Mei 2018

Senin, 07 Mei 2018

Aku dan Psoriasis




Siapa sih perempuan yang ga ingin jadi cantik? Semuanya juga pingin. Termasuk aku. Sayangnya, standar kecantikan yang berlaku bagi sebagian besar masyarakat tidak akan mungkin aku capai. Pesimis? Tidak. Aku realistis.

Mari kuceritakan sebuah kisah sedih yang saking sedihnya sekarang kalau aku lagi sedih, aku suka bandingin, "alaaahhh, ini mah ga ada apa-apanya sama apa yang terjadi dulu." Jadi kalau ada yang nanya "Snap, kenapa kamu ceria terus? Kamu ga pernah sedih ya?" Itu semata-mata karena aku pernah merasakan kesedihan yang keterlaluan.

Waktu aku kuliah Preklinik dulu, aku ikut semacam sekolah pengabdian. Jadi pengajar. Ga ada tujuan apa-apa selain pingin bersenang-senang karena ku sangat suka anak-anak. Tidak ada motif lain. Tidak juga terlalu malaikat lalu aku memakai alasan, "hatiku terpanggil. Aku pingin mengabdi." Ga. Levelku belum sampai situ. Apa yang kulakukan ya semata-mata karena aku senang aja.

Jadwalku mengajar tiap hari sabtu. Kebagian mengajar non akademik, karena aku ga mau pusing. HHH. Aku ngajarin anak-anak buat jadi percaya diri. Sadar aku ga punya bakat apa-apa selain percaya diri yang tinggi.

Aku happy ngajar. Sampai aku jadi jarang pulang ke rumah dan lebih milih bareng anak-anak. Aku happy sendiri, padahal di rumah ada nenekku lagi sakit. Nenek emang udah sakit bertahun-tahun. Waktu itu jumat libur dan aku memutuskan untuk pulang. Nenekku tuh ga pernah nyuruh aku apa pun. Dia bawel dan suka ngomelin aku, tapi buat nyuruh tuh ga pernah. Tapi sabtu waktu itu ga tahu kenapa nenekku jadi manja banget sama aku. Minta diambilin ini, minta diambilin itu. Minggu subuh, aku pamit tuh sama dia. Mau pergi soalnya ada jadwal outbond gitu sama anak-anak. Nenek kelihatan kecewa banget waktu aku pamit. Kali pertama aku nangis ninggalin nenek. Tapi ya aku tuh emang kurang peka, jadi ya udah pergi aja.

Malam sekitar jam 7, Papa telepon kalau nenek udah ga ada. Aku langsung nangis dan minta dijemput malam itu juga. Ga pernah aku ngerasa sesedih itu. Aku tuh dari umur 2 tahun selalu bareng sama nenek. Kelas 4 SD, aku tinggal di rumah nenek. Tidur sama dia. Apa-apa sama dia. Terus aku dapat kabar kalau dia udah ga ada waktu aku lagi ga ada. Aku ngerasa bersalah banget. Aku lebih milih anak-anak yang entah itu anak-anak siapa dibanding Nenek aku, keluarga aku. Aku tahu sih anak-anak emang butuh aku, dan mungkin ngajar mereka tuh salah satu hal yang baik. Tapi ironis ga sih aku ninggalin nenek buat anak-anak. Aku sok-sokan ikut pengabdian, tapi mengabdi sama Nenek sendiri aja ku ga bisa.

Sejak hari itu, aku mengurangi banyak kegiatanku di sekolah itu. Teman-temanku di sana ga ada yang tahu keadaanku sebenarnya. Sengaja aku rahasiakan itu dari mereka. Aku cari-cari alasan lain aja. Padahal alasanku sesungguhnya adalah aku mau menebus dosaku sama nenek dengan selalu hadir untuk keluargaku yang masih ada. Mama, Papa, Kakek.

Itu kesedihanku yang pertama. Dan apa yang lebih sedih dari kehilangan seseorang yang kita cintai? Hal paling menyedihkan dalam hidup (setidaknya untukku) adalah kehilangan diri sendiri dan rasa percaya terhadap diri sendiri. Gimana kita bisa percaya sama orang lain, kalau sama diri sendiri aja udah ga percaya? Aku pernah ada dalam fase itu. Mari ku ceritakan bagaimana itu bisa terjadi.

Aku tuh orangnya ceria, energik, bersemangat, optimis, pokoknya aku tuh selalu kelihatan happy aja di depan orang-orang. Dan emang adanya aku begitu.

