adegan yang sangat amat sempurna. Sempurna keromantisannya. Sempurna membuat hatiku mencelos, nafasku tercekat di rongga tenggorokkan.

Dan menjalani ini semua ternyata sangat sulit dan menyakitkan untukku. Melihat mereka menikmati pisang goreng saja, jutaan luka di hatiku semakin menganga. Apalagi harus membiarkan mereka bahagia. Apa jadinya nanti? Maka aku meraih tangan Gabriel. Menggemgamnya erat. Mencoba meminta pertolongan. Dan Gabriel adalah pemuda yang sangat peka terhadap apa yang ku rasakan. Dia menggenggam balik tanganku. Lebih erat dari apa yang ku berikan. Menyalurkan tiap inci kekuatan lewat kehangatan jemarinya. Menyusupkan keyakinan bahwa aku bisa melewati masa-masa tersulitku ini.

"Makan dong pisang gorengnya!" pinta Keke dengan sisipan nada memelas.

Gabriel menggerakan genggamannya. Seakan mendukungku untuk memenuhi pinta Keke. Dan aku bagai seorang zombi. Aku mengangguk kaku. Lalu meraih satu potong pisang goreng. Lantas melahapnya.

Dan ternyata, pisang goreng memang benar-benar berguna saat ini untukku. Karena tiap kunyahannya menciptakan secercah ketenangan yang perlahan membasuh lembut lukaku. Ah, pisang goreng selalu menjadi sesuatu yang sederhana dengan kelebihan yang berbeda. Maka aku menikmati pisang goreng dengan tangan yang masih merasakan kelembutan genggaman Gabriel. Sementara tanpa sadar, fokusku tetap tertuju pada salah satu dari siluet yang masih asyik bercengkrama. Pemuda yang masih mempesona dengan rahang yang bergerak ke atas ke bawah. Pemuda yang aromanya menjadi zat adiksi bagi udara yang ada di sekitarku. Pemuda yang tatapan teduhnya menjadi alasan untuk hatiku tetap menyimpan segores harapan. Harapan yang selalu luput dari perhatian.

Lalu aku terkesiap saat tiba-tiba Gabriel melepaskan tautan tangannya. Ia bangkit dari duduknya lalu berkata, "Kayaknya kita butuh minum deh! Aku beli minum dulu ya!"

Aku menoleh ke arah Gabriel. Mengerenyit dan menatapnya dengan tatapan kamu-mau-biarin-aku-pingsan. Yang ditatap malah terseyum dan menepuk pundakku. Sejurus kemudian pergi meninggalkanku. Memaksaku untuk bertahan tanpa kehangatan jemarinya. Tanpa senyuman lebarnya. Tanpa keajaibannya. Walau hanya beberapa waktu saja, tapi aku tak yakin bisa.

Dan ini semua memang terjadi karena takdir. Lalu takdir pulalah yang mengatur ini semua. Keke bangkit dari duduknya. Meminta izin pada Rio untuk bergegas ke toilet. Lantas setelah Rio mengangguk, ia pergi ke tempat tujuannya. Dan kini aku terjebak bersama Rio. Pencipta monster besar dalam hatiku.

Maka kini aku hanya bisa mendesah pasrah. Menanti jalannya takdir yang cepat akan bergulir. Membuktikan pada semua, apakah aku benar-benar bisa melewati ini semua. Atau lagi-lagi aku harus jatuh dan menyadari bahwa aku memang gadis bodoh lemah yang selalu kala dalam berbagai kancah.

*
bersambung.
*

HUJAN, Kita Dan Mimpi part 17


Dan ternyata cinta yang menguatkan aku.

~Padi~

*

Sesungguhnya, pada saat kita menganggap bahwa prahara adalah jalan yang ditunjukkan Tuhan menuju kebahagiaan. Saat kita merasa yakin bahwa kita memiliki kekuatan untuk melalui prahara yang kejam menerjang. Pada saat itulah kita tahu, Tuhan sangat amat menyayangi hamba-Nya.

*

Tak pernah sedikit pun terbersit dalam benak, bahwa segalanya menjadi serumit ini. Lebih rumit dari rentetan rumus trigonometri. Karena ternyata, masalah yang ku hadapi bukan hanya sekedar masalah cinta yang ku punya untuk pemuda tampan beraroma bedak bayi itu yang terabaikan. Karena pemuda impianku telah menemukan Gadis penerbit cintanya sendiri. Tapi lebih peliknya lagi, aku harus mendapatkan fakta menyakitkan bahwa Gadis tersebut adalah Keke, sahabat kentalku. Maka kini aku terpaksa harus merasakan betapa memusingkannya dilema.

Dilema. Dihadapkan pada situasi dimana kita harus memilih. Lantas apa yang harus aku pilih? Mengikhlaskan pemuda impianku untuk kebahagiaan mereka berdua dan resikonya, aku harus mengubur dalam-dalam cintaku. Bahkan mungkin, mengenyahkannya dari hatiku. Atau tetap mempertahankan cinta dalam hati yang telah berbentuk abstrak ini. Lalu terus berjuang untuk merebut kembali hati Sang Pemuda. Pada akhirnya, Kekelah yang akan terluka. Pilihan yang sangat sulit. Aku tak bisa memilih salah satunya.

Keke, gadis yang -mendekati- sempurna itu sangatlah hebat. Tanpa terduga, dia menyelinap masuk melalui celah terselubung ke dalam kisah ini. Kisah sederhana yang disusun oleh tiap rinai hujan yang selalu hadir dalam tiap detik peristiwa yang terjadi. Kisah klasik yang dibangun oleh angan-angan mengenai mimpi di masa depan. Kisah yang pada awalnya hanya berlakon tentang Hujan, Pelangi, Matahari dan mimpi-mimpi. Namun kini, Keke juga ikut ambil bagian di dalamnya. Dia menjelma menjadi Aurora. Sang penerbit cinta bagi hati Pangeran Matahari.

Dia tak butuh waktu yang lama untuk merubah segalanya. Hanya dalam sekejap, dia mampu menghapus kebahagiaan yang tercipta lantas memindahkan kebahagiaan itu untuk dirinya sendiri. Hanya dengan pipi kembang kempisnya, dia mampu menciptakan medan magnet yang tarikannya jauh lebih kuat. Dengan segala yang ia punya, ia menawarkan betapa cinta yang ia punya lebih menyenangkan dari cinta lainnya.

Apakah Keke yang harus disalahkan atas semua ini? Tapi Keke juga tak tahu menahu soal perasaanku. Yang Keke tahu, dia juga mencintai pemuda yang sama seperti yang ku cintai. Dia tak pernah melihat Pelangi memberikan salah satu dari warnanya pada Matahari. Maka ia pun mengambil kesempatan untuk menerbitkan cinta pada hati Matahari. Lantas ia satukan dengan cintanya.

Atau, Matahari yang salah? Matahari yang tak pernah peka terhadap Sang Pelangi. Dia tak pernah menyadari, bahwa ketujuh warna Pelangi tercipta untuk dan karenanya. Pelangi takkan pernah ada kalau matahari tak ada. Tapi dia punya dunia sendiri. Dunia yang jauh lebih indah dari dunia lengkung warna-warni Pelangi. Dunia penerbit cinta Sang Aurora.

Atau bahkan akulah yang salah? Aku yang terlalu berharap agar dia membalas cintaku. Aku yang tak pernah bisa mengendalikan perasaanku padanya. Aku yang mengundang Aurora untuk ikut masuk dalam kisah ini. Tapi memangnya, apa aku bisa untuk berhenti berharap? Bukankah berharap adalah sebuah keharusan. Walau hanya sekedar berharap dalam lelap. Lalu aku bisa menyangkal perasaan cinta yang Tuhan selipkan di hatiku? Aku tak bisa. Jangan salahkan aku!

Maka ini bukanlah soal siapa yang salah. Ini soal tiga hati. Dan hatikulah yang paling tersakiti.

Dan akhirnya kesakitan hatiku inilah yang meyakinkanku bahwa aku akan mengambil sebuah pilihan. Aku akan mempertahankan cintaku. Menata ulang kepingan-kepingan hatiku. Merebut cinta Rio. Dan membiarkan Keke merasakan apa yang ku rasakan kini.

Mungkin, keputusan yang ku ambil terkesan jahat. Tapi, bukankah Keke jauh lebih jahat? Sang sutradara juga. Si pembuat jalan cerita apalagi. Kalau mereka semua diperbolehkan untuk berbuat jahat, kenapa aku tidak?

Aku tak pernah bermain-main dengan apa yang telah ku pilih. Aku membuktikan semuanya, saat selepas bel istirahat berbunyi Keke menghampiri meja baruku.

"Ifyyy!" Keke memekik. Pekikan yang sama seperti dulu. Pekikan bersahabat. Pekikan yang setiap harinya selalu setia menyapa telingaku.

Keke meraih tanganku. Lantas dengan antusias berucap, "Ikut aku yuk! Aku mau ngenalin seseorang sama kamu. Tapi, kayanya kamu udah kenal deh! Eh tapi, kamu belum tahu kan hubungan dia sama aku? Yuk yuk!" dia mengangguk-anggukan kepalanya. Rambutnya yang dikuncir dua ikut bergoyang. Dia mengerjapkan mata. Berharap aku akan menerima ajakkannya.

Aku masih diam tak bergeming. Menatapi bulatan matanya yang cukup besar. Tatapannya sangat tulus. Dia kemudian tersenyum. Dan senyuman itu selalu menyenangkan hatiku. Lantas sekarang, masihkah senyuman itu berkhasiat yang sama? Tidak. Nyatanya, aku muak dengan senyuman itu. Aku benci sikap Keke yang ramah. Aku mengepalkan tanganku yang tak dipegang Keke.

"Ayo Fy! Dia pasti udah nungguin!" ujar Keke seraya menggoyang-goyangkan tanganku. Alisnya saling bertaut. Menatapku dengan tatapan memohon. Dia memelas. Sial. Aku tak pernah bisa melihat siapa pun memelas, apalagi Keke.

Hatiku terus berkecamuk. Sungguh, aku tak tega melihat Keke memelas, menungguku untuk mengiyakan permintaannya. Tapi, Keke memintaku untuk ikut bersamanya dan menemui Rio. Lantas memproklamirkan bahwa Rio adalah pemudanya. Aku takkan sanggup melihat itu. Tapi kalau aku menolaknya, dia pasti akan sangat kecewa. Bukankah aku telah berjanji tak akan pernah membuatnya kecewa? Tapi, setelah dia menghancurkan seluruh mimpiku, apakah aku masih tetap memegang janjiku?

Tidak. Sudah terlalu lama aku pasrah dari segala apa pun yang menyakiti hatiku. Maka sekarang, aku harus mengumpulkan kekuatan dan keberanian untuk menolak mentah-mentah permintaan Keke.

Aku melepaskan tanganku dari genggamannya dengan kasar. Menatapnya tajam tanpa belas kasihan. Menghela nafas lalu berkata "Ga mau!" dengan ketus. Aku memalingkan muka.

Keke terkesiap mendapatkan perlakuan yang tidak bersahabat dariku. Lalu senyumnya seketika hilang. Matanya menatap nanar. "Kenapa? Kamu marah ya?" Keke bertanya dengan suara bergetar.

