Puisi Kala Itu (part 1)

Sabtu, 04 Maret 2017

Puisi Kala Itu (part 1)


Yang fana adalah waktu.
Kita abadi: Memungut detik demi detik,
merangkainya seperti bunga
Sampai pada suatu hari
Kita lupa untuk apa.
“Tapi, Yang fana adalah waktu, bukan?” tanyamu.
Kita abadi
-Sapardi Djoko Damono-

Syifa merasa tubuhnya berdesir ketika selesai membaca puisi yang terpajang di dinding salah satu sudut restoran itu. Ia mengusap lengannya yang terasa dingin. Kata-kata itu serupa hantu yang menggerayangi sekujur raganya. Merinding.

Teman-temannya di sana sedang asyik berfoto-foto, mengkristalkan setiap momen kebersamaan yang jarang didapatkan. Berpose tertawa yang dibuat-buat, seakan ingin menunjukkan pada dunia bahwa mereka adalah manusia-manusia paling bahagia.

Syifa tidak bergabung dengan mereka. Ia hanya terlibat dalam satu dua potret kemudian melipir pergi. Sejak menjejakkan kaki di restoran itu, ia penasaran sekali dengan papan bertuliskan puisi di hadapannya. Dan ia tidak salah dengan pilihannya untuk mengasingkan diri. Puisi itu sangat indah.

“Keren ya?”

Syifa hampir mencelat ketika seseorang tiba-tiba berdiri di sampingnya. Ikut membaca puisi yang sama. Gadis itu menoleh. Didapatinya seorang pemuda dengan balutan kemeja putih yang dua kancing atasnya ia biarkan terbuka. Syifa mengedikkan bahu. Tidak berniat untuk menimpali apa yang pemuda itu ucapkan.

“Puisi itu ada di buku kumpulan puisi yang judulnya Hujan Bulan Juni,” celetuk pemuda itu lagi.

Syifa terkesiap. Ia memandang wajah pemuda itu dengan dahi terlipat. Heran saja. Pemuda macam begini kok tahu tentang puisi?

“Uhuk…” Syifa terbatuk saat tak sengaja menghirup asap yang mengepul dari rokok yang tengah disesap pemuda itu. Ia menggunakan tangannya untuk mengusir gulungan asap itu menjauh darinya.

“Eh sorry! Gue lupa, ini kan udah bukan smoking area,” ujar pemuda itu kemudian melengos pergi untuk membuang rokok yang baru ia bakar setengahnya.

Syifa menggeleng samar. Tak terlalu peduli dengan pemuda itu. Ia kemudian menyisir bagian restoran yang lain. Balkon sepertinya adalah tempat yang cukup menarik. Pikirnya. Gadis itu mengayunkan kakinya ke sana.

Dari tempatnya berdiri sekarang, Syifa bisa melihat penampakan Bandung pada malam hari. Lampu berkelap-kelip di bawah sana, dan bintang-gemintang berkilauan di atasnya. Ia tersenyum. Betapa malam ini matanya dimanjakan dengan banyak keindahan. Puisi tadi dan pemandangan di hadapannya.

“Gue cariin, ternyata lo di sini.”

Syifa refleks memutar tubuh ketika mendengar suara baritone khas yang sudah dua kali mengejutkannya. Pemuda itu kembali lagi, kini tanpa rokok terselip di jari tangannya.

“Ngapain cariin gue?” tanya Syifa dengan wajah super pilon.

Pemuda itu terkekeh pelan dan berjalan menghampiri Syifa.

“Gue kan belum tahu siapa nama lo.”

Syifa hanya membulatkan mulutnya. Mengangguk pelan.

“Terus nama lo siapa?” tanya pemuda itu. Sama sekali tidak puas dengan tanggapan Syifa, padahal sudah jelas-jelas dirinya menunjukkan ketertarikan.

“Syifa,” ujar Syifa singkat dan jelas.

“Gue Kala,” ujar pemuda itu dengan percaya diri, meskipun Syifa tidak bertanya balik. “Kok ga gabung sama mereka?” tanya Kala. Mereka yang ia tanyakan merujuk pada sekumpulan manusia yang sekarang sibuk dengan gadget-nya untuk mengunggah foto-foto yang tadi mereka ambil. Manusia milenial. Dunia harus tahu apa yang sedang mereka lakukan, meski tidak sehangat apa yang mereka tunjukkan. Lihatlah sekarang! Mereka sama sekali tidak berinteraksi dengan mahluk bernyawa lain dan memilih berkutat dengan gadget yang semakin hari semakin pintar melebihi manusia.

“Malas,” jawab Syifa. Entah mengapa ia gemar sekali memberikan jawaban yang kelewat singkat. Mungkin karena yang tengah ia hadapi adalah Kala.

