HUJAN, Kita Dan Mimpi part 18B
Sementara sang rival tak ambil pusing dibuatnya. Dia mengambil tantangan yang ditawarkan. Sama sekali tak merasa gentar. Bahkan apa yang dilakukannya jauh lebih menyakitkan. Dia menebarkan aura penolakkan yang sangat amat kentara. Suasana hangat yang biasanya selalu ia cipta, kini berubah menjadi hawa dingin yang menusuk tulang. Mencekam.
Dan semuanya terjadi saat ini. Saat kami berdua duduk berhadapan. Hanya terhalang meja putih panjang. Namun aku merasakan jurang pemisah yang terjal tengah melintang. Kami hanya diam. Tak mengeluarkan suara sekecil apa pun. Seakan kalau ada sedikit pun suara, maka hawa dingin itu akan meledak seketika. Menghancurkan siapa pun yang termasuk di dalamnya. Semakin memperbesar jurang pemisahnya. Sangat sensitif.
Maka kini diam adalah sikap yang ku ambil. Ya, karena hanya diam yang dapat ku lakukan. Sambil sesekali mendesah tak kentara. Sampai tak ada siapa pun yang mendengarnya. Sementara kepalaku, terus menunduk. Tenggelam menatapi ujung-ujung rokku. Menggigit bibir. Berteriak dalam hati. Mengatakan bahwa disini, di organ vital bernama hati ini, tersimpan setumpuk rindu. Rindu yang ingin segera ku serahkan padanya. Pada si empunya.
Rio. Dia tak melakukan apa-apa. Berhenti melahap pisang gorengnya. Menatap dengan tatapan menerawang. Dan aku menemukan ekspresi yang baru kali ini ia pasang di wajah tampannya. Ekspresi datar namun tegas. Menciutkan nyali siapa saja yang memandangnya. Termasuk aku, yang merasakan sesak yang mendalam, kala aura penolakan itu semakin mengental. Dia benar-benar berubah. Dan tanpa sadar, akulah yang berperan besar dalam perubahan itu.
Oh Tuhan, kenapa kau harus menjebakku dalam situasi ini? Berdua dengannya memang sebuah harapanku. Tapi kalau suasana sedingin Antartika yang harus ku rasakan, sungguh jauh dari harapku. Yang ada, hanyalah menyesakkan hatiku. Maka monster yang tadi sejenak terlelap, kembali terjaga. Memukul-mukul dadaku. Menambah pilu yang harus ku rasakan. Ia berteriak. Memerintahkanku untuk mencairkan suasana. Memaksa lidahku untuk mencipta seuntai kalimat. Kalimat ajaib yang akan merubah segalanya. Hei, monster itu salah. Aku bukanlah Gabriel yang selalu mempunyai jutaan kalimat ajaib yang menakjubkan. Aku bukan dia. Ah ya, kemanakah dirinya? Mengapa membeli minuman saja ia lama sekali? Apa ia sengaja membiarkanku berjuang sendirian? Tak tahukah ia, aku lemah tanpa bisikkan tulusnya. Aku rapuh tanpa lengkung senyuman mempesonanya. Aku kehilangan kekuatan tanpa genggaman hangat tangannya. Aku membutuhkan segala yang ada pada dirinya. Tanpa ku sadari, ada bagian yang lain dari hatiku yang mencelos saat kesederhanaannya tak lagi mendampingiku. Aku butuh dia saat ini. Aku butuh Gabriel.
Dan pada akhirnya, suara baritone lembut Riolah yang memecahkan keheningan yang sejak lama mencekamku. Dia mengucapkan sebuah kalimat. Kalimat yang benar-benar ajaib. Karena setelah mendengarnya, aku langsung mendongakkan kepala. Menggigit bibir semakin kuat. Menahan sakit akibat jutaan keping hatiku yang kembali didera pedih. Menyakitkan.
"Aku cinta Keke!" ujarnya. Terdengar seperti sebuah penegasan akan statusnya saat ini. Menekankan agar aku tak perlu dan tak berhak lagi atasnya. Termasuk tak berhak menyimpan rasa cinta yang memenuhi tempat istimewa di hatiku. Menyuruh untuk memusnahkannya sesegera mungkin.
"Dan aku ga mau siapa pun nyakitin dia. Termasuk kamu. Pelangi yang aku sayang."
Aku terkesiap mendengar kalimat terakhir yang menjadi kalimat penghujung ucapannya. Pelangi yang aku sayang. Aku pelangi. Pelangi-nya. Pelangi yang ia sayang. Dia masih ingat itu? Aku fikir, pesona Aurora telah melenyapkan hal itu dari otaknya. Tidak. Bahkan dia masih menyimpan sayang itu di sana. Di bagian kecil hatinya yang takkan bisa terjamah oleh siapa pun. Tak terkecuali Auroranya.
