Maret 2017

Rabu, 22 Maret 2017

Puisi Kala Itu (part 7)


Syifa sudah bersemedi selama dua hari. Hasil dari semedinya adalah rangkaian koreografi yang sedang ia ajarkan pada Bian dan Shakira. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa kemampuannya menari masih sebaik dulu, meskipun ia pun sadar bahwa dalam beberapa bagian, ia melakukannya dengan tidak sempurna. Tapi itu tidak jadi masalah, karena bukan dirinya yang akan tampil. Ia hanya akan berdiri di balik layar.  

“Susah banget sih, Kak!” keluh Bian.  

“Susah, tapi pasti bisa. Ayo coba lagi! Tangannya begini nih!” Syifa membenahi posisi tangan Bian yang kurang diangkat. Kemudian menepuk bahu adiknya itu. Aba-aba untuk ia memulai kembali gerakan yang telah ia contohkan.  

“Aduh!” Shakira terperanjat saat tidak sengaja ia menginjak kakinya sendiri. Membuat tubuhnya hampir terjatuh. Gadis itu menggaruk pelipis. Ini tidak ada gerakan yang lebih sederhana apa ya? Masak dua kakinya saja bisa jadi tidak kompak begitu.  

“Kamu ga pa-pa?” tanya Syifa.  

“Ga pa-pa. Cuma pusing aja, Kak.” Gadis itu terkekeh pelan.  

“Nanti juga ga pusing lagi. Tenang aja! Kan ini baru permulaan.” Syifa mengelus puncak kepala Shakira, bersikap seolah gadis itu adalah adiknya.  

“Udah belum latihannya?” tanya Kala. Ia, Topan dan Susan menyembul dari balik pintu. Mereka baru saja menyelesaikan permasalahan musik yang pada pertemuan pertama masih berantakan.  

“Untuk hari ini segini dulu aja deh!  Kalian latihan sendiri dulu aja nanti. Pertemuan selanjutnya koreonya aku tambah,” ujar Syifa kemudian menjatuhkan diri. Duduk dan membiarkan kaki jenjangnya berselonjor.  

“Ditambah lagi?” tanya Bian dan Shakira secara bersamaan. Bian melirik Shakira sekilas. Mendengus sebal. Sementara Shakira terkikik dalam hati. Memang lucu sekali kalau dipikir-pikir hubungan dirinya dengan Bian. Tidak manis dan hangat, namun juga tidak bisa terpisahkan.  

“Iya dong! Kan yang aku ajarin barusan koreo buat sendiri-sendiri. Nanti ada yang kalian bareng gitu,” ucap Syifa. Kulitnya yang putih berubah merah karena kelelahan.  

Bian mengumpat dalam hati. Penyiksaan ini namanya. Sudah cukup disiksa dengan harus dipasangkan dengan Shakira, masih pula ia harus menghapal gerakan super rumit yang diajarkan Syifa. Sial sekali memang nasibnya.  

Sementara Shakira menanggapinya dengan pasrah. Meskipun harus bekerja keras untuk bisa melakukan gerakan-gerakan itu, mulai dari berputar, melompat, hingga berputar seraya melompat, ia ambil hikmahnya saja. Jadi kan ia bisa dekat-dekat Bian terus.  

“Semangat Bian, Shakira! Nih gue bawain es jeruk!” ujar Susan dengan membawa sebuah nampan berisi enam gelas es jeruk segar. Tadi Kala memang sempat meminta Bi Marni untuk membuatkan para tamunya itu minuman, yang kemudian dengan sukarela diambil oleh Susan dari dapur.

***  

Mereka telah membuat kesepakatan untuk berlatih dua kali sehari. Selain karena jadwal kuliah Syifa yang sangat padat, juga karena ia tidak ingin membebani keempat remaja itu. Ia pernah jadi mereka, dan rasanya sangat tidak menyenangkan kalau tenaganya dikuras habis-habisan. Mereka juga butuh waktu untuk bermain.  

Hari ini merupakan latihan kedua. Tidak seperti biasanya, Syifa sudah selesai dengan urusan kuliahnya sejak setengah jam yang lalu. Namun ia masih belum bisa pergi karena Kala masih tertahan di ruang kuliahnya. Harus mengikuti satu lagi mata kuliah sebelum jadwal hari ini berakhir.  

Seperti permintaan Kala, Syifa akhirnya menunggu di kantin kampus pemuda itu. Kali pertama ia menjejakan kakinya di sana. Ia duduk di salah satu bangku. Memesan es teh manis seraya menunggu.  

“Lo pacarnya Kala, kan?”  

Syifa hampir saja tersedak ketika pertanyaan itu dilontarkan oleh seorang gadis yang tiba-tiba muncul di hadapannya. Ia mendongak. Mengamati wajah sang gadis yang rasanya sudah tidak asing lagi untuknya.  

“Jane, lo ngapain Syifa?”  

Pertanyaan Gilang akhirnya membuat Syifa mengangguk. Ia ingat gadis itu. Jane. Si pemilik party yang malam itu dibuat patah hati oleh pengakuan palsu bahwa Kala dan Syifa adalah sepasang kekasih.  

“Ga ngapa-ngapain. Nanya aja. Fakultas apa?” tanya Jane dengan nada mengintimidasi, meskipun sebenarnya tidak mempan untuk Syifa. Gadis itu menatap balik Jane dengan sangat yakin tanpa gentar sedikit pun.  

“Kedokteran.”  

“Oh, Kala butuh lo sih emang. Udah sakit dia. Ga waras. Masak dia nolak gue dan malah sama lo,” desis Jane. Gadis dalam balutan blouse tanpa lengan dan celana jeans yang di beberapa bagian robek itu tersenyum miring. Berpikir bahwa ia bisa membuat Syifa terancam.  

“Lo apa-apaan sih? Ribet amat hidup lo! Kalau udah ditolak, ya udah. Ga usah ganggu Kala lagi!” ujar Gilang. Merasa perlu untuk membela Syifa.  

Jane mengedikkan bahu. Ia lalu melengos pergi. Rambutnya berkibar layaknya sedang mengiklankan produk sampo.  

“Lo ga pa-pa?” tanya Gilang.  

“Masak gue apa-apa cuma karena diomongin begitu?” cibir Syifa. Ucapan Jane sih tidak ada apa-apanya. Mungkin hanya sekuku jari dengan perlakuan perempuan-perempuan di fakultasnya yang selalu menatapnya penuh curiga setiap kali ia bersama Kala. Seakan Kala sudah diguna-guna olehnya.  

“Oke deh! Gue temenin lo dulu ya sampai Kala datang. Nanti takutnya ada yang nyerang lagi kayak Jane.” Pemuda itu duduk di bagian lain meja, bersebrangan dengan Syifa.  

“Banyak yang suka ya sama Kala?” tiba-tiba pertanyaan itu meluncur dari mulut Syifa. Hal yang ingin ditanyakannya pada orang terdekat Kala sejak lama, meskipun tanpa sadar sekarang Syifalah yang paling dekat dengan pemuda itu. Ia tidak mau mendengarnya dari Alin atau teman-temannya yang lain. Bukan tidak percaya, namun rasanya kurang sahih saja.  

“Banyak. Jane salah satunya.”  

“Katanya, Kala itu playboy.” Syifa menggigit bibir. Entah sejak kapan ia risau dengan predikat playboy yang tersemat untuk Kala. Cemas sekali bahwa Kala datang padanya tanpa maksud lain selain untuk menambah koleksi korbannya. Meskipun selama ini pemuda itu tidak pernah terlihat mempermainkannya.  

“Fa, orang-orang yang bilang Kala playboy itu karena mereka ga tahu. Yang mereka tahu Kala dekat sama banyak perempuan. Tapi Kala ga pernah punya hubungan apa-apa. Yang salah kalau mereka sakit hati siapa coba? Kala ga pernah minta mereka dekat-dekat. Mereka yang datang sendiri. Tapi sama lo, dia usaha keras supaya bisa dekat sama lo. Karena lo, dia tolak cewek-cewek kayak Jane itu,” jelas Gilang. “Lo ga usah khawatir. Percaya sama gue, dia ga bakal pergi.”  

Syifa mengerenyit. “Kenapa?”  

“Lo masih tanya kenapa? Ya karena dia-“  

“Syifa, sorry! Nunggu lama ya?” Kala datang dengan terengah-engah. Setelah menyelesaikan kuliahnya tadi, Kala memang langsung meluncur ke kantin. Tak sempat menutup risleting ranselnya. Ia tidak ingin membuat Syifa menunggu terlalu lama.  

“Enggak, kok!” sahut Syifa.  

“Ya udah, yuk! Kila sama yang lain pasti udah nungguin kita,” ujar Kala lantas melirik Gilang. “Thanks ya bro udah nemenin Syifa!”  

Gilang hanya tersenyum. Kemudian mempersilakan Kala dan Syifa untuk segera pergi.  

"Orang-orang tahunya kita pacaran ya?" tanya Syifa sesaat setelah ia naik ke atas motor Kala. Membuat pemuda itu sejenak menunda untuk menstarter motornya.

“Ga pa-pa, kan? Gue bilang kalau lo pacar gue ke semua orang. Ya kecuali Gilang, Gery sama Danny."

"Kenapa?" tanya Syifa polos.

Kepolosan Syifa itulah yang membuat Kala selalu ragu untuk melangkah. Isyarat-isyarat yang ia berikan tak cukup untuk membuat Syifa menyadari bahwa Kala begitu tergila-gila pada gadis itu.

"Karena gue mau," jawab Kala, sejujur-jujurnya. Kalau ia katakan pada orang-orang bahwa dirinya dan Syifa berpacaran, memang begitulah yang ia inginkan. Bukan semata-mata mengerjai mereka. Sebab Kala tidak mau gadis-gadis itu datang padanya. Satu orang Syifa sudah lebih dari cukup untuknya.

Namun Syifa bersikap seperti tidak pernah terjadi apa-apa, seakan tidak memahami segala bentuk perhatian yang diberikan. Mungkin di mata Syifa, Kala tidak lebih istimewa dari sekadar teman mengobrol sekaligus orang yang bersedia mengantarkan ke mana saja. Dan tukang ojek online juga bisa melakukan hal itu, bahkan tidak perlu untuk menunggu.

Menunggu. Kala mungkin tidak tahu bahwa Syifa tidak terbiasa menunggu. Ia adalah manusia yang dinamis. Ia tidak terbiasa menghabiskan waktu untuk menunggu. Harus ada yang ia lakukan. Sementara sejak mengenal Kala, Syifa jadi terbiasa berdiam diri tanpa melakukan apa-apa hingga kemudian pemuda itu muncul menjemputnya.

"Oh. Oke. Yuk jalan!" Syifa menepuk bahu Kala dan lagi-lagi membuat harapan pemuda itu patah. Syifa masih belum memahami satu lagi anak panah yang ia lesatkan dari busur hatinya.

Kala menghidupkan mesin motor, menginjak pedal gigi untuk kemudian menancap gas dan membuat motornya melaju.

Refleks Syifa meletakkan tangannya di pinggang Kala. Sekarang, tangan itu ada di sana untuk memastikan bahwa Kala tidak akan ke mana-mana, seperti apa yang Gilang katakan. Sebab sejak hari itu, segalanya tidak lagi sama.

***  

“Ini harus ya Kak pegang-pegangan gini?” protes Bian saat Syifa mencontohkan gerakan di mana dirinya harus meletakkan satu tangan di pinggang Shakira, dan tangan lainnya memegang payung, kemudian mengikuti gerakan gadis itu lagi.  

“Ya ga pa-pa dong! Namanya juga seni. Coba sekarang Kakak mau lihat kalian,” ujar Syifa, menarik lengan Bian untuk bangkit dari posisinya yang tengah terduduk di lantai.  

Dengan malas, Bian berdiri. Atas intruksi Syifa, ia pun menyimpan tangannya di pinggang Shakira, lalu tangan yang lain ia angkat, berpura-pura memegang payung. Dan ia pun mengikuti ke mana pun Shakira bergerak. Ke depan, belakang, kiri, kanan, berputar. Sebaliknya, Shakira meletakkan tangannya di bahu Bian, kemudian bergerak dengan begitu lincah. Terbang seperti kupu-kupu.  

“Aduh!” Shakira mengaduh saat tidak sengaja kakinya terinjak oleh kaki Bian. “Sakit tahu!” gadis itu memukul lengan Bian.  

“Ih, kan ga sengaja!” tukas Bian seraya mengulum bibir. Habis, siapa suruh coba bergeraknya terlalu cepat? Bian kan belum hapal gerakannya.  

Sementara itu, Syifa terkikik geli. Gemas sekali melihat Bian dan Shakira bertengkar seperti itu.  

“Kalian latihan terus ya, sampai bisa pokoknya!” ucap Syifa kemudian melipir ke sofa di mana ada Kala, Topan dan Susan di sana, tengah berlatih melagukan puisi.  

“Ga usah manja deh! Ayo buru latihan lagi!” Bian menarik pinggang Shakira. Membawa gadis itu lebih dekat dengannya. Yang tanpa sadar membuat dada sang gadis berdebar.  

Mereka kembali menari, berdansa. Mengayunkan kaki dan tangan. Berputar, melompat, berlari, saling menangkap. Bian dan Shakira, meski selalu berdebat, namun sebagai sepasang partner menari, mereka begitu kompak.

***

Puisi Kala Itu (part 6)


Syifa melongok melalui celah pintu kamar Bian yang sedikit terbuka. Ia mendapati Bian tengah berkutat dengan ponselnya. Perlahan, Syifa mendorong pintu itu. Menimbulkan bunyi berdecit yang membuat Bian mendongak. Mengubah posisinya yang tengah terlentang menjadi duduk.  

“Kak Syifa? Ada apa?” tanya Bian. Ponsel di tangannya berkedip. Shakira tak kunjung berhenti meneror.  