Syifa sebenarnya sudah tahu tentang eksistensi manusia bernama Kala. Bagaimana tidak, teman-teman perempuannya seringkali membicarakan pemuda itu, ditambah dengan khayalan-khayalan liar yang membuat Syifa muak. Oh ayolah! Jangan memuja manusia sampai sebegitunya!

Sementara itu, Kala tidak menyangka bahwa undangan makan malam dari Alin -yang sebenarnya malas ia penuhi karena yakin akan bertemu dengan teman-teman Alin yang ganas dan selalu mencari berbagai macam cara untuk menarik perhatiannya-, justru memertemukannya dengan Syifa, gadis yang sama sekali tidak tertarik padanya, dan membuat ia penasaran. Apalagi setelah ia melihat gadis itu memisahkan diri dari kumpulan manusia yang mengaku penjunjung tinggi persahabatan, namun interaksi mereka satu sama lain tidak saling bersahabat. Kala tidak tahan untuk mendekatinya.

“Jadi lo suka puisi juga?” tanya Kala. Ia paling senang membuat orang terkejut.

Syifa menggeleng. “Gue suka baca. Apa aja. Ga cuma puisi. Selebaran ga jelas aja gue baca kok.”

Kala tersenyum menyeringai. “Berarti lo harus baca buku kumpulan puisi Hujan Bulan Juni. Serius deh! Itu tuh keren banget! Lo ga akan nyesel!” ujar Kala berapi-api. Entah dibayar berapa sampai ia mau mempromosikan buku itu.

“Kapan-kapan gue baca,” ujar Syifa.

“Eh ikut gue ke suatu tempat yuk!” ujar Kala. Seakan ia dan Syifa telah berteman lama.

Syifa mengerenyit. “Kenapa gue harus ikut sama lo?”

“Karena gue bukan orang jahat dan lo pasti senang pergi sama gue!” ucap Kala dengan sangat yakin.

Syifa mengetukkan jarinya di dagu. Berpikir sejenak sebelum akhirnya Kala gemas dan menarik lengannya untuk ikut ke tempat yang ia janjikan.

“Kita ga pa-pa nih pergi?” tanya Syifa setelah naik ke atas motor. Ia merasa tidak enak pada Alin yang sudah mengundangnya makan malam yang ia adakan untuk merayakan ulang tahunnya yang kedua puluh.

“Gue udah bilang kok. Santai aja!” kata Kala ringan. Perlahan, ia lajukan motornya. Membelah jalanan Bandung sabtu malam yang meriah. Membawa Syifa pergi dari sana.

***

Syifa terperangah saat Kala membawanya ke sebuah cafe di jalan Riau. Ia sempat ragu ketika Kala mengajaknya masuk. Apa yang menyenangkan dari cafe itu? Sepertinya tidak jauh berbeda dengan tempat makan malamnya tadi. Hanya saja bangunan di hadapannya terlihat jauh lebih muda dan santai.

Keraguan itu akhirnya pupus ketika Syifa disambut oleh penampilan seorang lelaki berambut kribo yang tengah membaca puisi. Sejenak membuat gadis itu mematung di tempatnya, sebelum Kala menepuk pundaknya.

“Ini acara apa sih?” tanya Syifa sesaat setelah ia duduk di sebuah kursi yang ditarik oleh Kala.

“Malam puisi Bandung,” ujar Kala. Lelaki itu mengeluarkan sebungkus rokok dan korek api dari saku celana.

“Gue baru tahu loh ada acara khusus puisi gini,” Syifa tersenyum. Matanya menatap terpana pada si kribo yang membacakan puisi dengan sangat menghayati. Membuat dadanya berdebar.

Kala mengeluarkan sebatang rokok lalu membakarnya. Sukses menghasilkan gelungan asap yang terbang hingga menyapu wajah Syifa. Gadis itu terbatuk. Ia membekap mulut dan hidungnya. Asap rokok adalah musuh terbesarnya.

Rokok yang baru disesap satu kali oleh Kala terburu ia padamkan. Ia menggaruk tengkuknya. Bodoh! Umpatnya dalam hati.

“Kalau mau ngerokok, lanjutin aja. Gue hormatin lo sebagai perokok. Lagian ini cafenya bebas. Gue aja yang pindah,” ujar Syifa, hendak bangkit dari kursinya.

Kala segera menahan Syifa. “Ga pa-pa, udah di sini aja. Gue udah matiin kok rokoknya,” pemuda itu mengedikkan kepalanya pada asbak tempat ia membuang rokoknya yang masih utuh.

Syifa mengangguk samar. Ia kembali memfokuskan diri pada si gondrong yang sudah menggantikan si kribo di depan sana. Membacakan puisi dengan begitu berapi-api.

Sementara fokus Kala terbagi dua, pada puisi dan gadis di sebelahnya. Dua-duanya sama, indah dan syahdu untuk dinikmati. Tanpa sadar, ia tersenyum.

