Mei 2014

Selasa, 27 Mei 2014

Mahahumoris


Hari ini, kebahagiaan diturunkan begitu banyak. Meskipun tak sedikit yang kecewa. Tapi hidup harus berlanjut. Semoga bahagiamu bertahan lama, kekecewaanmu lekas berganti tawa.

Hari ini, satu takdir Tuhan diberitahukan. Sebuah gambaran akan di bawa ke mana hidup kita nanti. Setahun yang lalu aku merasakannya. Bagaimana satu hal yang sangat merubah hidupku, sekaligus membunuh banyak mimpiku.

Pengumuman SNMPTN. Tahukah bahwa sebelum hari H, aku berharap bahwa aku tidak akan lulus. Aku malu dengan pilihanku. Bukan karena terlalu muluk (meskipun memang muluk), tapi karena pilihanku tidak sesuai dengan apa yang selalu aku impikan. Aku malu, terlebih pada diriku sendiri.

Dulu, setiap ditanya ingin jadi apa aku nanti, aku selalu tegas menjawab "Aku ingin jadi dokter hewan!". Tapi bahkan aku tidak mengusahakan hal itu dengan menjadikannya pilihan pertama.

Makanya, setiap ditanya apa yang aku pilih untuk SNMPTN, aku tidak pernah menjawab. Aku bilang, kalau lolos, kalian akan tahu. Kalau tidak, ya kalian tidak akan pernah tahu. Pernah sekali aku memberitahu pilihanku, orang itu tertawa meremehkan. Sinta sinta, sadar diri kamu siapa.

Lalu tiba pada hari pengumuman. Pukul 4 sore waktu itu. Aku kesulitan mengakses internet. Aku minta temanku mengecek hasilnya. Sialnya, saat itu aku berharap aku diloloskan. Aku tahu itu tidak mungkin. Tapi sangat tidak mungkin aku lulus melalui tes tulis. Aku tidak sepintar teman-temanku.

Beberapa menit kemudian, temanku bilang bahwa aku lolos. Aku diterima. Aku tertegun sejenak. Bingung harus melakukan apa. Dan juga tidak percaya. Temanku mencoba meyakinkan dengan mengirimkan capture-an. Baru aku percaya saat itu. Refleks langsung memeluk nenek yang berada di sampingku. Dan aku menangis. Bahagia sekaligus sakit hati.

Teman-teman memberikan semangat. Lewat telepon, sms, twitter, dan facebook. Mereka akhirnya tahu akan pilihanku.

Aku tidak mungkin menyia-nyiakan apa yang banyak orang susah payah usahakan. Dan aku menerimanya. Menjalaninya. Meskipun resikonya, mimpi yang selalu kugadang-gadangkan akhirnya pupus.

Tapi toh aku tidak boleh egois. Orangtuaku hanya punya aku untuk dijadikan harapan. Mereka bahagia, pun denganku. Terimakasih Tuhan, kau membuatku menjadi anak yang setidaknya pernah membuat kedua orangtuaku menangis bahagia.

Setahun berlalu. Hari ini aku sudah mempunyai 75 adik tingkat baru. Adik kelas SMAku dikabarkan ada yang mengikuti jejakku. Senang rasanya. Ditambah teman satu komunitas fans juga lolos.

Aku juga senang, di timeline twitter dan facebook banyak yang mengucap syukur atas nikmat yang diterimanya hari ini. Selamat ya!

Untuk yang belum berhasil, selamat juga! Karena kalian akan puny perjuangan yang lebih menantang, lebih seru. Percayalah, euforia memasuki jenjang perguruan tingginya akan lebih greget.

Dan untuk semuanya, semangat selalu! Ingat, Tuhan mahahumoris. Apa pun yang diberikannya, tertawa sajalah. Itulah mengapa aku seringkali menertawakan diriku sendiri. Karena Tuhan juga sering mengajakku bercanda.

Selasa, 20 Mei 2014

Selamat!


Hari ini banyak dari kita yang sedang berbahagia, mendapatkan hadiah atas kerja kerasnya selama tiga tahun. Selamat!

Satu tahun yang lalu, aku merasakan kebahagiaan itu. Rasanya ya bahagia. Iya, bahagia.

Semalaman tidak bisa tidur. Cemas. Katanya, malam itu malam yang menegangkan. Kalau ada orang yang bertamu ke rumah malam itu, berarti kamu tidak lulus. Semalaman aku berdoa, tidak ada yang mengetuk pintu rumah.

Selasa, 06 Mei 2014

Istimewa


Aku percaya bahwa semua anak terlahir istimewa.

Namanya Ina. Sekilas, tidak ada yang berbeda dengan dia. Anak perempuan yang hanya berbeda dua tahun di bawahku itu tumbuh seperti anak lainnya. Dengan rambut keriting yang kurang terawat dan badan yang bongsor. Ya, biasa saja bukan?

Kali pertama aku bertemu dengannya adalah ketika aku bergabung di sebuah sekolah pengabdian kampusku, aku jadi pengajar di sana. Saat itulah aku bertemu dengan Ina. Dengan senyum lebar dan wajah yang ceria dia menyambut kami (para pengajar baru).

Tapi hari itu aku belum mengenalnya begitu dalam. Belum tahu bahwa dia begitu istimewa. Hari itu berlalu begitu saja. Dengan kepulangan kami yang diantarkan olehnya.

"Ina mau ke mana?" tanya salah seorang pengajar.