Syifa berjalan masuk seraya tersenyum, duduk di samping Bian. “Mau?”  

Bian membelalak ketika melihat apa yang dibawa oleh Syifa. Macaron. Dua rasa coklat, dua rasa blueberry. Tanpa basa-basi, Bian langsung mengambil satu. Coklat terlebih dahulu.  

“Shakira. Kamu makin dekat ya sama dia? Udah lama ih Kak Syifa ga dengar kamu cerita tentang Shakira,” ucap Syifa sejurus setelah ia membaca sebuah nama yang tertera di layar ponsel Bian. Gadis itu tersenyum dengan tatapan menerawang. Mengingat bahwa dulu Bian sering sekali mengadu pada Syifa bahwa ia merasa terganggu dengan kehadiran gadis bernama Shakira, namun tak sampai hati untuk mengusirnya jauh-jauh.  

“Apa sih Kak Syifa? Aku ga dekat sama dia. Ga sengaja aja dekat. Ih sebal deh! Aku selalu satu kelompok sama dia. Ini kita lagi ngomongin tugas kelompok seni budaya,” celoteh Bian seraya mengunyah macaron yang kedua.  

“Kalau dekat terus, nanti suka tahu!” ujar Syifa, gemar sekali menggoda adiknya.  

Bian terenyak. Kalau dekat terus, nanti suka. Ia mencerna ucapan Syifa itu, yang seakan berlaku juga untuk kasusnya. Sepuluh tahun selalu bersama dan sangat dekat, diam-diam memunculkan perasaan suka yang belum berani ia buka.  

“Kak, mau bantuin aku ga?” tanya Bian. Lamunannya buyar ketika ponselnya berdering akibat pesan dari Shakira yang kembali ia terima.  

“Bantuin apa?”  

“Mau ga jadi pelatih tari buat aku sama Shakira? Jadi, tugas seni budaya tuh kita disuruh menampilkan sesuatu gitu. Nah, kelompok aku udah sepakat mau mengkolaborasikan puisi, musik sama tari. Aku kebagian tari sama Shakira,” jelas Bian. Agak malas menyebutkan nama Shakira.  

Syifa menggigit bibir, berpikir. Menari? Sudah hampir tiga tahun ia berhenti menari. Padahal waktu kecil ia pernah bercita-cita menjadi penari, namun dengan lapang dada harus ia kubur cita-cita itu karena kuliah di jurusan kedokteran menyita banyak waktu dan ia tidak suka menjalani sesuatu dengan tidak total. Sekarang, Bian meminta Syifa untuk menjadi seorang pelatih. Memangnya ia masih bisa menari?  

“Kak Syifa mau, kan? Please dong mau ya, Kak!” Bian memelas. Merapatkan kedua telapak tangan, memohon dengan sungguh-sungguh.  

Karena Syifa paling tidak tega melihat orang lain memelas, terlebih itu adalah adiknya sendiri, akhirnya ia mengangguk. Meskipun tidak yakin apakah tubuhnya masih selentur dulu. Masihkah tulang punggungnya kuat untuk diajak meliak-liuk. Kita lihat saja nanti.  

“Asyik!” Bian berseru, kemudian memeluk Syifa erat. “Makasih ya, Kak!”  

Saat itu Bian pun tahu bahwa Syifa masih menjadi miliknya. Lelaki itu, yang lengan kemejanya digulung hingga sesiku, tidak akan bisa merebut Syifa darinya, sampai kapan pun juga.

***  

“Kak Kala kok ga pernah bilang sih kalau Kakak suka puisi?” tanya Shakira seraya membaca sepintas buku-buku puisi yang dimiliki kakak laki-lakinya, Kala. Untuk kali pertama, Kala mengizinkan Shakira mengobrak-abrik lemari kecil di sudut kamar yang berisi buku puisi.  

“Ngapain bilang-bilang? Ga bilang juga kamu tahu, kan? Tukang ngintip!” cibir Kala seraya memetik gitar dengan asal, tidak jelas lagu apa yang tengah ia mainkan.  

“Aku ga akan ngintip kalau Kak Kala cerita sama aku. Lagian sejak kapan sih main rahasia-rahasiaan?” Shakira mengulum bibir. Sebagai adik, ia merasa tersinggung. Masak kesukaan kakaknya saja ia tidak tahu. Makanya ia mengintip dan diam-diam menyelinap masuk ke kamar Kala untuk membongkar rahasia yang tersimpan di dalam lemari kecil itu.  

Kala mengelus puncak kepala Shakira. Ia tidak bermasuk untuk merahasiakan itu dari adiknya. Namun, ia merasa puisi adalah rumah untuk dirinya sendiri, yang bahkan adiknya pun tak ia izinkan untuk masuk. Rumah yang ia bentengi rapat-rapat. Meskipun akhirnya benteng itu runtuh juga hanya oleh seorang perempuan yang menatapnya hangat. Benteng kokoh yang menjulang tinggi itu meleleh seketika.  

“Kamu sendiri gimana sama Bian?” tanya Kala, mengalihkan pembicaraan. Tiba-tiba ia jadi teringat sosok yang selalu Shakira ceritakan dengan berapi-api, yang juga akan datang ke rumah beberapa menit lagi.  

“Ga gimana-gimana. Dia selalu jutek sama aku. Bodo amat! Yang penting dia ga jauhin aku.”  

Ucapan Shakira memberikan pelajaran untuk Kala bahwa ia tidak harus membuat perasaannya pada Syifa rumit. Lihatlah, Shakira! Sesederhana itu saja. Bahwa yang terpenting adalah ia masih bisa berdekatan dengan orang yang ia cinta.  

“Non Kila, itu ada temannya di bawah,” ujar Bi Marni, menyebutkan nama panggilan Shakira di rumah, setelah mengetuk pintu kamar Kala yang dibiarkan terbuka.  

“Oh iya, Bi.” Shakira menyimpan buku-buku puisi Kala ke dalam lemari. Kemudian menepuk bahu Kala. “Nanti Kak Kala ke bawah juga. Bantuin aku pilih puisi yang keren. Aku ga ngerti soalnya.”  

Di ruang tamu sudah menunggu Topan dan Susan. Tadi, mereka berangkat bersama. Kebetulan rumah Susan tidak jauh dari rumah Topan, jadi ia bisa menumpang mobil Topan. Shakira berlari menuruni anak tangga untuk kemudian bergabung dengan mereka.  

Tak lama Bian dan Syifa pun datang. Shakira menatap takjub pada Syifa. Sejak pertama kali bertemu dengan Syifa hampir dua tahun yang lalu, kekagumannya tidak pernah berubah.  

“Makasih ya Kak udah mau bantuin kita!” ujar Shakira.  

Syifa hanya tersenyum. Wajah Shakira mengingatkannya pada seseorang.  

“KAK KALAAA! SINI IH SEMUA UDAH PADA DATANG!”  

Bian, Syifa, Topan dan Susan menutup telinga saat tiba-tiba Shakira berteriak. Syifa mengerenyit. Bian, Topan dan Susan kok tahan ya berteman dengan gadis dengan suara secempreng itu? Kalau Syifa sih sudah meledak kali.  

Syifa kemudian mengerjap saat menyadari sebuah nama yang diteriakan Shakira. Kala. Maksudnya, Kala…  

Seorang pemuda dengan celana pendek dan kaos putih berjalan menyusuri tangga. Tangannya menjinjing gitar dan tangan yang lain memegang sebuah buku. Ia terlihat bersungut-sungut.  

“Kila kamu teriak gitu udah kayak ada rampok aja!” tukas Kala. Matanya menjelajahi ruang tamu yang sudah ramai. Lalu ia baru menyadari keberadaan Syifa di sana. Duduk di samping seorang pemuda yang memasang wajah tidak bersahabat seperti saat pertama kali mereka bertemu beberapa waktu lalu.  

“Loh, Syifa?” Kala terkekeh. Ternyata memang benar ada rampok. Asal tahu saja ya, perempuan dalam balutan blouse berwarna merah muda itu sudah merampok hatinya.  

“Gue baru tahu kalau Shakira itu adik lo,” ujar Syifa. Ia kemudian memandangi wajah adik-kakak itu secara bergantian. Mirip sekali.  

“Gue juga baru tahu kalau Kila temenan sama adik lo!”  

Pertemuan yang sama sekali tidak terduga. Kebetulan? Kala rasa tidak. Seperti yang pernah Syifa katakan, semua hal terjadi karena sebuah alasan. Entah apa, namun ia senang mendapati Syifa di rumahnya.  

“Kalian udah saling kenal?” tanya Shakira, memasang wajah pilon yang sangat lucu.  

“Iyalah! Mereka kan pacaran,” celetuk Bian. Ia merengut. Menjadi semakin malas berhubungan dengan Shakira saat tahu bahwa kakaknya ternyata adalah lelaki itu, yang memakai celana jeans robek saat mengantar Syifa pulang.  

“Pacar? Tuh kan! Kak Kala main rahasia-rahasiaan lagi dari aku!” Shakira meninju bahu Kala. Sebagai adik, lagi-lagi ia tidak dianggap. Meskipun ia tidak bisa memungkiri bahwa kabar itu membuatnya ikut senang. Akhirnya Kala bertemu dengan bidadarinya.  

Kala merengut. Ia meminta penjelasan dari Syifa yang dijawab senyum serta anggukan kepala dari perempuan itu. Isyarat yang akhirnya membuat Kala mengangguk.  

“Hehe. Udah ah kamu jangan ngambek-ngambek!” Kala merangkul Shakira masuk ke dalam ketiaknya. Membuat gadis itu merengut dan berusaha melepaskan diri. Sekali lagi meninju bahu Kala.

 “Bisa dimulai sekarang ga?” Topan tiba-tiba bersuara. Sejak tadi, ia merasa tersingkirkan karena urusan keluarga antara dua pasang kakak-adik itu.  

“Yuk mulai!” ujar Shakira.  

Pekerjaan dimulai dengan pemilihan puisi. Kala merekomendasikan beberapa puisi Sapardi yang ada di buku Hujan Bulan Juni, buku favoritnya karena telah mempertemukan dirinya dengan Syifa.  

“Ini kepanjangan.”  

“Aduh berat! Gue ga ngerti!”  

“Yang lain aja dong, jangan yang ini!”  

“Ini boleh sih, tapi enggak deh!”  

Setelah berunding dan berdebat beberapa menit, mempertimbangkan banyak hal, akhirnya satu puisi pun terpilih sebagai pemenang. Kuhentikan Hujan, puisi yang ditulis Sapardi pada tahun 1980. Tidak ada yang mendebat, termasuk Susan yang sedari tadi mematahkan banyak rekomendari puisi yang diberikan Kala.  

“Kakak baru bisa bikin koreografinya lusa. Harus tahu betul makna puisinya,” ujar Syifa.  

“Ya udah, sekarang kita bahas musiknya aja dulu,” sahut Kala.  

Bian, Syifa dan Shakira yang sama sekali tidak mengerti musik mengamati dari tempatnya, sementara Kala, Topan dan Susan saling berdiskusi tentang aransemen yang akan mereka buat untuk puisi Kuhentikan Hujan itu.  

“Di C tahu.”  

“Eh bukan gitu!”  

“Metiknya jangan cepat-cepat.”  

“Nah gitu!”  

“Haha, kok aneh ya?”  

“Menembus ta-, menembus ta-. Ih gimana sih?”  

“Aduh pusing!”

 “Memaksaku menciptakan bunga-bunga.”  

“Sip!”  

Kala, Topan dan Susan menghembuskan napas berat. Mereka melamparkan diri pada kepala sofa. Sumpah ya, ternyata menciptakan sebuah musik itu rumit sekali. Kala kapok menghina band-band yang muncul di acara musik pagi di televisi itu. Masih mending mereka membuat sebuah karya. Dibanding dirinya yang hanya bisa mengomentari.  

“Mungkin sekarang udahan dulu aja. Kepala gue udah panas nih!” keluh Topan. Meneguk ludah melihat tulisan tangannya di kertas yang teramat berantakan. Coretan di mana-mana.  

“Iya, gue juga pusing. Nanti di rumah gue pelajarin deh!” ungkap Susan. Memegangi kepalanya yang semakin terasa berat saat kembali membaca tulisan Topan yang lebih mirip resep obat.  

“Eh, kita jadi kan jenguk Sofia?” tanya Shakira. Menyebut nama teman sekelas mereka yang sekarang sedang dirawat di rumah sakit karena demam berdarah.  

“Jadi. Sekarang aja yuk!” usul Topan, yang kemudian diangguki oleh tiga temannya yang lain, termasuk Bian, meskipun kalau boleh jujur ia tidak rela membiarkan Syifa bersama Kala berdua saja.  

“Kak Syifa, aku jenguk temanku dulu!” pamit Bian.  

“Kak Kala aku pergi. Tadi aku udah izin kok sama Mama. Bye!" Shakira mencium pipi Kala, kemudian berjalan menyusul teman-temannya yang sudah terlebih dahulu keluar.  

Di ruangan itu, tinggalah Kala dan Syifa berdua. Sejenak mereka terdiam, sampai akhirnya Kala memecahnya dengan sebuah pertanyaan tak terduga.  

“Lo penari?”  

Syifa terkesiap. Ia tersenyum miring, dipaksakan.

“Dulu.”  

“Sekarang?”  

“Calon dokter.”  

“Kenapa ga sambil nari?”  

Syifa bergeming.  

“Oh sibuk ya pasti? Untung lo masih punya waktu buat ketemu gue.”  

“Ih apa coba?” Syifa terkekeh. Sejenak kembali mengingat masa itu, saat setiap hari dirinya bisa menari dan tidak dipusingkan dengan segala masalah perkuliahan. 

“Lapar ga? Gue iya. Makan yuk!” Kala berdiri, mengulurkan tangannya pada Syifa. Kesekian kali ia melakukan itu dan selalu berharap agar Syifa mau meraihnya untuk satu kali saja.  