Si gondrong berganti dengan si kurus, kemudian muncul si tahi lalat jidat, lalu hadir si kerudung coklat, dan ditutup dengan si rambu kelimis. Syifa memberikan penghargaan kepada para pembaca puisi itu dengan bertepuk tangan. Betapa ia puas dengan penampilan mereka.

“Gue udah bilang kan, lo pasti senang,” ujar Kala. Bersama Syifa mereka berjalan menuju tempat parkir.

Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas lebih lima belas menit. Tante Viona sudah meneror Syifa sejak tadi, namun tak ia hiraukan karena terlanjur hanyut dengan puisi-puisi indah itu.

“Iya iya. Gue percaya! Seru ya nonton orang baca puisi,” ujar Syifa, mengingat-ingat puisi si tahi lalat jidat yang membuatnya terkikik geli, seperti sedang menonton film Warkop DKI yang tetap membuatnya terpingkal-pingkal meskipun diputar berulang kali.

Syifa naik ke atas motor setelah mengenakan helm. Tak lama dari itu, Kala mengendarai motornya. Melaju di sepanjang jalanan Bandung yang mulai lengang. Di sana, mereka berbincang berbagai hal. Kebanyakan tentang puisi. Syifa tidak menyangka akan langsung cocok mengobrol tentang sesuatu yang baru dengan orang yang baru dikenalnya tiga jam yang lalu. Kala juga tidak pernah mengira bahwa gadis yang duduk diboncengan motornya asyik ketika diajak berbicara.

Mereka sudah sampai di depan rumah Syifa. Setelah turun dari motor, Syifa melepaskan helm dan memberikannya pada Kala.

“Thanks ya!” ujar Syifa seraya tersenyum. Ia baru saja akan memutar tubuh dan masuk ke rumah, saat Kala tiba-tiba berseru.

“Kita bisa ketemu lagi, kan?” Syifa hanya mengangkat bahu, tidak tahu. Ia kemudian benar-benar membalikkan tubuh. Mendorong gerbang dan masuk meninggalkan Kala.

Pemuda itu terkekeh pelan. Apa pun itu, ia yakin bahwa ia dapat bertemu lagi dengan Syifa. Kalau tidak bisa, ia akan berusaha. Jangan panggil Kala kalau ia tidak bisa mendapatkan apa yang ia inginkan.

Sebab malam itu Kala tahu bahwa Syifa berbeda dengan gadis-gadis yang pernah singgah di hidupnya. Syifa tidak menatapnya antusias. Ia hanya memberikan tatapan yang biasa, sama seperti yang ia berikan pada pelayan dan tukang parkir. Justru Kala yang dibuat antusias oleh gadis itu. Apalagi saat dia tersenyum. Manis dan menyehatkan seperti susu. Sebab malam itu akhirnya seseorang singgah di bagian lain hidupnya yang tidak pernah orang lain ketahui. Kala si pemuja puisi.

Sementara Syifa tidak merasakan apa-apa selain bahagia karena ia habis menikmati banyak puisi malam ini. Tidak ada perasaan khusus yang ia tujukan pada pemuda yang baru dikenalnya. Sama seperti ketika ia berkenalan dengan yang lainnya. Gadis itu masuk ke dalam rumah tanpa mebawa apa-apa di hatinya.

“Kak Syifa baru pulang?” Syifa tersentak mendengar pertanyaan yang hadir persis ketika kakinya menginjak anak tangga yang pertama. Ia menoleh, mendapati Bian berjalan dari arah dapur. Menatap Syifa dengan begitu tajam.

“Kamu ngagetin aja. Kamu sendiri kenapa belum tidur?” Syifa balik bertanya.

“Gimana aku bisa tidur kalau Kakak belum pulang? Aku khawatir tahu!” Bian merengut.

Syifa tersenyum. Bian kalau sedang ngambek wajahnya lucu. Ia kemudian mengacak rambut adiknya gemas. “Maafin Kakak deh udah bikin khawatir!”

“Tahu ah!” Bian membuang wajahnya.

“Udah ah kamu kayak anak kecil deh! Ayo tidur, udah malam!” Syifa menarik lengan Bian. Menyeret adik laki-lakinya itu hingga lantai dua, tempat di mana kamar mereka berdua berada.

“Selamat tidur ya, Kak!” ujar Bian seraya meraih kenop pintu kamarnya.

“Iya. Kamu juga, selamat tidur!” tukas Syifa. Mereka kemudian berpisah di balik dinding kamarnya masing-masing.

Di balik tembok itu, Bian menatapi langit-langit kamarnya. Masih mengingat apa yang tadi ia intip dari jendela. Kakak perempuannya diantar oleh seorang laki-laki. Tiba-tiba ia merasakan dadanya berdenyut menyakitkan, seperti baru saja tersundut korek api. Perasaan yang merupakan akibat dari sebuah perasaan lain yang tanpa sadar telah tumbuh di hatinya sejak lama.

0 Komentar :

Posting Komentar

Komentari