Februari 2019

Minggu, 03 Februari 2019

Lubang Hidung


Aku masih ingat, tahun lalu, saat kali pertama aku bertemu dengannya setelah sekian lama aku mengidolakannya. Siapa dia? Namanya Anthony Sinisuka Ginting. Orang-orang memanggilnya Ginting, kadang Onik. Tapi aku lain. Kupanggil dia Lubang Hidung. Dulu, panggilan itu cuma agar supaya beda saja dari yang lain. Sekarang, Lubang Hidung berarti banyak untukku. Mungkin dia tidak pernah tahu.

Tulisan ini tidak akan ada kalau tahun 2014 aku tidak pernah mendengar namanya. Mengetahui eksistensinya. Dia hadir. Di podium ketiga kejuaraan bulutangkis junior dunia. Remaja tanggung berkumis tipis yang mukanya menyebalkan sekali, tapi entah mengapa aku suka.

Lalu kulihat dia di lapangan. Dari satu lapangan ke lapangan lain. Berlari. Melompat. Terjatuh. Bangkit lagi. Sesuatu yang terus berulang, tapi tidak pernah membuatku melihatnya dengan bosan. Dia, selalu membuatku terkesan.

Butuh waktu 4 tahun untuk aku bisa bertemu dengannya. Tahun lalu, kali pertama aku melihatnya secara langsung. Dari awal, hingga ia berdiri dengan senyum sumringah di podium tertinggi. Membawa seikat bunga dan berkalungkan medali emas. Oh, aku bangga.

Waktu itu, setiap kali selesai ia bermain, aku selalu keluar dan menungguinya selesai diwawancara. Sekadar memberikan ucapan selamat dan doa untuk esok hari ia bisa bermain dengan lebih baik. Saat itu, tidak ada yang datang. Cuma aku dan temanku. Semuanya di dalam. Memberi dukungan untuk si rangking 1. Saat itu, rasanya mudah sekali bertemu dengannya. Cuma tinggal sabar menunggu. Tidak perlu bersaing dengan manusia lain.

Beberapa bulan kemudian, aku kembali bertemu dengannya. Aku sudah menyadari bahwa ada hal yang berubah. Sudah banyak orang yang ingin bertemu dengannya. Aku cemburu? Sedikit. Tapi tidak apa. Dengan prestasinya, dia pantas mendapatkan itu. Tapi saat itu, rasanya aku punya ambisi tersendiri. Pokoknya, aku harus bertemu dia. Sudah kubawakan ia setangkai bunga flanel. Bunga yang tidak sudi untuk kubawa pulang lagi.

Hari itu kamis, akan ada Meet and Greetnya. Sejak pagi aku sudah kacau sekali. Bunga yang akan kuberikan padanya tertinggal di penginapan. Aku harus kembali lagi untuk mengambilnya. Mengapa aku begitu percaya aku bisa bertemu dengannya hari itu? Karena aku sudah belajar banyak dari hari-hari sebelumnya bagaimana agar aku bisa menjadi peserta MnG terpilih. Selepas dia bertanding, aku langsung keluar dan mengambil tempat terdepan di lokasi MnG. Sebelumnya, aku sudah membeli produk blibli. Syarat agar aku bisa berfoto dengannya.

Kamis itu, dia kalah. Oh, aku bingung harus mengucapkan apa. Padahal rangkaian kata selamat sudah aku persiapkan. Tapi kebingungan itu luruh saat MnG tidak kunjung dimulai. Aku sudah menungguinya lebih dari satu jam. Berdua saja dengan seseorang yang tidak dikenal. Oh, lagi-lagi semua orang di dalam. Nonton si world no 1.

Mungkin dua jam. Di bawah terik siang. Waktu yang kubutuhkan untuk akhirnya aku bisa bertemu dengannya. Waktu itu cuma ada sekitar 15 orang di sana. Mungkin lebih sedikit. Dan MC, yang sudah membuat kesepakatan denganku, akhirnya memilihku untuk maju.

"Kamu kan tadi habis kalah, biasanya kalau kalah sedih ga? Terus sedihnya berapa lama? Soalnya aku kalau habis lihat kamu kalah, sedihnya suka lama."

Dia, dengan jerawat hampir meletus di jidat, menjawab dengan enteng, "Yaa, dibawa tidur juga, besoknya sedihnya udah ilang."

Baik.

Kuberikan dia setangkai bunga flanel berwarna merah. Lalu kutunjukan sebuah kipas bergambar wajahnya yang menyebalkan. Dia tertawa melihatnya. Tapi tak urung dia membubuhkan tanda tangan di sana.

Sebulan berlalu, dia menyedot perhatian banyak manusia. Semua orang meneriaki namanya. Banyak yang membully, tapi lebih banyak yang mencintainya. Aku, di bangku penonton, bersama ribuan penonton lainnya, tersenyum. Rasanya luar biasa ketika semua orang meneriaki namanya. Sebelumnya tidak sekeras dan sebanyak ini.

Dan minggu lalu, dunia seperti mengubah pusatnya menjadi dia. Bahkan sejak hari pertama, dia sudah jadi yang teristimewa. Aku masih tetap di sana. Di bangku penonton sebelah pojok. Cuma posisi itu yang bisa kuusahakan. Dan aku diam. Saat semua orang meneriaki namanya. Temanku melihatnya dengan heran. Aku juga tidak mengerti. Rasanya menikmati permainannya dalam diam adalah cara yang akan ku tempuh sekarang. Suaraku sudah cukup meneriaki namanya dulu. Mungkin kini tinggal hati. Di dalam sana, ku selalu mendoakan dia. Aku tahu, dia sudah mendapatkan banyak sekali doa. Dan doaku rasanya tidak terlalu penting. Tapi aku selalu ingin berdoa. Entah itu penting atau tidak.

Lubang Hidung. Apa artinya? Dia adalah jalan napas. Untuk apa? Untuk siapa? Untuk banyak hal. Untuk banyak orang. Termasuk aku. Terima kasih untuk selalu jadi Lubang Hidung. Berjalanlah terus. Bertumbuhlah selalu. Semakin besar dan bersinar. Semakin gemilang dan cemerlang.