“Yuk!”  Harap itu pun kembali menguap. Syifa bangkit tanpa bantuan tangan Kala. Ia berjalan mendahului pemuda itu. Seperti biasa, ia seakan-akan tahu di mana letak dapur rumah Kala.  

“Kita lihat Bi Marni masak apa.”

Kala mengangkat tudung saji yang ternyata menyembunyikan nasi serta lauk pauknya, ayam goreng, tempe dan tahu goreng, sambal terasi serta jangan lupa lalapan. Kala tersenyum. Melihat makanan yang ada di atas meja membuat perutnya semakin terasa lapar.  Kala menarik sebuah kursi, mempersilakan Syifa untuk duduk. Namun gadis itu melengos, bergerak ke arah wastafel dan mencuci tangan. Setelah itu barulah ia menjatuhkan tubuhnya di atas kursi yang disediakan Kala.  

“Makan masakan begini tuh enaknya pakai tangan,” ujar Syifa seraya mengambil sebuah piring yang tak lama kemudian telah terisi dengan satu centong nasi, sepotong ayam goreng bagian paha atas, tahu dan tempe, serta satu sendok sambal terasi.  

Kala lalu bergegas menuju wastafel untuk mencuci tangan. Sejurus kemudian ia telah kembali ke meja makan. Duduk di sebrang Syifa dan memindahkan makanan-makanan itu ke dalam piringnya.  

Setelah berdoa dalam hati masing-masing, Kala dan Syifa memulai suapan yang pertama. Kala sebenarnya ragu saat memasukkan makanan itu ke dalam mulut lewat tangannya langsung. Jujur saja, ini kali pertama ia makan tanpa menggunakan sendok. Tapi melihat Syifa yang makan dengan lahap, ia jadi tergoda juga. Dan rasanya memang lebih nikmat makan langsung dengan tangan.  

“Setiap kali gue makan sama lo, nafsu makan gue jadi naik. Abis lihat lo kayak yang enak banget,” ucap Kala.  

“Emang enak.” Syifa mengedikan bahu dan lanjut menghabiskan makanan yang ada di dalam piringnya. Sedari kecil, ia sudah diajari Bunda untuk menghargai semua makanan, terlebih makanan yang akan ia makan, karena mungkin itu adalah jatah makannya yang terakhir. Satu-satunya hal yang tidak pernah dicibir Syifa adalah makanan. Ia selalu bersyukur untuk semua makanannya.

Syifa sudah membersihkan semua makanan yang ada di atas piring, tidak berniat untuk mengambil porsi kedua karena perutnya sudah kenyang, meskipun ayam goreng dan sambal terasi buatan Bi Marni lezat sekali. Gadis itu berjalan menuju wastafel. Mencuci tangannya dengan sabun untuk menghilangkan aroma terasi yang menyengat.  

Kala menyusul Syifa. Pemuda itu membasahi kedua tangannya, mengambil setetes sabun, bilas-bilas sedetik, kemudian membasuhnya lagi dengan air. Ia melakukan hal itu jauh lebih cepat dibanding Syifa. Sontak membuat gadis itu memukul punggung tangan Kala.  

“Cuci tangannya yang benar!” tegur Syifa.  

Kala cuma bisa melongo saat Syifa memelototinya seperti seorang ibu yang memergoki anaknya mencuri mainan. Pemuda itu merengut, menyerahkan kedua tangannya pada Syifa.  

Syifa meraih tangan itu, membawanya ke bawah air keran yang dibiarkan mengalir, lalu meneteskan sabun di sana.  

“Gini nih kalau cuci tangan.”

Syifa mengajari Kala cara mencuci tangan yang baik dan benar, lebih tepatnya mencucikan tangan Kala. Karena sedari tadi Kala hanya diam dan membiarkan tangannya dikuasai oleh Syifa.  

Dimulai dengan membilas bagian telapak, lalu bergerak ke punggung tangan. Telusuri pula bagian sela-sela jari, buku-buku jari dan kemudian gerakan khusus untuk membersihkan ibu jari. Ujung-ujung jari pun harus dibersihkan dengan cara digosok-gosok dengan gerakan memutar di telapak tangan, sebelum terakhir membilasnya di bawah air mengalir.  

Kala tidak sempat memprotes meskipun ia merasa bodoh sekali karena di usianya yang sudah berkepala dua, ia baru tahu cara mencuci tangan yang benar. Bagaimana akan sempat, kalau diam-diam pemuda itu menikmati setiap inci tangannya yang bersentuhan dengan Syifa. Akhirnya tangan itu tak lagi hampa. Samar, ia tersenyum. Meresapi kehangatan yang tiba-tiba menjalari dada. Menyusup hingga jauh sekali ke dalam.  

Sekarang Syifa mengambil beberapa lembar tissue untuk mengeringkan tangan Kala yang kemudian ia pakai juga itu melapisi tangannya saat menutup keran.  

“Nah sekarang tangan lo udah bersih deh! Ga kayak tadi. Apaan cuci tangan cuma sedetik!” Syifa bersungut-sungut. Hal kecil sekaliber cuci tangan sepertinya perlu diajarkan dengan lebih baik pada orang-orang. Banyak penyakit yang bersumber dari tangan. Kalau mencuci tangan saja tidak benar, bagaimana bisa menjaga diri agar tetap sehat? Tanpa sadar, Syifa khawatir bila Kala jatuh sakit hanya karena cara mencuci tangan yang salah.  

Kala tertegun, menunggu momentum yang tepat untuk menggapai kedua tangan itu. Sejurus kemudian kedua tangan yang jemarinya lentik itu sudah berada dalam rengkuhannya. Kala membawanya naik, hingga memudahkan bibirnya untuk mendarat di sana, memberi kecupan hangat. Tak cukup sampai situ, ia baui harum tangan itu yang menguarkan aroma lemon sabun cuci tangan.  

Sebentar. Jantung Syifa kok tiba-tiba berdebar lebih kencang ya? Padahal, ia sedang tidak minum kafein. Ia bahkan bisa mendengar sendiri suara jantungnya saat memompa. Dug dug dug dug. Cepat sekali.  

Saat memandang Kala yang masih menjajah kedua tangannya, Syifa merasakan dadanya sesak. Ia tidak tahu sejak kapan dirinya menahan napas. Tapi selama tangannya bersentuhan dengan Kala, ia yakin bahwa saluran pernapasannya akan terus tercekat.  

Syifa tidak bisa tinggal diam. Bisa-bisa ia mati karena kehabisan oksigen. Gadis itu menarik tangannya. Membuat Kala terkesiap dan memasang wajah menyesal.  

“Maaf, Syifa!” Kala menggaruk tengkuknya.  

Sekarang, Syifa justru merasa bahagia. Ia tidak bisa menahan diri untuk tidak tertawa. Entah sejak kapan pastinya, namun ia pun tahu bahwa Kala diam-diam menyelinap masuk ke hatinya. Menetap di sana.  

Satu hal lagi yang tidak diketahui Syifa, bahwa malaikat itu tengah membayang-bayangi di salah satu sudut hatinya yang gelap. Menunggu waktu yang tepat.

Puisi Kala Itu (part 5)


"Bian!" seru seorang gadis berambut panjang seraya berlari ke arah Bian.

"Apa?" tanya Bian dengan malas. Ia memang kurang suka jika harus berhubungan dengan gadis yang bernama Shakira itu. Dia cerewet sekali. Belum lagi suaranya yang secempreng mercon. Membuat gendang telinganya seakan pecah. Sialnya, entah mengapa banyak hal yang harus ia lalui besama gadis itu, mulai dari teman sekelas, hingga bergabung dalam satu kelompok teater yang sama.

"Gimana tugas kelompok kita? Mau kapan nih mulai dikerjain?"
Bian mendesah samar. Terpaksa menerima nasib bahwa ia dipersatukan dengan Shakira dalam sebuah kelompok, yang itu berarti untuk sebulan ke depan sebelum deadline tugas itu dikumpulkan, ia harus terus berinteraksi dengan gadis itu.

"Kapan dong?" Bian bertanya balik, malas berpikir.

"Pulang sekolah yuk di rumah gue! Tadi gue juga udah bilang Topan sama Susan. Mereka ga ada acara pulang sekolah," ujar Shakira, menyebut dua nama lain yang menjadi anggota kelompok mereka.

"Oke," ucap Bian kemudian melengos melintasi Shakira.

Shakira memutar tubuh, melihat punggung Bian yang perlahan menjauhinya. "Mau ke mana, Bi?" tanya gadis itu.

"Kantin."

"Gue ikutttt!"

Bian tidak menoleh dan hanya memberikan isyarat melalui lambaian tangan. Mau tak mau mengizinkan Shakira untuk ikut bersamanya. Menemaninya menyantap soto ayam kantin favoritnya.

Kata teman-temannya, Bian dan Shakira itu cocok. Wajah Bian tampan, cocok kalau jadi bintang sinetron. Shakira juga cantik, pantas kalau wajahnya muncul di iklan. Banyak yang bilang bahwa mereka serasi kalau menjadi sepasang kekasih.

Sayangnya, Bian selalu mengabaikan saran Topan, penasihat pribadinya (yang bahkan nasihat Topan lebih banyak daripada nasihat orangtua Bian sendiri). Topan bilang, sudah saatnya Bian membuka hati. Mencicipi indahnya cinta. Masa remaja tidak akan terulang dua kali. Jadi, harus dinikmati. Tapi Bian selalu berkilah bahwa hidupnya sudah penuh dengan cinta sejak ia lahir ke dunia. Mama, Papa dan juga seorang kakak perempuan yang teramat menyayanginya. Apalagi yang kurang?

"Beda kali, Bi! Makanya lo pacaran dulu, biar tahu bedanya," ujar Topan.

Bian mencibir. Kalau ia sudah mendapatkan semua keindahan cinta dari keluarganya, untuk apa lagi ia berharap dari orang asing yang belum lama hadir di hidupnya? Untuk saat ini, ia masih merasa cukup dilimpahi cinta. Dan kalaupun ia sudah merasa siap untuk memiliki hubungan cinta dengan seorang perempuan, ia bisa pastikan bukan Shakira orangnya. Sumpah ya! Mau dijodohkan seperti apa pun juga, ia sama sekali tidak memiliki perasaan terhadap gadis itu.

Lain hal dengan Shakira. Melakukan banyak kegiatan bersama Bian ternyata menumbuhkan sebuah perasaan aneh di hatinya. Sebuah rasa yang membuat Shakira ingin terus menerus berada di samping Bian. Melihat profil itu. Mendengar tawa renyah itu. Menikmati rengekan, rajukan, celaan, atau apa pun yang keluar dari mulut itu.

Kata kakaknya, perasaan itu bernama cinta. Shakira terkikik geli. Masak ia jatuh cinta sama Bian? Yang selalu cemberut kalau dibilang bulu matanya lentik seperti perempuan. Yang selalu mengeluh di setiap pelajaran olahraga. Yang selalu membuatnya kesal kalau sedang berbicara tidak didengarkan.

Namun Shakira menikmati perasaan itu. Semuanya. Ia tidak terganggu dengan orang-orang yang berusaha menjodohkannya dengan Bian. Tidak pula menerima. Ia biarkan semuanya mengalir seperti perasaan yang terus menetes setiap kali detik terlewat bersama Bian.

***

"Tembak aja buruan tuh si Syifa!" ujar Danny.

Gilang menyikut lengan Kala. "Noh dengerin si Danny! Buruan! Nanti keburu diambil orang, tahu rasa lo!" Pemuda berambut keriting itu menakut-nakuti.

"Iya. Kalau ditolak, kalian ga akan tahu rasanya!" Kala menangkupkan kepala di atas kertas tugasnya yang masih bersih dan baru diisi dengan nama serta nomor pokok mahasiswa. Pusing memikirkan kelanjutan hubungannya dengan Syifa, membuat ia malas sekali mengerjakan tugas yang diberikan oleh Pak Sandi.

"Aduh! Lo lemah banget sih! Kalau takut ditolak, lo sama Jane aja. Lima juta persen lo ga akan ditolak," ujar Gery.

"Tapi gue yang nolak dia." Kala mengacak rambutnya gemas. "Tahu deh gue pusing ah! Syifa tuh polos banget ceweknya. Gue kode-kode, dia ga ngerti juga. Gue ga tahu gimana perasaan dia ke gue."

"Ya makanya, lo tanya langsung dong. Ga usah kode-kode lah, kayak ABG aja sih!"

Kala tidak menyahuti ucapan Gilang karena ponselnya berdering. Ia membuka pesan yang dikirim oleh Syifa yang tanpa sadar membuat bibirnya mengulas senyum.

"Kala, hari ini pulang bareng ga? Kalau enggak, gue duluan sama Alin. Kalau iya, gue tungguin. Tapi jangan lebih dari 30 menit karena baterai HP gue mau abis dalam waktu 30 menit."

Kala segera membalas pesan dari Syifa.

"BARENG! Sebelum 30 menit, gue udah di sana. Ini bentar lagi gue selesai kok!"

Setelah mengirimkan pesan itu, Kala mengambil bolpoin dan menuliskan apa pun di kertas tugasnya. Segera ia selesaikan sebelum waktu 30 menit yang diberikan Syifa habis. Membuat ketiga sahabatnya mengerenyit bingung. Mengapa Kala jadi tiba-tiba jenius dan begitu lancar saat mengerjakan tugas?

Sepuluh menit berlalu dan kertas polio bergaris itu sudah penuh oleh catatan tangan Kala. Ia meraih ranselnya, kemudian berjalan ke depan kelas untuk menyimpan kertas itu di atas meja. Sekarang, ia bisa langsung menemui Syifa. Gadis cantik tidak boleh dibiarkan terlalu lama menunggu. Pemuda itu melesat secepat angin.

"Ga telat, kan?" tanya Kala dengan napas tersengal sesaat setelah ia menghentikan laju motornya tepat di depan Syifa berdiri.