Aku menggigit bibir. Kepalanku semakin menguat. Menggeleng perlahan. Sikap terjahat yang ku berikan untuk sahabatku yang manis. Aku merasa bersalah. Tapi, ini pilihanku. Membuat Keke juga merasakan sakit seperti apa yang ku rasakan. Walau aku tersiksa melakukan semuanya.

"Aku..." ucapanku tertahan saat melihat betapa berkaca-kaca kedua mata bulat Keke. Dia mau menangis. Aku tak rela ini terjadi. Keke harus tetap tersenyum. Tapi... lagi-lagi aku terjebak dalam pilihanku. Maka aku mengerjap, lalu melanjutkan ucapanku. "Aku ga mau, karena aku ga mau liat kamu. Aku ga suka sama kamu!"

Sungguh, kebohongan besar baru saja terlontar. Ah ya, mana mungkin aku tak menyukai Keke? Dia sahabatku, meski kini dia berubah menjadi penjahat. Dan aku harus mempertebal tembok egoku hanya untuk melanjutkan misi pengejaran mimpi.

Maka Keke hanya bisa melongo. Lalu sejurus kemudian, sebuah kristal bening mengalir melalui pipi tembemnya, diikuti kristal lain yang jumlahnya sudah tak terhitung. Keke menangis untuk yang kedua kalinya. Dan semuanya disebabkan olehku. Aku berusaha menutupi perasaan memilukan di hatiku saat tiap buliran air matanya seakan menusuk-nusuk ulu hatiku. Aku penjahat terkejam.

"Aku... aku..." Keke terbata-bata bicara. "Aku gagal jadi sahabat buat kamu!" Dan setelah pengakuan termenyedihkan dari Keke, ia melengos pergi. Meninggalkan aku yang masih terpaku. Merutuk dalam hati mengenai kejahatan yang ku lakukan.

Maka akhirnya, aku menghempaskan tubuhku ke atas kursi. Memukul meja sekeras mungkin. Lalu menangis. Menangis untuk membalas perbuatan kejamku pada Keke. Menangis dan berharap tangisanku akan menghapus luka yang baru saja ku toreh tepat di hati sahabat terbaikku. Keke tak boleh menangis lagi.

"Dia tak akan berubah. Dia tetap sahabatmu! Sahabat terbaikmu!" ujar Gabriel sambil menyusupkan jumputan rambutku ke belakang telinga.

Aku menoleh ke arahnya. Dengan mata yang basah, aku menatapnya heran. Sahabat terbaikku? Apa orang yang telah menciptakan jutaan luka menganga di hatiku pantas dikatakan sahabat sejati? Dan yang ditatap hanya tersenyum. Mengangguk pelan. Lalu mengusap sisa-sisa air mata yang masih menggenangi pipiku.

*

Cintamu menguatkan cintaku padanya.

*

Gabriel membuktikan ucapannya. Ucapan bahwa Keke akan tetap jadi sahabat terbaikku.

Sore setelah seminggu insiden kejahatan yang ku lakukan pada Keke, sepulang sekolah, aku bersama Gabriel pergi ke taman. Meski sebelumnya aku enggan untuk pergi -mengingat taman adalah tempat Rio bertemu Keke-, namun Gabriel memastikan bahwa aku akan baik-baik saja. Maka aku bersedia.

Dan aku dikejutkan oleh sebuah teriakan seseorang yang menghentikan langkah kami berdua.

"Ifyyy! Gabriel!"

Suara manja itu mengucap nama kami berdua. Lantas kami pun menoleh ke arah sumber suara. Aku terperanjat mendapati seorang gadis manis tengah duduk beralaskan rumput taman bersama pemuda yang sedang asyik menggigiti sepotong pisang goreng. Gadis itu tersenyum dan melambaikan tangannya. Meminta kami bergabung bersamanya.

Aku hendak melarikan diri, tapi tangan kokoh Gabriel sigap menahannya. Maka aku pun tertahan.

"Kamu kuat dan akan selalu kuat!" ujar Gabriel lantas menarik tanganku.

Nyatanya, kalimat itu memang memiliki kekuatan magis. Karena setelah mendengarnya, aku memang tak bisa menolak tarikan tangan Gabriel yang membawaku menghampiri mereka.

"Hai Ke! Hai Yo!" sapa Gabriel lalu duduk di samping Rio.

Sementara aku, tanpa sadar juga ikut duduk bersama mereka. Mataku terfokus pada pemuda yang masih sibuk mencomoti pisang gorengnya. Dia tak menyadari keberadaanku. Bahkan mungkin, kini ia tak peduli padaku. Dan sungguh, se-menyakitkannya sikapnya padaku, aku masih tetap menyukai bibir mungilnya yang berlumuran minyak. Aku masih terbuai untuk tetap memperhatikan rahangnya yang bergerak saat mengunyah pisang goreng. Dan pada saat aku menghirup udara, aroma bedak bayinya masih tetap berkhasiat untuk mengundang getaran misterius yang telah terlelap kembali terbangun. Tentu saja, cinta untuknya, masih ku jaga.

"Ini!" Keke menyimpan sekotak pisang goreng pada kedua telapak tanganku.

Aku terkesiap. Berhenti menatapi Rio yang nyatanya tak menggubris sedikit pun kehadiranku. Lalu mendelik tajam pada Keke.

"Aku tahu kamu suka banget sama pisang goreng, makanya aku belajar buat pisang goreng sama mama. Khusus buat kamu, sahabat ter-istimewa yang aku punya." Keke mendesah. Mengambil tanganku untuk ia genggam. "Fy..." Keke menatapku tajam. "Aku ga tahu apa yang buat kamu marah sama aku. Tapi, aku cuma mau bilang, kalau aku mau jadi sahabat kamu. Sahabat kecil untuk gadis hebat seperti kamu. Aku mau jadi sahabat kamu Ify!"

Rasanya, aku ingin menusukkan pisau belati pada perutku sendiri. Supaya aku dapat membayar atas perbuatan buruk yang telah ku lakukan pada Keke. Aku ingin menghambur memeluk Keke. Meminta maaf karena kebodohanku. Aku ingin kembali bersama Keke.

Dan pada saat aku hendak mengeluarkan jutaan penyesalanku, aku kembali di hantui perasaan perih yang telah Keke bubuhkan di hatiku. Aku kembali diingatkan, bahwa apa yang Keke lakukan padaku jauh lebih kejam dari apa yang ku lakukan padanya. Maka yang ku ucapkan, sesungguhnya hanyalah luapan emosi. Bukan ketulusan dari dalam hati.

"Kamu ga pantas jadi sahabat aku. Kamu PENJAHAT!"

Dan semua yang mendengar ucapanku yang kasar tersentak. Termasuk Rio yang langsung menatapku dengan tatapan membunuh.

"JANGAN BENTAK KEKE!" dan itulah bentakkan kedua yang ku dapatkan dari Rio setelah insiden di perpustakaan silam.

Entah mendapat keberanian dari mana, aku pun kembali membalasnya.

"KENAPA? KARENA KEKE AURORA KAMU? AURORA YANG UDAH BUAT KAMU LUPA SAMA AKU, SAMA PELANGI KAMU! AKU BENCI KALIAN BERDUA!" lantas aku segera berlari meninggalkan Keke yang terisak. Membiarkan Rio menelan ludah. Sementara Gabriel mengejarku.

Akhirnya, setelah berapa saat Gabriel mengejarku, dia berhasil meraih tanganku. Menghentikan langkahku. Lantas ia membalikan tubuhku agar menghadapnya.

"Kenapa kamu bersikap seperti itu sama Keke?" tanya Gabriel

"Dia penjahat Yel!" ujarku. Tanpa sadar, kembali menangis.

"Kamu lupa sesuatu. Kamu lupa siapa orang yang selalu ada bagaimana pun keadaan kamu? Saat Agni membencimu, siapa yang selalu ada untuk melapangkan hatimu? Saat aku menghilang dari kehidupanmu, siapa yang selalu setia menemanimu? Dia Keke. Sahabat kamu!"

"Tapi kenapa harus Keke?" tanyaku retoris.

"Semuanya karena takdir yang telah disusun jauh sebelum kita ada di dunia ini."

Lalu aku tertohok. Ya, takdir. Aku tak bisa melawan takdir. Siapa pun takkan bisa melawannya. Maka kini, yang dapat ku lakukan adalah menyalahi Gabriel.

"Lalu, apa maksud kamu bawa aku ke sana? Kamu mau buat aku mati?"

"Dan sekarang, kamu ga mati, kan?"

Aku menggelengkan kepala. Tak habis fikir dengan pemuda ini? Apa dia tak mengerti, bahwa keadaanku sudah benar-benar menyedihkan? Aku mendesah lantas berkata pelan, "Cinta aku udah mati."

Maka Gabriel menyentuh dagu runcingku. Memberikan tatapan elangnya. Lantas berujar yang kembali membuat hati bergetar.

"Cinta kamu hanya tersakiti. Dan kamu tak usah khawatir. Karena cintaku yang akan menyembuhkannya."

Pada akhirnya, aku kembali terpana pada segala yang ada pada pemuda berhati malaikat di hadapanku ini. Lantas aku kembali menghambur dalam pelukannya. Dan tanpa segan, dia pun kembali meminjamkan hangat tubuhnya untuk menguatkan aku.

Dan Gabriel memang bukanlah pemuda yang biasa. Karena disela kesederhanaannya, dia menunjukkan betapa aku jauh lebih kuat dari apa yang ku bayangkan. Kebijakkannyalah yang telah meyakinkan hatiku agar aku tetap mempertahankan cinta yang telah diambang kematian. Ketulusannya dalam menuntunku secara perlahan untuk melewati kejamnya prahara, menumbuhkan keyakinan bahwa prahara bukanlah hal yang mengerikan. Tapi prahara adalah jalan terbaik yang diberikan Tuhan untuk mencapai zona kebahagiaan. Maka aku sangat bersyukur karena Tuhan menunjukkan kasih-Nya lewat pemuda tampan berhati malaikat ini. Pemuda yang memberikan cinta tulusnya untuk menguatkanku agar tetap mencintai pemuda impianku dengan sederhana. Bukankah keinginanku hanya satu hal itu saja? Mencintai dengan sederhana. Dan meski dia tak menjadi milikku, aku masih tetap bisa mencintainya. Cinta yang sederhana.

Dan sambil membelai rambut ikalku, dia berbisik. "Kamu kuat tanpa harus jadi penjahat."

*

bersambung

*

HUJAN, Kita Dan Mimpi part 16


Saat kita merasa lelah untuk terus melanjutkan perjalanan mengejar mimpi. Saat tubuh kita merasa lemah tak berdaya untuk tetap bertahan atas segala macam gempuran prahara. Saat kita yakin bahwa kekuatan yang kita miliki telah terkuras habis tanpa sisa. Maka tenanglah, sesungguhnya tanpa kita sadari kekuatan yang jutaan kali lipat lebih hebat selalu tersedia. Kekuatan yang disuguhkan oleh Sang Pemilik Alam bagi hamba-nya yang ikhlas. Kekuatan cinta.

*

"Kamu kuat dan akan selalu kuat."

