Puisi Kala Itu (part 4)

Rabu, 22 Maret 2017

Puisi Kala Itu (part 4)


Mata-mata itu menatap Syifa dengan berbagai makna. Ada yang menatapnya takjub, ada pula yang memberikan tatapan kesal sekaligus cemburu. Oh ayolah! Syifa tidak melakukan apa pun. Ia hanya makan siang seperti biasa. Nasi, ayam sambal hijau, dan capcay. Tapi tentu saja tatapan itu bukan karena menu makanan Syifa. Pemuda yang sekarang tengah duduk di sebrang Syifalah yang jadi pemicunya.

Kala datang menunaikan apa yang ia ucapkan kemarin. Menemani Syifa makan siang seraya mengobrol.

“Gue udah selesai lho baca buku Hujan Bulan Juni. Keren banget! Meskipun gue ga ngerti sebenarnya,” ujar Syifa.

“Oh ya? Puisi favorit lo apa? Kalau gue-“

“Dalam diriku.”

Kala terkesiap saat Syifa menyela ucapannya. Ia kemudian terkekeh.

“Dan karena hidup itu indah, aku menangis sepuas-puasnya.”

Syifa dan Kala tertawa saat bersama-sama mereka mengucapkan bait terakhir dari puisi berjudul ‘Dalam Diriku’ itu. Tawa yang kental sekali dengan kehangatan. Menjadikan jam istirahat Syifa terasa sekejap mata. Ia mengeluh saat Alin mengajaknya untuk bersegera kembali ke ruang kuliah.

“Nanti pulang bareng gue ya!” ujar Kala.

Syifa sudah tidak lagi membantah. Ia mengangguk seraya tersenyum, lalu berjalan tersaruk mengikuti langkah Alin yang besar-besar.

“Sukses nih bro!” Gery menepuk punggung Kala. Pemuda itu sengaja ikut dengan Kala ke kantin Fakultas Kedokteran. Katanya, mahasiswi kedokteran itu cantik-cantik. Gery datang untuk membuktikannya. Dan Tuhan, kalau tahu ada banyak bidadari, sudah dari dulu ia ke tempat itu. Menikmati kecantikan alami dari perempuan-perempuan berkacamata yang menenteng buku jumbo ke mana-mana.

Kala mendorong bahu Gery pelan. Sukses? Mungkin ya. Karena satu jam yang telah ia lewati bersama Syifa penuh dengan obrolan yang dijeda hanya dengan tawa. Atau mungkin juga tidak. karena satu jam saja belum bisa mengupas tentang pribadi Syifa sesunggunya. Yang ia tahu, Syifa adalah gadis yang menyenangkan. Yang masih bisa membuatnya berdecak kagum meski sebutir nasi menempel di pipinya.

***

Satu minggu berlalu dengan konsisten. Setiap jam istirahat, Kala menemani Syifa makan siang, yang lalu berlanjut dengan obrolan sampai kemudian Alin akan mengingatkan Syifa bahwa sudah saatnya mereka kembali ke ruang kuliah. Sorenya, Kala akan mengantarkan Syifa pulang. Kegiatan berulang yang sama sekali tidak membosankan untuk Kala. Bahkan saat satu juta kali dilakukan lagi pun, euforianya tetap sama. Debaran menggelikan yang ada tiap kali Syifa menatapnya. Rasa hangat di sekujur tubuh saat Syifa menepuk pundaknya. Ia begitu menikmati semuanya.

“Minggu jalan yuk!” ujar Kala. Mencoba sesuatu yang baru. Takutnya Syifa bosan, meskipun kelihatannya tidak sama sekali.
“Ga bisa. Harus ke gereja.”

Kala mengerutkan kening. Gereja? Bukannya Syifa muslim ya? Sebelum bertemu dengannya untuk makan siang bersama, Syifa selalu habis melaksanakan shalat dzuhur di mushala. Tapi kok ke gereja?

“Keluarga gue yang ke gereja. Gue enggak,” ujar Syifa. Semakin membuat Kala bingung. Keyakinan Syifa berbeda dengan keluarganya?

“Nyokap bokap gue udah meninggal waktu gue kecil. Terus gue dititipin sama teman bokap. Keluarga gue yang sekarang,” jelas Syifa. Mengurai lipatan pada dahi Kala.

Kala membulatkan mulut. Kali pertama Syifa membuka topik tentang dirinya, dan Kala sangat terpana. Bagaimana bisa ia tinggal dengan orang-orang yang berbeda dengannya? Ia saja dan Shakira, adik perempuannya sering bertengkar hanya gara-gara beda selera makan. Kala lebih suka ayam goreng, sedangkan Shakira sukanya ayam bakar, pakai kecap, uh sedap.

