Puisi Kala Itu (part 7)

Rabu, 22 Maret 2017

Puisi Kala Itu (part 7)


Syifa sudah bersemedi selama dua hari. Hasil dari semedinya adalah rangkaian koreografi yang sedang ia ajarkan pada Bian dan Shakira. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa kemampuannya menari masih sebaik dulu, meskipun ia pun sadar bahwa dalam beberapa bagian, ia melakukannya dengan tidak sempurna. Tapi itu tidak jadi masalah, karena bukan dirinya yang akan tampil. Ia hanya akan berdiri di balik layar.  

“Susah banget sih, Kak!” keluh Bian.  

“Susah, tapi pasti bisa. Ayo coba lagi! Tangannya begini nih!” Syifa membenahi posisi tangan Bian yang kurang diangkat. Kemudian menepuk bahu adiknya itu. Aba-aba untuk ia memulai kembali gerakan yang telah ia contohkan.  

“Aduh!” Shakira terperanjat saat tidak sengaja ia menginjak kakinya sendiri. Membuat tubuhnya hampir terjatuh. Gadis itu menggaruk pelipis. Ini tidak ada gerakan yang lebih sederhana apa ya? Masak dua kakinya saja bisa jadi tidak kompak begitu.  

“Kamu ga pa-pa?” tanya Syifa.  

“Ga pa-pa. Cuma pusing aja, Kak.” Gadis itu terkekeh pelan.  

“Nanti juga ga pusing lagi. Tenang aja! Kan ini baru permulaan.” Syifa mengelus puncak kepala Shakira, bersikap seolah gadis itu adalah adiknya.  

“Udah belum latihannya?” tanya Kala. Ia, Topan dan Susan menyembul dari balik pintu. Mereka baru saja menyelesaikan permasalahan musik yang pada pertemuan pertama masih berantakan.  

“Untuk hari ini segini dulu aja deh!  Kalian latihan sendiri dulu aja nanti. Pertemuan selanjutnya koreonya aku tambah,” ujar Syifa kemudian menjatuhkan diri. Duduk dan membiarkan kaki jenjangnya berselonjor.  

“Ditambah lagi?” tanya Bian dan Shakira secara bersamaan. Bian melirik Shakira sekilas. Mendengus sebal. Sementara Shakira terkikik dalam hati. Memang lucu sekali kalau dipikir-pikir hubungan dirinya dengan Bian. Tidak manis dan hangat, namun juga tidak bisa terpisahkan.  

“Iya dong! Kan yang aku ajarin barusan koreo buat sendiri-sendiri. Nanti ada yang kalian bareng gitu,” ucap Syifa. Kulitnya yang putih berubah merah karena kelelahan.  

Bian mengumpat dalam hati. Penyiksaan ini namanya. Sudah cukup disiksa dengan harus dipasangkan dengan Shakira, masih pula ia harus menghapal gerakan super rumit yang diajarkan Syifa. Sial sekali memang nasibnya.  

Sementara Shakira menanggapinya dengan pasrah. Meskipun harus bekerja keras untuk bisa melakukan gerakan-gerakan itu, mulai dari berputar, melompat, hingga berputar seraya melompat, ia ambil hikmahnya saja. Jadi kan ia bisa dekat-dekat Bian terus.  

“Semangat Bian, Shakira! Nih gue bawain es jeruk!” ujar Susan dengan membawa sebuah nampan berisi enam gelas es jeruk segar. Tadi Kala memang sempat meminta Bi Marni untuk membuatkan para tamunya itu minuman, yang kemudian dengan sukarela diambil oleh Susan dari dapur.

***  

Mereka telah membuat kesepakatan untuk berlatih dua kali sehari. Selain karena jadwal kuliah Syifa yang sangat padat, juga karena ia tidak ingin membebani keempat remaja itu. Ia pernah jadi mereka, dan rasanya sangat tidak menyenangkan kalau tenaganya dikuras habis-habisan. Mereka juga butuh waktu untuk bermain.  

Hari ini merupakan latihan kedua. Tidak seperti biasanya, Syifa sudah selesai dengan urusan kuliahnya sejak setengah jam yang lalu. Namun ia masih belum bisa pergi karena Kala masih tertahan di ruang kuliahnya. Harus mengikuti satu lagi mata kuliah sebelum jadwal hari ini berakhir.  

Seperti permintaan Kala, Syifa akhirnya menunggu di kantin kampus pemuda itu. Kali pertama ia menjejakan kakinya di sana. Ia duduk di salah satu bangku. Memesan es teh manis seraya menunggu.  

“Lo pacarnya Kala, kan?”  