"Enggak. Kalau telat, gue udah pergi dari sini. Kan seperti yang gue bilang, 30 menit. Masih ada waktu 7 menit," tukas Syifa, melirik arloji yang melingkari pergelangan tangannya.

Kala tersenyum lega. Ia menyerahkan helm pada Syifa.

"Mau antar gue ke Braga dulu ga?" tanya Syifa sembari membenahi posisi helm yang baru saja terpasang di kepalanya.

"Mau!" ujar Kala tanpa berpikir. Ke mana pun Syifa ingin pergi, akan Kala antarkan. Sampai suatu hari Syifa lelah dan hanya butuh dirinya untuk ia jadikan tujuan pulang.

"Makasih ya!"

Syifa segera naik ke atas motor Kala. Tanpa diminta, ia berpegangan pada pinggang Kala. Meskipun tidak melingkar sempurna, namun tetap saja membuat senyum di wajah lelaki itu merekah. Syifa sendiri tidak sadar dengan apa yang ia lakukan. Tangan yang ia daratkan di pinggang Kala tidak berarti apa-apa untuknya.

"Udah siap?" tanya Kala.

Syifa mengangguk. Helmnya terantuk pada helm Kala dan membuat keduanya tertawa.

***

"Gimana kalau kita musikalisasi puisi aja?" celetuk Shakira. Ia mendapat wangsit itu saat tidak sengaja matanya tertumbuk pada potret dirinya dan sang kakak semasa kecil yang terpajang di dinding. Ia ingat bahwa kakak laki-lakinya itu suka sekali puisi, meskipun tidak secara terang-terangan ia menunjukan. Shakira tahu hal itu karena melihat tumpukan buku puisi di kamar kakaknya.

"Puisi? Old school ga sih?" tanya Susan retoris. Ia bukannya meremehkan, namun untuk remaja seusia mereka, jarang sekali ada yang menyukai puisi.

"Tapi boleh juga tuh. Topan juga kan bisa main gitar," ujar Bian. Untuk kali ini ia setuju dengan usul Shakira.

"Gimana, San? Suara lo kan bagus, kalau cuma nyanyi lagu yang udah ada sih biasa. Kita harus bikin yang ga biasa, supaya kita dapat nilai tertinggi dan tampil di acara hari pendidikan nasional bulan depan," kata Topan. Ia tahu sekali bahwa Susan banci tampil dan terobsesi untuk menjadi penyanyi. Semoga dengan mengiming-imingi kesempatan untuk mewakili kelas mereka di acara hardiknas nanti, Susan akan menyetujui ide cemerlang Shakira.

"Boleh sih. Tapi puisi aja? Kayak ga seru gitu!" Susan mengeluh, masih ragu.

"Kalau ditambahin tari gitu gimana?" lagi-lagi Shakira yang menemukan ide. Gadis itu memang paling kreatif di antara semuanya. Hal-hal yang tidak terpikirkan oleh orang kebanyakan justru terlintas di benak gadis itu.

Susan membeliak, tanda antusias. "Boleh! Keren tuh. Puisi, musik dan tari."

"Gue juga setuju!" ujar Bian.

"Ga ada alasan buat gue untuk ga setuju. Gila! Kepikiran aja lu, Sha!" Topan berdecak.

"Oke, jadi semua setuju ya?" Shakira kemudian menulis sesuatu di buku catatannya.

"Kita mulai dari pembagian tugas yuk! Urusan musik sama aransemen itu biar gue aja. Susan nanti bantuin gue. Dia yang nyanyi juga. Nah, Shakira sama Bian bagian tari," ujar Topan.

Bian merengut. Ia menggeleng cepat, lalu memprotes. "Ga mau gue! Apaan sih?"

"Kalian berdua kan ikut teater, udah biasa gerak-gerakin tubuh gitu. Lagian, elo kan ga bisa main alat musik, Bi. Mentok-mentok juga suling. Itu pun karena wajib bisa buat ujian praktik Bahasa Sunda," ujar Topan dengan nada menyindir.

"Ih, teater sama tari tuh beda tahu!" Bian masih belum menyerah. Bukan apa-apa. Kalau pasangannya bukan Shakira sih ia mau saja.

"Tapi kan nanti bisa latihan. Kakak lo bukannya penari kontemporer ya? Minta dia ajarin lo aja," kata Susan.

Bian tertegun mendengar ucapan Susan. Pemuda itu akhirnya mengangguk, menyetujui. Ya sudahlah. Apa boleh buat? Demi memenuhi tugas kelompok dengan bonus bahwa yang mendapat nilai tertinggi akan mewakili kelas untuk bisa tampil di acara hardiknas, ia pun rela harus dipasangkan dengan Shakira. Lagipula, yang nanti akan melatihnya adalah Syifa, kakaknya. Rasanya sudah lama sekali Bian tidak menghabiskan banyak waktu dengan Syifa. Terhitung sejak kakak perempuannya itu memiliki pacar. Bian juga sudah merindukan tarian indah sang Kakak. Sejak disibukkan dengan dunia perkuliahan, Syifa tidak lagi menari.

"Untuk puisinya, biar nanti gue konsultasi sama kakak gue. Dia punya banyak buku puisi, kali aja ada yang cocok. Dia juga ngerti musik. Bisa bantu-bantu kita nanti," ujar Shakira.

"Oke deh!"

***

Syifa mendorong pintu kaca sebuah toko kue di daerah Braga itu hingga menimbulkan suara berdenting. Sementara itu, Kala membuntuti dari belakang.

"Selamat sore! Ada yang bisa saya bantu?" seorang pelayan datang menyambut kedatangan Syifa dan Kala. Perempuan dengan seragam merah muda itu menunduk takzim.

"Iya, saya mau beli macaron," ujar Syifa, menyebutkan nama pastry asal Prancis itu.

"Mari, ke sebelah sini. Ada berbagai rasa yang tersedia. Silakan dipilih!" ujar si pelayan, menunjuk deretan rak kaca yang menampilkan kue mini warna-warni yang bentuknya mirip dengan burger itu.

Syifa mulai menjelajahi rak kaca itu sembari membawa sebuah nampan dan alat capit kue berukuran sedang. Memilih macaron rasa apa yang akan ia bawa pulang.

Sepuluh macaron pertama yang Syifa ambil adalah yang berwarna hijau, rasa greentea, kesukaannya. Dulu sepulang dari sanggar tari, Syifa selalu mampir ke toko ini, membeli beberapa buah penganan yang teksturnya crunchy itu. Ia kemudian akan memakan kue lucu itu di taman tak jauh dari toko, seraya menonton komunitas skateboard dan sepeda BMX yang berlatih di sana setiap sore.

Sudah tiga tahun semenjak dirinya resmi menjadi mahasiswa, Syifa keluar dari sanggar tari. Dan selama itu pula ia tidak pernah datang ke toko ini. Biasanya, kalau sedang ingin makan macaron, ia meminta Pak Tarman untuk membelikannya. Atau kalau tidak, ia memesan di toko kue online, yang sayangnya rasanya tidak seenak macaron yang dijual di toko ini. Tadi saat menunggu Kala, ia sempat membuka sosial media dan melihat temannya mengunggah foto macaron yang membuatnya tergiur. Jadi, ia minta pada Kala untuk mengantarnya kemari.

Syifa menambah jumlah macaron di atas nampan. Ia mengambil beberapa warna lain, coklat, coklat tua, kuning, merah, dan biru. Rasa coklat, kopi, keju, stroberi dan blueberry. Sekarang, di tangannya ada segunung macaron beraneka warna yang cantik sekali. Syifa terkikik. Tidak sabar untuk mencicipi kue-kue itu.

Kala berdeham. Sejak tadi, Syifa seperti tenggelam dengan kue-kue mungil itu. Ia tidak menyadari bahwa Kala ada di sampingnya. Ia baru sadar saat kepalanya mendongak dari rak kaca, hendak pergi ke meja kasir dan ia hampir menabrak Kala.

"Serius banget. Gue dilupain," cibir Kala.

Syifa tertawa menyeringai. "Iya. Gue beneran lupa tahu kalau ada lo," ujar gadis itu ringan.

"Jahat!" Kala mengulum bibir. Oleh macaron yang tak bernyawa saja dirinya kalah.

"Ga jahat. Nanti gue kasih macaron. Gue bayar dulu ya!" Syifa lalu berjalan ke arah kasir. Mengantri di belakang dua orang lain yang telah terlebih dahulu ke sana.

Setelah menunggu sekitar lima menit, Syifa dan Kala akhirnya keluar dari toko itu dengan membawa tiga kotak macaron yang masing-masing berisi 12 buah.

"Kala sini, makan dulu!" Syifa menarik lengan Kala untuk ikut duduk di sebuah bangku panjang yang ada di trotoar. Ia kemudian mengeluarkan satu kotak.

"Buat lo."

Kala kemudian membuka kotak itu. Menyeruaklah dua belas buah macaron beraneka warna. Harumnya menguar membangkitkan selera. Pemuda itu mengambil satu yang berwarna kuning. Jujur, ini kali pertama ia makan kue imut itu. Lamat, ia menggigit si kuning. Tekstur renyah sekaligus lembut di lidah membuat ujung-ujung bibirnya tertarik ke atas. Apalagi ketika krim keju dari si kuning meleleh di mulutnya. Enak sekali.

Syifa turut tersenyum melihat ekspresi Kala. Ia memang suka sekali mengamati wajah orang yang sedang makan. Seperti segala masalah dan beban tersingkirkan.

"Gue ga pernah mau sebenarnya makan macaron. Abis keimutan buat gue. Gue merasa nggak macho aja makan beginian. Tapi gue menyesal. Gila! Enak banget!" umpat Kala. Ia kemudian mengambil macaron yang lain. Kali ini warna merah, rasa stroberi. Yang kemudian ia habiskan hanya dalam sekejap.

Kala baru menyadari bahwa Syifa tidak ikut memakan macaron, sementara dirinya bersemangat sekali melahap kue imut itu. Ia tersenyum menyeringai. Menggaruk tengkuknya salah tingkah.

"Maaf ya! Norak banget gue! Tapi gue kan ga bisa bohong kalau ini enak banget."

Mungkin hanya di hadapan Syifa, Kala berani menunjukan kenorakannya. Dan mungkin juga hanya Syifa yang tidak bergidik jijik melihat Kala makan seperti orang kesetanan. Gadis itu justru tertawa, sesekali melempar guyonan yang berhasil membuat Kala terpingkal.

Untuk saat ini, semuanya terasa cukup untuk Kala. Tidak usah terburu-buru. Bukankah kemajuan saat Syifa minta diantarkan ke suatu tempat selain kampus dan rumah? Tidak perlu ia mendengarkan wanti-wanti sahabatnya untuk segera mengungkapkan perasaannya pada Syifa. Toh, selama ini Syifa tidak pernah dekat dengan lelaki mana pun selain dirinya. Jadi, Kala tidak perlu khawatir. Semua akan ada waktu yang tepat. Kalau bukan saat ini, pasti selalu akan ada nanti.

Masih bisa membuat Syifa tertawa saja sudah lebih dari cukup untuk membuat perasaan itu tetap ada.

***

Puisi Kala Itu (part 4)


Mata-mata itu menatap Syifa dengan berbagai makna. Ada yang menatapnya takjub, ada pula yang memberikan tatapan kesal sekaligus cemburu. Oh ayolah! Syifa tidak melakukan apa pun. Ia hanya makan siang seperti biasa. Nasi, ayam sambal hijau, dan capcay. Tapi tentu saja tatapan itu bukan karena menu makanan Syifa. Pemuda yang sekarang tengah duduk di sebrang Syifalah yang jadi pemicunya.

Kala datang menunaikan apa yang ia ucapkan kemarin. Menemani Syifa makan siang seraya mengobrol.

“Gue udah selesai lho baca buku Hujan Bulan Juni. Keren banget! Meskipun gue ga ngerti sebenarnya,” ujar Syifa.

“Oh ya? Puisi favorit lo apa? Kalau gue-“

“Dalam diriku.”

Kala terkesiap saat Syifa menyela ucapannya. Ia kemudian terkekeh.

“Dan karena hidup itu indah, aku menangis sepuas-puasnya.”

Syifa dan Kala tertawa saat bersama-sama mereka mengucapkan bait terakhir dari puisi berjudul ‘Dalam Diriku’ itu. Tawa yang kental sekali dengan kehangatan. Menjadikan jam istirahat Syifa terasa sekejap mata. Ia mengeluh saat Alin mengajaknya untuk bersegera kembali ke ruang kuliah.

“Nanti pulang bareng gue ya!” ujar Kala.

Syifa sudah tidak lagi membantah. Ia mengangguk seraya tersenyum, lalu berjalan tersaruk mengikuti langkah Alin yang besar-besar.

“Sukses nih bro!” Gery menepuk punggung Kala. Pemuda itu sengaja ikut dengan Kala ke kantin Fakultas Kedokteran. Katanya, mahasiswi kedokteran itu cantik-cantik. Gery datang untuk membuktikannya. Dan Tuhan, kalau tahu ada banyak bidadari, sudah dari dulu ia ke tempat itu. Menikmati kecantikan alami dari perempuan-perempuan berkacamata yang menenteng buku jumbo ke mana-mana.

Kala mendorong bahu Gery pelan. Sukses? Mungkin ya. Karena satu jam yang telah ia lewati bersama Syifa penuh dengan obrolan yang dijeda hanya dengan tawa. Atau mungkin juga tidak. karena satu jam saja belum bisa mengupas tentang pribadi Syifa sesunggunya. Yang ia tahu, Syifa adalah gadis yang menyenangkan. Yang masih bisa membuatnya berdecak kagum meski sebutir nasi menempel di pipinya.

