Puisi Kala Itu (part 6)

Rabu, 22 Maret 2017

Puisi Kala Itu (part 6)


Syifa melongok melalui celah pintu kamar Bian yang sedikit terbuka. Ia mendapati Bian tengah berkutat dengan ponselnya. Perlahan, Syifa mendorong pintu itu. Menimbulkan bunyi berdecit yang membuat Bian mendongak. Mengubah posisinya yang tengah terlentang menjadi duduk.  

“Kak Syifa? Ada apa?” tanya Bian. Ponsel di tangannya berkedip. Shakira tak kunjung berhenti meneror.  

Syifa berjalan masuk seraya tersenyum, duduk di samping Bian. “Mau?”  

Bian membelalak ketika melihat apa yang dibawa oleh Syifa. Macaron. Dua rasa coklat, dua rasa blueberry. Tanpa basa-basi, Bian langsung mengambil satu. Coklat terlebih dahulu.  

“Shakira. Kamu makin dekat ya sama dia? Udah lama ih Kak Syifa ga dengar kamu cerita tentang Shakira,” ucap Syifa sejurus setelah ia membaca sebuah nama yang tertera di layar ponsel Bian. Gadis itu tersenyum dengan tatapan menerawang. Mengingat bahwa dulu Bian sering sekali mengadu pada Syifa bahwa ia merasa terganggu dengan kehadiran gadis bernama Shakira, namun tak sampai hati untuk mengusirnya jauh-jauh.  

“Apa sih Kak Syifa? Aku ga dekat sama dia. Ga sengaja aja dekat. Ih sebal deh! Aku selalu satu kelompok sama dia. Ini kita lagi ngomongin tugas kelompok seni budaya,” celoteh Bian seraya mengunyah macaron yang kedua.  

“Kalau dekat terus, nanti suka tahu!” ujar Syifa, gemar sekali menggoda adiknya.  

Bian terenyak. Kalau dekat terus, nanti suka. Ia mencerna ucapan Syifa itu, yang seakan berlaku juga untuk kasusnya. Sepuluh tahun selalu bersama dan sangat dekat, diam-diam memunculkan perasaan suka yang belum berani ia buka.  

“Kak, mau bantuin aku ga?” tanya Bian. Lamunannya buyar ketika ponselnya berdering akibat pesan dari Shakira yang kembali ia terima.  

“Bantuin apa?”  

“Mau ga jadi pelatih tari buat aku sama Shakira? Jadi, tugas seni budaya tuh kita disuruh menampilkan sesuatu gitu. Nah, kelompok aku udah sepakat mau mengkolaborasikan puisi, musik sama tari. Aku kebagian tari sama Shakira,” jelas Bian. Agak malas menyebutkan nama Shakira.  

Syifa menggigit bibir, berpikir. Menari? Sudah hampir tiga tahun ia berhenti menari. Padahal waktu kecil ia pernah bercita-cita menjadi penari, namun dengan lapang dada harus ia kubur cita-cita itu karena kuliah di jurusan kedokteran menyita banyak waktu dan ia tidak suka menjalani sesuatu dengan tidak total. Sekarang, Bian meminta Syifa untuk menjadi seorang pelatih. Memangnya ia masih bisa menari?  

“Kak Syifa mau, kan? Please dong mau ya, Kak!” Bian memelas. Merapatkan kedua telapak tangan, memohon dengan sungguh-sungguh.  

Karena Syifa paling tidak tega melihat orang lain memelas, terlebih itu adalah adiknya sendiri, akhirnya ia mengangguk. Meskipun tidak yakin apakah tubuhnya masih selentur dulu. Masihkah tulang punggungnya kuat untuk diajak meliak-liuk. Kita lihat saja nanti.  

“Asyik!” Bian berseru, kemudian memeluk Syifa erat. “Makasih ya, Kak!”  

Saat itu Bian pun tahu bahwa Syifa masih menjadi miliknya. Lelaki itu, yang lengan kemejanya digulung hingga sesiku, tidak akan bisa merebut Syifa darinya, sampai kapan pun juga.

***  

“Kak Kala kok ga pernah bilang sih kalau Kakak suka puisi?” tanya Shakira seraya membaca sepintas buku-buku puisi yang dimiliki kakak laki-lakinya, Kala. Untuk kali pertama, Kala mengizinkan Shakira mengobrak-abrik lemari kecil di sudut kamar yang berisi buku puisi.  