Aku membuka mulutku. Berusaha untuk mengeluarkan sejuta pembelaanku. Aku tak bermaksud melakukannya. Segalanya terjadi tanpa campur tangan logikaku. Semuanya hanya sebatas emosi saja. Ya, mana mungkin aku tega menyakiti Keke, sahabat manisku. Kalau pun ia, aku pasti akan menyesalinya dan mengutuk diriku sendiri seperti saat ini. Tapi semua kata-kataku seakan tercekat di rongga tenggorokkan. Tak mampu terlontar seperti yang ku inginkan. Sang monster tengah menahannya.
Rio mendesah. Menohok mataku yang berair. Lantas berkata, "Kamu bukan pelangi yang aku sayang. Pelangiku baik. Dia sayang sama sahabatnya. Selalu mau membuat sahabatnya tersenyum. Bukan malah membuatnya menangis semalaman."
Keke? Menangis semalaman? Ternyata benar. Kantung mata yang ku lihat tadi pagi adalah dampak dari tangisannya. Mata bulatnya yang indah itu berkantung. Mengharuskannya memakai sebuah kacamata untuk menutupinya. Meski memang, dia masih terlihat cantik dengan kacamata. Ya, apa pun yang ia kenakan, tak mengikis sedikit pun kecantikannya. Karena Keke memiliki hati yang jauh lebih cantik dari parasnya.
"Ma... maaf..." ujarku terbata-bata. Setetes air mata, terjun melewati pipiku. Kemudian bergelayut sejenak di ujung dagu runcingku. Sampai akhirnya mendarat di meja putih panjang di hadapanku. Aku menghela nafas. Mulai berbicara kembali. "Maaf mengecewakanmu! Maaf telah membuatmu menyesal memberikan panggilan Pelangi untukku. Maaf karena... karena aku tak pantas kamu sayangi."
"Aku yakin kamu bisa berubah. Berubah menjadi pelangi yang dulu. Yang aku sayang." Rio meraih jemari tanganku. Menggenggamnya lembut. Ini genggaman yang dulu selalu hadir di setiap ia mendaratkan kepalanya di bahuku hanya untuk menghilangkan kantuknya. Ini genggaman yang ku rindukan. Maka lewat getaran itu aku membuang setumpuk rinduku padanya. Habis tak bersisa. Tak ku sadari, rasa cinta ikut terbuang bersamanya.
"Aku sayang kamu pelangi!" ujarnya. Semakin mempererat genggamannya. Yang entah kenapa, rasanya sedikit berbeda. Tak sehangat dan menenangkan seperti dulu.
Aku menarik ujung-ujung bibirku. Mencipta seulas senyum. Senyum yang menandakan bahwa aku akan berubah menjadi pelangi yang ia sayangi seperti apa yang ia mau. Senyum yang menunjukkan bahwa kini aku kuat dan mampu bertahan. Meski tanpanya dan tanpa cinta yang telah lama tinggal di hatiku yang menghilang seiring dengan tautan jemari kami yang terurai.
"Kamu masih pakai kalung pelangi dariku?" tanyanya dengan ekspresi ingin tahu.
"Tentu."
"Kamu pakai kalung itu terus ya!" Rio memelas.
Aku mengangguk. Meski cinta itu sudah pergi entah kemana, tapi paling tidak sesuatu yang ia berikan masih tetap menggantung di leherku. Penegasan bahwa aku ini pelangi. Tetap menjadi pelangi. Tak tergoyahkan oleh segala macam prahara.
Maka kini segalanya telah usai. Kesakitanku memang belum sepenuhnya enyah. Jutaan luka itu masih menganga dan menampilkan keadaan yang menyedihkan. Tapi aku percaya, secepatnya akan ada cinta yang menyentuh relung hatiku. Lantas dengen ketulusannya akan menyembuhkan luka itu. Menyusun tiap keping hatiku sampai utuh kembali. Lalu menyempurnakannya dengan kesederhanaan sikapnya. Dan entah mengapa, aku berharap bahwa pemuda berhati malaikat itulah yang akan menjadi pemilik cinta itu.
Aku terkesiap saat mendengar suara yang sangat familiar di telingaku. Maka aku mendongak. Tersenyum mendapatinya baru saja tiba bersama seorang wanita yang kira-kira berusia 20 tahunan. Wanita itu membawa sebuah nampan dengan empat gelas berisi teh manis dingin di atasnya. "Taruh di situ aja Mbak Lilis." ujarnya dengan ramah.