***

Satu minggu berlalu dengan konsisten. Setiap jam istirahat, Kala menemani Syifa makan siang, yang lalu berlanjut dengan obrolan sampai kemudian Alin akan mengingatkan Syifa bahwa sudah saatnya mereka kembali ke ruang kuliah. Sorenya, Kala akan mengantarkan Syifa pulang. Kegiatan berulang yang sama sekali tidak membosankan untuk Kala. Bahkan saat satu juta kali dilakukan lagi pun, euforianya tetap sama. Debaran menggelikan yang ada tiap kali Syifa menatapnya. Rasa hangat di sekujur tubuh saat Syifa menepuk pundaknya. Ia begitu menikmati semuanya.

“Minggu jalan yuk!” ujar Kala. Mencoba sesuatu yang baru. Takutnya Syifa bosan, meskipun kelihatannya tidak sama sekali.
“Ga bisa. Harus ke gereja.”

Kala mengerutkan kening. Gereja? Bukannya Syifa muslim ya? Sebelum bertemu dengannya untuk makan siang bersama, Syifa selalu habis melaksanakan shalat dzuhur di mushala. Tapi kok ke gereja?

“Keluarga gue yang ke gereja. Gue enggak,” ujar Syifa. Semakin membuat Kala bingung. Keyakinan Syifa berbeda dengan keluarganya?

“Nyokap bokap gue udah meninggal waktu gue kecil. Terus gue dititipin sama teman bokap. Keluarga gue yang sekarang,” jelas Syifa. Mengurai lipatan pada dahi Kala.

Kala membulatkan mulut. Kali pertama Syifa membuka topik tentang dirinya, dan Kala sangat terpana. Bagaimana bisa ia tinggal dengan orang-orang yang berbeda dengannya? Ia saja dan Shakira, adik perempuannya sering bertengkar hanya gara-gara beda selera makan. Kala lebih suka ayam goreng, sedangkan Shakira sukanya ayam bakar, pakai kecap, uh sedap.

Toleransi Syifa pastilah sangat tinggi. Terlihat dari ia yang tidak pernah memprotes penampilan Kala yang tidak rapi. Syifa juga tidak pernah mengomentari kebiasan Kala merokok. Sebagai calon dokter, Syifa pasti paham betul bahwa merokok berbahaya bagi tubuh, namun gadis itu tidak pernah melarang Kala untuk merokok. Ia justru menghormati pilihan Kala. Hal itulah yang membuat Kala sadar dan perlahan meninggalkan rokok, meski belum sepenuhnya bisa.

“Jadi kapan dong kita bisa jalan?” tanya Kala.

“Sabtu.”

“Oke.”

“Ya udah, gue balik ke kelas dulu ya! Bye!” Syifa melengos pergi. Meninggalkan harumnya yang masih bisa Kala baui dengan jelas. Membuat pemuda itu tidak bisa sedetik pun berpaling hingga siluet gadis itu benar-benar menghilang.

“Sabtu kan party-nya Jane,” ujar Gery. Diam-diam, ia menguping pembicaraan antara Kala dan Syifa. Hari ini, Anggi, gadis incarannya tidak masuk kuliah. Tidak juga ia berniat mencari gadis lain. Makanya sejak tadi ia diam di belakang Kala. Menyantap semangkuk mie ayam seraya mencuri dengar perbincangan antara Kala dan Syifa.

“Ya udah, gue ajak Syifa ke party-nya Jane aja!” ujar Kala ringan. Satu minggu melakukan pendekatan secara intens, melambungkan kepercayaan dirinya. Syifa pasti bersedia untuk diajak pergi, meskipun ia tidak yakin bahwa Syifa pernah menghadiri sebuah ‘party’.

***

“Kak Syifa mau ke mana?” tanya Bian saat melihat Syifa menuruni anak tangga. Gadis itu terlihat berbeda dengan skinny dress berwarna hitam dan sepatu boots berwarna senada pula.

“Mau tahu aja urusan orang gede!” ujar Syifa. Berusaha untuk menahan ledakan tawa saat melihat Bian mengulum bibir.

“Mau pacaran ya?” tuduh Bian.

Syifa mengangkat bahu. Bunyi ketukan di pintu membuat perhatiannya teralih. Gadis itu berlari untuk membuka pintu.

Kala menatap terpana saat melihat penampakan Syifa di hadapannya. Skinny dress hitam itu sempurna mencetak setiap lekuk tubuh Syifa yang baginya seindah puisi dari surga. Make up tipis andalannya. Serta senyum yang manisnya tiada dua.

“Lo cantik banget!” puji Kala.

“Makasih.”

“Keluarga lo mana? Gue mau izin dulu,” Kala melongok ke dalam. Tak dilihat siapa-siapa selain seorang cowok yang berdiri di dekat sofa.

“Itu adik lo?” tanya Kala.

Syifa mengangguk.

“Iya. Bian namanya.”

“Bian, gue pergi dulu ya sama Kak Syifa!” seru Kala seraya melambaikan tangan. Minta restu pada calon adik ipar.

Bian membuang wajah. Jangan sok manis deh di hadapannya. Dia pikir, Bian akan ikhlas apa kakaknya diculik oleh lelaki yang mencukur janggut saja tidak bersih seperti itu? Enak saja.

“Kenapa dia?” tanya Kala, menyadari bahwa Bian tidak memberikan respon baik terhadap kehadirannya.

“Udah ga usah dipikirin. Dia lagi bête ditinggalin sendirian di rumah. Om Tian sama Tante Viona lagi keluar juga soalnya. Yuk pergi sekarang!”

Syifa menarik lengan Kala pergi. Meninggalkan Bian dengan umpatan-umpatan jahat yang hanya bisa ia pendam sendirian.

***

Syifa tahu party macam apa yang dimaksud oleh Kala. Sebuah acara yang seumur hidup tidak pernah didatanginya. Syifa selalu suka mencoba hal yang baru. Maka ketika Kala mengajaknya untuk menghadiri party itu, ia tidak menolak.

Kala mengulurkan tangannya pada Syifa, menunggu gadis itu untuk menyambutnya. Namun seperti biasa, ia memberikan kejutan yang tak terduga. Gadis itu melangkah masuk mendahului Kala. Sama sekali tidak mengindahkan telapak tangan Kala yang harus berpuas diri tidak menggenggam apa-apa selain udara.

Syifa menghentikan ayunan kakinya sesaat setelah ia masuk. Ia mencoba mencermati tempat itu. Alunan musik yang bergema mengisi setiap sudut ruangan. Orang-orang saling bercengkrama dengan kelompoknya. Gulungan asap rokok berterbangan di mana-mana. Syifa merengut. Tidak yakin ia bisa bertahan di tempat itu hingga acaranya selesai.

“Yuk!” Kala menggamit lengan Syifa. Membuat Syifa mau tak mau harus mengikuti gerakan pemuda itu.

“Kalaaa, gue udah nunggu lo dari tadi!” suara Jane membuat Kala terperanjat. Tanpa permisi, gadis dalam balutan gaun malam tanpa lengan berwarna biru itu menghambur memeluk Kala.

Kala agak risih diperlakukan sedemikian rupa oleh Jane, terlebih karena ada Syifa di sampingnya. Sedangkan Syifa menatap si empunya hajat dengan biasa saja. Tidak terganggu, terlebih cemburu. Gadis itu justru menarik ujung-ujung bibirnya ke atas.

“Happy birthday, Jane!” ujar Kala, seraya melepaskan diri dari Jane. “Betewe, kenalin ini Syifa.”

Syifa mengangguk sembari tersenyum. Hal lumrah yang biasa ia lakukan saat bertemu dengan orang baru.

Jane mengerenyit. “Siapanya elo, Kal?”

“Syifa…” Kala menggigit bibir. Sekilas ia melirik Syifa. Ia berdeham pelan, lalu melanjutkan, “pacar gue.” Dalam hati, Kala berdoa supaya Syifa tidak menyanggahnya.

Sontak Jane membuka mulut. Tak percaya. Silih berganti ia memandangi Kala kemudian gadis yang penampilannya sangat biasa saja itu. Kok bisa Kala pacaran dengan perempuan yang tidak lebih cantik darinya? Jane merengut.

Sedangkan Syifa memasang ekspresi tenang. Sama sekali tidak terkejut dengan apa yang Kala ucapkan. Gadis itu justru tengah menahan diri agar tidak tertawa. Ternyata, Kala sama sepertinya, gemar mengerjai orang. Kala bilang kalau Syifa pacarnya. Yang benar saja?

“Gue ke sana dulu ya!” ujar Kala seraya menunjuk Gery, Gilang dan Danny di sisi lain ruangan. Ia mendesah lega saat Syifa tidak memprotes. Mungkinkah gadis itu mengerti tentang maksud tersirat tentang mengapa ia mengatakan Jane bahwa mereka berdua adalah sepasang kekasih? Atau justru gadis itulah yang memberikan kode pada Kala, bahwa ia pun memiliki perasaan yang sama sehingga tidak perlu untuk membantah? Entahlah.

Kala dan Syifa melangkah dengan saling bergandengan. Meninggalkan Jane yang harus patah hati tepat di hari yang seharusnya membahagiakan. Kalau bukan karena menghormati ratusan tamu yang ia undang, Jane rasanya ingin segera mengakhiri party-nya saat itu juga. Musik itu, tawa itu, ucapan selamat itu, seperti sebuah perayaan untuk kemalangannya malam ini. Kala, lelaki pujaannya lebih memilih gadis yang alisnya tidak simetris.

“Hai, Gery!” sapa Syifa. Ia menyapa terlebih dahulu sebelum Kala, seakan dirinyalah yang telah bersahabat lama dengan Gery.

“Halo, Syifa!” ucap Gery.

“Kok cuma Gery yang disapa?” sindir Danny, yang diangguki oleh Gilang.

“Oh halo! Siapa ya?”

Keempat pemuda itu spontan tertawa mendengar pertanyaan Syifa yang sangat polos. Gadis itu menyapa orang yang belum ia tahu namanya. Malam ini memang pertemuan pertamanya dengan Danny dan Gilang. Kalau Gery sih sudah kenal lama. Kala selalu datang menemuinya di kampus bersama pemuda itu.

“Gue Danny.”

"Gilang."

Seperti orang yang sudah mengenal lama, Syifa pun mengobrol banyak dengan Danny, Gilang dan Gery. Sesekali Kala terlibat. Ikut tertawa saat Danny menggodanya. Mengatakan bahwa setiap hari yang selalu ia ceritakan adalah tentang Syifa.

Dalam hati, Kala mengeluh. Mengapa Syifa dengan mudah akrab dengan siapa saja? Bukan hanya dengannya ternyata. Sepuluh menit yang lalu, Kala berbesar kepala karena mengira bahwa Syifa juga menyukainya karena tidak protes saat dia mengatakan bahwa mereka berpacaran. Kini, melihat Syifa bercanda dengan Danny, Gilang dan Gery membuat Kala menciut hingga sekuku jari. Ternyata, ia tidak seistimewa itu.

Danny, Gilang dan Gery menyadari perubahan sikap Kala. Mereka akhirnya memutuskan untuk pergi, meninggalkan Kala dan Syifa berduaan saja.

“Lo setiap ngenalin cewek ke orang, selalu bilang itu pacar lo ya?” celetuk Syifa.

Kala mengerjap. Ia gelagapan menjawab, “oh tadi ya? Enggak kok! Cuma sama Jane doang! Biar dia berhenti ngejar-ngejar gue.”

“Dia suka sama lo?” tanya Syifa dengan wajah penasaran, bukan ekspresi cemburu seperti yang Kala harapkan.

“Kayaknya sih begitu.”

Syifa mengangguk. Harusnya ia sudah tahu hal itu saat pertama kali melihat Jane. Gadis itu terlihat bahagia bertemu Kala. Tanpa sungkan memeluk pemuda itu. Sayangnya, kebahagiaan itu sirna saat Kala memperkenalkan dirinya pada Jane. Wajah itu berubah murung. Syifa jadi merasa bersalah telah ikut bersekongkol untuk mengerjai Jane.

“Lo marah ya sama gue?” Kala bertanya hati-hati.

“Enggak. Gue biasa aja. Gue juga bilang kalau kita pacaran sama Bian.”

“Oh ya?” hati Kala merekah berbunga.

“Iya. Gue emang suka ngerjain adik gue. Lucu. Hahaha.”

“Ha-ha-ha.” Bunga itu layu sedetik kemudian. Ternyata bagi Syifa, hubungan antara mereka hanyalah lelucon. Sekali lagi, mari tertawa! Ha-ha-ha.

“Aww!” Syifa mengurut kepalanya yang berdenyut. Ia meringis. Hampir jatuh kalau tidak segera ditahan Kala.

“Lo kenapa?” tanya Kala. Khawatir sekali melihat Syifa yang tiba-tiba mengaduh kesakitan.

“Pusing gue! Banyak asap rokok. Sama musiknya ini dari tadi intro semua, ga ada liriknya,” keluh Syifa. Masih memegangi kepala.

Kala menggaruk tengkuknya. Bingung antara harus cemas atas tertawa. Syifa ini polosnya kebangetan. Masak dibilang musiknya intro semua. Kalau sampai terdengar oleh sang DJ di depan sana, bisa-bisa ia diamuk.

“Pulang aja yuk!” ujar Kala. Ternyata kecemasannya terhadap keadaan Syifa sangat besar. Tidak tega melihat gadis itu kesakitan.

“Acaranya kan belum selesai.”

“Ga pa-pa. Yuk! Daripada lo kenapa-napa.”

Anggukan dari Syifa akhirnya menjadi komando untuk Kala memapah Syifa keluar dari tempat itu. Menyelamatkan gadis itu dari musik berisik dan asap rokok yang membuat kepalanya hampir meledak.

“Nih minum dulu biar pusingnya ilang,” ujar Kala seraya menyerahkan sebotol air mineral. Mereka kini sudah berada di dalam mobil.