Siapa yang menyangka bahwa seutas kalimat biasa tersebut ternyata menyimpan kekuatan magis yang sangat luar biasa? Adakah yang mengira bahwa ternyata kalimat yang hanya terdiri dari enam kata sederhana itu mampu menggetarkan seluruh penghuni langit dan bumi? Maka pantaslah, jikalau pemuda yang menuturkan kalimat 'ajaib' itu pun begitu dielu-elukan oleh tiap jiwa penghuni bumi. Dan para warga langit berdecak kagum. Lalu kemudian mereka serempak bersorak mengucap satu nama. Nama seorang pemuda berhati malaikat yang sederhana. Pemuda yang sampai saat ini masih terus menyelipkan ketulusan dalam tiap hela nafasnya yang hangat. Pemuda yang selalu memamerkan senyum dengan lengkung yang mempesona. Dialah Gabriel.

Lalu memangnya, hatiku saja yang bergetar? Tentu bukan hanya itu. Aku bahkan begitu takjub padanya. Tanpa sadar, aku membangun tembok keterpanaan dalam hati. Terpana padanya. Pada senyum mempesonanya. Pada tutur ajaibnya. Pada kesederhanaan sikapnya. Dan pada ketulusan hatinya yang sesungguhnya perlahan menyembuhkan torehan luka menganga di hatiku. Lambat-laun menyusun jutaan kepingan hatiku hingga kini tidak terlalu menyedihkan dari sebelumnya. Dan yang terpenting adalah ketulusannya mengandung kekuatan. Kekuatan yang ia salurkan melalui tiap belaian lembut tangannya. Kekuatan bernama cinta.

Cinta memang selalu menguatkan. Maka cinta yang Gabriel sisipkan bersama ketulusannya jugalah yang menguatkanku. Dia mengulurkan tangannya untuk menarikku bangkit. Dia menuntunku untuk berjalan lantas melanjutkan petualangan memenangkan cinta. Dan kekuatan cinta itu lamat-lamat menggali lagi tumpukkan perih yang menimbun cintaku. Cinta untuk pemuda lain di sana.

Masih dalam rengkuhannya, aku menghela nafas. Rasa lega kini menggelayuti hatiku, kala harum maskulin alaminya yang bercampur dengan aroma khas hujan ikut masuk memenuhi kuota udara pada tiap sudut rongga pernafasanku. Maka aku membuka mata sebentar dan sejurus kemudian memejamkannya kembali. Merasakan betapa kekuatan itu telah mampu menciptakan mimpi yang baru. Mengembangkan sebongkah asa yang tersisa. Mengeluarkan rasa cintaku dari dasar kesakitan.

Selanjutnya, aku mendesah tak kentara. Membuka mata. Mengurai tanganku. Keluar dari dekapan penuh cinta Gabriel. Dan saat bola mataku hendak menatap kedua mata elangnya, terlebih dulu kilat yang terpancar dari dua manik matanya menyambar mataku. Aku terperanjat. Mendapati ombak yang berkejaran pada bulatan coklat indah miliknya. Ombak yang seakan menghentakku untuk tetap bertahan dalam keadaan yang sangat menyiksa ini. Maka aku kembali dirundung ragu. Mampukah aku untuk bertahan? Kuatkah aku untuk melanjutkan tiap episode drama kehidupan yang kadang selalu menghabiskan jatah kebahagiaan untukku? Sanggupkah aku tetap menjaga cinta yang keadaannya lebih mengenaskan dari jutaan rakyat indonesia yang mengalami kekeringan? Aku tak yakin itu. Aku mendesah putus asa. Mataku nanar menatapinya.

"Kamu kuat Ify!" ujarnya mantap diiringi senyuman lebar khasnya.

Benar. Aku kuat kini. Tapi nanti? Aku menggelengkan kepala seraya menggigit bibir.

"Lalu bagaimana nanti?" tanyaku retoris disertai kegelisahan yang amat kentara.

Gabriel tersenyum menyeringai. Dia meletakkan kedua tangannya pada bahuku. Menatapku tajam dan tegas. Melesakkan tiap jengkal kekuatan lewat tuturnya.

"Tak ada yang berubah. Kamu akan tetap jadi Ify. Ify yang kuat dan akan selalu kuat!"

Entah bagaimana caranya, tiba-tiba kini rasa takut kehilangan menyelubungi hatiku. Kini aku kuat karena ada cinta dan ketulusan Gabriel yang menguatkanku. Selanjutnya? Akankah Gabriel terus menyuplai kekuatan cintanya untukku? Maka aku pun bertanya, "Lalu kamu?"

"Aku pun akan sama seperti kamu. Aku tetap jadi Gabriel. Sang Hujan untuk pelangi cantik seperti kamu!"

Kalimat-kalimat yang Gabriel ucapkan memang adalah kalimat-kalimat yang 'ajaib'. Dan keajaibannya itulah yang menyingkirkan rasa ragu dan takut yang merayapi hatiku. Digantikan kekuatan untuk bertahan dan keyakinan mewujudkan harapan. Pada akhirnya aku pun tersenyum. Bersemangat meloncat memeluk tubuhnya. Erat. Tanpa sekat. Berharap pelukanku akan mengikatnya untuk tetap berada di sampingku. Karena aku membutuhkan kesederhanaan, ketulusan dan kekuatan cinta Gabriel.

*

Keke tengah mengulum bibirnya. Kedua tangannya yang terlipat di depan dada menunjukkan bahwa ia tengah merasa sebal. Bagaimana tidak? Pemuda tampan di sebelahnya sedari tadi memainkan rambut ikalnya yang dikuncir dua. Lalu mencubit gemas pipi tembemnya. Kedua kegiatan 'nakal' itu ia lakukan bergantian. Begitu seterusnya. Sampai akhirnya Keke mendengus dan menggeleng-gelengkan kepala. Menyebabkan rambutnya menyisir wajah pemuda-nya. Membuat pemuda itu geli dan terkekeh sendiri.

"Rio nyebelin tauuuu!" Keke merengek dengan suara khasnya yang manja.

Sementara Rio menyeringai. Ini yang dia sukai. Rengekan gadis-nya yang manja. Dan rengekan itulah yang membuatnya bisa jatuh cinta pada gadis manis di sebelahnya. Lalu dengan nakal, menjawil pipi Keke. Habis, Keke lucu sih. Rio jadi tidak bisa menahan tangannya untuk tidak menjawil pipinya yang kini merona dibuatnya. Rio tertawa melihatnya.

"Riooooo!" Keke kembali merengek. Sekarang, makin manja. Membuat cinta di hati pemuda yang masih terus tertawa itu semakin bertambah.

"Ih merah! Malu ya? Ahaha!" goda Rio sambil menunjuk-nunjuk area pipi Keke yang terlukis semburat merah. Menggemaskan.

"Hah?" Keke terburu-buru menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Rio itu bisa-bisanya membuat pipinya merona. Padahal sebelumnya tak pernah ada yang bisa membuatnya seperti itu. Tersipu malu. Tentu saja. Ini kali pertamanya merasakan yang namanya jatuh cinta. Riolah pemuda pertama yang membuatnya seperti menari di atas kerajaan awan, bersama ribuan kupu-kupu cantik yang berkejaran memburunya. Lelehan minyak di sudut bibir mungil Riolah yang mampu membuatnya merasakan euphoria yang sangat dahsyat. Rio itu cinta pertamanya.

Dan Rio pun sama. Pipi kembang kempis Kekelah yang melesakkan angan-angannya ke angkasa. Rengekkan manja Kekelah yang selalu mampu membuatnya tersenyum dan meluluhkan egonya. Hanya tawa renyah Kekelah yang bisa menggelitik hatinya. Keke itu cinta pertamanya.

Maka tawa Rio makin lepas melihat tingkah Keke. Gadisnya memang beda dari gadis lain yang sebelumnya ia temui. Keke begitu ceria. Dia pintar menghidupkan suasana. Maka Rio tak menyesal cintanya diterbitkan oleh Keke.

Rio mengacak poni Keke yang sangat lucu. Lantas menggenggam pergelangan tangan Keke. Memaksa telapak tangannya agar terlepas dari wajahnya, sehingga Rio dapat dengan leluasa melihat ekspresi wajah Keke yang -pasti- sangat lucu. Terlebih dihiasi oleh warna merah. Pasti akan sangat cantik di mata Rio.

Tapi Keke tak mau wajahnya yang aneh terlihat. Maka sekuat tenaga ia menahan tangannya untuk tetap menutup seluruh wajahnya. Ia menggeleng saat tarikan Rio yang semakin kencang. Rio juga tak ingin menyerah. Kapan lagi ia dapat melihat wajah Keke yang malu-malu. Jadi ia pun mendekatkan wajahnya pada wajah Keke yan tertutup. Menarik tangan Keke dengan lebih keras.

Dan Dewi Fortuna sedang tak berpihak padaku. Aku datang di saat yang sangat tidak tepat. Memaksaku untuk melihat adegan yang sangat mesra itu. Adegan dari drama sialan yang lagi-lagi membuat hatiku mencelos. Menghancurkan hatiku yang sebelumnya telah susah payah ku tata. Menyusutkan harap yang sempat meluap. Dan adegan 'menjijikan' itu telah menghujam luka -yang aku tak tahu kapan sembuhnya- dengan tanpa perasaan. Lukaku semakin menyakitkan.

Cinta yang masih ku jaga hanya untuk pemuda yang menjadi salah satu pemeran dalam adegan itu pun kembali teronggok. Kini hanya tinggal menunggu kematian, ketika gadisnya tetap berkeras kepala untuk tidak menjauhkan telapak tangan dari wajahnya membuat sang pemuda menyerah, lantas mendorong kepala gadisnya untuk masuk dalam dekapan hangatnya. Dekapan penuh cinta untuk gadis penerbit cintanya yang pertama.

Aku tak akan sanggup melihat kelanjutan dari adegan memilukan hati itu. Maka dari itu aku mundur dua langkah. Berjalan ke samping kanan. Membalikkan badan dan menyandarkan tubuh pada tembok di belakangku.

Aku tak dapat berpura-pura kuat. Saat ini, kekuatanku tak ada. Maka aku membuat kekuatan sendiri dengan menggenggam bandul pelangi kalungku. Bodoh. Ternyata hal itu membuatku semakin rapuh. Aku melupakan sesuatu. Kalung itu adalah pemberian dari pemuda penoreh luka. Maka aku membiarkan setetes bening bergulir melewati pipiku. Diikuti tetesan lain yang jumlahnya tak dapat lagi terhitung.

Perasaan perih pun membubuhi hatiku, kala rengekkan manja Keke diselingi tawa lepas Rio terdengar menusuk-nusuk gendang telingaku. Aku begitu mengenaskan.

Aku tak menyadari bahwa aku telah menghabiskan banyak waktu hanya untuk berdiri di balik tembok sambil menangis. Dan aku juga tak menyadari bahwa tangan seseorang kini menggenggam tanganku lantas menariknya masuk ke kelas.

Saat aku membuka mata, ternyata tangan pemuda berhati malaikatlah yang tengah menuntunku. Kembali menguatkan aku. Maka aku pun menghapus sisa air mataku dan sejurus kemudian berjalan mengekorinya. Tanpa memikirkan apa yang nanti akan ku lakukan. Aku tak khawatir. Ada Gabriel. Pangeran hujan.

Ternyata, Gabriel membawaku mendekati meja Keke sekaligus mejaku juga. Aku tak tahu, sanggupkah aku berada di dekatnya? Penghancur seluruh harapku.