“Ngapain bilang-bilang? Ga bilang juga kamu tahu, kan? Tukang ngintip!” cibir Kala seraya memetik gitar dengan asal, tidak jelas lagu apa yang tengah ia mainkan.  

“Aku ga akan ngintip kalau Kak Kala cerita sama aku. Lagian sejak kapan sih main rahasia-rahasiaan?” Shakira mengulum bibir. Sebagai adik, ia merasa tersinggung. Masak kesukaan kakaknya saja ia tidak tahu. Makanya ia mengintip dan diam-diam menyelinap masuk ke kamar Kala untuk membongkar rahasia yang tersimpan di dalam lemari kecil itu.  

Kala mengelus puncak kepala Shakira. Ia tidak bermasuk untuk merahasiakan itu dari adiknya. Namun, ia merasa puisi adalah rumah untuk dirinya sendiri, yang bahkan adiknya pun tak ia izinkan untuk masuk. Rumah yang ia bentengi rapat-rapat. Meskipun akhirnya benteng itu runtuh juga hanya oleh seorang perempuan yang menatapnya hangat. Benteng kokoh yang menjulang tinggi itu meleleh seketika.  

“Kamu sendiri gimana sama Bian?” tanya Kala, mengalihkan pembicaraan. Tiba-tiba ia jadi teringat sosok yang selalu Shakira ceritakan dengan berapi-api, yang juga akan datang ke rumah beberapa menit lagi.  

“Ga gimana-gimana. Dia selalu jutek sama aku. Bodo amat! Yang penting dia ga jauhin aku.”  

Ucapan Shakira memberikan pelajaran untuk Kala bahwa ia tidak harus membuat perasaannya pada Syifa rumit. Lihatlah, Shakira! Sesederhana itu saja. Bahwa yang terpenting adalah ia masih bisa berdekatan dengan orang yang ia cinta.  

“Non Kila, itu ada temannya di bawah,” ujar Bi Marni, menyebutkan nama panggilan Shakira di rumah, setelah mengetuk pintu kamar Kala yang dibiarkan terbuka.  

“Oh iya, Bi.” Shakira menyimpan buku-buku puisi Kala ke dalam lemari. Kemudian menepuk bahu Kala. “Nanti Kak Kala ke bawah juga. Bantuin aku pilih puisi yang keren. Aku ga ngerti soalnya.”  

Di ruang tamu sudah menunggu Topan dan Susan. Tadi, mereka berangkat bersama. Kebetulan rumah Susan tidak jauh dari rumah Topan, jadi ia bisa menumpang mobil Topan. Shakira berlari menuruni anak tangga untuk kemudian bergabung dengan mereka.  

Tak lama Bian dan Syifa pun datang. Shakira menatap takjub pada Syifa. Sejak pertama kali bertemu dengan Syifa hampir dua tahun yang lalu, kekagumannya tidak pernah berubah.  

“Makasih ya Kak udah mau bantuin kita!” ujar Shakira.  

Syifa hanya tersenyum. Wajah Shakira mengingatkannya pada seseorang.  

“KAK KALAAA! SINI IH SEMUA UDAH PADA DATANG!”  

Bian, Syifa, Topan dan Susan menutup telinga saat tiba-tiba Shakira berteriak. Syifa mengerenyit. Bian, Topan dan Susan kok tahan ya berteman dengan gadis dengan suara secempreng itu? Kalau Syifa sih sudah meledak kali.  

Syifa kemudian mengerjap saat menyadari sebuah nama yang diteriakan Shakira. Kala. Maksudnya, Kala…  

Seorang pemuda dengan celana pendek dan kaos putih berjalan menyusuri tangga. Tangannya menjinjing gitar dan tangan yang lain memegang sebuah buku. Ia terlihat bersungut-sungut.  

“Kila kamu teriak gitu udah kayak ada rampok aja!” tukas Kala. Matanya menjelajahi ruang tamu yang sudah ramai. Lalu ia baru menyadari keberadaan Syifa di sana. Duduk di samping seorang pemuda yang memasang wajah tidak bersahabat seperti saat pertama kali mereka bertemu beberapa waktu lalu.  

“Loh, Syifa?” Kala terkekeh. Ternyata memang benar ada rampok. Asal tahu saja ya, perempuan dalam balutan blouse berwarna merah muda itu sudah merampok hatinya.  

“Gue baru tahu kalau Shakira itu adik lo,” ujar Syifa. Ia kemudian memandangi wajah adik-kakak itu secara bergantian. Mirip sekali.  