Mbak Lilis mengangguk. Memindahkan keempat gelas teh manis itu ke atas meja. Sejurus kemudian membungkukkan badan seraya mengucapkan "Permisi". Kemudian segera bergegas.
Gabriel mengucapkan terimakasih. Menatapku seraya tersenyum. Aku mendesah. Lega dia telah kembali.
"Keke kemana?" tanya Gabriel.
"Ke toilet. Tapi kok lama ya? Aku susul dia dulu ya!" kata Rio lantas bergegas meninggalkan aku dan Gabriel berdua.
Keheningan kembali tercipta. Aku merasakan sesuatu yang berbeda. Perasaan canggung mulai merayapi hatiku. Kecanggungan yang tak pernah terjadi sebelumnya. Tentulah. Karena Gabriel memang selalu pandai menghangatkan suasana. Namun kali ini, dia hanya terdiam. Mengunci rapat mulutnya untuk tak berbicara. Namun kedua bola matanya tak henti menohok manik mataku. Mengajakku untuk masuk ke dalam dunianya. Lantas bersama-sama menjelajahi sebuah rasa. Rasa cinta yang kini telah kembali Tuhan titipkan pada hatiku. Dan kali ini cinta itu berisikan jutaan mimpi yang dalam tiap jengkalnya berisikan pemuda berhati malaikat itu.
"Gimana?" tanya Gabriel.
Aku mengerjap. Apa tadi katanya? Oh Tuhan, ada apa dengan diriku? Mengapa tiba-tiba aku merasa gugup? Padahal aku sudah sering mendapat tatapan teduhnya. Lalu sekarang, mengapa semuanya nampak sangat berbeda? Lebih menawan. Mempesona.
Gabriel mengulang pertanyaanya. "Gimana?" lantas menambahkan kata yang memperjelas pertanyaan tersebut. "Gimana sama kamu dan hati kamu?"
Aku tersenyum. "Aku baik-baik aja. Aku kan kuat. Dan akan selalu kuat." ujarku.
Gabriel pun ikut tersenyum. Senyuman lebar khas miliknya. Lantas ia menggerakkan tangannya untuk mengacak rambutku. Lalu menepuknya perlahan.
Dan saat itu pula, sang monster tengah tertawa. Seraya menggodaku jahil. Maka aku merasakan pipiku memanas. Sepertinya semburat merah tengah mewarnai pipiku. Ah, aku tersipu. Aku malu.
"Kamu aneh." ujarnya sambil memicingkan matanya. Tangannya masih menyentuh puncak kepalaku. Sementara tangan yang lainnya ia gunakan untuk menyentuh ujung daguku. Mengangkatnya perlahan. Lalu mengamati setiap lekuk wajahku.
Tercekat. Aku menahan nafasku. Saat wajah Gabriel semakin saja mendekat dengan wajahku. Ya Tuhan, nafas hangatnya menyapu lembut wajahku. Melihat wajah pahatan sempurna miliknya, ternyata mampu membuat tubuhku kaku. Sang getaran misterius kembali hadir. Mengacaukan kerja otakku. Semakin menambah semburat merah pada pipiku.
Dan saat jarak antara wajah kami hanya tinggal beberapa centi, Gabriel terkekeh lantas menjawil hidungku. "Kamu lucu ya!" katanya seraya mengedipkan matanya nakal lantas kembali ke posisinya yang semula. Sejurus kemudian meraih segelas teh manis yang ada di meja lalu meminumnya.
Maka aku mendesah lega. Memegangi hidungku yang baru saja terkena jawilannya. Tersenyum saat kembali mendapati siluetnya yang selalu nampak sederhana. Lantas menunduk untuk mencoba menetralisir laju darahku yang tadi mengalir tak normal. Seraya terus menyusun kepingan hatiku untuk menyediakan tempat yang lebih lapang untuk menyimpan cinta yang baru diciptakan Tuhan. Cinta yang jauh lebih sederhana untuk pemuda berhati malaikat yang sederhana pula.
Dan, pada akhirnya, aku kembali mencipta jutaan harap. Harap agar cintaku tak kan bernasib semengenaskan cintaku yang pertama. Harap agar sang prahara tak kan hadir kembali untuk merusak kebahagiaan yang kelak nanti akan ku dapatkan darinya. Dan kini, aku kembali berani untuk bermimpi. Tentu saja. Karena kisah ini tercipta dari mimpi. Maka sudah sepatutnya pulalah mimpi-mimpi itu selalu mengiringi tiap inci kisah klasik ini. Tentang Hujan, Kita dan Mimpi.
*
Hujan, kini seluruh mimpiku, setiap harapku,
ada dan tercipta untuknya, Pangeran Hujanku.
*
bersambung
*