"Ke, Alyssa duduk sama aku ya! Dia mau ngerasain suasana baru. Kamu duduk sama Debo dulu." ujar Gabriel.

Keke mengerutkan kening. Mungkin dia heran mengapa tiba-tiba aku mau duduk dengan Gabriel. Tapi aku juga tidak tahu rencana Gabriel. Yang jelas, dia memang pemuda yang selalu mengerti aku. Dia tahu bahwa aku akan merasa tersiksa kalau aku berada di dekat Keke.

Keke menatapku tajam. Aku hanya bisa menunduk. Tak kuasa melihat tatapan bersahabat yang terpancar dari matanya yang indah. Tatapan itu pasti akan meluluhkanku dan akan membuatku menyerah. Maka aku menghindarinya.

"Oh, ya udah! Jagain Ify Alyssaku tersayang ya!" Keke mewanti-wanti dengan gaya bicaranya yang khas. Ceria dan ramah.

Gabriel mengangguk mantap lalu menarik tangangku yang masih bertaut dengan tangannya. Melangkah menuju tempat duduknya dan tempat dudukku yang baru. Aku sempat melirik ke arah Keke. Dan dia selalu seperti itu. Tersenyum. Sanggupkah aku membencinya? Mampukah aku menghindarinya? Tegakah aku menjadikannya penjahat? Dia sahabatku. Satu-satunya sahabat yang tak pernah pergi meninggalkanku kapan pun itu, entah saat aku terpuruk atau saat aku bersinar. Tapi, apalah artinya sahabat kalau dia ternyata pelaku dari tersakitinya hatiku. Itu yang namanya sahabat? Bukankah itu adalah penjahat?

Maka setelah aku berhenti tepat di depan meja di ujung ruangan, aku kembali mengeluarkan pertanyaan retoris. "Kenapa Keke bersikap seperti itu?"

Gabriel tersenyum dan menoleh ke arahku. Aku yakin, dia pasti akan menjawab pertanyaanku dengan bijak.

Benar. Setelah mendesah, ia pun menjawabnya. "Dia sahabatmu. Tak akan ada yang berubah."

*

bersambung

*

HUJAN, Kita Dan Mimpi part 15


"Menangislah! Hujan selalu punya cara untuk menghapus tangismu."

*

Apa yang kini dapat dilakukan dengan hati yang hancur lebih dari berkeping-keping? Dengan jutaan luka menganga yang kini bukan hanya berdarah, namun bernanah? Menata ulang kepingan-kepingan itu. Mengobati jutaan luka menganga itu. Bersabar dengan segala penderitaan itu. Bertahan dari segala sepak terjang sang prahara. Sangat mustahil. Maka, yang dapat dilakukan kini hanya satu, meyakini bahwa Tuhan Maha Baik. Dia akan menyembuhkan kesakitan itu. Bahkan kalau kita ikhlas, Tuhan akan memberikan kasih-Nya yang lebih dari kasih-kasih yang lain.

*

Jangan menyerah pada prahara. Karena itu berarti sama saja dengan membiarkannya berbahagia di atas kesakitanku. Menyuruhnya menari di atas kehancuranku. Membuatnya merasa menjadi pemenang dalam kancah pertempuran ini. Lalu memangnya, aku sekuat itu? Perlu kalian ketahui, aku sudah sering merasakan berbagai perih dari prahara yang diberikan oleh Tuhan. Dan aku masih bisa bertahan lalu bangkit lantas kembali melanjutkan hidup. Tapi prahara kali ini menyadarkanku, bahwa aku tak sekuat itu. Aku terhempas terlampau dalam. Terpelanting jauh mengenaskan. Sehingga seluruh tulangku patah. Menyebabkan aku tak mampu bertahan. Bahkan, untuk sekedar bangkit dan berdiri pun aku tak sanggup. Lalu sekarang apa yang bisa ku lakukan? Mendesah pasrah. Menunduk putus asa. Menyerah pada prahara.

Dan saat aku benar-benar merasa menjadi seorang pecundang. Saat aku hendak memproklamirkan kekalahanku atas sang prahara. Hujan datang mencegahku melakukan semuanya. Hujan membawa bala bantuan. Ya, dia. Pemuda berhati malaikat. Pemilik senyum lebar nan menenangkan. Empunya tatapan elang yang meneduhkan. Dia yang tanpa sadar selalu hadir dalam tiap lembar jalan hidupku. Dia yang selalu siap menopangku saat aku terjatuh. Dia yang sampai detik ini masih ikhlas membiarkan dadanya tergenang oleh rembesan air mataku. Dia yang -mungkin- sampai nanti akan selalu ada di kala aku membutuhkan seseorang untuk menguatkanku. Dia. Gabriel. Sang Pangeran hujan.

*

"Menangislah! Hujan selalu punya cara untuk menghapus tangismu."

Setelah seuntai kalimat terlontar dari bibirnya yang manis. Telingaku berdesir takjub. Kalimat yang sesungguhnya sangat sederhana. Namun, karena kesederhanaan itulah, kalimat tersebut menjelma menjadi kalimat yang luar biasa. Menggetarkan hati seluruh penghuni bumi. Meruntuhkan niatku untuk menyerah begitu saja dari sang prahara. Meluluhkan kekeras kepalaan sang pembuat jalan cerita agar tidak terus menerus menyiksa sang pemeran utama. Membangun keterpanaan yang begitu hebat. Dahsyat. Karena dalam tiap jengkal tutur kalimat tersebut, ketulusan hati ikut mengiringi.

Maka aku tak segan terus menerus menangis dalam dekapannya. Karena dalam lingkar tangan kokohnya, aku merasakan sebuah rasa asing yang perlahan menyembuhkan, menyelinap masuk di antara jutaan luka menganga. Aku mendengar detak jantungnya yang mengetuk jiwaku dengan begitu tulus. Dan deru nafasnya yang terasa hangat menyapa puncak kepalaku, membuatku merasa tenang dan yakin bahwa masih tersisa harapan. Meski harapan untuk sekedar bertahan.

Kemudian aku mendongak. Dan hatiku merasa lega, mendapati senyuman lebar itu masih menghiasi wajah tampannya. Maka aku mendesah pelan. Sayang. Desahanku tak cukup pelan untuk menyapa indra pendengarannya. Maka dia pun menunduk. Membuat wajah kami berhadapan dengan jarak yang hanya beberapa centi. Dan aku hanya bisa membisu, saat tatapan elangnya menerka tepat kedua manik mataku. Di sana. Di bola mata elangnya yang berwarna coklat, aku menemukan sebuah cahaya yang memancar begitu indah. Aku terpana. Karena nyatanya, dalam tiap kilau cahaya itu, aku kembali menemukan sebuah ketulusan. Ketulusan Gabriel.

"Kalau belum tenang, teruskan saja!" ujarnya lembut sambil menyingkirkan jumputan poni yang basah dan membuat bingkai pada wajahku ke pinggir.

Seperti kalimatnya yang pertama, kalimatnya kali ini pun membuat hatiku berdesir. Gabriel adalah pemuda yang sangat berbeda.

Aku mengerjap. Melingkarkan dua tanganku untuk merengkuh tubuhnya. Kembali menenggelamkan wajah pada dada lapangnya. Memejamkan mata. Dan menangis lagi.

Sesungguhnya, menangis bukan menunjukkan kalau orang itu lemah atau cengeng. Namun menangis adalah cara untuk mencapai ketenangan hati. Dan itulah yang ku lakukan sekarang. Karena sejujurnya, dengan menangis dalam dekapan pemuda berhati malaikat ini, aku menemukan sebuah ketenangan. Apalagi kini, dia mempererat pelukan hangatnya. Mengelus lembut punggungku. Membuat aku kuat dan semakin yakin bahwa aku akan bertahan, bahkan terbang lantas mengembalikan semuanya seperti semula.

Setelah beberapa lama aku menangis dalam dekapan tulusnya, aku merasakan kini hujan lambat laun mulai undur diri, hanya menyisakan rintikan kecil menggemaskan. Maka aku pun bertanya, "Mereka udah pergi?"

"Dari tadi."

Lantas aku mengurai tanganku. Diikuti Gabriel yang juga membiarkan aku keluar dari dekapannya. Dia kembali tersenyum.

"Maaf!" ujarku sambil menghapus sisa air mata yang bercampur dengan air hujan. Namun Gabriel menahannya dengan tangan kiri. Menggerakkan tangan yang sebelah kanan. Menggantikan tugas hujan untuk menghapus air mataku.

Setelahnya, dia menurunkan kembali tangannya. Mengusap tetesan hujan yang bergelayut lucu pada wajah tampannya.

"Kamu baik, seperti hujan!" aku bergetar mengucapnya. Sungguh. Demi apa pun. Itulah kalimat yang paling tulus, yang tercipta dari hati yang paling dalam. Hati yang kini lukanya telah bersih dari nanah. Dan rasa asing yang diselipkan Gabriel melalui kebaikannyalah yang membersihkannya.

Seperti biasa. Dia hanya tersenyum. Senyum dari seorang pemuda berhati malaikat. Senyum yang menambahkan kekuatan di hatiku untuk kembali merangkai mimpi. Merajut harap.

Gabriel mengulurkan telapak tangannya yang terbuka. Menantiku untuk segera meraihnya. Seperti sang pangeran mengajak seorang putri untuk berdansa.

Aku mengerenyit tak mengerti. Apa? Dia benar-benar tidak mengajakku berdansa di tengah lapangan basket, kan?

Gabriel menghela nafas. "Guru-guru ada rapat. Kita pulang lebih cepat. Ayo pergi! Kita main hujan-hujanannya di tempat lain." ujarnya sambil tersenyum menyeringai.

Dan, setelah hantaman menyakitkan dari prahara beberapa saat yang lalu, untuk yang pertama kalinya aku dapat tersenyum. Senyum tulus untuk dan karena pemuda berjiwa tulus. Lantas aku meraih tangannya. Lalu sejurus kemudian, Gabriel menggenggam tanganku. Membawaku menuju dunianya. Dunia yang sederhana namun penuh ketulusan.

*

Sederhana itu dekat sekali dengan ketulusan.
Dan ketulusan itu kunci utama untuk membuka pintu hati.

~Darwis Tere-Liye~

*

Aku membenahi posisi dudukku. Berpegangan pada jaket hitamnya. Lalu mengangguk setelah Gabriel bertanya, "Udah siap?" Sejurus kemudian, dia mengayuh sepedanya. Melaju di antara gerimis yang masih asyik menari.

Ah, aku masih tak percaya dapat melakukan ini. Pergi meninggalkan tempat yang menyebalkan sekaligus menyakitkan tadi. Aku fikir, setelah kehancuran hatiku, selepas tertimbunnya cintaku, aku akan mematung di sana. Jatuh tersungkur. Lalu pada akhirnya mati mengenaskan. Tapi sekarang, pemuda berhati malaikat di depanku mematahkan segalanya. Dia yang ikhlas untuk menjadi yang terakhir -sebelum Tuhan- untuk menjadi tempat pengaduanku. Dia yang sukarela mengelus pundakku, untuk menciptakan jutaan amunisi semangat baru, agar aku kuat. Supaya aku yakin, bahwa harapan takkan pernah habis. Selalu tersisa walau hanya setitik. Selalu tersedia meski tak sebesar harapan yang semestinya. Dia yang tulus mendekapku agar aku percaya, bahwa aku akan mampu bertahan dalam segala keadaan. Sekalipun menyakitkan.