Waktu nenekku meninggal, seminggu aku murung. Tapi kemudian aku mikir, hidup kan terus berlanjut. Kehilangan adalah hal yang wajar. Boleh sedih, tapi ga usah lama-lama. Abis itu aku ceria lagi. Selang dua bulan dari nenek meninggal, aku mendapati kulit tubuhku banyak bintik-bintik merah. Ku pikir ini alergi biasa, dan ya kubiarkan saja. Tapi seminggu kemudian, si bintik-bintik itu makin banyak dan besar. Hampir semua area tubuhku ada si merah, kecuali muka. Saat itu, aku putuskan untuk ke dokter spesialis kulit. Kata dokter, ini karena bakteri. Dikasihlah aku antibiotik dan suplemen. Dokter minta aku datang lagi seminggu kemudian.

Seminggu kemudian, udah ada perubahan tuh di kulit aku. Si merah mulai menghilang meskipun ga semua. Aku datang ke dokter. Dia bilang, ini udah mau sembuh. Obat pun dia berhentiin. Aku cuma dikasih suplemen.

Dua minggu kemudian, si merah muncul lagi bahkan lebih liar. Di mana-mana. Makin gede. Aku kelabakan. Ini kok bisa muncul lagi gini? Waktu itu aku yang lagi stress sama kuliah dengan praktikum-praktikumnya itu makin stress ngelihat keadaan tubuh aku. Aku balik lagi ke dokter yang sama.
Dokter masih bilang hal yang sama. Karena bakteri. Dikasih antibiotik dengan dosis lebih tinggi. Seminggu kemudian aku disuruh balik lagi. Sama kayak yang pertama, si merah menghilang (meskipun ga semuanya). Aku balik lagi ke dokternya. Dokternya bilang bentar lagi sembuh dan obat pun diberhentikan.

Dan dua minggu kemudian hal yang sama juga terjadi lagi. Si merah makin menggila. Aku bingung. Ini dokter  bener ga sih mendiagnosis penyakit aku? Bukannya ga percaya atau apa. Tapi kenyataannya ini si merah balik lagi-balik lagi. Yaudahlah, saat itu ku putuskan untuk ga akan pernah pakai jasa dokter itu lagi.

Aku cari dokter lain. Lebih parah, aku dikasih obat antibiotik, antivirus dan antijamur sekaligus. Aku ga ngerti ini sebenarnya aku sakit apa dan karena apa? Karena bakteri, virus atau jamur? Tapi kan aku ga bisa sok tahu. Dokter lebih tahu dari aku. Ya udah, aku ikutin instruksi dokternya. Tapi bukannya membaik, kondisi aku malah makin parah. Bahkan tubuh aku jadi lemas banget. Suatu malam aku demam tinggi dan besoknya sama sekali ga bisa ke mana-mana. Aku bolos kuliah.

Selain pengobatan dari dokter, aku juga menjalani pengobatan secara tradisional. Tiap pagi dan malam, Mama ngolesin tubuh aku pakai sari dedaunan yang entah apa aku juga tahu. Sayangnya, keadaanku tidak jadi lebih baik. Si merah tetap ada. Di dada, perut, tangan, kaki, kulit kepala, bahkan wajah.

Saat itu, dunia bagiku udah ga lagi menyenangkan. Selain kuliah, ga ada yang bisa aku lakuin. Bahkan kalau bisa, aku ga mau keluar rumah sama sekali. Ketemu orang adalah neraka buatku saat itu. Gimana enggak, mereka ngelihat aku kayak monster pembawa wabah penyakit. Aku sering dapat tatapan jijik dari orang-orang. Mereka pikir, aku mau kayak gitu? Jelas enggak. Bahkan aku ga tahu apa yang sebenarnya terjadi sama diri aku sendiri.

Teman-temanku banyak yang bertanya, aku kenapa. Aku ga bisa jawab. Aku ga tahu. Aku benar-benar ga tahu. 

Aku sempat capek dan bosan sama usaha-usahaku buat sembuh yang sama sekali ga membuahkan hasil. Aku ga mau minum obat. Aku ga mau pakai daun-daun yang baunya aneh itu. Aku ga mau datang ke dokter lagi. Udah. Aku mau biarin aja. Nanti lama-lama, penyakitnya juga bosen. Dia caper aja diperhatiin sama aku. Mungkin dia bakalan pergi kalau aku bodo amat. Aku marah, tapi gahu harus marah sama siapa.

Tapi ternyata, waktu aku mau nyerah, aku ga bisa. Ada Mama Papa di sana yang juga ikut berjuang sama aku. Dan semua semata-mata demi kesembuhan aku. Demi aku balik lagi jadi Sinta yang dulu. Yang ceria dan bahagia. Ini ternyata, bukan cuma soal aku. Tapi juga Mama Papaku. Aku mau coba lagi.