“Gue juga baru tahu kalau Kila temenan sama adik lo!”  

Pertemuan yang sama sekali tidak terduga. Kebetulan? Kala rasa tidak. Seperti yang pernah Syifa katakan, semua hal terjadi karena sebuah alasan. Entah apa, namun ia senang mendapati Syifa di rumahnya.  

“Kalian udah saling kenal?” tanya Shakira, memasang wajah pilon yang sangat lucu.  

“Iyalah! Mereka kan pacaran,” celetuk Bian. Ia merengut. Menjadi semakin malas berhubungan dengan Shakira saat tahu bahwa kakaknya ternyata adalah lelaki itu, yang memakai celana jeans robek saat mengantar Syifa pulang.  

“Pacar? Tuh kan! Kak Kala main rahasia-rahasiaan lagi dari aku!” Shakira meninju bahu Kala. Sebagai adik, lagi-lagi ia tidak dianggap. Meskipun ia tidak bisa memungkiri bahwa kabar itu membuatnya ikut senang. Akhirnya Kala bertemu dengan bidadarinya.  

Kala merengut. Ia meminta penjelasan dari Syifa yang dijawab senyum serta anggukan kepala dari perempuan itu. Isyarat yang akhirnya membuat Kala mengangguk.  

“Hehe. Udah ah kamu jangan ngambek-ngambek!” Kala merangkul Shakira masuk ke dalam ketiaknya. Membuat gadis itu merengut dan berusaha melepaskan diri. Sekali lagi meninju bahu Kala.

 “Bisa dimulai sekarang ga?” Topan tiba-tiba bersuara. Sejak tadi, ia merasa tersingkirkan karena urusan keluarga antara dua pasang kakak-adik itu.  

“Yuk mulai!” ujar Shakira.  

Pekerjaan dimulai dengan pemilihan puisi. Kala merekomendasikan beberapa puisi Sapardi yang ada di buku Hujan Bulan Juni, buku favoritnya karena telah mempertemukan dirinya dengan Syifa.  

“Ini kepanjangan.”  

“Aduh berat! Gue ga ngerti!”  

“Yang lain aja dong, jangan yang ini!”  

“Ini boleh sih, tapi enggak deh!”  

Setelah berunding dan berdebat beberapa menit, mempertimbangkan banyak hal, akhirnya satu puisi pun terpilih sebagai pemenang. Kuhentikan Hujan, puisi yang ditulis Sapardi pada tahun 1980. Tidak ada yang mendebat, termasuk Susan yang sedari tadi mematahkan banyak rekomendari puisi yang diberikan Kala.  

“Kakak baru bisa bikin koreografinya lusa. Harus tahu betul makna puisinya,” ujar Syifa.  

“Ya udah, sekarang kita bahas musiknya aja dulu,” sahut Kala.  

Bian, Syifa dan Shakira yang sama sekali tidak mengerti musik mengamati dari tempatnya, sementara Kala, Topan dan Susan saling berdiskusi tentang aransemen yang akan mereka buat untuk puisi Kuhentikan Hujan itu.  

“Di C tahu.”  

“Eh bukan gitu!”  

“Metiknya jangan cepat-cepat.”  

“Nah gitu!”  

“Haha, kok aneh ya?”  

“Menembus ta-, menembus ta-. Ih gimana sih?”  

“Aduh pusing!”

 “Memaksaku menciptakan bunga-bunga.”  

“Sip!”  

Kala, Topan dan Susan menghembuskan napas berat. Mereka melamparkan diri pada kepala sofa. Sumpah ya, ternyata menciptakan sebuah musik itu rumit sekali. Kala kapok menghina band-band yang muncul di acara musik pagi di televisi itu. Masih mending mereka membuat sebuah karya. Dibanding dirinya yang hanya bisa mengomentari.  

“Mungkin sekarang udahan dulu aja. Kepala gue udah panas nih!” keluh Topan. Meneguk ludah melihat tulisan tangannya di kertas yang teramat berantakan. Coretan di mana-mana.  

“Iya, gue juga pusing. Nanti di rumah gue pelajarin deh!” ungkap Susan. Memegangi kepalanya yang semakin terasa berat saat kembali membaca tulisan Topan yang lebih mirip resep obat.  

“Eh, kita jadi kan jenguk Sofia?” tanya Shakira. Menyebut nama teman sekelas mereka yang sekarang sedang dirawat di rumah sakit karena demam berdarah.  