"Aku sengaja bawa sepeda. Biar aku bisa hujan-hujanan. Hehe... Kalau dijemput kan, ga bisa main sama hujan." celoteh Gabriel sambil terus mengayuh sepedanya.

Aku tersenyum mendengarnya. Gabriel sama sepertiku. Menyukai hujan. Aku mendesah.

"Kamu suka hujan, kan?" tanya Gabriel.

Apa? Darimana dia tahu bahwa aku menyukai hujan? Aku mengerutkan kening. Heran.

Gabriel mendesah. Berhenti mengayuh. Mengerem sepedanya hingga berhenti. Menoleh ke arahku. Menatapiku tajam. Lalu bertanya, "Kamu lupa siapa aku?"

Lupa? Aku ingat. Aku kan tidak sedang amnesia. Aku ingat. Dia Gabriel. Teman sekelasku. Ketua ekskul musik. Atlit basket. Aku ingat. Tak ada yang aku lupakan. Aku terus mengerenyit.

Gabriel mendesah. Mendekatkan wajahnya padaku. Menatapku beberapa detik. Lalu mengedipkan mata kirinya sambil tersenyum. Ya, aku ingat. Kedipan 'nakal' itu. Kedipan yang kini mengingatkan pada kenangan masa kecilku yang sempat terabaikan.

Aku mengerjap. Mengangguk. Lalu berkata, "Siapa bilang aku lupa? Aku ingat kok! Kamu Gabriel. Emm..." Aku menggigit bibir lantas melanjutkan ucapanku, "Sepupunya Agni yang paling centil!"

"Tapi ganteng! Wlee..." ujar Gabriel sambil menjulurkan lidahnya. Menampakkan ekspresi yang sangat lucu.

Aku mendengus. Menggerakkan tangan untuk meraih perut Gabriel. Lalu akhirnya mencubitnya gemas.

"Aww..." dia meringis kesakitan sambil memegangi perutnya yang kena cubit. Mukanya lucu sekali.

Aku terkekeh sendiri. Lantas dia mengulum bibir. Lalu kembali mengayuh sepedanya. Meneruskan perjalanan.

"Aku kangen sama kamu Fy! Kangen masa kecil kita." celoteh Gabriel seakan membuka kembali memori masa kecilku. Hmm... maksudku masa kecil kami.

Ya. Aku ingat semuanya. Betapa masa kecil kami begitu menyenangkan. Meski dulu kami tidak bersekolah di sekolah yang sama, tapi karena Gabriel sepupu Agni, dan Agni adalah sahabatku, maka tak jarang Agni mengajak Gabriel untuk bermain bersama. Dan insiden basket tempo dulu itu yang membuat hubunganku dengan Agni menjadi kurang baik, sehingga hubunganku dengan Gabriel pun merenggang. Dan akhirnya menjauh.

"Dulu kan kita sering hujan-hujanan bareng. Seru tauuu! Ahaha..." kata Gabriel seraya terkekeh.

"Iya. Kita berempat selalu bersama-sama. Aku, kamu, Agni, dan Ke..." aku berhenti berkata saat menyadari siapa nama berikutnya yang akan mengisi kalimatku yang terpotong. Nama itu. Nama yang kembali menebarkan perih di atas luka yang sempat -sedikit- membaik. Membuat hatiku semakin mencelos. Memupus kembali harapan-harapan yang sempat tercipta. Aku menggigit bibir. Menunduk. Mendesah berat.

"Dan hujan." kata Gabriel cepat mengetahui aku mulai di dera keresahan. Ah, Gabriel memang peka. Selalu mengerti perasaanku. Dia berbeda. Dia tak seperti pemuda yang mungkin sekarang sedang bersenang-senang bersama penerbit cintanya. Sudahlah. Apa lagi yang bisa diharapkan dari pemuda tidak peka itu? Kenapa pula aku harus repot memikirkannya? Aku berdecak.

"Kamu masih ingat rumah pohon yang ada di belakang rumahku?" tanya Gabriel.

Aku terkesiap. Mengerenyit. Lalu baru ingat mengenai rumah pohon yang Gabriel tanyakan. "Iya. Masih ada, kan? Aku mau ke sana!"

"Tentu." ujar Gabriel dengan senang hati.

Gabriel tidak pernah berubah. Dari dulu dia selalu seperti itu. Selalu melakukan apa saja dengan ikhlas dan senang hati. Dan satu lagi, dia menyenangkan, seperti hujan.

*

Mataku membelalak. Melihat rumah pohon yang masih tetap seperti dulu. Tak ada perubahan mencolok. Hanya satu mungkin, rumah pohon ini terlihat lebih rapi. Tentu saja. Dulu kan, kami sering bermain disini dan membuat tempat ini seperti kapal pecah. Lantas sekarang, siapa yang akan menciptakan suasana tersebut.

"Cuma aku yang sampai sekarang masih tetap main di sini. Agni udah ga mau. Katanya, ini tempat anak kecil. Ah, andai aja kamu sama Agni ga pernah bermasalah. Pasti tempat ini, akan seramai dan seberantakan dulu. Sayang banget!" Gabriel berdecak.

Aku menunduk. Menggigit bibir. Merasa sangat bersalah. Kalau saja aku tidak bertindak bodoh, dan dapat menghindar dari insiden basket itu, semuanya tak akan seperti ini. Sudahlah. Toh, semuanya sudah kembali lagi. Aku dan Agni kini juga sudah bersahabat baik lagi.

Kemudian, aku tertarik untuk menanyakan suatu hal. "Kenapa? Kenapa kamu tak mengajakku ke tempat ini dari dulu? Kita udah hampir 3 tahun sekolah di sekolah yang sama."

Gabriel mendesah. Menepuk pundakku pelan. Kemudian tersenyum. "Kamu tidak seterbuka dulu. Aku menunggu waktu yang tepat."

Aku menghela nafas. Baru sadar, ternyata banyak sekali dampak dari perubahan sikapku. Aku kembali mendesah.

"Kamu ingat ini?" Gabriel menunjukkan sebuah pistol mainan yang terbuat dari bambu.

Aku mendongak. Tersenyum melihat pistol mainan yang menggemaskan itu. Lalu secepatnya, aku raih pistol mainan itu dari tangan Gabriel.

"Ayo cari burung! Kita tembak dia!" ujarku antusias lantas mengerjapkan mata beberapa kali.

Gabriel tersenyum. Menggeleng-gelengkan kepala. Mendaratkan telapak tangannya pada puncak kepalaku. Lalu mengacaknya gemas. Dan sejurus kemudian, dia meraih tanganku yang tengah mengarahkan pistol bambu ke sasaran tembak dari belakang. Membuatku terkurung dalam lingkar tangan kokohnya untuk yang kedua kali.

"Tuh ada burung!" kata Gabriel.

Sayang. Bukanlah burung yang ku lihat. Tapi adegan menyakitkan dari dua pelakon jahat di bawah sanalah yang ku lihat. Di taman itu. Mereka kembali mempertunjukan adegan yang -sok- romantis. Berkejaran sambil meniup gelembung. Menjijikan.

Aku melepaskan genggamanku dari pistol bambu. Merasakan betapa luka di hatiku semakin parah dan kembali bernanah. Harapan kecilku menghilang. Cintaku tertimbun sampai ujung kedalaman bumi. Menyesakkan.

Maka aku mengepalkan tangan. Menggigit bibir. Merasakan kini buliran bening kembali menggenangi mataku. Bersiap tumpah. Menciptakan sungai di permukaan pipiku.

"Hujan udah pergi. Sekarang kalau aku menangis, siapa yang akan menghapusnya?" ujarku dengan suara yang sangat bergetar.

"Aku akan menggantikan hujan." bisik Gabriel pelan namun berenergi, disertai ketulusan yang kembali menggetarkan hati.

Dan pada akhirnya, aku berbalik dan langsung menghambur pada pelukan pemuda yang tak pernah berkeberatan dengan keadaanku yang sangat menyedihkan. Dia malah menangkap tubuhku. Kembali membuat lingkar tulus dan menguatkan oleh kedua tangannya. Mendorong kepalaku agar tenggelam di dadanya. Mengelusnya lembut. Dan lantas, apa kini yang bisa ku lakukan selain menangis? Ya, aku menangis lagi. Dan lagi-lagi, pemuda berhati malaikat inilah yang ikhlas menawarkan apa yang dia punya untuk menguatkan dan menenangkanku.

"Aku...lemah. Aku...rapuh. Aku...ga bisa bertahan." ujarku terisak, masih menumpahkan tangis dalam keikhlasannya.

Lalu Gabriel membisikkan sebuah kalimat. Kalimat yang sederhana, namun ketulusannya berjuta kali lipat dari kalimat sebelum-sebelumnya. Kalimat yang bukan hanya menggetarkan penghuni bumi, namun kini seluruh penghuni langit pun ikut takjub akan dahsyatnya kalimat itu.

"Kamu kuat. Dan akan selalu kuat."

*

bersambung.

*

HUJAN, Kita Dan Mimpi part 14


Baru ku sadari,
cintaku bertepuk sebelah tangan.
Kau buat remuk seluruh hatiku.

~Dewa 19~

*

Kini, lewat hujan, Tuhan menunjukkan segalanya. Membuka seluruh rahasia dibalik semua kisah ini. Kisah yang pada intinya hanya ingin membuat si pemeran utama menderita. Karena ternyata, pemeran utama tak selalu punya bagian dimana dia merasakan bahagia. Dan kini, jangan salahkan sang sutradara. Dia tak tahu apa-apa. Dia hanya melaksanakan tugasnya. Karena yang memiliki andil terbesar dalam kisah ini adalah dia. Sang Prahara. Si penguasa jalan cerita.

*

Lalu memangnya, apa yang bisa dilakukan hujan sekarang? Mengguyur bumi untuk mencegah bom waktu itu meledak? Tentu tidak. Bahkan, seluruh penghuni bumi pun takkan pernah bisa mencegah hal itu terjadi. Tak peduli mereka berusaha sampai ke ujung pencapaiannya. Tak peduli sekeras apa pun mereka menentangnya. Karena toh, bom waktu itu akan tetap meledak. Menciptakan luka makin menganga, yang sakitnya jutaan kali lipat dari sebelumnya. Membuat seluruh mimpi terbunuh seketika. Menghabiskan setiap inci harap tanpa sisa. Mengonggok cinta makin dalam. Mati. Mengenaskan.

Dan kini, bagai dosa dari seluruh rakyat bumi harus ku tanggung. Bagai sinar matahari langsung menyengat tubuh lemahku. Bagai seluruh benda langit berjatuhan menghujam perasaanku. Bagai bom rakitan Noerdin M Top meledak tepat pada ulu hatiku. Menyesakkan. Menyakitkan. Menghancurkan. Mematikan.

Dan semua perasaan menyedihkan yang merayapi hatiku terjadi saat kini, di jam istirahat yang biasanya dapat ku lewati bersama pangeran matahari, dengan diiringi orkestra rinai hujan, aku harus mendapatkan sebuah fakta. Fakta pahit yang membuktikan sebuah hipotesis yang bahkan sama sekali tak pernah ku cipta. Fakta yang sesungguhnya menyibak fakta-fakta lain yang terabaikan. Fakta tentang siapakah gadis pintar yang telah menerbitkan cinta pada pemuda yang justru adalah pemilik cintaku. Fakta mengenai gadis jahat yang tega menorehkan luka menganga tepat di hatiku. Fakta Aurora.

