Mei 2017

Kamis, 18 Mei 2017

Ziarah


Berbekal pengetahuan yang minim mengenai film Ziarah, yaitu hanya tahu premisnya saja, tanpa tahu siapa pemain dan sutradaranya, gue memutuskan untuk menonton film ini.

Ziarah mengisahkan tentang pencarian seorang nenek berusia 90an tahun bernama Mbah Sri terhadap makam suaminya. Kelak nanti saat ia meninggal, ia ingin dikuburkan di samping makam Pawiro Sahid, suaminya.

Film ini kental sekali dengan kearifan lokal, khususnya Jawa. 99,99 % dialog menggunakan bahasa Jawa. Hal itu tidak mengurangi esensi film. Namun justru membuat film ini semakin manis sekaligus pilu.

Film ini mengingatkan gue pada film Mencari Hilal. Sama-sama tentang pencarian. Tapi tentunya apa yang mereka cari jelas berbeda.

Kesederhanaan akan mudah sekali ditemukan dan dirasakan dalam film ini. Kesederhanaan dalam hidup dan mencintai.

Film ini bertutur dengan sangat syahdu. Tidak terburu-buru, namun tidak juga terlalu lambat.

Di film ini, wajah familiar yang bisa gue temukan hanya Hanung Bramantyo. Itu pun dia hanya muncul sedetik. Tapi gue tidak perlu tahu siapa mereka, karena dengan melihat mereka di layar, terutama Mbah Sri, sudah membuat gue jatuh cinta. Gila ya! Yang jadi Mbah Sri ini aslinya juga udah sepuh banget, tapi dia aktingnya keren. Bingung, rindu, lelah, tapi tidak lantas putus asa. Cuma gue kasihan dan ga tega aja lihat nenek-nenek jalan di tengah terik siang. Rasanya pingin ngasih es jeruk untuk kesegaran :((

Well, pada akhirnya gue kembali belajar dari Mbah Sri bahwa cinta itu adalah tentang keikhlasan.

Oh iya, endingnya mengejutkan. Aku hampir menangis. Hehe.

9/10 untuk Ziarah.

Karena Ziarah cuma dapat layar dikit, di xxi Bandung pun cuma di empire BIP, jadi nontonlah segera guys. Sayang, filmnya bagus bangey soalnya.

Kamis, 11 Mei 2017

Critical Eleven


Terlalu banyak alasan untuk menonton film ini. Novelnya yang membuat gue jungkir balik jatuh cinta, kesal, marah, sedih dan jatuh cinta lagi. Deretan pemain keren: Reza Rahadian, Adinia Wirasti, Revalina S Temat, Hannah Al-Rasyid, Astrid Tiar, Hamish Daud, Refal Hady, Anggika, Widyawati, Slamet Rahardjo sampe Aci Resti. Sutradaranya, Monti Tiwa. Dan maka menontonlah gue.

Dalam dunia penerbangan, dikenal istilah Critical Eleven, yaitu sebelas menit paling kritis. Tiga menit awal penerbangan, delapan menit menuju pendaratan. Critical Eleven dalam konteks perkenalan adalah 3 menit awal saat kesan pertama terbentuk, dan 8 menit sebelum berpisah. Begitulah Ale dan Anya. Bertemu secara tak sengaja di penerbangan Jakarta-Sydney, melewati Critical Eleven dan kemudian mereka jatuh cinta lalu menjadi sepasang suami istri.

Critical Eleven mengisahkan perjalanan sepasang suami istri Ale (Reza) dan Anya (Adinia Wirasti) yang hangat dan penuh cinta. Suatu peristiwa akhirnya membuat hubungan mereka dingin dan saling mempertanyakan cinta itu sendiri.

Untuk film cinta-cintaan dengan durasi lebih dari dua jam, Critical Eleven jauh dari kata membosankan. Setiap momen, selalu menarik untuk disaksikan. Terlalu manis untuk dilewatkan.

Anya dan Ale begitu hidup dalam raga Asti dan Reza. Untuk akting, kayaknya gegabah aja gitu kalau sampai meragukan mereka. Gue nih ya, bisa rasain kesakitan Ale dan Anya sekaligus sampai-sampai gue ga bisa membela salah satu. Mereka punya kesakitannya tersendiri.

Selain hangat oleh cinta Ale dan Anya, keluarga Risjad pun tak kalah hangat. Favoritku Nino yang ga gede-gede. Wkwkwkkwkwkkw.

Kehangatan juga tercipta antara persahabatan Anya, Tara, Agnes dan Donny. Hamish sebagai Donny sangat lucu menggemaskan menyegarkan.

Tapi dari semua cast yang bermain sangat apik, favorit gue adalah Aci Resti sebagai Tini yang kerjaannya nyuguhin minuman doang :(( Semua cast dibebani kesedihan yang mendalam, tapi yg paling kuat dari semuanya adalah Tini. Dia angkat koper gede banget naik tangga tanpa kesulitan sedikit pun. Jadi, gue menyatakan diri sebagai #TeamTini

Jangan tanya apakah film ini bikin baper atau enggak. Gue sebenarnya malas sih menggunakan kata baper. Jadi gue akan menggantinya dengan kata terhanyut dan berempati. Anya nangis sesenggukan waktu ngobrol sama Tara Agnes, gue nangis. Anya di kolam renang, gue kedinginan ya ampun AC bioskop keterlaluan :(( Ale nangis, gue nangis. Ale lompat-lompat pake kolor, gue salah fokus ke bulu-bulu kalinya :((( Dwi Sasono muncul dengan serius, gue dan semua penonton malah ketawa. Salahnya di manaaa? :(((

Hahahhahaha. Ya intinya film ini keren lah gue suka. Sukaaa banget. Musik-musiknya bagus. Lagu Isyana masih terngiang-ngiang hingga sekarang.