Syifa meneguk air itu hingga tersisa setengah. Air mineral memang minuman paling enak seluruh dunia. Membuat tubuhnya segar dan kepalanya tidak lagi terasa berat.

“Maaf ya, gue norak banget. Ga bisa dengar musik begitu. Ditambah asap rokok pula.”

“Gue yang harusnya minta maaf udah ajak lo,” ucap Kala dengan menyesal.

“Ih! Jangan minta maaf dong! Gue senang kok!” Syifa tersenyum lebar. Menampilkan deretan gigi yang tersusun rapi. Keadaan gadis itu sudah kembali membaik.

“Kalau lo senang ga?” tanya Syifa.

Kala terkesiap. Ia melirik Syifa yang terlihat bersinar, seperti mutiara. Meskipun sikap Syifa membingungkan, namun tatapan itu kembali meyakinkan, bahwa gadis pemilik aroma kayu manis itu adalah orang yang tepat untuk tetap ia perjuangkan.

“Banget!” ujar Kala. Tersenyum.

***

Puisi Kala Itu (part 3)


Seminggu berlalu dan Syifa tidak pernah menghubungi Kala. Pemuda itu hampir frustasi dibuatnya.

Sebenarnya, kalau Kala mau, ia bisa meminta bantuan Alin untuk mempertemukannya dengan Syifa. Tapi Kala tidak melakukannya. Ia ingin Syifa sendiri yang menghubunginya. Untuk menguji apakah gadis itu memiliki ketertarikan padanya atau tidak. Hari kesekian dan Kala pun tahu bahwa perasaannya bertepuk sebelah tangan. Ia ditarik habis-habisan oleh Syifa. Namun Syifa justru semakin menjauh dari raihannya.

“Lo samperin dia aja kenapa sih?” ujar Gery. Gemas sekali melihat Kala dilanda galau yang kadarnya sudah tidak wajar.

“Ga segampang itu lah! Gue pingin tahu aja, dia suka ga sama gue. Atau minimal penasaran deh!” ujar Kala.

Gilang berdecak. “Lo sih kebiasaan dikejar-kejar sama cewek. Giliran ada yang lo suka, lo malah malas usaha,” cibir cowok berambut keriting itu.

“Atau mau gue yang samperin?” Danny menaik turunkan alisnya, menggoda Kala hingga pemuda itu tersulut dan menoyor kepalanya.

“Yang ada nanti dia sukanya sama lo! Jangan berani-berani lo ya! Awas aja!” ancam Kala. Ia teringat kejadian saat Cindy yang dulu dekat dengannya tiba-tiba malah berpacaran dengan Danny. Meskipun tidak memiliki perasaan apa-apa pada Cindy, tapi Kala tetap sebal juga.

“Kal, gue ga pernah lihat lo sampai sebegininya, ga mungkin lah gue nikung lo! Bisa mati bunuh diri kali lo,” Danny terkikik. Terus menerus menggoda Kala.

“Udahlah, Kal. Samperin aja! Cemen banget sih lo! Sekali-kali ditolak ga pa-pa kali. Ga bosan apa lo nolak cewek mulu? Mau nunggu sampai kapan coba? Sampai nenek lo perawan lagi?” ujar Gery yang disambut dengan ledakan tawa dari Gilang dan Danny.

Sahabat yang kurang ajar memang! Umpat Kala dalam hati. Tapi apa yang dikatakan Gery, Gilang dan Danny ada benarnya. Ia tidak bisa terus menerus menunggu tanpa ada kepastian. Mungkin memang Syifa tidak tertarik padanya. Tapi kan kalau ia tidak pantang menyerah, mungkin gadis itu akan luluh padanya. Atau kalapun tertarik, Syifa tidak akan terang-terangan menunjukkan perasaannya. Gadis itu berbeda dengan gadis-gadis yang selama ini dikenalnya.

Baiklah. Kala menghela napas panjang. Mengumpulkan segunung nyali untuk menemui Syifa sore nanti.

***

“Lo sama Kala gimana?” tanya Alin. Perempuan dalam balutan rok span hitam selutut itu selalu penasaran dengan perkembangan hubungan antara Syifa dan Kala. Seraya mendekap buku berukuran jumbo di dada, ia menyingkirkan sejumput rambut ke belakang telinga.

“Gimana apanya?” Syifa balik bertanya, meskipun sebenarnya ia tahu ke mana arah pembicaraan Alin.

“Ya gimana hubungan lo sama dia?” Alin berdecak seraya memutar bola matanya. Syifa memang agak susah kalau diajak membicarakan masalah ‘hubungan’. Padahal ia begitu jenius ketika diminta menjelaskan perjalanan obat sejak ditelan hingga menimbulkan reaksi.

“Ga gimana-gimana. Terakhir ketemu minggu lalu, dan gue ga pernah berhubungan sama dia lagi. Please deh, Lin! Gue tuh beneran ya ga ada apa-apa sama Kala!” Syifa mengulum bibir. Berjalan tersaruk membuntuti Alin menuju tempat parkir.

“Gue sebenarnya ga masalah kalau lo punya hubungan sekalipun. Apalagi lo belum pernah pacaran. Gue cuma pingin lo hati-hati, Fa!” ujar Alin seraya membuka bagasi mobilnya, menyimpan buku jumbo yang sedari tadi ia dekap dengan sekuat tenaga.

“Gue bisa jaga diri, Lin! Kalau ada yang bakalan sakit hati, gue pastiin bukan gue,” kata Syifa seraya tersenyum.

“Gue berharap juga gitu!”

Alin berjalan memutar. Ia membuka pintu mobilnya sedetik sebelum seseorang berteriak dan berlari menghampiri mereka berdua.

Syifa melirik Alin sekilas, kemudian beralih pada pemuda di hadapannya. Ia mengerutkan dahi. “ada apa?”

“Kok lo ga pernah telepon gue sih?” tanya Kala, bergelut dengan napasnya yang tersengal.

“Ngapain gue telepon lo?” tanya Syifa dengan wajah pilon. Membuat Kala harus menahan tangannya untuk tidak bergerak menjawil pucuk hidung bangir yang menggemaskan itu.

“Lo kan udah save nomor gue,” ujar Kala.

“Ya tapi kan gue ga ada butuh apa-apa sama lo. Jadi ngapain gue telepon lo?”

Kala mengacak rambutnya sendiri gemas. Gadis itu benar-benar polos atau hanya pura-pura sih? Keterlaluan sekali kalau pura-pura. Tapi masak ia tidak mengerti juga dengan maksud Kala. Buat apa coba ia muncul di sana kalau ia tidak suka pada Syifa?

“Ngapain lo ke sini, Kal?” tanya Alin. Mulutnya sudah gatal ingin berbicara.

Kala mengerjap. “ketemu Syifa.” Ia melirik gadis berambut sebahu yang super polos itu.

“Mau apa ketemu sama gue?” tanya Syifa.

“Emang harus ada alasannya?” tanya Kala retoris. Tuh kan! Gadis itu masih belum mengerti.

“Ya harus lah! Everything’s happen for a reason.”

“Tapi gue ga punya alasan apa pun selain mau. Ya pokoknya gue mau aja ketemu sama lo,” tukas Kala. Sumpah ya! Baru kali ini ia dibuat mati gaya oleh seorang mahluk bernama perempuan.

“Terus sekarang kan udah ketemu, mau ngapain lagi?” Syifa belum puas membuat Kala frustasi.

Kala berpikir sejenak. “Mau ngajak lo makan.”

“Udah.”

Sial! Kala merutuk dalam hati. Pemuda itu merasa sangat bodoh sekarang. Otaknya buntu dan sama sekali tidak memiliki ide. Aduh! Ini sih namanya lebih parah daripada ditolak.

“Terus lo mau ngapain?” tanya Syifa lagi. Ia semakin menyudutkan Kala meskipun sesungguhnya ia tidak bermaksud seperti itu.

“Gue mau nganter lo balik,” ucap Kala pada akhirnya. Ide mainstream yang harusnya muncul sedari awal.

“Gue pulang sama Alin.”

Kala langsung melirik Alin. Memberikan kode pada Alin agar ia mendukung dirinya. Gadis itu mengangguk malas.

“Gue lupa nih, Fa. Gue mau ketemu Sony,” ujar Alin. Menjadikan pacarnya sebagai tameng untuk melancarkan rencana Kala. Meskipun jujur ia agak tidak rela jika Syifa harus pulang bersama Kala.

“Oh gitu ya? Ya udah deh! Yuk, Kal balik!” ucap Syifa ringan. Gadis itu kemudian berjalan mendahului Kala. Seakan ia tahu di mana Kala menyimpan motornya.

Kala bergegas menyusul Syifa setelah memberikan seutas senyum tanda terimakasih pada Alin. Langkah kakinya besar-besar supaya dapat segera mensejajarkan dirinya dengan gadis itu.

“Kita langsung pulang?” tanya Kala. Pemuda itu mengendarai motornya dengan teramat pelan. Berharap waktu membekukan dirinya dan Syifa.

“APA?” tanya Syifa dengan agak berteriak. Ia mencondongkan tubuhnya ke depan supaya dapat mendengar ucapan Kala dengan jelas.

“Kita mau langsung pulang?” ulang Kala sekali lagi. Pemuda itu menoleh dan mendapati wajah Syifa di bahunya. Dari sana, ia bisa dengan jelas melihat profil wajah cantik itu. Matanya tenang seperti semilir angin petang.

“Iya lah! Emangnya mau ke mana lagi?”

Kala terkesiap dengan jawaban Syifa yang lagi-lagi membuatnya kehilangan kata. Pemuda itu mendesah samar. Menyerah. Pengalamannya menaklukan banyak perempuan tidak berguna sama sekali ketika ia berhadapan dengan gadis super polos dan to the point seperti Syifa.

Kala memutuskan untuk fokus terhadap jalanan. Ia menambah kecepatan motornya. Meliak-liuk menyalip beberapa mobil. Hingga akhirnya kini mereka sampai di depan sebuah bangunan bertingkat dua bernuansa klasik, rumah Syifa.

“Syifa, kalau gue mau ketemu sama lo lagi, boleh ga? Tapi lo jangan tanya alasannya apa. Pokoknya gue mau ketemu sama lo aja!” ujar Kala. Ia menggigit bibir. Menanti jawaban Syifa yang pasti tidak akan biasa.

Syifa menggaruk pelipis, mengerutkan kening. “Tapi kalau ga ada alasannya, buat apa gitu ketemu sama gue?”

Kala sudah bisa mengira bahwa Syifa tidak akan dengan mudah untuk pasrah. Ia memutar otak. Mencari alasan yang bisa dipakainya berulang kali dan gadis itu tidak akan mempermasalahkan.

“Ngobrol?” Kala sama sekali tidak memiliki ide selain itu. “Gue suka ngobrol sama lo. Lo asyik orangnya.”

Syifa mengangguk cepat. “Boleh.”

Kala berseru tertahan. Senang sekali ketika Syifa mengangguk dan mengizinkan Kala untuk bisa menemuinya kapan saja. Hanya dengan alasan mengobrol. Gila ya! Padahal Kala sudah berpikir sangat keras untuk mencari alasan terbaik. Tapi yang diterima Syifa justru alasan remeh sekaliber ngobrol. Syifa, mengapa kamu ajaib sekali?

“Makasih ya! Ya udah, gue balik dulu. Besok gue ke fakultas lo. Ngobrol sambil makan siang,” ujar Kala. Pemuda itu kemudian pergi, membawa perasaan yang kian hari kian membuncah.

Syifa masih berdiri di sana. Tidak tertinggal apa pun di sana selain fakta bahwa kini ia punya teman mengobrol baru yang menyenangkan. Yang tidak akan membahas baju buatan siapa yang dikenakan Pevita Pearce di acara festival film, tas merk apa yang digunakan Syahrini, atau ketampanan Brooklyn yang sudah menyamai Beckam. Semua kefanaan yang akan hilang seiring dengan waktu. Tapi Kala lain. Ia menyuguhkan topik menarik yang tidak ia dapatkan dari teman-temannya, juga beberapa pemuda yang pernah mendekatinya. Makanya, saat Kala ingin bertemu dengannya untuk mengobrol, dengan senang hati Syifa menerima.

Syifa masih bergeming saat sebuah tangan mendarat di bahunya. Gadis itu mengerjap. “Kamu baru pulang?” tanya Syifa pada adiknya, Bian.

“Yang tadi siapa?” Bian balik bertanya. Ia melongok. Penampakan pemuda yang mengantar kakaknya pulang sudah tidak terlihat. Ia mengerutkan kening. Menunggu jawaban Syifa.
“Kala.”

“Pacar?” tanya Bian dengan nada menyelidik.

Syifa tersenyum penuh arti. Senyum yang bisa diterjemahkan dengan ya atau tidak. Ia melengos masuk ke dalam rumah.

Bian menghentakkan kaki. Ia segera menyusul Syifa.

“Kak, jawab dong! Itu pacar Kak Syifa bukan?”

“Kamu bawel banget sih!” ujar Syifa. Senang sekali membuat Bian merengut dan tenggelam dalam rasa penasaran.

“Parah banget sih, Kak! Awas aja kalau itu beneran pacarnya Kak Syifa! Aku bilang sama Mama nih!” ancam Bian. Cowok yang masih duduk di bangku SMA itu berlari menghampiri Viona yang sedang membaca majalah.

Sementara Syifa mengedikan bahu. Membuntuti Bian seraya terkikik geli.

“Ma, Kak Syifa punya pacar tahu!” ujar Bian. Ia menjulurkan lidah, mengejek Syifa.

Viona membenarkan posisi kacamatanya yang melorot. Melirik Bian yang sudah duduk di samping kanannya, kemudian mengalihkan pandangan pada Syifa yang kini bergerak untuk mengambil posisi di samping kirinya.

“Beneran, Fa?” tanya Viona.

Jawaban dari Syifa masih sama, seutas senyum yang bisa diartikan ya atau tidak.