Waktu itu, aku kuliah matkul Kulit Kelamin. Materi hari itu tentang lupus. Waktu dosen lagi menyampaikan materi, ga tahu kenapa aku nyambung-nyambungin materinya sama apa yang terjadi sama aku. Ruam di wajah berbentuk kupu-kupu. Aku punya ruam di wajah. Meskipun bentuknya bukan kupu-kupu, tapi kalau ditarik garis khayal, hampir menyerupai kupu-kupu. Terbersit dalam pikiranku, apakah aku lupus?

Sepulang kuliah, aku cari tahu lebih jauh tentang lupus. Fakta-fakta yang aku dapatkan sama sekali ga bikin ku tenang. Perasaan takut, khawatir, cemas, sedih. Aku ga mau punya lupus. Ketakutan itu membawa aku pada semangat baru untuk sembuh. 

Merasa sama dokter yang sebelumnya sama sekali ga ada kemajuan, aku datang ke dokter yang lain. Melalui anamnesis dan pemeriksaan yang lebih detail, akhirnya untuk pertama kalinya sebuah nama penyakit didiagnosiskan buatku. Sebelumnya, ga ada dokter yang dengan gamblang bilang penyakitku apa. Dokter bilang, aku psoriasis. Aku pernah dengar penyakit itu waktu kuliah. Tapi sama sekali ga ngeh mengenai tanda dan gejalanya mirip dengan apa yang aku alamin.

Psoriasis adalah penyakit autoimun di mana sel berkembang lebih cepat dari semestinya. Waktu itu, cakrawala seakan runtuh. Psoriasis emang ga sepopuler dan separah lupus. Tapi yang namanya penyakit autoimun, sama aja. Itu artinya, seumur hidup aku harus bareng-bareng sama dia.

Diagnosis yang benar akhirnya menghasilkan rangkaian perawatan yang harus aku jalani. Karena kondisiku waktu itu udah parah (90% kulit aku kena), aku udah ga bisa disembuhkan pakai obat oral. Aku terpaksa harus disuntik kortikosteroid. Pengobatannya bertahap. Awalnya seminggu sekali, lalu dua minggu sekali, hingga satu bulan sekali. Butuh waktu sekitar 5 bulan untuk aku bisa sembuh. Ga. Bukan sembuh. Ruamnya hilang. Tapi psoriasisnya masih ada. Sewaktu-waktu bisa datang kalau aku stress, capek, dan berat badanku naik. Ya, tiga hal itu yang dokter wanti-wanti sama aku. Aku ga boleh stress, ga boleh capek, ga boleh gendut.

Pengobatan dengan kortikosteroid bukan hanya membawa kesembuhan buatku, tapi juga efek samping. Aku mengalami moonface alias wajah bulan. Apakah aku senang wajahku seperti bulan? Tentu enggak. Ini bukan cuma kiasan. Wajahku memang seperti bulan, benar-benar bulat. Teman-temanku melemparkan lelucon itu. Sakit hati? Harusnya iya. Tapi aku sadar, apa yang mereka bilang benar. Jadi kenapa aku harus sakit hati? Tubuhku bukannya pernah jauh lebih sakit?

Setahun waktu yang telah aku habiskan untuk melawan itu penyakit itu. Dari yang cuma bintik-bintik, sampai akhirnya ruam, dan bikin aku hampir nyerah. Dari pertama aku didiagnosis, sampai akhirnya aku menyelesaikan pengobatanku. Selama itu pula, aku kehilangan banyak hal. Aku udah ga ngajar di sekolah. Aku mengundurkan diri setelah beberapa kali ditegur oleh kepala sekolah dengan anggapan bahwa aku lalai. Dia dan pihak sekolah ga tahu apa yang terjadi. Ga pa-pa. Emang ga ada orang yang tahu selain aku dan keluargaku. Aku juga dianggap ga asyik sama teman-temanku saat aku nolak untuk ikutan lomba aerobic di kampus, padahal seorang aku harusnya ikut acara kayak gitu. Mereka ga tahu, gimana sedihnya aku waktu lihat foto-foto mereka waktu tampil. Ceria pakai kostum lucu. Untung aku masih ikut pawai kostum tahunan, meskipun harus jadi pemain debus saat yang lain jadi peri.

Aku sudah sembuh. Tapi aku masih belum bisa terima. Dari sekian banyak manusia yang ada di muka bumi ini, kenapa harus aku?

