Puisi Kala Itu (part 3)

Rabu, 22 Maret 2017

Puisi Kala Itu (part 3)


Seminggu berlalu dan Syifa tidak pernah menghubungi Kala. Pemuda itu hampir frustasi dibuatnya.

Sebenarnya, kalau Kala mau, ia bisa meminta bantuan Alin untuk mempertemukannya dengan Syifa. Tapi Kala tidak melakukannya. Ia ingin Syifa sendiri yang menghubunginya. Untuk menguji apakah gadis itu memiliki ketertarikan padanya atau tidak. Hari kesekian dan Kala pun tahu bahwa perasaannya bertepuk sebelah tangan. Ia ditarik habis-habisan oleh Syifa. Namun Syifa justru semakin menjauh dari raihannya.

“Lo samperin dia aja kenapa sih?” ujar Gery. Gemas sekali melihat Kala dilanda galau yang kadarnya sudah tidak wajar.

“Ga segampang itu lah! Gue pingin tahu aja, dia suka ga sama gue. Atau minimal penasaran deh!” ujar Kala.

Gilang berdecak. “Lo sih kebiasaan dikejar-kejar sama cewek. Giliran ada yang lo suka, lo malah malas usaha,” cibir cowok berambut keriting itu.

“Atau mau gue yang samperin?” Danny menaik turunkan alisnya, menggoda Kala hingga pemuda itu tersulut dan menoyor kepalanya.

“Yang ada nanti dia sukanya sama lo! Jangan berani-berani lo ya! Awas aja!” ancam Kala. Ia teringat kejadian saat Cindy yang dulu dekat dengannya tiba-tiba malah berpacaran dengan Danny. Meskipun tidak memiliki perasaan apa-apa pada Cindy, tapi Kala tetap sebal juga.

“Kal, gue ga pernah lihat lo sampai sebegininya, ga mungkin lah gue nikung lo! Bisa mati bunuh diri kali lo,” Danny terkikik. Terus menerus menggoda Kala.

“Udahlah, Kal. Samperin aja! Cemen banget sih lo! Sekali-kali ditolak ga pa-pa kali. Ga bosan apa lo nolak cewek mulu? Mau nunggu sampai kapan coba? Sampai nenek lo perawan lagi?” ujar Gery yang disambut dengan ledakan tawa dari Gilang dan Danny.

Sahabat yang kurang ajar memang! Umpat Kala dalam hati. Tapi apa yang dikatakan Gery, Gilang dan Danny ada benarnya. Ia tidak bisa terus menerus menunggu tanpa ada kepastian. Mungkin memang Syifa tidak tertarik padanya. Tapi kan kalau ia tidak pantang menyerah, mungkin gadis itu akan luluh padanya. Atau kalapun tertarik, Syifa tidak akan terang-terangan menunjukkan perasaannya. Gadis itu berbeda dengan gadis-gadis yang selama ini dikenalnya.

Baiklah. Kala menghela napas panjang. Mengumpulkan segunung nyali untuk menemui Syifa sore nanti.

***

“Lo sama Kala gimana?” tanya Alin. Perempuan dalam balutan rok span hitam selutut itu selalu penasaran dengan perkembangan hubungan antara Syifa dan Kala. Seraya mendekap buku berukuran jumbo di dada, ia menyingkirkan sejumput rambut ke belakang telinga.

“Gimana apanya?” Syifa balik bertanya, meskipun sebenarnya ia tahu ke mana arah pembicaraan Alin.

“Ya gimana hubungan lo sama dia?” Alin berdecak seraya memutar bola matanya. Syifa memang agak susah kalau diajak membicarakan masalah ‘hubungan’. Padahal ia begitu jenius ketika diminta menjelaskan perjalanan obat sejak ditelan hingga menimbulkan reaksi.

“Ga gimana-gimana. Terakhir ketemu minggu lalu, dan gue ga pernah berhubungan sama dia lagi. Please deh, Lin! Gue tuh beneran ya ga ada apa-apa sama Kala!” Syifa mengulum bibir. Berjalan tersaruk membuntuti Alin menuju tempat parkir.