“Jadi. Sekarang aja yuk!” usul Topan, yang kemudian diangguki oleh tiga temannya yang lain, termasuk Bian, meskipun kalau boleh jujur ia tidak rela membiarkan Syifa bersama Kala berdua saja.  

“Kak Syifa, aku jenguk temanku dulu!” pamit Bian.  

“Kak Kala aku pergi. Tadi aku udah izin kok sama Mama. Bye!" Shakira mencium pipi Kala, kemudian berjalan menyusul teman-temannya yang sudah terlebih dahulu keluar.  

Di ruangan itu, tinggalah Kala dan Syifa berdua. Sejenak mereka terdiam, sampai akhirnya Kala memecahnya dengan sebuah pertanyaan tak terduga.  

“Lo penari?”  

Syifa terkesiap. Ia tersenyum miring, dipaksakan.

“Dulu.”  

“Sekarang?”  

“Calon dokter.”  

“Kenapa ga sambil nari?”  

Syifa bergeming.  

“Oh sibuk ya pasti? Untung lo masih punya waktu buat ketemu gue.”  

“Ih apa coba?” Syifa terkekeh. Sejenak kembali mengingat masa itu, saat setiap hari dirinya bisa menari dan tidak dipusingkan dengan segala masalah perkuliahan. 

“Lapar ga? Gue iya. Makan yuk!” Kala berdiri, mengulurkan tangannya pada Syifa. Kesekian kali ia melakukan itu dan selalu berharap agar Syifa mau meraihnya untuk satu kali saja.  

“Yuk!”  Harap itu pun kembali menguap. Syifa bangkit tanpa bantuan tangan Kala. Ia berjalan mendahului pemuda itu. Seperti biasa, ia seakan-akan tahu di mana letak dapur rumah Kala.  

“Kita lihat Bi Marni masak apa.”

Kala mengangkat tudung saji yang ternyata menyembunyikan nasi serta lauk pauknya, ayam goreng, tempe dan tahu goreng, sambal terasi serta jangan lupa lalapan. Kala tersenyum. Melihat makanan yang ada di atas meja membuat perutnya semakin terasa lapar.  Kala menarik sebuah kursi, mempersilakan Syifa untuk duduk. Namun gadis itu melengos, bergerak ke arah wastafel dan mencuci tangan. Setelah itu barulah ia menjatuhkan tubuhnya di atas kursi yang disediakan Kala.  

“Makan masakan begini tuh enaknya pakai tangan,” ujar Syifa seraya mengambil sebuah piring yang tak lama kemudian telah terisi dengan satu centong nasi, sepotong ayam goreng bagian paha atas, tahu dan tempe, serta satu sendok sambal terasi.  

Kala lalu bergegas menuju wastafel untuk mencuci tangan. Sejurus kemudian ia telah kembali ke meja makan. Duduk di sebrang Syifa dan memindahkan makanan-makanan itu ke dalam piringnya.  

Setelah berdoa dalam hati masing-masing, Kala dan Syifa memulai suapan yang pertama. Kala sebenarnya ragu saat memasukkan makanan itu ke dalam mulut lewat tangannya langsung. Jujur saja, ini kali pertama ia makan tanpa menggunakan sendok. Tapi melihat Syifa yang makan dengan lahap, ia jadi tergoda juga. Dan rasanya memang lebih nikmat makan langsung dengan tangan.  

“Setiap kali gue makan sama lo, nafsu makan gue jadi naik. Abis lihat lo kayak yang enak banget,” ucap Kala.  

“Emang enak.” Syifa mengedikan bahu dan lanjut menghabiskan makanan yang ada di dalam piringnya. Sedari kecil, ia sudah diajari Bunda untuk menghargai semua makanan, terlebih makanan yang akan ia makan, karena mungkin itu adalah jatah makannya yang terakhir. Satu-satunya hal yang tidak pernah dicibir Syifa adalah makanan. Ia selalu bersyukur untuk semua makanannya.

Syifa sudah membersihkan semua makanan yang ada di atas piring, tidak berniat untuk mengambil porsi kedua karena perutnya sudah kenyang, meskipun ayam goreng dan sambal terasi buatan Bi Marni lezat sekali. Gadis itu berjalan menuju wastafel. Mencuci tangannya dengan sabun untuk menghilangkan aroma terasi yang menyengat.  