*

"Jangan buat orang lain khawatir lagi!" ujar seorang pemuda tampan pada gadis di hadapannya. Raut pemuda itu terlihat sangat cemas. Entah apa yang telah dilakukan oleh sang gadis sampai dia seperti itu. Dan raut cemas itu tentu saja menunjukkan bahwa dia sangatlah peduli dan menyayangi sang gadis.

Maka setelah ia melihat gadis-nya yang mengangguk mantap, ia pun berani meninggalkannya sendirian. Lantas bergegas menuruti kemauan mamanya untuk segera pulang.

Dia berlari. Rambutnya menggemaskan menari terhembus desau angin senja. Ransel hitamnya pun ikut melompat mengikuti gerakan cepat pemiliknya. Dalam hatinya kini satu: segera pulang atau kalau tidak, mama akan memarahinya sepanjang malam.

Dan ancaman kemarahan sang mama kini tak cukup kuat untuk mencegah pemuda bermata indah itu untuk berhenti, saat indra penglihatannya menangkap siluet cantik yang tengah duduk di bangku taman dengan jarak 10 meter dari ia kini berada. Seorang gadis cantik dengan rambut ikal hitam yang dikuncir dua. Gadis yang masih mengenakan seragam SMP-nya, namun kemejanya ia tutupi dengan blezer merah mudanya. Gadis berpipi tembem menggemaskan. Gadis yang ternyata lebih mengesankan dari gadis yang ia temui sebelumnya, karena gadis ini mampu membuat hatinya terpesona.

Kemudian, seakan angin senja membekukan waktu, pemuda itu pun tak berkedip saat menatapi tiap gerak sang Gadis. Apalagi kini, gadis itu meraih sebuah seksopon lalu memainkannya. Mengeluarkan alunan indah bak tercipta dari surga. Melantunkan untaian nada yang membuat semua orang terbuai jatuh cinta. Dan inilah faktor terpenting dari terbitnya sebuah rasa di hati si pemuda. Pipi sang gadis. Kembang kempis. Manis. Mempesona.

Untung saja teror mama yang digencarkan lewat guratan pesan singkat yang ponselnya terima menyadarkan keterpesonaannya. Kalau tidak, dia bisa mematung sepanjang waktu disana sambil memandangi sang Gadis. Maka dengan amat sangat terpaksa ia pergi dan harus melewatkan gadis itu menyelesaikan kegiatan mengembang kempiskan pipinya. Tapi satu yang pasti, gadis itu adalah Aurora. Sang penerbit cinta. Dan itulah fakta pertama yang terabaikan. Namun sesungguhnya jembatan penghubung menuju keberadaan prahara.

*

Kedua gadis belia itu tengah membicarakan sebuah hal penting. Gadis yang berkuncir dua menjadi sang pembicara, dan gadis berambut pendek di sampingnya menjadi pendengar setia.

"Sumpah ya Ag, aku udah beneran jatuh cinta sama Rio!" ujarnya dengan wajah berseri.

"Hah? Kok bisa? Bukannya dulu kamu biasa aja sama dia? Sejak kapan?" tanya beruntun dilontarkan oleh gadis pendengar.

"Ahaha, aku juga ga tahu. Tapi kemarin, saat aku lihat dia keluar dari perpustakaan, dia sedang memakan sepotong pisang goreng. Bibir mungilnya belepotan kena minyak. Keren tauuuu!"

"Hah? Keren karena pisang goreng?"

Lalu gadis empunya cerita mengangguk cepat. Matanya berbinar dan mengerjap-ngerjap menggemaskan. Dua kuncirannya ikut bergoyang bahagia.

Dan inilah fakta kedua. Fakta yang tak pernah tersentuh. Bahkan tak berusaha untuk ku sentuh. Fakta yang sesungguhnya -tanpa sadar- disuguhkan olehku sendiri. Oleh sepotong pisang goreng kebanggaanku. Oleh lelehan minyak di sudut bibir mungilnya yang selalu membuatku ingin terus menatapinya lekat-lekat. Itu semua karena aku. Jadi kini, aku menjadi penjahat untuk diriku sendiri.

*

Semua siswa-siswi telah berhamburan keluar selepas mengikuti rapat mengenai pergantian ketua serta pengurus ekskul musik. Sudah sore sekali. Maka semuanya pun terburu-buru pulang ke rumahnya masing-masing. Dan hanya meninggalkan seorang gadis berkuncir dua dan pemuda yang tengah menunggu jemputannya di depan gerbang sekolah.

"Mau pulang bareng aku?" tawar si pemuda saat jemputannya datang.

"Ga usah deh Yel, aku mau ke taman dulu!" tolaknya dengan sopan. Lalu melangkahkan kaki menuju tempat tujuannya tadi.

Sesampainya di taman, seperti biasa ia duduk di bangku taman. Memainkan seksoponnya. Dan lima detik kemudian, dua bocah laki-laki imut menghampirinya.

"Hai Kakak tembem!" sapa kedua bocah tersebut.

"Hai juga! Wah, jagoan-jagoan kakak semangat banget!" kata gadis itu sambil mengusap kepala kedua jagoan-nya.

"Harus dong kak! Kan Ozy mau ketemu sama kakak tembem yang cantik!" ujar bocah lelaki yang mengenakan kaos merah.

"Ih, Ozy genit! Masa godain kakak tembem! Kakak tembem kan pacarnya Deva." ujar bocah lelaki lainnya yang memakai kaos kuning bergambar Spongebob sambil bergelayut manja pada tangan mulus 'Kakak Tembem'.

"Enak aja, kakak tembem itu pacarnya Ozy tauuu!" ujar Ozy tak mau kalah dan menggamit tangan yang lain milik Kaka Tembem.

"Pacarnya Deva!" Deva menarik tangan Kakak Tembem untuk lebih merapatkan diri dengannya.

"Pokoknya pacar Ozy!" Ozy mengikuti Deva, menarik tangan kakak Tembem.

"Deva."

"Ozy."

"Deva."

"Ozy."

Sementara si Kakak tembem mengerenyit. Mendapati kini dirinya harus tertarik ke kiri dan kanan. Menjadi rebutan dua bocah imut itu. Lalu akhirnya menghentikan perselisihan kecil yang terjadi.

"Kakak pacarnya Ozy sama Deva dong!" ujarnya sambil merangkul penuh kasih sayang dua bocah yang sudah ia anggap sebagai adiknya sendiri.

"Hahaha..." mereka pun tertawa menyeringai.

Dan tanpa disadari oleh mereka, seorang pemuda yang sama seperti yang kemarin tengah mengintainya sedari tadi. Pemuda itu terkekeh sendiri. Lucu melihat tingkah gadis yang telah ia jadikan sebagai Auroranya. Senang mendengar ucapannya yang terkesan manja nan menggemaskan. Tergelitik menangkap tawanya yang sangat renyah dan menyenangkan. Membuat sang pemuda semakin terpesona pada Aurora. Menghipnotisnya agar melupakan gadis lain yang berada entah dimana yang selalu berharap lebih padanya.

Dan inilah fakta selanjutnya. Fakta yang sama sekali tak pernah teraba. Fakta tentang begitu berkuasanya pesona Aurora dalam arena pertempuran cinta ini. Menekuk telak pemujanya. Menyingkirkan pesaingnya.

*

Lalu fakta berikutnya yang ku dapat dari Sivia dan Ray adalah bahwa Aurora bersekolah di sekolah yang sama denganku. Kalau begitu, tentulah aku pernah -bahkan mungkin sering- bertemunya di sekolah. Tapi siapa Aurora? Entah. Aku sama sekali tak mengetahuinya. Rio saja yang begitu tergila-gila padanya tidak tahu. Apalagi aku.

Lalu setelah kemarin sore, aku seakan dibutakan untuk membuat hipotesis-hipotesis baru. Aku tak dapat mencerna seluruh petunjuk yang ku dapatkan. Gadis tembem. Berkuncir dua. Pintar bermain seksopon. Satu sekolah denganku. Lihat. Begitu banyak petunjuk-petunjuk itu, tapi tak satu pun dari semua petunjuk itu menghasilkan hipotesis. Semua petunjuk itu seakan tak memiliki keterkaitan. Berdiri sendiri tanpa adanya sebuah hubungan. Dan hal ini sangat menyulitkan untukku.

Semalaman aku berfikir keras. Namun hasilnya nol besar. Tak ada yang ku dapat. Lalu aku pun menyerah. Menghempaskan tubuh ke atas tempat tidur. Menenggelamkan wajah di bawah bantal. Lalu memejamkan mata.

Tapi tiga detik kemudian aku membuka mata. Melempar bantal. Bangun. Dan melirik sebuah benda yang tengah diam manis di atas meja kecil di samping tempat tidur. Sebuah pigura yang menghiasi tiga siluet di dalam secarik foto. Tiga gadis yang -diantaranya adalah aku- tengah bergaya di taman belakang rumah. Dan mataku tertuju pada satu gadis yang berfose paling menonjol. Dia mengerucutkan bibirnya. Memegangi ujung dari kedua kunciran rambutnya. Dan dagunya yang sedikit terangkat. Aku mengerenyit. Diakah Aurora?

Tidak. Kenapa aku sampai berani menuduhnya? Dia baik. Dia takkan tega merebut pangeran matahari dariku. Dia bukan penjahat. Dia tak mungkin tersangka dari torehan luka menganga di hatiku ini. Dia sahabatku. Aku menyayanginya. Mana mungkin aku telah melakukan hal jahat dengan menudingnya sebagai pelaku utama dari terciptanya prahara. Ya Tuhan, maafkan aku.

Maka kemudian, aku mengusir hipotesis yang sangat konyol itu dari benakku. Tanpa tahu, bahwa sesungguhnya hipotesis itu lebih kuat dari hipotesisku sebelum-sebelumnya.

*

Dan, pada akhirnya, Tuhan bukan hanya memaafkan kesalahanku. Tapi dia menunjukkan kasihnya dengan cara-Nya sendiri. Cara yang -sesungguhnya- teramat menyakitkan.

Kini, bagai tersundut panasnya bola api, aku merasakan sakit yang begitu luar biasa. Saat aku sampai pada fakta terakhir dan sekaligus fakta utama yang akan menguraikan segalanya.

Sekitar 12 meter di depanku, tepat di tengah lapangan basket, di bawah tiap rintikan hujan, drama itu terjadi. Drama yang dilakukan oleh dua pelaku penting dalam kisah ini. Dengan arahan sutradara dan tuntutan sang pembuat jalan cerita. Drama akhir dari rentetan drama kehidupan yang tak pernah menyisakan jatah kebahagiaan untuk si pemeran utama.

Lalu, drama pun bermulai dari seorang pemuda tampan yang berlari menerobos hujan. Menyongsong gadis tujuan yang juga tengah berlari kecil ke arahnya. Seperti adegan romantis, di film-film India yang sering Mang Ujang tonton.

Rio -pemuda itu- menahan sang gadis dengan kedua tangannya yang ia rentangkan. Lalu sejurus kemudian menjulurkan tangannya untuk memeluk gadis di hadapannya, sambil antusias berkata, "Aurora!"