Setahun berikutnya, angkatanku wajib jadi panitia untuk acara pekan olahraga dan seni. Terpaksa aku ikut. Belum lagi setelah itu ada acara konser charity. Temanku paksa aku ikutan. Karena sudah merasa diri aku mampu, ya udah aku ikut. Ternyata aku ga sekuat itu. Di tengah jalan, aku berhenti dari salah satu kepanitiaan itu. Waktu aku bilang aku mau keluar, temanku kecewa. Kita berdebat panjang. Aku sebenarnya ga mau cerita alasan kenapa aku keluar. Aku ga mau siapa pun tahu keadaan aku. Aku ga yakin ada orang yang bisa terima diri aku selain keluarga aku. Aku takut mereka yang tahu bakalan pergi ninggalin aku. Tapi perdebatan itu berakhir dengan aku cerita semuanya. Sulit. Tapi ternyata aku bisa. Dan saat itu aku tahu, bahwa ga penting orang lain mau terima atau enggak diri aku. Yang penting aku. Maukah aku terima aku dengan diri aku yang sekarang? Aku dengan psoriasis. Aku dengan terlalu banyak keterbatasan. Dan saat aku bisa terima, orang lain pun juga bisa menerima. Jadi, apa lagi yang harus aku khawatirkan?

Ternyata belum selesai. Ada satu kekhawatiran aku selain dari orang-orang pergi ninggalin aku. Aku khawatir aku bakalan merepotkan orang-orang yang ada di sekitar aku. Dan itu kejadian waktu aku KKN. Di tempat KKN, meskipun aku happy ketemu orang baru, tapi segala kekurangan dan keterbatasan di sana, bikin aku stress dan capek. Si merah muncul lagi. Aku minta Papa buat datang dan antar aku ke dokter. Lumayan membaik, tapi seminggu kemudian, si merah datang dan lebih parah. Aku ga bisa minta Papa buat terus-terusan datang buat anaknya yang lemah ini. Aku ga mau dia cemas. Gantinya, aku malah bikin repot teman KKNku, Rezha. Aku diantar ke rumah sakit sama dia. Ga enak, tapi mau gimana lagi?

Sejak saat itu, aku bertekad untuk psoriasisku ga gampang kambuh. Caranya gimana? Aku harus happy. Aku ga boleh stress. Aku ga boleh capek.

Lambat laun, aku pun punya jawaban tentang pertanyaan aku, mengapa dari sekian banyak manusia, harus aku yang punya psoriasis? Ternyata, Tuhan pingin aku happy terus. Saat aku pusing sama semua masalah yang menimpa aku, saat tenagaku dikuras habis-habisan sama kegiatanku, Tuhan tegur aku dengan mendatangkan si merah. Sinta, istirahat. Jangan capek-capek! Sinta, jangan sedih! Kamu harus bahagia. Itu kata Tuhan.

Aku mungkin ga akan bisa mengikuti standar kecantikan banyak orang. Aku ga bisa punya kulit yang mulus karena si merah selalu datang tanpa permisi. Aku ga bisa pakai produk skin care dari Korea karena yang kulit aku butuhkan cuma kostikosteroid dan cahaya matahari. Si merah juga kadang muncul di kepala dan bikin kulit kepalaku mengelupas, yang tak jarang orang sangka itu ketombe. Aku ga akan bisa mengejar standar itu. Tapi kan, hidupku ga ditentuin standar-standar yang sifatnya fana itu. Sebagaimana standar keberhasilan setiap orang itu beda, maka inilah standar kebahagiaanku, yaitu dengan tidak memiliki standar. Aku tidak peduli aku tidak cantik. Yang terpenting adalah aku bahagia.

Aku sudah melewati banyak fase. Kesedihan, kekecewaan, kemarahan, kebingungan, sampai akhirnya penerimaan dan mengikhlaskan. Tidak mudah. Tapi bukan berarti tidak bisa. 

***

Butuh waktu sekitar sebulan bagi aku untuk kemudian mengunggah tulisan ini. Dan lebih dari itu untuk bisa menulis seterbuka ini. Mungkin yang aku alami, ga ada apa-apanya dibandingkan orang lain. Apa yang terjadi sama aku, mungkin hanya sekuku jari aja. Tapi aku cuma mau bilang, bahwa akan ada saatnya di mana kamu tahu, bahwa segala hal terjadi, hanya butuh diterima dan diikhlaskan. Hanya butuh, di-yaudah-in aja.

Btw, foto di atas, diambil beberapa hari setelah aku ke rumah sakit. Kalau dizoom, ruamnya masih kelihatan di tangan dan di leher. Tapi, aku merasa cantik di situ. Hehe. Maaf ya aku kelewat narsis.

Dan terimakasih, untuk orang-orang yang tidak pernah meninggalkanku hingga sekarang.