"Aku mau antar kakak-kakak." ujarnya tetap dengan senyum lebar,

"Jauh loh, Na!"

"Ga pa-pa. Hehe." tuturnya singkat seraya terus berjalan mengiringi kepulangan kami.

Keesokan harinya, aku kembali ke sekolah itu. Bertemu dengan Ina lagi. Dia menyalami kami satu per satu. Beberapa dia ingat namanya. Lalu tiba giliran dia mencium tanganku.

"Coba nama aku siapa?"

Dia tertegun seraya tersipu malu. Aduhh lupa! Begitu siratnya.

"Aku Sinta. Apa?"

"Ka Chinta!" ujarnya begitu semangat. Meskipun dia keliru memanggil namaku, tapi aku tak peduli. Sinta, Cinta, Chinta atau apalah itu. Yang jelas, setelah hari itu aku menemukan keistimewaan itu.

***

Ina punya panggilan khusus untuk pengajar yang dekat dengannya. Bunda dan Ayah. Tapi untukku berbeda.

Kala itu aku baru saja tiba di sekolah. Dia langsung berteriak "Omaaaaaa!" seraya melambaikan tangan.

Aku terkesiap. Loh kok Oma? Apakah aku setua itu? -_-

Semua yang ada di sana menertawakan panggilan Ina padaku.

"Ina kok Oma sih?"

"Ga pa-pa. Oma kan cantik." jawabnya. Dia tahu saja aku suka dibilang cantik._.

Ya, sejak hari itu di selalu memanggilku Oma.

***

Ina punya banyak cerita. Aku suka mendengarkannya. Meskipun kadang kurang mengerti. Tapi masa bodoh. Aku suka ketika dia bercerita.

Salah satu cerita yang kuingat adalah dia bilang kalau cita-citanya adalah menjadi psikolog. Iya, Ina. Oma doakan semoga cita-citamu terwujud.

***

Ina adalah anak paling rajin datang ke sekolah. Dia selalu jadi penghuni pertama. Pernah suatu kali ketika hujan lebat, dan aku baru sampai di sekolah, Ina ditemani teman pengajar sedang duduk di teras sekolah. Bercerita.

Hari itu pun dihabiskan oleh kami untuk mendengarkan semua cerita Ina yang lucu. Tentang dia yang pernah terkunci di kamar mandi, atau tentang dia yang paling suka datang ke kost para pengajar.

Oh iya, hobi Ina itu datang ke kost. Entah sudah berapa pengajar yang kostnya disambangi oleh Ina. Karena aku tinggal di rumah saudara dan jauh dari sekolah, jadilah Ina tidak pernah mengunjungiku. Tapi pernah dia mengatakan "Oma, aku mau nginep di rumah Tante." Aku hanya tersenyum. Tentu Ina.

***

Salah satu dari sekian banyak kelucuan Ina adalah ponselnya. Dia memiliki ponsel yang ukurannya kecil namun berat. Dan canggihnya, ponsel itu berkamera. Kadang, Ina memotret kami.

Suatu waktu, aku melihat Ina menempelkan ponselnya di telinga kemudian menggoyangkan tubuhnya. Aku bertanya sedang apakah dia. Dia tersenyum lalu menyerahkan ponselnya padaku. Ponsel yang tengah memutar sebuah lagu. Cabe-cabean. Aku terhenyak. Ina tertawa terbahak-bahak lantas terus bergoyang.

"Kenapa cabe-cabean? Kenapa ga sayur-sayuran?" tany seseorang.

"Iya. Kenapa ga sayur-sayuran, buah-buahan, nasi-nasian, lauk-laukkan. Itu kan lebih sehat." ujarku.

Ina tertawa. Masih terus bergoyang.

Karena itulah, aku memperkenalkan Ina pada lagu yang lebih layak untuk didengarnya.

Eh tapi, sekarang kalau mendengar lagu Cabe-cabean jadi ingat Ina. -_-

***

Ina pandai berakting. Dia bisa menangis sekaligus tertawa. Istimewa,, ya?

Ina sering menangis untuk mencari perhatian para pengajar. Ya, Ina suka diperhatikan. Ketika dia menangis, pengajar akan memperlakukannya sebagai adik kecil. Tapi aku tidak. Ketika dia menangis, aku akan menggodanya. Terus menggoda sampai tawanya meledak. Aku tidak memperlakukannya sebagai adik. Tapi aku memposisikannya sebagai teman. Ya, Ina adalah temanku.

Tapi pernah dia menangis dan susah sekali berhenti. Berbagai cara telah dilakukan. Tapi dia tetap menangis.

"Ina kenapa?" tanyaku lembut.

"Oma, Bunda Linda ke mana sih? Aku kangen. Huaaaaa." tangisnya semakin kencang.

"Bunda Linda sakit, Ina! Makanya Ina doain Bunda biar cepat sembuh, terus ke sini lagi. Ya?"

"Aku pengen Bunda Lindaaaaa!"

Aku tertegun. Merasa tertohok. Dia bisa sebegitu sayang terhadap bundanya. Akankah dia juga begitu pada Omanya? Merindukan kehadirannya ketika dia tidak hadir?

Aku menatapi Ina yang masih sesenggukan menangis.

***

Katanya, aku harus mengajari Ina. Nyatanya, aku belajar banyak darinya. Tentang hidup. Sesederhana kalimat "Oma kan cantik." Seringan tawa lepasnya. Seindah keceriannya. Setulus rasa sayangnya.

Aku semakin percaya, bahwa semua anak terlahir istimewa.