Nyatanya, gadis itu pun tak menolak tubuhnya didekap oleh Rio. Dengan mengerutkan kening, dia malah tersenyum. Bahagia.

Dan masih terus membisu di tepi lapangan basket, aku menyaksikan segalanya. Segalanya yang bahkan lebih menyakitkan dari hujaman seluruh samurai di dunia. Dan sakit itu harus di rasakan oleh hati yang masih memiliki luka menganga. Lalu, apa jadinya hatiku sekarang? Hancur tercabik-cabik. Patah menjadi jutaan keping. Lalu, apa aku masih bertahan dengan keadaan ini? Aku hanya gadis jelek, bodoh, dan lemah. Hujan, aku menangis lagi. Aku sudah tak bisa membendungnya. Tanggul air mataku hancur. Maka, hujan pun kian menderas.

Sementara disana, mereka masih asyik melanjutkan dramanya, tak peduli dengan guyuran hujan yang kian membesar.

Rio melepaskan dekapannya. Mengguncang tubuh gadis yang masih terus mengerenyit tak mengerti.

"Kamu Aurora. Auroraku. Aurora penerbit cinta." ujar Rio dengan mata berbinar walau tetesan hujan bergelayut lucu di ujung bulu matanya.

"Aku Keke, bukan Aurora."

Ya, dialah Aurora. Hipotesis konyolku terbukti. Hatiku semakin mencelos. Lalu jutaan keping itu pun mencipta luka yang lebih lebar menganga pada masing-masing permukaanya. Aku merasakan betapa kenyataan ini sangat menghantamku telak. Bukan hanya kenyataan bahwa Rio jatuh cinta pada Aurora dan kini dia -hampir- mendapatkannya. Tapi kenyataan yang lebih menampar jutaan pengharapanku. Kenyataan bahwa Aurora adalah Keke. Sahabat baikku.

"Jadi nama kamu Keke? Nama yang lucu, kaya pipi kamu!"

Keke belum mengurai kerutan di keningnya. Apalagi hujan yang menimpa rambut dan wajahnya, membuat sketsa kebingungan yang sangat kentara tertera di sana.

"Aurora..." Rio meraih kedua tangan Keke. Menggenggamnya erat penuh kesungguhan. Menatapnya tajam diiringi binar ketulusan. Berujar dengan sangat mantap. "Aku jatuh cinta sama pipi kamu yang kembang kempis. Aku jatuh cinta sama rengekkan kamu yang manja. Aku jatuh cinta sama tawa kamu yang renyah. Aku jatuh cinta sama kamu, Keke. Auroraku."

Dan dari tiap kata yang dituturkan olehnya, itu adalah serpihan luka yang kini langsung ia bubuhkan pada jutaan luka menganga pada kepingan hatiku. Sakit. Sakit sekali. Perih. Sangat perih. Hujan pun tak mampu membasuh luka itu, walau kini guyurannya kian menderas.

Aku menggigit bibir. Meraih bandul pelangiku. Lantas menggenggamnya erat. Meluapkan emosi yang sudah membuncah hingga ke ubun-ubun kepala. Menatap penuh kebencian pada dua lakon yang masih terus melanjutkan dramanya.

"Aku...aku..." Keke terbata-bata berbicara. Entah. Aku tak tahu apa yang akan ia ucapkan. Semoga takkan kembali menorehkan sakit yang tak terperikan. Ya, karena kalau sampai hal itu terjadi. Entah apa yang nanti akan terjadi. Mungkin aku akan mati. Atau lebih buruk lagi.

"Aku juga jatuh cinta sama lelehan minyak yang melumuri bibir mungilmu. Aku juga jatuh cinta sama kamu, Rio!" ujar Keke pada akhirnya, jauh dari harap yang ku panjatkan.

Dan kemungkinan yang lebih buruk dari kematian pun terjadi. Yaitu kematian dari cinta yang telah lama ku pertahankan. Kini, aku menyerah atas segalanya. Penderitaan telah cukup kejam menghantam diriku. Dan kini, ucapan Keke semakin menamparku dan menyadarkanku, bahwa aku masih tetap seorang itik buruk rupa. Dan selamanya akan tetap seperti itu.

Maka aku tak kuasa lagi melihat mereka yang kini mempertontonkan adegan berpelukan. Pelukan penuh cinta. Lalu aku pun berbalik. Mendapati seorang pemuda dengan senyum lebar khas miliknya sedang berdiri di bawah hujan. Menantiku untuk segera menghambur ke pelukannya. Sayang, kakiku terlalu kaku. Tak bisa melangkah sama sekali. Lalu akhirnya, dia yang datang menghampiriku. Menawarkan dadanya untuk menjadi sandaran tangisku yang seakan terus berlomba dengan tangisan alam untuk menjadi yang paling deras. Lalu aku tersungkur di dadanya. Mengikuti kemauan hujan. Dan pemuda berhati malaikat itu mendekapku erat. Hangat.

Kini, di bawah hujan, dua pelukan tercipta. Pelukan penuh cinta. Pelukan menyedihkan.

Dan sang pemuda yang kini masih terus ikhlas membiarkan dadanya kuyup oleh air mataku, berucap penuh ketulusan. "Menangislah! Hujan selalu punya cara untuk menghapus tangismu."

*
bersambung
*

HUJAN, Kita Dan Mimpi part 13


Tak ada cinta yang menyakitkan. Semua cinta mengandung keindahan. Dan apabila kita merasa sakit, itu adalah sepenuhnya perbuatan prahara yang tak pernah sudi melihat cinta berbahagia.

*

Segalanya berubah hanya dalam sekejap mata. Perubahan yang terjadi akibat tiap aksi yang digencarkan oleh Aurora. Pelan namun pasti. Ya, mungkin itulah taktiknya. Taktik yang dilakukan oleh gadis cantik nun jauh di sana. Taktik yang hampir menyerupai taktik seekor cicak memburu mangsanya. Mengintip terlebih dahulu. Meraba-raba dengan sangat hati-hati. Merayap perlahan. Lalu dalam hitungan sepersekian sekon, menjerat mangsanya. Telak. Mematikan.

Dan ternyata, taktik itu sangat ampuh. Terbukti saat ini, hanya dengan aksi perdananya, dia mampu mengesampingkan peranan cinta dalam kancah kisah yang tersusun oleh tiap jengkal harap. Lalu setelahnya, mengusir kejam cinta. Dan akhirnya, sampai pada tujuan utamanya, yaitu menimbun dalam-dalam sang cinta, setelah sebelumnya ia cabik dengan semena-mena.

Lalu, aku menyalahi sang cicak. Kenapa pula dia menciptakan taktik semacam itu? Kalau taktik itu tak pernah ada di muka bumi ini, maka prahara takkan melakukan hal jahat dengan cara yang tak terduga seperti ini. Aku takkan pernah merasa begitu tertohok karena perbuatan sang prahara yang sangat tiba-tiba, menyadarkanku dari buai pesona indah cinta. Dan organ vital bernama hati milikku, tak harus merasakan betapa menyakitkannya hujaman perih yang ditebarkan prahara.

Dan sekarang, memang apa yang bisa ku perbuat? Memusnahkan seluruh cicak yang ada di muka bumi ini? Jelas tidak. Lalu, apa aku harus menghapus prahara yang disuguhkan oleh Aurora? Itu tak mungkin. Semuanya sudah terlambat. Sebagaimana terlambatnya aku, untuk mengamankan hatiku, melindungi cintaku.

Maka akhirnya, yang dapat aku lakukan hanyalah bertahan dengan segala luka perih yang menganga lebar pada seluruh permukaan hatiku. Mencoba sekuat tenaga, menjunjung tinggi cinta, tanpa pernah membiarkannya harus tertimbun makin dalam. Menyusun keping harap yang sempat hancur berserak.

*

Pemuda tampan itu memang pintar. Sayang, hatinya tak pernah pintar dalam menangkap bagaimana perasaan orang yang berada di sekitarnya. Pemuda itu memang pemuda yang sangat tidak peka, walau sinyal kesedihanku terpancar amat kentara.

"Kemarin dia bermain seksopon lagi. Pipinya kembang kempis lagi deh! Uuuh! Lucu!" cerita Rio dengan raut muka bahagia dan mata yang berbinar.

Sementara hatiku kembali mencelos. Seakan luka menganga yang semalam sempat -sedikit- terobati oleh kehadiran hujan, terobek lagi. Dan aku menggenggam erat bandul pelangiku. Menguatkan diri.

"Dia cantik! Poninya lucu!" ujar Rio lagi.

Terus saja dia memuji dan memuja Auroranya. Atau, boleh saja sekarang aku bilang Gadis Senyum Manis-nya. Aku yakin, meski belum seratus persen hal itu benar. Ya, kemarin kan aku mendapatkan buktinya. Bukti bahwa Aurora adalah Gadis Senyum Manis. Aku menunduk sambil terus menggenggam bandul pelangi.

"Dia juga tertawa. Tawanya sangat renyah!"

Renyah? Seperti keripik singkong mungkin. Aku merutuk dalam hati sambil terus mengeratkan genggamanku pada bandul pelangi. Mencipta kekuatan, agar tak ambruk di hadapannya.

"Dia juga merengek! Haha, menggemaskan!"

Aku makin menunduk. Seakan ribuan kilo beban harus ditanggung oleh diriku. Memejamkan mata. Menggenggam bandul pelangi makin erat. Mengepalkan tangan yang satunya lagi. Dan menggigit bibir. Menahan amarah yang kian membuncah.

"Aku suka saat dia berlari. Rambutnya yang diikat dua jadi ikut bergoyang. Haha, pokoknya dia...."

Aku menggelengkan kepala, saat kini tiap katanya berdenging menusuk-nusuk gendang telingaku. Membuatku tak bisa bertahan dalam tekanan amarah yang terus menghimpitku. Dan tanpa aku sadari, aku mendongak lalu dengan lantang berkata "Berhenti!" membungkam jutaan kata indah yang dilontarkan Rio untuk menggambarkan Aurora -Gadis Senyum Manis- nya.

Rio mengerutkan kening. Menautkan kedua alisnya. Heran. "Ify?"

Seperti baru saja tersadar dari sebuah kebodohan, aku mengerjap. Merutuki sikapku yang dengan jahat membentak Pangeran Matahari. Hei. Memangnya kenapa? Salah? Bukankah dia juga tak pernah mempedulikan perasaanku? Lalu, kenapa sekarang aku harus mempedulikannya?

Aku bangkit dari kursi. Menatapnya tajam dan berkata "maaf, aku ke kelas dulu!" dan setelahnya aku bergegas meninggalkanya yang masih terdiam, sedikit tak percaya atas apa yang baru saja ku lakukan.

Dan tidak peka memang sudah menjadi bakatnya. Setelah tujuh langkah aku membiarkanya sendiri di pojok perpustakaan, dia bukannya merenungi diri mengenai apa penyebab sehingga aku berani membentaknya, dia malah menggelengkan kepala, mengangkat bahu tak acuh. Lalu sejurus kemudian menyandarkan tubuhnya pada kepala kursi, tersenyum sendiri, membayangkan keindahan gadis pujaannya.

Aku berdecak. Lalu dengan gumpalan amarahku pada pemuda itu beserta gadis lucunya, aku benar-benar melengos pergi. Tanpa sadar, rentetan air mata berbondong-bondong merembesi pipiku. Melewati tiap lekuk pipiku. Lalu berhenti dan bergelayut di ujung dagu runcingku. Maka sebelum air mataku menyentuh bumi, segera ku hapus air mata itu, lalu ku bendung bening yang belum sempat ku teteskan.