Viona turut tersenyum, menepuk lengan Bian. “Ga pa-pa dong Kak Syifa punya pacar. Kan dia udah kuliah. Nanti juga kalau Bian udah kuliah, Mama izinin Bian buat punya pacar juga kok!”

Bian terkejut dengan ucapan Viona. Namun yang membuatnya resah adalah fakta bahwa cepat atau lambat, ia memang tidak akan memiliki Syifa sepenuhnya. Gadis itu sudah tumbuh dewasa dan sewajarnya menemukan cinta. Tapi entah mengapa, Bian tidak bisa terima. Ada pedih yang ia rasakan di sudut hatinya yang gelap.

Syifa menjulurkan lidah, balas mengejek Bian. Gadis itu tertawa. Senang sekali mengerjai Bian. Padahal, siapa juga yang pacaran sama Kala. Pemuda itu kan hanya teman mengobrol. Dan tidak ada niatan juga untuk mengubah status itu dengan yang lain. Karena seindah apa pun puisi Kala, masih jauh lebih indah rengekan malaikatnya. Syifa hanya belum menyadarinya.

“Kakak masih mau main sama aku kan meskipun udah punya pacar?” tanya Bian retoris sejurus setelah Viona pergi ke dapur untuk mengambil minum. Lebih dari separuh hidupnya dihabiskan bersama Syifa membuat ia takut sekali kehilangan sosok itu, yang bawel sekali mengajarinya matematika, yang menyebalkan sekali kalau sudah main playstation karena Bian pasti kalah, yang begadang untuk menjaga Bian kalau demam semalaman.

“Kenapa harus ga mau? Kamu itu teman main Kak Syifa yang paling seru!” ujar Syifa seraya mengacak rambut Bian. Membuat cowok itu tersenyum meskipun kini rambutnya sudah awut-awutan. Paling tidak, sekarang ia tahu bahwa meski kakak perempuannya telah bertemu dengan lelaki itu, posisinya tidak akan tergantikan. Selamanya ia akan jadi adik kecilnya.

Bagi Syifa sendiri, Bian sudah ia anggap sebagai malaikat. Membuatnya aman saat orang-orang yang dicintainya pergi meninggalkan. Lelaki mana pun, datang dari kerajaan apa pun, tidak akan mampu menggantikan posisi Bian. Selamanya ia akan jadi malaikatnya.

***

Puisi Kala Itu (part 2)


“Kala, nanti malam jalan yuk!” ujar seorang gadis, tanpa canggung bergelayut manja di lengan Kala. Tak ia hiraukan tatapan teman-teman Kala.  

Kala tersenyum miring. “Jane, lo ajak yang lain aja deh! Noh si Gery!” pemuda itu mengedikkan bahu.

 Pemuda bernama Gery tersenyum dan langsung bergerak menarik gadis berlipstik merah itu dari Kala. “Iya, Jane! Lo pergi sama gue aja!” ucapnya seraya memainkan kedua alis.

 Jane mengulum bibir, “ogah!” gadis itu kemudian melengos pergi. Rambut panjangnya berkibar menyapu wajah Gery.

 Gery menggeleng samar. Ia terkekeh pelan, kemudian menepuk bahu Kala. “Tumben lo nolak Jane. Punya cewek baru ya?” tebak Gery. Meskipun tidak pernah memiliki hubungan spesial dengan perempuan mana pun, tapi Kala jarang sekali menolak ajakan dari banyak perempuan-perempuan cantik itu. Apalagi Jane, perempuan paling cantik dan populer sefakultas ilmu sosial dan politik. Anak pejabat pula. Kala memang gila.  

Rasa penasaran Gery diangguki oleh Danny dan Gilang. Andai mereka jadi Kala, takkan mereka sia-siakan kesempatan emas untuk jalan berdua Jane.  

Kala hanya tersenyum seraya menyesap sebatang rokok. Karena ia bukan Tarzan yang tergila-gila pada perempuan seperti Jane. Karena sejak malam itu, yang mengisi ruang imajinya hanya perempuan itu. Yang memulas bibir mungilnya dengan lipstik berwarna nude. Yang senyumnya sehangat balutan selimut. Karena Kala sudah tidak lagi mencari emas. Gadis itu serupa berlian untuknya.  

Kala ingin kembali bertemu dengan perempuan itu. Ia tahu bisa menemukannya di mana. Di sebrang gedung fakultasnya, terpisah oleh jalan dan sebuah fakultas lain. Tapi ia terlalu malu untuk datang tanpa alasan. Apalagi perempuan itu tidak menjawab apa pun saat Kala bertanya apakah ia boleh bertemu dengannya lagi atau tidak. Kala berpikir sangat keras. Terlalu keras dan kemudian ia menyadari bahwa ia tidak pernah mencari. Selama ini, ia yang selalu dicari. Dipuja-puja bak Cassanova. Ternyata bagi perempuan itu, Kala tidak ada apa-apanya. Bahkan mungkin ia sudah lupa.  

Dugaan Kala salah. Syifa tidak pernah melupakannya. Bagaimana ia bisa lupa jika setiap kali ia bertemu dengan teman-temannya, mereka selalu bertanya tentang Kala. Serius deh! Syifa muak sekali dibuatnya.  

“Gue ga ada hubungan apa-apa sama Kala, Lin! Gue kenal dia aja pas malam itu doang,” ujar Syifa gusar seraya menyeruput es jeruk. Cukup tugas kuliah saja yang membuat pusing. Jangan ditambah hal-hal yang tidak penting, kenapa?  

“Baru kenal kok udah mau diajak pergi?” Alin ternyata belum puas dengan jawaban Syifa. Bukan apa-apa, ia hanya khawatir saja pada Syifa. Berteman sejak SMP dengan Kala membuat Alin tahu sifat pemuda itu. Kala suka memermainkan perempuan. Entah sudah berapa banyak korban yang berjatuhan karenanya. Alin tidak mau Syifa jadi salah satunya.

 “Gue ga ke mana-mana, Lin sama dia,” ucap Syifa gemas.  

“Pokoknya lo harus hati-hati sama Kala. Dia tuh playboy tahu! Jangan gampang baper sama dia! Dia ga pernah serius sama perempuan.”  

Syifa mendesah. “Tenang aja! Mungkin gue ga akan pernah ketemu sama dia lagi. Tapi makasih ya udah khawatirin gue!”  

Alin akhirnya berhenti mewanti-wanti Syifa tentang Kala. Membuat Syifa bisa bernapas lega dan menikmati makan siangnya dengan tenang. Demi apa pun ia tidak peduli pada pemuda itu. Playboy atau bukan, sama sekali tidak ada urusan dengannya. Dan jangan samakan Syifa dengan perempuan lain. Ia tidak akan mudah terbawa perasaan hanya karena diberikan senyum atau rayuan gombal Kala. Karena perasaanya telah terbawa sejak lama. Hanyut dalam arus yang tidak seharusnya ia ikuti.

***

Setiap hari minggu Om Tian, Tante Viona dan Bian melakukan ibadah di gereja. Sementara itu, Syifa akan menunggu di toko buku. Di sana, ia menumpang membaca apa saja yang menurutnya menarik. Tak jarang, ia pun membeli buku-buku yang ia yakin tak cukup untuk ia baca satu kali saja.

 Kebiasaan itu telah berlangsung selama sepuluh tahun semenjak Syifa tinggal di rumah Om Tian, satu hari setelah kepergian ayah dan bundanya. Sejak saat itu Syifa harus beradaptasi dengan lingkungan keluarga yang berbeda dengan apa yang selama ini ia jalani. Keluarga Om Tian adalah keluarga nasrani yang taat. Ibadah minggu tidak pernah terlewat.  

Syifa sendiri lahir dari keluarga muslim. Saat pertama kali menjejakkan kaki di rumah Om Tian, Syifa merasa sangat asing. Banyak lukisan dan patung-patung yang tidak ia kenal. Kata Bian, itu adalah Yesus.  Syifa hanya mengangguk, berpura-pura mengerti. Gadis itu kemudian bertanya arah kiblat di mana. Bian kebingungan kiblat itu apa. Ia kemudian bertanya pada Om Tian dan Tante Viona. Namun mereka juga tidak memiliki jawabannya.  

“Kiblat itu arah buat shalat, Om!” ujar Syifa.  

Esoknya, Om Tian mendatangkan Bu Aisyah, seorang guru yang mengajar mengaji di madrasah dekat rumah. Bu Aisyah tunjukkan di mana arah kiblat. Akhirnya, Syifa bisa shalat dan berdoa supaya Ayah dan Bunda ditempatkan di surga.  

Meskipun Om Tian beragama Nasrani, tapi ia tidak memaksakan keyakinannya pada Syifa. Ia membiarkan Syifa tumbuh dengan ajaran-ajaran islam dari ayah dan bundanya dengan mendaftarkan Syifa ke madrasah. Setiap sore, diantar Bi Yati, Syifa pergi mengaji. Mengenakan kerudung biru telor asin favoritnya.  

Umur Syifa sekarang dua puluh. Itu berarti sudah setengah dari hidupnya ia habiskan di rumah itu. Sebuah bangunan dengan atap toleransi yang kokoh. Menaunginya dengan kasih dan kebebasan untuk mengasihi. Om Tian, Tante Viona atau Bian tidak akan mengganggu kalau Syifa sedang shalat, bahkan mereka terkadang mengingatkan Syifa agar tidak melalaikannya. Ketika bulan ramadhan tiba, mereka akan ikut bangun dan menemani Syifa makan sahur. Di hari lebaran, mereka akan ikut bersuka cita. Memasak ketupat, opor ayam, dan mengantar Syifa berziarah ke makam orangtuanya. Begitu juga dengan Syifa. Ia tidak keberatan jika setiap hari minggu harus menunggu berjam-jam sementara keluarga Om Tian sedang beribadah di gereja. Ia juga senang saat membantu Tante Viona menghias pohon natal. Berlomba dengan Bian untuk meletakan sebuah hiasan bintang ke puncak pohon. Syifa begitu menikmati semua perbedaan itu. Baginya, perbedaan adalah kantung yang membungkus dirinya dan keluarga Om Tian menjadi satu. Selama ia berada di sana, ia akan merasa aman.

Kedua matanya membeliak saat mendapati sebuah buku dengan cover berwarna perak bertengger di rak. Hujan Bulan Juni. Ia tiba-tiba teringat Kala dan puisi di restoran itu. Gadis itu tersenyum. Mengulurkan tangan untuk mengambil sang buku yang ternyata hanya tersisa satu.

Syifa baru menyadari bahwa ada orang lain yang juga mengincar buku itu saat ia melihat ada tangan lain yang menyentuh bagian lain buku. Ia merengut. Menoleh pada si pemilik tangan.

“Kala?!” seru Syifa. Ia menarik kembali tangannya. Buku itu kini dikuasai Kala.

“Syifa? Ngapain?” tanya Kala. Matanya berbinar saat melihat sosok Syifa tak sengaja ditemukannya. Satu minggu ia berpikir bagaimana caranya untuk dapat berjumpa dengan gadis itu, dan kemudian ia ingat Hujan Bulan Juni. Buku puisi itu akhirnya membawa Kala ke toko buku. Tak dinyana, ia bersua dengan Syifa di sana.

“Cari buku yang waktu itu lo bilang keren. Buku itu kan yang lo maksud?” Syifa menunjuk buku yang ada di genggaman Kala.

“Iya. Gue ke sini mau beli buku ini buat lo. Karena lo udah di sini, ya udah nih!” Kala menyerahkan buku itu pada Syifa.

“Makasih ya!”

Setelah membayar buku kumpulan puisi itu di kasir, Syifa dan Kala memutuskan untuk pindah ke restoran cepat saji yang ada di sebrang toko buku. Mengobrol banyak hal dengan es krim di tangan mereka.

Di mata Syifa, Kala adalah pemuda yang penuh kejutan. Siapa yang sangka pemuda dengan jaket ala Justin Bieber dan brewok ala Oka Antara itu justru menggilai puisi. Syifa pikir Kala lebih cocok jadi pemain film saja. Tapi kalau tidak suka puisi, Syifa tidak akan mungkin bisa mengobrol panjang lebar dengan Kala. Puisi selalu jadi topik menarik sekalipun ia awam soal itu. Cara Kala ketika berbicara juga membuat Syifa nyaman saat mendengarkan, tidak terkesan angkuh meskipun kadang ia menyombongkan diri.

“Gue pikir selain Rangga, ga ada lagi anak muda yang suka puisi,” ujar Syifa dengan nada sarkatis.

Anehnya, Kala tidak tersinggung dengan ucapan Syifa. Ia justru tertawa dan mengusap rambut-rambut pendek yang masih tersisa di wajahnya.

“Rangga terinspirasi dari gue tuh!”

“Apa sih,” cibir Syifa, kemudian ikut tertawa.

Bagi Kala, Syifa adalah anomali. Ia bisa menyentuh bagian lain dari hidupnya yang selama ini tak ia biarkan siapa pun untuk mengetahuinya. Syifa bahkan sudah di sana. Masuk dan meruntuhkan tembok-tembok yang ia buat untuk melindungi rahasianya. Keinginannya yang terpendam, menjadi seorang pujangga.

Waktu berlalu secepat percikan bara. Syifa baru menyadari hal itu ketika Bian meneleponnya. Menanyakan keberadaannya.

“Gue harus balik nih! Keluarga gue udah di depan!” ujar Syifa seraya menyelempangkan tasnya. Buku puisi itu ia dekap di dada.

“Syifa sebentar!” Kala menahan langkah Syifa. Gadis itu mengerenyit. Ada apa?

“Gue boleh minta nomor lo?” Kala akhirnya memberanikan diri setelah  berkutat dengan pikirannya sendiri. Karena ia tahu setelah ini, ia tidak punya alasan lagi untuk bertemu dengan Syifa. Ia tidak mau kehilangan gadis itu begitu saja.