Toleransi Syifa pastilah sangat tinggi. Terlihat dari ia yang tidak pernah memprotes penampilan Kala yang tidak rapi. Syifa juga tidak pernah mengomentari kebiasan Kala merokok. Sebagai calon dokter, Syifa pasti paham betul bahwa merokok berbahaya bagi tubuh, namun gadis itu tidak pernah melarang Kala untuk merokok. Ia justru menghormati pilihan Kala. Hal itulah yang membuat Kala sadar dan perlahan meninggalkan rokok, meski belum sepenuhnya bisa.

“Jadi kapan dong kita bisa jalan?” tanya Kala.

“Sabtu.”

“Oke.”

“Ya udah, gue balik ke kelas dulu ya! Bye!” Syifa melengos pergi. Meninggalkan harumnya yang masih bisa Kala baui dengan jelas. Membuat pemuda itu tidak bisa sedetik pun berpaling hingga siluet gadis itu benar-benar menghilang.

“Sabtu kan party-nya Jane,” ujar Gery. Diam-diam, ia menguping pembicaraan antara Kala dan Syifa. Hari ini, Anggi, gadis incarannya tidak masuk kuliah. Tidak juga ia berniat mencari gadis lain. Makanya sejak tadi ia diam di belakang Kala. Menyantap semangkuk mie ayam seraya mencuri dengar perbincangan antara Kala dan Syifa.

“Ya udah, gue ajak Syifa ke party-nya Jane aja!” ujar Kala ringan. Satu minggu melakukan pendekatan secara intens, melambungkan kepercayaan dirinya. Syifa pasti bersedia untuk diajak pergi, meskipun ia tidak yakin bahwa Syifa pernah menghadiri sebuah ‘party’.

***

“Kak Syifa mau ke mana?” tanya Bian saat melihat Syifa menuruni anak tangga. Gadis itu terlihat berbeda dengan skinny dress berwarna hitam dan sepatu boots berwarna senada pula.

“Mau tahu aja urusan orang gede!” ujar Syifa. Berusaha untuk menahan ledakan tawa saat melihat Bian mengulum bibir.

“Mau pacaran ya?” tuduh Bian.

Syifa mengangkat bahu. Bunyi ketukan di pintu membuat perhatiannya teralih. Gadis itu berlari untuk membuka pintu.

Kala menatap terpana saat melihat penampakan Syifa di hadapannya. Skinny dress hitam itu sempurna mencetak setiap lekuk tubuh Syifa yang baginya seindah puisi dari surga. Make up tipis andalannya. Serta senyum yang manisnya tiada dua.

“Lo cantik banget!” puji Kala.

“Makasih.”

“Keluarga lo mana? Gue mau izin dulu,” Kala melongok ke dalam. Tak dilihat siapa-siapa selain seorang cowok yang berdiri di dekat sofa.

“Itu adik lo?” tanya Kala.

Syifa mengangguk.

“Iya. Bian namanya.”

“Bian, gue pergi dulu ya sama Kak Syifa!” seru Kala seraya melambaikan tangan. Minta restu pada calon adik ipar.

Bian membuang wajah. Jangan sok manis deh di hadapannya. Dia pikir, Bian akan ikhlas apa kakaknya diculik oleh lelaki yang mencukur janggut saja tidak bersih seperti itu? Enak saja.

“Kenapa dia?” tanya Kala, menyadari bahwa Bian tidak memberikan respon baik terhadap kehadirannya.

“Udah ga usah dipikirin. Dia lagi bête ditinggalin sendirian di rumah. Om Tian sama Tante Viona lagi keluar juga soalnya. Yuk pergi sekarang!”

Syifa menarik lengan Kala pergi. Meninggalkan Bian dengan umpatan-umpatan jahat yang hanya bisa ia pendam sendirian.

***

Syifa tahu party macam apa yang dimaksud oleh Kala. Sebuah acara yang seumur hidup tidak pernah didatanginya. Syifa selalu suka mencoba hal yang baru. Maka ketika Kala mengajaknya untuk menghadiri party itu, ia tidak menolak.

Kala mengulurkan tangannya pada Syifa, menunggu gadis itu untuk menyambutnya. Namun seperti biasa, ia memberikan kejutan yang tak terduga. Gadis itu melangkah masuk mendahului Kala. Sama sekali tidak mengindahkan telapak tangan Kala yang harus berpuas diri tidak menggenggam apa-apa selain udara.