“Gue sebenarnya ga masalah kalau lo punya hubungan sekalipun. Apalagi lo belum pernah pacaran. Gue cuma pingin lo hati-hati, Fa!” ujar Alin seraya membuka bagasi mobilnya, menyimpan buku jumbo yang sedari tadi ia dekap dengan sekuat tenaga.

“Gue bisa jaga diri, Lin! Kalau ada yang bakalan sakit hati, gue pastiin bukan gue,” kata Syifa seraya tersenyum.

“Gue berharap juga gitu!”

Alin berjalan memutar. Ia membuka pintu mobilnya sedetik sebelum seseorang berteriak dan berlari menghampiri mereka berdua.

Syifa melirik Alin sekilas, kemudian beralih pada pemuda di hadapannya. Ia mengerutkan dahi. “ada apa?”

“Kok lo ga pernah telepon gue sih?” tanya Kala, bergelut dengan napasnya yang tersengal.

“Ngapain gue telepon lo?” tanya Syifa dengan wajah pilon. Membuat Kala harus menahan tangannya untuk tidak bergerak menjawil pucuk hidung bangir yang menggemaskan itu.

“Lo kan udah save nomor gue,” ujar Kala.

“Ya tapi kan gue ga ada butuh apa-apa sama lo. Jadi ngapain gue telepon lo?”

Kala mengacak rambutnya sendiri gemas. Gadis itu benar-benar polos atau hanya pura-pura sih? Keterlaluan sekali kalau pura-pura. Tapi masak ia tidak mengerti juga dengan maksud Kala. Buat apa coba ia muncul di sana kalau ia tidak suka pada Syifa?

“Ngapain lo ke sini, Kal?” tanya Alin. Mulutnya sudah gatal ingin berbicara.

Kala mengerjap. “ketemu Syifa.” Ia melirik gadis berambut sebahu yang super polos itu.

“Mau apa ketemu sama gue?” tanya Syifa.

“Emang harus ada alasannya?” tanya Kala retoris. Tuh kan! Gadis itu masih belum mengerti.

“Ya harus lah! Everything’s happen for a reason.”

“Tapi gue ga punya alasan apa pun selain mau. Ya pokoknya gue mau aja ketemu sama lo,” tukas Kala. Sumpah ya! Baru kali ini ia dibuat mati gaya oleh seorang mahluk bernama perempuan.

“Terus sekarang kan udah ketemu, mau ngapain lagi?” Syifa belum puas membuat Kala frustasi.

Kala berpikir sejenak. “Mau ngajak lo makan.”

“Udah.”

Sial! Kala merutuk dalam hati. Pemuda itu merasa sangat bodoh sekarang. Otaknya buntu dan sama sekali tidak memiliki ide. Aduh! Ini sih namanya lebih parah daripada ditolak.

“Terus lo mau ngapain?” tanya Syifa lagi. Ia semakin menyudutkan Kala meskipun sesungguhnya ia tidak bermaksud seperti itu.

“Gue mau nganter lo balik,” ucap Kala pada akhirnya. Ide mainstream yang harusnya muncul sedari awal.

“Gue pulang sama Alin.”

Kala langsung melirik Alin. Memberikan kode pada Alin agar ia mendukung dirinya. Gadis itu mengangguk malas.

“Gue lupa nih, Fa. Gue mau ketemu Sony,” ujar Alin. Menjadikan pacarnya sebagai tameng untuk melancarkan rencana Kala. Meskipun jujur ia agak tidak rela jika Syifa harus pulang bersama Kala.

“Oh gitu ya? Ya udah deh! Yuk, Kal balik!” ucap Syifa ringan. Gadis itu kemudian berjalan mendahului Kala. Seakan ia tahu di mana Kala menyimpan motornya.