Syifa hampir saja tersedak ketika pertanyaan itu dilontarkan oleh seorang gadis yang tiba-tiba muncul di hadapannya. Ia mendongak. Mengamati wajah sang gadis yang rasanya sudah tidak asing lagi untuknya.  

“Jane, lo ngapain Syifa?”  

Pertanyaan Gilang akhirnya membuat Syifa mengangguk. Ia ingat gadis itu. Jane. Si pemilik party yang malam itu dibuat patah hati oleh pengakuan palsu bahwa Kala dan Syifa adalah sepasang kekasih.  

“Ga ngapa-ngapain. Nanya aja. Fakultas apa?” tanya Jane dengan nada mengintimidasi, meskipun sebenarnya tidak mempan untuk Syifa. Gadis itu menatap balik Jane dengan sangat yakin tanpa gentar sedikit pun.  

“Kedokteran.”  

“Oh, Kala butuh lo sih emang. Udah sakit dia. Ga waras. Masak dia nolak gue dan malah sama lo,” desis Jane. Gadis dalam balutan blouse tanpa lengan dan celana jeans yang di beberapa bagian robek itu tersenyum miring. Berpikir bahwa ia bisa membuat Syifa terancam.  

“Lo apa-apaan sih? Ribet amat hidup lo! Kalau udah ditolak, ya udah. Ga usah ganggu Kala lagi!” ujar Gilang. Merasa perlu untuk membela Syifa.  

Jane mengedikkan bahu. Ia lalu melengos pergi. Rambutnya berkibar layaknya sedang mengiklankan produk sampo.  

“Lo ga pa-pa?” tanya Gilang.  

“Masak gue apa-apa cuma karena diomongin begitu?” cibir Syifa. Ucapan Jane sih tidak ada apa-apanya. Mungkin hanya sekuku jari dengan perlakuan perempuan-perempuan di fakultasnya yang selalu menatapnya penuh curiga setiap kali ia bersama Kala. Seakan Kala sudah diguna-guna olehnya.  

“Oke deh! Gue temenin lo dulu ya sampai Kala datang. Nanti takutnya ada yang nyerang lagi kayak Jane.” Pemuda itu duduk di bagian lain meja, bersebrangan dengan Syifa.  

“Banyak yang suka ya sama Kala?” tiba-tiba pertanyaan itu meluncur dari mulut Syifa. Hal yang ingin ditanyakannya pada orang terdekat Kala sejak lama, meskipun tanpa sadar sekarang Syifalah yang paling dekat dengan pemuda itu. Ia tidak mau mendengarnya dari Alin atau teman-temannya yang lain. Bukan tidak percaya, namun rasanya kurang sahih saja.  

“Banyak. Jane salah satunya.”  

“Katanya, Kala itu playboy.” Syifa menggigit bibir. Entah sejak kapan ia risau dengan predikat playboy yang tersemat untuk Kala. Cemas sekali bahwa Kala datang padanya tanpa maksud lain selain untuk menambah koleksi korbannya. Meskipun selama ini pemuda itu tidak pernah terlihat mempermainkannya.  

“Fa, orang-orang yang bilang Kala playboy itu karena mereka ga tahu. Yang mereka tahu Kala dekat sama banyak perempuan. Tapi Kala ga pernah punya hubungan apa-apa. Yang salah kalau mereka sakit hati siapa coba? Kala ga pernah minta mereka dekat-dekat. Mereka yang datang sendiri. Tapi sama lo, dia usaha keras supaya bisa dekat sama lo. Karena lo, dia tolak cewek-cewek kayak Jane itu,” jelas Gilang. “Lo ga usah khawatir. Percaya sama gue, dia ga bakal pergi.”  

Syifa mengerenyit. “Kenapa?”  

“Lo masih tanya kenapa? Ya karena dia-“  

“Syifa, sorry! Nunggu lama ya?” Kala datang dengan terengah-engah. Setelah menyelesaikan kuliahnya tadi, Kala memang langsung meluncur ke kantin. Tak sempat menutup risleting ranselnya. Ia tidak ingin membuat Syifa menunggu terlalu lama.  

“Enggak, kok!” sahut Syifa.  

“Ya udah, yuk! Kila sama yang lain pasti udah nungguin kita,” ujar Kala lantas melirik Gilang. “Thanks ya bro udah nemenin Syifa!”  

Gilang hanya tersenyum. Kemudian mempersilakan Kala dan Syifa untuk segera pergi.  

"Orang-orang tahunya kita pacaran ya?" tanya Syifa sesaat setelah ia naik ke atas motor Kala. Membuat pemuda itu sejenak menunda untuk menstarter motornya.