Syifa menghentikan ayunan kakinya sesaat setelah ia masuk. Ia mencoba mencermati tempat itu. Alunan musik yang bergema mengisi setiap sudut ruangan. Orang-orang saling bercengkrama dengan kelompoknya. Gulungan asap rokok berterbangan di mana-mana. Syifa merengut. Tidak yakin ia bisa bertahan di tempat itu hingga acaranya selesai.

“Yuk!” Kala menggamit lengan Syifa. Membuat Syifa mau tak mau harus mengikuti gerakan pemuda itu.

“Kalaaa, gue udah nunggu lo dari tadi!” suara Jane membuat Kala terperanjat. Tanpa permisi, gadis dalam balutan gaun malam tanpa lengan berwarna biru itu menghambur memeluk Kala.

Kala agak risih diperlakukan sedemikian rupa oleh Jane, terlebih karena ada Syifa di sampingnya. Sedangkan Syifa menatap si empunya hajat dengan biasa saja. Tidak terganggu, terlebih cemburu. Gadis itu justru menarik ujung-ujung bibirnya ke atas.

“Happy birthday, Jane!” ujar Kala, seraya melepaskan diri dari Jane. “Betewe, kenalin ini Syifa.”

Syifa mengangguk sembari tersenyum. Hal lumrah yang biasa ia lakukan saat bertemu dengan orang baru.

Jane mengerenyit. “Siapanya elo, Kal?”

“Syifa…” Kala menggigit bibir. Sekilas ia melirik Syifa. Ia berdeham pelan, lalu melanjutkan, “pacar gue.” Dalam hati, Kala berdoa supaya Syifa tidak menyanggahnya.

Sontak Jane membuka mulut. Tak percaya. Silih berganti ia memandangi Kala kemudian gadis yang penampilannya sangat biasa saja itu. Kok bisa Kala pacaran dengan perempuan yang tidak lebih cantik darinya? Jane merengut.

Sedangkan Syifa memasang ekspresi tenang. Sama sekali tidak terkejut dengan apa yang Kala ucapkan. Gadis itu justru tengah menahan diri agar tidak tertawa. Ternyata, Kala sama sepertinya, gemar mengerjai orang. Kala bilang kalau Syifa pacarnya. Yang benar saja?

“Gue ke sana dulu ya!” ujar Kala seraya menunjuk Gery, Gilang dan Danny di sisi lain ruangan. Ia mendesah lega saat Syifa tidak memprotes. Mungkinkah gadis itu mengerti tentang maksud tersirat tentang mengapa ia mengatakan Jane bahwa mereka berdua adalah sepasang kekasih? Atau justru gadis itulah yang memberikan kode pada Kala, bahwa ia pun memiliki perasaan yang sama sehingga tidak perlu untuk membantah? Entahlah.

Kala dan Syifa melangkah dengan saling bergandengan. Meninggalkan Jane yang harus patah hati tepat di hari yang seharusnya membahagiakan. Kalau bukan karena menghormati ratusan tamu yang ia undang, Jane rasanya ingin segera mengakhiri party-nya saat itu juga. Musik itu, tawa itu, ucapan selamat itu, seperti sebuah perayaan untuk kemalangannya malam ini. Kala, lelaki pujaannya lebih memilih gadis yang alisnya tidak simetris.

“Hai, Gery!” sapa Syifa. Ia menyapa terlebih dahulu sebelum Kala, seakan dirinyalah yang telah bersahabat lama dengan Gery.

“Halo, Syifa!” ucap Gery.

“Kok cuma Gery yang disapa?” sindir Danny, yang diangguki oleh Gilang.

“Oh halo! Siapa ya?”

Keempat pemuda itu spontan tertawa mendengar pertanyaan Syifa yang sangat polos. Gadis itu menyapa orang yang belum ia tahu namanya. Malam ini memang pertemuan pertamanya dengan Danny dan Gilang. Kalau Gery sih sudah kenal lama. Kala selalu datang menemuinya di kampus bersama pemuda itu.

“Gue Danny.”

"Gilang."

Seperti orang yang sudah mengenal lama, Syifa pun mengobrol banyak dengan Danny, Gilang dan Gery. Sesekali Kala terlibat. Ikut tertawa saat Danny menggodanya. Mengatakan bahwa setiap hari yang selalu ia ceritakan adalah tentang Syifa.