Kala bergegas menyusul Syifa setelah memberikan seutas senyum tanda terimakasih pada Alin. Langkah kakinya besar-besar supaya dapat segera mensejajarkan dirinya dengan gadis itu.

“Kita langsung pulang?” tanya Kala. Pemuda itu mengendarai motornya dengan teramat pelan. Berharap waktu membekukan dirinya dan Syifa.

“APA?” tanya Syifa dengan agak berteriak. Ia mencondongkan tubuhnya ke depan supaya dapat mendengar ucapan Kala dengan jelas.

“Kita mau langsung pulang?” ulang Kala sekali lagi. Pemuda itu menoleh dan mendapati wajah Syifa di bahunya. Dari sana, ia bisa dengan jelas melihat profil wajah cantik itu. Matanya tenang seperti semilir angin petang.

“Iya lah! Emangnya mau ke mana lagi?”

Kala terkesiap dengan jawaban Syifa yang lagi-lagi membuatnya kehilangan kata. Pemuda itu mendesah samar. Menyerah. Pengalamannya menaklukan banyak perempuan tidak berguna sama sekali ketika ia berhadapan dengan gadis super polos dan to the point seperti Syifa.

Kala memutuskan untuk fokus terhadap jalanan. Ia menambah kecepatan motornya. Meliak-liuk menyalip beberapa mobil. Hingga akhirnya kini mereka sampai di depan sebuah bangunan bertingkat dua bernuansa klasik, rumah Syifa.

“Syifa, kalau gue mau ketemu sama lo lagi, boleh ga? Tapi lo jangan tanya alasannya apa. Pokoknya gue mau ketemu sama lo aja!” ujar Kala. Ia menggigit bibir. Menanti jawaban Syifa yang pasti tidak akan biasa.

Syifa menggaruk pelipis, mengerutkan kening. “Tapi kalau ga ada alasannya, buat apa gitu ketemu sama gue?”

Kala sudah bisa mengira bahwa Syifa tidak akan dengan mudah untuk pasrah. Ia memutar otak. Mencari alasan yang bisa dipakainya berulang kali dan gadis itu tidak akan mempermasalahkan.

“Ngobrol?” Kala sama sekali tidak memiliki ide selain itu. “Gue suka ngobrol sama lo. Lo asyik orangnya.”

Syifa mengangguk cepat. “Boleh.”

Kala berseru tertahan. Senang sekali ketika Syifa mengangguk dan mengizinkan Kala untuk bisa menemuinya kapan saja. Hanya dengan alasan mengobrol. Gila ya! Padahal Kala sudah berpikir sangat keras untuk mencari alasan terbaik. Tapi yang diterima Syifa justru alasan remeh sekaliber ngobrol. Syifa, mengapa kamu ajaib sekali?

“Makasih ya! Ya udah, gue balik dulu. Besok gue ke fakultas lo. Ngobrol sambil makan siang,” ujar Kala. Pemuda itu kemudian pergi, membawa perasaan yang kian hari kian membuncah.

Syifa masih berdiri di sana. Tidak tertinggal apa pun di sana selain fakta bahwa kini ia punya teman mengobrol baru yang menyenangkan. Yang tidak akan membahas baju buatan siapa yang dikenakan Pevita Pearce di acara festival film, tas merk apa yang digunakan Syahrini, atau ketampanan Brooklyn yang sudah menyamai Beckam. Semua kefanaan yang akan hilang seiring dengan waktu. Tapi Kala lain. Ia menyuguhkan topik menarik yang tidak ia dapatkan dari teman-temannya, juga beberapa pemuda yang pernah mendekatinya. Makanya, saat Kala ingin bertemu dengannya untuk mengobrol, dengan senang hati Syifa menerima.

Syifa masih bergeming saat sebuah tangan mendarat di bahunya. Gadis itu mengerjap. “Kamu baru pulang?” tanya Syifa pada adiknya, Bian.