“Lo tulis nomor lo aja,” ujar Syifa seraya menyerahkan ponselnya pada Kala.

Kala menuliskan dua belas digit angka yang kemudian ia simpan dengan namanya sendiri. Ia memberikan kembali sang ponsel pada si empunya.

Setelah itu, Syifa pun pergi. Masuk ke dalam mobil jaguar hitam yang sudah menantinya.

Kala hanya bisa memandangi dari jauh. Ia terkekeh. Bisa-bisanya ia dibuat berdebar sekaligus berbunga dalam waktu yang sama oleh gadis itu. Gila! Kala tidak pernah seperti ini.

Sementara Syifa kembali pulang tanpa membawa apa-apa selain buku puisi dan kontak baru di ponselnya. Buku puisi itu ia habiskan dalam semalam, sementara barisan nomor itu tak ia hiraukan sedikit pun. Ia biarkan kontak itu ada di ponselnya. Tak berniat untuk menghubungi pemiliknya.

Syifa sama sekali tidak tahu bahwa setiap hari Kala menanti ponselnya berdering bukan oleh telepon atau SMS dari perempuan-perempuan dengan tipikal sama yang tak pernah berhenti mengejarnya. Yang ia tunggu hanyalah perempuan itu. Pemilik tatapan teduh yang membuat perasaannya terus bertumbuh.

Kamis, 16 Maret 2017

Trinity, The Nekad Traveler


Gue sebal sama film yang mengambil latar di suatu tempat (terlebih di luar negeri), tapi cuma mengeksplor keindahan tempat itu aja. Cerita jadi nomor sekian. Tapi untuk film ini, keindahan setiap tempat yang dikunjungi justru memegang peranan penting. Ya iyalah. Ini kan film traveling. Emang harus begitu. Supaya yang nonton tergiur pingin traveling juga.

Trinity (Maudy Ayunda) adalah seorang karyawati kantor biasa yang punya hobi jalan-jalan. Dia seringkali ambil cuti dari kantor dan membuat bosnya (Ayu Dewi) pusing. Trinity punya bucket list yang harus terpenuhi sebelum ia menikah. Jadi traveling adalah cara dia untuk mewujudkan bucket listnya.

Di bagian pembuka, penonton sudah disuguhi keindahan Maldives. Mana Maudy tiduran di semangka gitu ya ampun. So cool! Lalu berjalan ke kehidupan Trinity di Jakarta.

Untuk yang hobi traveling, film ini cocok banget. Ada banyak tips untuk traveling, kayak cari tiket murah, terus waktu yang tepat buat traveling, gitu gitulah. Gue sebagai orang yang lebih suka menghabiskan hari libur hanya dengan tidur, baca, dan mewarnai jadi tahu perjuangan seorang traveler. Ga selalu indah kayak di foto yang mereka unggah.

Bukan melulu tentang traveling, tapi juga film ini dibumbui dengan kisah persahabatan, percintaan dan keluarga.

Trinity punya dua sahabat, Yasmin dan Nina yang dia ajak untuk jalan-jalan ke Philipina. Tapi di sana, mereka berantem karena sifat Trinity yang dinilai egois oleh Yasmin.

Waktu jalan-jalan ke Lampung, Trinity bertemu dengan Paul (Hamish Daud), dannnnnn ya tonton aja lah. Hamish muncul dua detik aja bikin aku megap-megap loh saking gantengnya._.

Dan masalah keluarga di film ini adalah ketika Bapaknya Trinity mulai mendesaknya untuk nikah, sementara dia tuh pingin menuhin bucket listnya dulu.

Akting Maudy Ayunda tidak pernah mengecewakan. Kenapa dia sangat cantik pakai baju apa pun juga? Dan ah, kangenku sama Rachel Amanda terobati. Terimakasih Babe untuk kepolosan yang menyaru jadi kebodohan yang sukses membuat gue tertawa terbahak-bahak. Kemudian Tompi yang ga asal lewat doang. Dan sejuta terimakasih untuk Hamish Daud karena.........ganteng. Eh ga deng. Manis juga. Wadaw. No no no. Aktingnya juga cukup baik.

Di penghujung film kita juga bakal dikasih pemahaman. Buat apa sih sebenarnya traveling jauh-jauh? Gitu!

8/10

Kamis, 09 Maret 2017

Galih & Ratna


Remaja milenial akhirnya bisa menyaksikan kisah cinta legendaris antara Galih dan Ratna yang dulu diperankan oleh Rano Karno dan Yessy Gusman. Sekarang Galih dan Ratna muncul dalam wujud Refal Hady dan Sheryl Sheinafia.

Film dibuka dengan epic oleh Galih dan Ratna versi dulu di stasiun kereta. Meskipun mereka sudah bapak bapak dan ibu ibu, tapi gue bisa melihat di antara mereka penuh sama cinta. Padahal ngomongnya cuma sepatah dua patah kata (?)

Lalu, kisah Galih dan Ratna versi milenial pun dimulai. Dikisahkan Ratna adalah anak pindahan dari Jakarta ke Bogor. Di sekolah barunya, ia bertemu dengan Galih, cowok pinter yang ga bisa lari kenceng :(  Galih ini tua banget seleranya (?). Dia masih dengerin musik dari kaset. Ratna tertarik sama Galih karena dia beda gitu dari yang lain.

Kisah antara Galih dan Ratna ini standar kayak cerita anak SMA pada umumnya. Kisah cinta, masalah di sekolah, pertentangan idealisme dan keinginan orang tua, mimpi. Ya gitu. Tapi gue merasa film ini manis banget. Kalau kata Anto, manis manis jambu gitu ._. Apalagi didukung dengan musik dan lagu-lagu yang juga manis, termasuk musik koplo di angkot Indra Birowo. Wkwkwkwkkw

Kemistri antara Galih dan Ratna juga lumayan lah ya. Bikin gue senyam-senyum. Si Galih nih brewok brewok unyu. Kok di sekolah, gue ga pernah menemukan mahluk semacam itu -,,-

Film ini juga lumayan banyak dialog yang quotable gitu dehh. Hehe.

Yang mengganggu gue menonton film ini adalah karakter teman-temannya Galih dan Ratna yang kelewat aneh dan ga masuk akal -,,- Berlebihan menurut gue. Dipaksain buat lucu. Saat yang lain ketawa, gue mah diam. Heyyyy, ga lucu itu mereka :((. Yang lucu menurut gue justru Abang Angkot yang diperanin sama Indra Birowo.

Beberapa penonton ada yang nangis, gue sih enggak. Ga sedih sedih juga. Yang jelas sih, film ini bikin gue senyum, karena manis.

7,5/10

Sabtu, 04 Maret 2017

Puisi Kala Itu (prolog)


Tuhan membiarkan kita saling mencintai. Tapi, Dia tak izinkan kita untuk menjadi satu. Katanya, kita terlalu jauh berbeda. Apanya? Aku menghela napas. Ternyata benar. Aku dan kamu sangat berbeda.

Lalu aku pun bertanya, mengapa kita diciptakan berbeda kalau untuk bersatu saja tidak bisa? Bukankah berbeda akan lebih baik? Bisa saling melengkapi satu sama lain. Tapi menjadi lengkap pada akhirnya akan terus menjadi angan-angan. Bersamamu, hidupku tidak akan lengkap. Berpisah denganmu, aku tidak lagi hidup.

***

Asyifa Cantika namanya. Hari ini, gadis kecil itu tengah berduka. Ia harus menerima kenyataan pahit bahwa kedua orang tuanya telah meninggal. Dengan tangis yang tak kunjung reda, ia menyaksikan Ayah dan Bundanya dikuburkan.

Syifa tidak pernah membayangkan bahwa Ayah serta Bunda akan meninggalkannya begitu cepat. Syifa masih berumur sepuluh tahun. Nanti, siapa yang akan membangunkannya setiap pagi? Membuatkan sarapan, mengantar ke sekolah, membantu mengerjakan PR, mendongeng sebelum ia tidur, dan mengimaminya shalat? Syifa kan masih belum lancar bacaan shalatnya. Nanti kalau lupa, siapa yang akan mengingatkan?

Syifa menggigiti bibirnya. Menangis tersedu di antara dua gundukan tanah merah itu. Ia tahu Ayah dan Bunda tidak pernah suka melihatnya menangis, tapi izinkan sehari itu saja dirinya menangis. Toh, ia menangis bukan karena direbut mainannya oleh Acha, teman satu kompleknya. Bukan juga karena terjatuh saat mengendarai sepeda. Dia menangis karena ada yang sakit di sana. Syifa pun tak tahu apa namanya. Tapi yang jelas, rasa sakit itu semakin menjadi ketika dirinya menahan air mata. Maka biarkanlah air mata itu jatuh merembesi pipi pualamnya. Karena bisa jadi, tangis itu adalah obat untuk rasa sakitnya.

"Syifa!" seru seorang lelaki yang sedari tadi berada di samping Syifa.

Syifa menoleh pada lelaki itu. Dengan mata berair, ia masih bisa mengenali lelaki itu. Om Tian. Dia adalah teman dekat Ayah.

"Syifa pulang sama Om ya!" ujar Om Tian.

Syifa menggeleng cepat. "Ga mau! Syifa mau di sini aja! Syifa mau sama Ayah Bunda aja," gadis itu mengulum bibir.

"Sayang, Ayah dan Bunda sudah punya rumah yang baru. Mereka sudah bersama Tuhan. Mereka tidak akan kenapa-napa kalau ditinggal. Kan ada Tuhan yang jaga. Lagian, Syifa nanti boleh ke sini kok jenguk Ayah Bunda. Sekarang, Syifa pulang ya sama Om!" tukas Om Tian. Lelaki berkacamata itu membelai rambut panjang Syifa.

"Syifa ga mau pulang! Di rumah ga ada siapa-siapa. Syifa takut." gadis kecil itu merengut. Masih terus terisak.

"Syifa pulangnya ke rumah Om Tian aja! Syifa nanti tinggal di sana. Di sana Syifa ga akan kesepian. Ada istri dan anak Om. Mau ya?" Om Tian menatap Syifa seperti ia menatap putri kandungnya sèndiri. Penuh kasih, penuh sayang.

Syifa tertegun sejenak. Memandangi wajah Om Tian dengan seksama.

"Om sudah minta izin sama Ayah dan Bunda kok." Om Tian meyakinkan.

Akhirnya, dengan gerakan pelan Syifa pun mengangguk. Ia akan pulang bersama Om Tian. Om Tian benar. Harusnya, ia tidak khawatir akan keadaan Ayah dan Bunda. Kan mereka sudah bersama Tuhan. Gadis itu tersenyum. Mengusap air mata yang masih tersisa di sana. Lalu segera ia peluk Om Tian.

"Makasih ya, Om!" bisik Syifa.

***

Syifa duduk dengan tegang. Ia mengamati setiap sudut ruang yang sedang ditempatinya. Terasa begitu asing untuknya. Banyak lukisan-lukisan yang Syifa tak mengerti itu apa. Sempat terlintas di benak Syifa bahwa ruang itu lebih terlihat seperti galeri daripada ruang tamu.

"Halo, Syifa!" Syifa terkesiap mendengar sapaan hangat itu. Ia langsung berdiri dan membungkuk memberi hormat.

"Siang Tante Viona!" ucap Syifa santun pada wanita yang ia tahu adalah istri Om Tian.

"Mulai sekarang, Syifa tinggal di sini ya!" ujar Tante Viona ramah.

Syifa hanya mengangguk pelan.

"Syifa, sekarang Om dan Tante antar ke kamar kamu yuk! Ada di lantai dua." kata Om Tian. Lelaki itu berjingkat dari sofa, kemudian berjalan terlebih dulu dari sana.

Tante Viona mengedikan kepala, mengisyaratkan agar Syifa turut mengikuti ke mana Om Tian pergi. Lalu dengan dibimbing Tante Viona, Syifa pun bergerak dari sana. Berjalan menuju tangga dan menyusuri satu-persatu anaknya.

"Ini kamar kamu, sayang!" ucap Tante Viona sesaat setelah pintu sebuah ruang terbuka.

Syifa menatap takjub pada ruangan itu. Semua berwarna biru, warna kesukaannya. Tembok, tempat tidur, tirai, serta pernak-pernik lainnya berwarna biru. Gadis kecil itu pun tahu bahwa kamar barunya ini lebih luas dari kamarnya dulu. Jadi, ia bisa bebas berlari ke sana kemari sesuka hati.

"Makasih ya Om, Tante!" tutur Syifa seraya menoleh pada Om Tian dan Tante Viona secara bergantian.

"Ciattttt, koboi Bian datang! Yiiiiha!" seorang bocah kecil tiba-tiba muncul dari balik tubuh Om Tian. Bocah laki-laki itu terlihat lucu dengan kemeja, topi, serta sepatu ala koboinya. Syifa terkikik pelan.

"Eh, ini siapa, Ma? Pa?" tanya bocah itu dengan pandangan menyelidik pada Syifa yang kini sekuat tenaga menahan untuk tidak tertawa melihat kostum bocah itu.

"Ini namanya Kak Syifa! Mulai hari ini Kak Syifa akan tinggal di sini, jadi kakaknya Bian," terang Tante Viona.

"Ayo kenalan dulu sama Kak Syifa!" ujar Om Tian.

Bian, bocah koboi itu pun lamat-lamat menjulurkan tangan. Masih menatap Syifa dengan tatapan menyelidik. "Bian," ucap bocah itu ketika tangannya dan tangan Syifa saling berjabat.

"Syifa," tukas Syifa seraya menarik ujung-ujung bibirnya ke atas.

Hari itu, Tuhan mengambil dua malaikat pelindung Syifa. Tapi masih di hari yang sama, Tuhan telah gantikan dengan tiga malaikat yang akan menemani hari-harinya nanti.

Tapi ternyata, Syifa tak cukup tahu diri. Ia justru jatuh cinta pada malaikatnya sendiri.

***