“Ga pa-pa, kan? Gue bilang kalau lo pacar gue ke semua orang. Ya kecuali Gilang, Gery sama Danny."

"Kenapa?" tanya Syifa polos.

Kepolosan Syifa itulah yang membuat Kala selalu ragu untuk melangkah. Isyarat-isyarat yang ia berikan tak cukup untuk membuat Syifa menyadari bahwa Kala begitu tergila-gila pada gadis itu.

"Karena gue mau," jawab Kala, sejujur-jujurnya. Kalau ia katakan pada orang-orang bahwa dirinya dan Syifa berpacaran, memang begitulah yang ia inginkan. Bukan semata-mata mengerjai mereka. Sebab Kala tidak mau gadis-gadis itu datang padanya. Satu orang Syifa sudah lebih dari cukup untuknya.

Namun Syifa bersikap seperti tidak pernah terjadi apa-apa, seakan tidak memahami segala bentuk perhatian yang diberikan. Mungkin di mata Syifa, Kala tidak lebih istimewa dari sekadar teman mengobrol sekaligus orang yang bersedia mengantarkan ke mana saja. Dan tukang ojek online juga bisa melakukan hal itu, bahkan tidak perlu untuk menunggu.

Menunggu. Kala mungkin tidak tahu bahwa Syifa tidak terbiasa menunggu. Ia adalah manusia yang dinamis. Ia tidak terbiasa menghabiskan waktu untuk menunggu. Harus ada yang ia lakukan. Sementara sejak mengenal Kala, Syifa jadi terbiasa berdiam diri tanpa melakukan apa-apa hingga kemudian pemuda itu muncul menjemputnya.

"Oh. Oke. Yuk jalan!" Syifa menepuk bahu Kala dan lagi-lagi membuat harapan pemuda itu patah. Syifa masih belum memahami satu lagi anak panah yang ia lesatkan dari busur hatinya.

Kala menghidupkan mesin motor, menginjak pedal gigi untuk kemudian menancap gas dan membuat motornya melaju.

Refleks Syifa meletakkan tangannya di pinggang Kala. Sekarang, tangan itu ada di sana untuk memastikan bahwa Kala tidak akan ke mana-mana, seperti apa yang Gilang katakan. Sebab sejak hari itu, segalanya tidak lagi sama.

***  

“Ini harus ya Kak pegang-pegangan gini?” protes Bian saat Syifa mencontohkan gerakan di mana dirinya harus meletakkan satu tangan di pinggang Shakira, dan tangan lainnya memegang payung, kemudian mengikuti gerakan gadis itu lagi.  

“Ya ga pa-pa dong! Namanya juga seni. Coba sekarang Kakak mau lihat kalian,” ujar Syifa, menarik lengan Bian untuk bangkit dari posisinya yang tengah terduduk di lantai.  

Dengan malas, Bian berdiri. Atas intruksi Syifa, ia pun menyimpan tangannya di pinggang Shakira, lalu tangan yang lain ia angkat, berpura-pura memegang payung. Dan ia pun mengikuti ke mana pun Shakira bergerak. Ke depan, belakang, kiri, kanan, berputar. Sebaliknya, Shakira meletakkan tangannya di bahu Bian, kemudian bergerak dengan begitu lincah. Terbang seperti kupu-kupu.  

“Aduh!” Shakira mengaduh saat tidak sengaja kakinya terinjak oleh kaki Bian. “Sakit tahu!” gadis itu memukul lengan Bian.  

“Ih, kan ga sengaja!” tukas Bian seraya mengulum bibir. Habis, siapa suruh coba bergeraknya terlalu cepat? Bian kan belum hapal gerakannya.  

Sementara itu, Syifa terkikik geli. Gemas sekali melihat Bian dan Shakira bertengkar seperti itu.  

“Kalian latihan terus ya, sampai bisa pokoknya!” ucap Syifa kemudian melipir ke sofa di mana ada Kala, Topan dan Susan di sana, tengah berlatih melagukan puisi.  

“Ga usah manja deh! Ayo buru latihan lagi!” Bian menarik pinggang Shakira. Membawa gadis itu lebih dekat dengannya. Yang tanpa sadar membuat dada sang gadis berdebar.  

Mereka kembali menari, berdansa. Mengayunkan kaki dan tangan. Berputar, melompat, berlari, saling menangkap. Bian dan Shakira, meski selalu berdebat, namun sebagai sepasang partner menari, mereka begitu kompak.

***

0 Komentar :

Posting Komentar

Komentari