Dalam hati, Kala mengeluh. Mengapa Syifa dengan mudah akrab dengan siapa saja? Bukan hanya dengannya ternyata. Sepuluh menit yang lalu, Kala berbesar kepala karena mengira bahwa Syifa juga menyukainya karena tidak protes saat dia mengatakan bahwa mereka berpacaran. Kini, melihat Syifa bercanda dengan Danny, Gilang dan Gery membuat Kala menciut hingga sekuku jari. Ternyata, ia tidak seistimewa itu.

Danny, Gilang dan Gery menyadari perubahan sikap Kala. Mereka akhirnya memutuskan untuk pergi, meninggalkan Kala dan Syifa berduaan saja.

“Lo setiap ngenalin cewek ke orang, selalu bilang itu pacar lo ya?” celetuk Syifa.

Kala mengerjap. Ia gelagapan menjawab, “oh tadi ya? Enggak kok! Cuma sama Jane doang! Biar dia berhenti ngejar-ngejar gue.”

“Dia suka sama lo?” tanya Syifa dengan wajah penasaran, bukan ekspresi cemburu seperti yang Kala harapkan.

“Kayaknya sih begitu.”

Syifa mengangguk. Harusnya ia sudah tahu hal itu saat pertama kali melihat Jane. Gadis itu terlihat bahagia bertemu Kala. Tanpa sungkan memeluk pemuda itu. Sayangnya, kebahagiaan itu sirna saat Kala memperkenalkan dirinya pada Jane. Wajah itu berubah murung. Syifa jadi merasa bersalah telah ikut bersekongkol untuk mengerjai Jane.

“Lo marah ya sama gue?” Kala bertanya hati-hati.

“Enggak. Gue biasa aja. Gue juga bilang kalau kita pacaran sama Bian.”

“Oh ya?” hati Kala merekah berbunga.

“Iya. Gue emang suka ngerjain adik gue. Lucu. Hahaha.”

“Ha-ha-ha.” Bunga itu layu sedetik kemudian. Ternyata bagi Syifa, hubungan antara mereka hanyalah lelucon. Sekali lagi, mari tertawa! Ha-ha-ha.

“Aww!” Syifa mengurut kepalanya yang berdenyut. Ia meringis. Hampir jatuh kalau tidak segera ditahan Kala.

“Lo kenapa?” tanya Kala. Khawatir sekali melihat Syifa yang tiba-tiba mengaduh kesakitan.

“Pusing gue! Banyak asap rokok. Sama musiknya ini dari tadi intro semua, ga ada liriknya,” keluh Syifa. Masih memegangi kepala.

Kala menggaruk tengkuknya. Bingung antara harus cemas atas tertawa. Syifa ini polosnya kebangetan. Masak dibilang musiknya intro semua. Kalau sampai terdengar oleh sang DJ di depan sana, bisa-bisa ia diamuk.

“Pulang aja yuk!” ujar Kala. Ternyata kecemasannya terhadap keadaan Syifa sangat besar. Tidak tega melihat gadis itu kesakitan.

“Acaranya kan belum selesai.”

“Ga pa-pa. Yuk! Daripada lo kenapa-napa.”

Anggukan dari Syifa akhirnya menjadi komando untuk Kala memapah Syifa keluar dari tempat itu. Menyelamatkan gadis itu dari musik berisik dan asap rokok yang membuat kepalanya hampir meledak.

“Nih minum dulu biar pusingnya ilang,” ujar Kala seraya menyerahkan sebotol air mineral. Mereka kini sudah berada di dalam mobil.

Syifa meneguk air itu hingga tersisa setengah. Air mineral memang minuman paling enak seluruh dunia. Membuat tubuhnya segar dan kepalanya tidak lagi terasa berat.

“Maaf ya, gue norak banget. Ga bisa dengar musik begitu. Ditambah asap rokok pula.”

“Gue yang harusnya minta maaf udah ajak lo,” ucap Kala dengan menyesal.

“Ih! Jangan minta maaf dong! Gue senang kok!” Syifa tersenyum lebar. Menampilkan deretan gigi yang tersusun rapi. Keadaan gadis itu sudah kembali membaik.

“Kalau lo senang ga?” tanya Syifa.

Kala terkesiap. Ia melirik Syifa yang terlihat bersinar, seperti mutiara. Meskipun sikap Syifa membingungkan, namun tatapan itu kembali meyakinkan, bahwa gadis pemilik aroma kayu manis itu adalah orang yang tepat untuk tetap ia perjuangkan.

“Banget!” ujar Kala. Tersenyum.

***

0 Komentar :

Posting Komentar

Komentari