Karena tertutupi oleh tanganku saat menghapus air mata, aku tak dapat melihat apa dan siapa yang berada di depanku. Lalu aku pun akhirnya menabrak seseorang.

Aku meringis sambil memicingkan mata, melihat siapakah yang tidak sengaja ku tabrak. Meskipun mataku hanya dapat melihat samar, karena nyatanya air mataku masih menggenang, aku dapat mengetahui orang tersebut. Seorang lelaki yang selalu memamerkan senyum lebar khas miliknya, namun kali ini terlihat -sedikit- berbeda dengan kacamatanya.

"Alyssa." ucap Gabriel.

"Aku..." menghela nafas. "Ga kenapa-napa!"

Kalian dengar apa yang ku katakan? Aku tak kenapa-napa. Seperti, janjiku pada Rio, untuk tidak membuat siapa pun khawatir. Ah, kenapa aku masih saja memegang kukuh janji itu. Toh, janji Rio untuk tak akan pernah pergi dariku saja tidak ia tepati. Dia malah meniru matahari, yang kala malam menyapa, pergi meninggalkan hari. Dia mungkin tak pernah ingat akan janjinya itu. Aku mendesah.

"Tapi kok kamu nangis?" tanya Gabriel sambil meraih tanganku yang sedari tadi menempel pada pipiku.

Menangis. Bahkan, aku tak bisa membuktikan ucapanku sendiri. Aku tidak kenapa-napa. Lalu air mata ini? Tangis ini? Luka hati ini? Cinta tertimbun ini? Semuanya hanya kemunafikan. Bagus. Aku kembali menjadi gadis munafik seperti pemeran di sinetron itu kan? Tepuk tangan untuk aktris yang sangat frofesional ini.

"Aku cuma kelilipan."

Bagus. Alasan yang sangat bagus. Gabriel saja sampai mengerutkan kening. Dia pasti berfikir, tak mungkin kelilipan menyebabkan bertetes-tetes air mataku jatuh. Kecuali kelilipan biji salak.

"Aku ga apa-apa!" ujarku pada akhirnya dan bergegas pergi ke kelas. Tak peduli dengan tanda tanya yang tercipta pada benak Gabriel.

*

Aku mendesah lalu menghempaskan tubuhku di tempat dudukku. Keke yang awalnya sedang mengobrol bersama Aren, langsung menoleh ke arahku. Menatap jengah diriku yang kembali menenggelamkan kepala di atas meja.

Aku kembali merutuk dalam hati. Mencibir sikap Rio yang tak pernah peka. Menghina perlakuan Aurora padaku yang -secara tak langsung- menyakiti hatiku. Bukan Aurora. Tapi Gadis Senyum Manis. Dan aku pun menyalahi sang gadis. Kenapa dulu aku sempat mengagumi dan terbuai akan lengkung senyumnya? Kalau pada akhirnya, ini hanya cara licknya untuk merebut Rio dariku. Taktik sang cicak dia lakukan dengan sempurna.

Kini, tak tersisa sedikit pun kekagumanku pada senyum gadis itu. Bahkan sekarang aku teramat membenci senyuman itu, senyuman penjahat. Bukan hanya itu, aku juga benci segalanya tentang sang Gadis. Terutama pipinya yang kembang kempis yang mampu memacu getaran cinta untuk menjalari seluruh pembuluh Rio. Aku benci Gadis Senyum Manis.

"Aku kan udah bilang, kamu bisa cerita sama aku." Keke angkat bicara.

Aku tak menggubris ucapan Keke. Aku masih terus bergelung tentang kejahatan Gadis Senyum Manis. Dan entah karena apa, -mungkin karena aku yang terlalu mengagumi senyuman sang gadis dan tak tega untuk membenci senyuman yang kelewat indah-, maka sebuah desauan angin menyapa relung hatiku. Angin itu menyelipkan sebuah pesan tersirat berisikan penolakan atas dugaanku yang terlebih dahulu. Menyalahi hipotesisku bahwa Aurora adalah gadis senyum manis. Lalu, apa satu fakta yang kemarin ku dapatkan itu belum cukup? Tentu tidak. Butuh jutaan fakta lagi untuk membuktikan kebenarannya. Tapi setidaknya satu fakta itu mendukung 99 % hipotesisku. Tunggu. Aku lupa yang 1 % persen lagi. Sesungguhnya, sekecil apa pun kemungkinan itu, atas kehendak Tuhan semuanya bisa terjadi. Termasuk kemungkinan bahwa Aurora bukanlah Gadis Senyum Manis.

Menolehlah aku pada Keke yang setia menantiku untuk bercerita padanya. Keke selalu punya jawaban dari tiap pertanyaanku. Maka aku pun bertanya padanya.

"Menduga-duga itu salah ya Ke?" tanyaku.

Keke mengerenyit lalu menghela nafas. "Ga salah. Cuma ga baik aja!"

"Terus?"

"Memastikan lebih baik!" ujar Keke sambil tersenyum.

Keke benar. Memastikan lebih baik. Pada akhirnya aku pun memutuskan, sepulang sekolah nanti, aku akan pergi ke taman, menemui sang gadis, meminta sebuah kepastian.

*

Pemuda gondrong dengan wajah menyenangkan itu nampak mengolesi lelehan krim coklat pada pipi mulus gadis di sebelahnya. Sementara gadis itu nampak sebal dan mengulum bibirnya. Lalu membalas mengoleskan krim vanilla pada wajah pemuda 'nakal' itu. Namun, dia sempat menghindar. Dan krim itu pun tertoreh pada rambut gondrongnya.

"Hahaha..." mereka tertawa bersama.

Mereka berdua sangatlah dekat. Dimana pun berada, mereka selalu bersama. Aku tak pernah melihat gadis itu sendirian atau sebaliknya, pemuda itu yang ku dapati sedang sendiri. Mereka selalu bersama setiap saat. Hanya berdua. Tak ada seksopon di antara mereka. Ya, aku semakin yakin saja Gadis itu bukanlah Aurora. Semoga saja.

Aku mulai melangkah perlahan menghampiri mereka. Agak ragu sebenarnya. Namun ucapan Keke terngiang dan menghapus keraguanku. "Memastikan lebih baik."

Aku menggigit bibir. Bingung sendiri saat aku sudah berada tepat di depan mereka.

"Eh..." seruku tertahan.

Mereka berdua menghentikan adegan colek-mencolek krim. Menatapku heran, lalu saling berpandangan.

"Temennya Rio ya?" tanya Ray -pemuda itu-.

Aku mengangguk pelan.

"Ada apa? Duduk sini!" kata sang Gadis sambil menepuk pelan rumput di sebelahnya.

"Aku..." kataku terbata-bata sambil mendudukkan diriku di sebelah gadis itu.

"Oh ya, kenalan dulu! Aku Sivia, ini sahabat aku Ray." kata gadis itu. Akhirnya, setelah sekian lama aku mengagumi keindahan senyum miliknya, aku bisa mengetahui namanya. Sivia. Nama yang cantik. Sama seperti senyumnya.

"Aku ify."

"Kamu mau apa?" tanya Sivia.

"Aku mau tanya sama kamu. Kamu..." aku mendesah.

Sivia dan Ray menatapiku tajam. Mereka menunggu pertanyaan apa yang akan ku berikan.

"Kamu... bisa main seksopon?"

Sivia dan Ray saling bertatapan dengan kedua alis yang bertautan. Dan tiga detik kemudian, tawa Ray pecah. Dia memegangi perutnya yang sakit karena tertawa terlalu bersemangat.

Aku dan juga Sivia mengerenyit melihat Ray yang tertawa terpingkal-pingkal. Aneh sekali tingkah Ray. Memangnya ada yang lucu dari pertanyaanku? Aku rasa tidak.

"Ish! Kamu kenapa sih Ray?" tanya Sivia.

"hahahahaha..." Ray terus tertawa. Makin keras.

"Ada yang lucu ya Ray?" tanyaku.

"Ada. Hahahaha.."

"Apa?" tanyaku dan Sivia bersamaan.

"Pertanyaan kamu lucu Fy! Haha..." Ray mencoba mengontrol tawanya. Dia menarik nafas lalu mulai menjelaskan apa penyebab tawanya yang begitu terpingkal-pingkal. "Sivia itu ga bisa main satu pun alat musik. Jangankan seksopon, kecrekan aja fals. Hahaha..."

Sivia mengulum bibir. Menatap tajam Ray dengan tatapan: Dasar-tukang-buka-aib-orang. Yang ditatap malah terus saja melanjutkan 'ceremony' tertawa dengan wajah tanpa raut bersalah.

Sivia berdecak. Lalu tangan kanannya ia ulurkan ke depan, meraih perut Ray. Setelah berhasil, dia menghadiahi cubitan kesal untuk pemuda yang langsung berhenti tertawa dan meringis kesakitan sambil mengusap-usap perutnya. "Sakiiitt!"

"Abisan nyebelin banget sih!" Sivia melipat kedua tangannya di depan dada, lalu memalingkan muka.

Aku jadi terkekeh sendiri melihat mereka. Sepertinya mereka lebih dari sepasang sahabat. Pacar mungkin.

Aku mengerjap. Teringat tujuan awalku menanyakan ini pada Sivia, untuk memastikan apakah dia Aurora. Namun sepertinya, hipotesisku itu akan mementah seiring Sivia yang mulai berujar.

"Seperti yang Ray katakan. Aku ga bisa main seksopon. Emang kenapa?"

Sesungguhnya, aku lega mengetahui bahwa Sivia tidak bisa bermain seksopon yang beraqti pula bukan dia Auroranya. Dan aku bersyukur, karena aku tak harus membenci senyuman manisnya. Aku takkan mampu melakukannya.

Tapi, dengan penyangkalan terhadap hipotesisku ini, berarti aku harus kembali memutar otak mencari tahu siapa sebenarnya Aurora.

"Ngomong-ngomong soal seksopon, inget ga Vi sama gadis tembem yang kemaren main seksopon di taman ini?" ujar Ray tiba-tiba.

Hatiku seakan tergelitik saat dengan gamblang Ray mengatakan gadis tembem yang bermain seksopon. Pastilah gadis yang Ray maksud adalah Aurora.

"Oh gadis itu, aku ingat!" ujar Sivia antusias.

Aku menunggu lanjutan percakapan antara Sivia dan Ray. Potongan informasi yang akan menciptakan hipotesis yang tak mungkin mementah lagi.

"Dia cantik ya, apalagi dia masih memakai seragam sekolahnya." ucap Ray lalu menoleh ke arahku.

Aku jengah ditatapi Ray seperti itu, tatapan menyelidik. Dan kini Sivia malah ikut menatapiku. Aku meneguk ludah. Kenapa dua mahluk Tuhan ini aneh sih?

Mereka saling bertatapan, lalu sejurus kemudian mereka memekik bersamaan. "SERAGAM ITU!"

"seragam gadis itu sama kaya seragam kamu!" ujar Ray sambil mengguncang lenganku.

"Berarti, gadis itu satu sekolah sama kamu!" kata Sivia sambil mengguncang lenganku yang lainnya.

*
bersambung
*