“Yang tadi siapa?” Bian balik bertanya. Ia melongok. Penampakan pemuda yang mengantar kakaknya pulang sudah tidak terlihat. Ia mengerutkan kening. Menunggu jawaban Syifa.
“Kala.”

“Pacar?” tanya Bian dengan nada menyelidik.

Syifa tersenyum penuh arti. Senyum yang bisa diterjemahkan dengan ya atau tidak. Ia melengos masuk ke dalam rumah.

Bian menghentakkan kaki. Ia segera menyusul Syifa.

“Kak, jawab dong! Itu pacar Kak Syifa bukan?”

“Kamu bawel banget sih!” ujar Syifa. Senang sekali membuat Bian merengut dan tenggelam dalam rasa penasaran.

“Parah banget sih, Kak! Awas aja kalau itu beneran pacarnya Kak Syifa! Aku bilang sama Mama nih!” ancam Bian. Cowok yang masih duduk di bangku SMA itu berlari menghampiri Viona yang sedang membaca majalah.

Sementara Syifa mengedikan bahu. Membuntuti Bian seraya terkikik geli.

“Ma, Kak Syifa punya pacar tahu!” ujar Bian. Ia menjulurkan lidah, mengejek Syifa.

Viona membenarkan posisi kacamatanya yang melorot. Melirik Bian yang sudah duduk di samping kanannya, kemudian mengalihkan pandangan pada Syifa yang kini bergerak untuk mengambil posisi di samping kirinya.

“Beneran, Fa?” tanya Viona.

Jawaban dari Syifa masih sama, seutas senyum yang bisa diartikan ya atau tidak.

Viona turut tersenyum, menepuk lengan Bian. “Ga pa-pa dong Kak Syifa punya pacar. Kan dia udah kuliah. Nanti juga kalau Bian udah kuliah, Mama izinin Bian buat punya pacar juga kok!”

Bian terkejut dengan ucapan Viona. Namun yang membuatnya resah adalah fakta bahwa cepat atau lambat, ia memang tidak akan memiliki Syifa sepenuhnya. Gadis itu sudah tumbuh dewasa dan sewajarnya menemukan cinta. Tapi entah mengapa, Bian tidak bisa terima. Ada pedih yang ia rasakan di sudut hatinya yang gelap.

Syifa menjulurkan lidah, balas mengejek Bian. Gadis itu tertawa. Senang sekali mengerjai Bian. Padahal, siapa juga yang pacaran sama Kala. Pemuda itu kan hanya teman mengobrol. Dan tidak ada niatan juga untuk mengubah status itu dengan yang lain. Karena seindah apa pun puisi Kala, masih jauh lebih indah rengekan malaikatnya. Syifa hanya belum menyadarinya.

“Kakak masih mau main sama aku kan meskipun udah punya pacar?” tanya Bian retoris sejurus setelah Viona pergi ke dapur untuk mengambil minum. Lebih dari separuh hidupnya dihabiskan bersama Syifa membuat ia takut sekali kehilangan sosok itu, yang bawel sekali mengajarinya matematika, yang menyebalkan sekali kalau sudah main playstation karena Bian pasti kalah, yang begadang untuk menjaga Bian kalau demam semalaman.

“Kenapa harus ga mau? Kamu itu teman main Kak Syifa yang paling seru!” ujar Syifa seraya mengacak rambut Bian. Membuat cowok itu tersenyum meskipun kini rambutnya sudah awut-awutan. Paling tidak, sekarang ia tahu bahwa meski kakak perempuannya telah bertemu dengan lelaki itu, posisinya tidak akan tergantikan. Selamanya ia akan jadi adik kecilnya.

Bagi Syifa sendiri, Bian sudah ia anggap sebagai malaikat. Membuatnya aman saat orang-orang yang dicintainya pergi meninggalkan. Lelaki mana pun, datang dari kerajaan apa pun, tidak akan mampu menggantikan posisi Bian. Selamanya ia akan jadi malaikatnya.

***

0 Komentar :

Posting Komentar

Komentari