Kala menyusul Syifa. Pemuda itu membasahi kedua tangannya, mengambil setetes sabun, bilas-bilas sedetik, kemudian membasuhnya lagi dengan air. Ia melakukan hal itu jauh lebih cepat dibanding Syifa. Sontak membuat gadis itu memukul punggung tangan Kala.  

“Cuci tangannya yang benar!” tegur Syifa.  

Kala cuma bisa melongo saat Syifa memelototinya seperti seorang ibu yang memergoki anaknya mencuri mainan. Pemuda itu merengut, menyerahkan kedua tangannya pada Syifa.  

Syifa meraih tangan itu, membawanya ke bawah air keran yang dibiarkan mengalir, lalu meneteskan sabun di sana.  

“Gini nih kalau cuci tangan.”

Syifa mengajari Kala cara mencuci tangan yang baik dan benar, lebih tepatnya mencucikan tangan Kala. Karena sedari tadi Kala hanya diam dan membiarkan tangannya dikuasai oleh Syifa.  

Dimulai dengan membilas bagian telapak, lalu bergerak ke punggung tangan. Telusuri pula bagian sela-sela jari, buku-buku jari dan kemudian gerakan khusus untuk membersihkan ibu jari. Ujung-ujung jari pun harus dibersihkan dengan cara digosok-gosok dengan gerakan memutar di telapak tangan, sebelum terakhir membilasnya di bawah air mengalir.  

Kala tidak sempat memprotes meskipun ia merasa bodoh sekali karena di usianya yang sudah berkepala dua, ia baru tahu cara mencuci tangan yang benar. Bagaimana akan sempat, kalau diam-diam pemuda itu menikmati setiap inci tangannya yang bersentuhan dengan Syifa. Akhirnya tangan itu tak lagi hampa. Samar, ia tersenyum. Meresapi kehangatan yang tiba-tiba menjalari dada. Menyusup hingga jauh sekali ke dalam.  

Sekarang Syifa mengambil beberapa lembar tissue untuk mengeringkan tangan Kala yang kemudian ia pakai juga itu melapisi tangannya saat menutup keran.  

“Nah sekarang tangan lo udah bersih deh! Ga kayak tadi. Apaan cuci tangan cuma sedetik!” Syifa bersungut-sungut. Hal kecil sekaliber cuci tangan sepertinya perlu diajarkan dengan lebih baik pada orang-orang. Banyak penyakit yang bersumber dari tangan. Kalau mencuci tangan saja tidak benar, bagaimana bisa menjaga diri agar tetap sehat? Tanpa sadar, Syifa khawatir bila Kala jatuh sakit hanya karena cara mencuci tangan yang salah.  

Kala tertegun, menunggu momentum yang tepat untuk menggapai kedua tangan itu. Sejurus kemudian kedua tangan yang jemarinya lentik itu sudah berada dalam rengkuhannya. Kala membawanya naik, hingga memudahkan bibirnya untuk mendarat di sana, memberi kecupan hangat. Tak cukup sampai situ, ia baui harum tangan itu yang menguarkan aroma lemon sabun cuci tangan.  

Sebentar. Jantung Syifa kok tiba-tiba berdebar lebih kencang ya? Padahal, ia sedang tidak minum kafein. Ia bahkan bisa mendengar sendiri suara jantungnya saat memompa. Dug dug dug dug. Cepat sekali.  

Saat memandang Kala yang masih menjajah kedua tangannya, Syifa merasakan dadanya sesak. Ia tidak tahu sejak kapan dirinya menahan napas. Tapi selama tangannya bersentuhan dengan Kala, ia yakin bahwa saluran pernapasannya akan terus tercekat.  

Syifa tidak bisa tinggal diam. Bisa-bisa ia mati karena kehabisan oksigen. Gadis itu menarik tangannya. Membuat Kala terkesiap dan memasang wajah menyesal.  

“Maaf, Syifa!” Kala menggaruk tengkuknya.  

Sekarang, Syifa justru merasa bahagia. Ia tidak bisa menahan diri untuk tidak tertawa. Entah sejak kapan pastinya, namun ia pun tahu bahwa Kala diam-diam menyelinap masuk ke hatinya. Menetap di sana.  

Satu hal lagi yang tidak diketahui Syifa, bahwa malaikat itu tengah membayang-bayangi di salah satu sudut hatinya yang gelap. Menunggu waktu yang tepat.

0 Komentar :

Posting Komentar

Komentari