8,5/10

Senin, 08 Mei 2017

Sebab Akibat


Waktu itu aku masih amnesia. Aku tidak bisa mengingat apa pun saat kedua mataku membuka dan kulihat wajah-wajah bahagia yang sudah lama menantiku. Yang aku tahu, aku pernah hidup bersama mereka. Bahkan menjadi satu. Entah di mana dan kapan tepatnya.

Lalu kemudian aku bertumbuh. Sel-sel tubuhku saling membelah dan aku pun membesar. Perlahan ingatanku kembali. Kalianlah yang kupanggil dengan sebutan paling indah yang pernah kudengar, Mama, Papa.

Ma, Pa, aku masih ingat hari pertamaku masuk Sekolah Dasar. Harusnya saat itu aku masuk TK. Aku tidak mau. Aku merengek ingin masuk Sekolah Dasar. Dan kalian pun mengabulkannya. Aku jadi anak SD yang harus belajar membaca, berhitung dan menulis. Bukan hanya belajar bernyanyi, menari dan melatih kepercayaan diri. Tapi aku tidak lantas kehilangan masa 'menyenangkan' di TK. Kalian ajak aku bermain, bernyanyi dan menari sehingga sekarang aku begitu percaya diri. Kalian bilang, saat tidak ada satu pun manusia yang bisa dipercaya, jadilah diri yang bisa aku percayai. Sekarang aku sangat percaya pada diriku sendiri. Terimakasih telah menjadi Taman Kanak-kanak untukku hingga kini.

Di sekolah, aku sering dibully. Dikata-katai pendek, jelek dan gemuk. Aku sering pulang dalam keadaan menangis. Tapi kalian menguatkanku. Pendek, jelek dan gemuk hanyalah ciri fisik yang fana. Kalian bilang, aku akan tumbuh tinggi, cantik, dan kurus. Sekarang, lihat aku! Meski aku tidak setinggi, secantik dan sekurus bintang sinetron itu, tapi aku tumbuh dengan sangat hidup, dan itu jauh lebih dari cukup. Ma, Pa, terimakasih untuk tidak mengajariku mengenai ukuran cantik yang selalu dikaitkan dengan Princess Disney atau Barbie!

Ma, Pa, tahu tidak apa yang paling aku syukuri dalam hidup ini? Aku punya diriku dan kalian berdua. Kalian dua manusia bertolak belakang yang membuat pikiranku terbuka dan bebas menentukan apa pun.

Mama tidak pernah menuntutku apa-apa. Bukan berarti dia tidak ingin aku jadi yang terbaik. Tapi buat apa jadi yang terbaik kalau hanya sebagai pembuktian kepada orang lain? Kata Mama, aku tidak perlu membuktikan apa pun. Hidup, berdamai, dan berbahagia saja sudah cukup.

Papa dulu suka melarang aku macam-macam. Tidak boleh ini, tidak boleh itu. Sampai sekarang juga. Namun dia selalu memberikanku kesempatan untuk bernegosiasi. Akhirnya aku boleh ini, aku boleh itu.

Ma, Pa, lebih dari dua tahun yang lalu saat pertama kalinya aku berteman dengan penyakit itu, kalian berdua adalah orang-orang yang aku percaya tidak akan meninggalkanku. Waktu aku hampir menyerah, kalian ada di sana, tersenyum dan memelukku. Dan kemudian berjalan di sampingku. Berjuang dengan segala kesakitan dan kesedihan. Karena kalian, sekarang aku bisa berdamai dengan kemalangan itu.

Ma, Pa, empat tahun adalah waktu yang singkat untuk aku dapat memahami semuanya, tentang mengapa aku ada di sini. Tapi kalian tidak memaksaku untuk mengerti. Kalian hanya memberikanku semangat dan dorongan agar aku terus berlari. Menapaki jalan yang penuh dengan rintangan ini. Tangis, luka, sedih, dan pilu telah kunikmati. Hingga akhirnya aku mencapai titik ini.

Kalian beri aku nama yang indah, Sinta Nurwahidah. Lalu disematkanlah tiga huruf di belakang namaku. Katanya itu gelar. Aku tidak bangga. Kebanggaanku adalah lahir dan tumbuh di antara kalian.

Seperti yang pernah kalian ajarkan, wujud bahagia setiap orang berbeda. Waktu aku pakai toga, aku lihat mata kalian berbinar bangga. Bolehkah aku sebut itu bahagia?

Ma, Pa, terimakasih untuk perasaan bahagia atas segala yang aku lakukan. Mungkin aku tidak cukup cemerlang dibandingkan anak-anak lain. Tapi aku selalu berusaha untuk terus bersinar. Untuk kalian dan untuk diriku sendiri.

Semua yang aku lakukan bukanlah untuk membuktikan apa pun. Bukan juga untuk membalas kasih sayang kalian berdua. Karena aku percaya, kasih dan sayang yang kalian beri tidak pernah butuh balasan. Semua yang aku lakukan adalah akibat dari banyak sebab yang telah kalian tanam selama hampir 21 tahun aku hidup.

Terimakasih.