2017

Selasa, 03 Oktober 2017

Pengabdi Setan


Joko Anwar bukan termasuk dalam jajaran sutradara favorit gue meskipun gue cukup suka akan dua filmnya, Janji Joni dan A Copy of My Mind. Lalu kemarin gue menonton Pengabdi Setan, dan dengan senang hati gue sebut dia sebagai sutradara keren yang negeri ini punya, dan dia favorit gue.

Pengabdi Setan merupakan remake film berjudul sama yang tayang berpuluh tahun lalu. Ceritanya beda meskipun masih bercerita mengenai sosok Ibu.

Ibu yang sudah lama sakit keras tiba-tiba meninggal dengan cukup menyeramkan. Ia meninggalkan empat anak, Rini (Tara Basro), Toni (Endy), Bondi dan Ian, serta seorang suami yang gantengnya luar biasa hey halooowww._. Tapi sepertinya Ibu tidak benar-benar pergi, karena dia kembali lagi dan menghantui keempat anaknya. Sementara Bapak ganteng malah pergi keluar kota nyari duit supaya bisa pindah rumah :(

Kengerian sebenarnya sudah disuguhkan sejak awal saat Ibu yang terbaring di ranjangnya komat-kamit entah mantra apa. Semakin ngeri saat Ibu sudah jadi hantu. Atmosfernya benar-benar mencekam. Dan gue sebagai penonton merasa terancam saat mengikuti alur cerita film ini. Apalagi ketika satu persatu misteri terpecahkan.

Kengerian bukan hanya didapatkan dari Ibu, tapi juga dari temen-temennya yang sangat banyak bergerombol mengepung rumah menyeramkan itu. Udah kayak densus 88 ngepung rumah teroris 😌😌😌

Gue suka semua yang ada di film ini (kecuali hantu dan rambut palsunya Hendra yang gue takutkan terbang waktu dia naik motor._.). Gue suka akting Tara. Gue suka Endy Arfian dan keteknya._. Gue suka Bondi dan Ian yang lucu. Ian si idola yang menggemaskan akhirnya membuat gue mengumpat. Sial!

Menonton film ini membuat gue merasakan banyak hal. Takut udah pasti. Merasa tertekan dan diteror. Apalagi dengan lagu Ibu dan suara lonceng Ibu. HHHH. Tapi seru. Mengikuti perjalanan mereka untuk akhirnya bisa hidup tenang setelah kematian ibu. Memecahkan teka-teki dari setiap adegan yang disuguhkan
Meskipun sialnya ada teka-teki yang belum terungkap, yang katanya adalah clue untuk film selanjutnya. WEHHHHh kita lihat saja nanti.

9/10 untuk Pengabdi Setan.

Rabu, 06 September 2017

IT


Badut itu lucu, jenaka, menggemaskan, suka bikin ketawa. Tapi tidak dengan badut yang satu ini. Kebalikannya banget. Seram, menakutkan, sekaligus menyebalkan. Badut yang mengaku sebagai badut penari ini pun bahkan ga bisa menari dengan indah. Tariannya kasar dan menyeramkan. HHHHH.

It (dibaca it, bukan aiti seperti mbak-mbak bioskop yang dengan pedenya ngoreksi gue waktu mau pesen tiket film ini) adalah film yang berkisah mengenai teror badut di sebuah kota bernama Derry yang datang setiap 27 tahun sekali. Hebat banget ini hantu badut terjadwal gini nerornya. Dimulai dengan hilangnya seorang anak bernama Georgie yang sedang main perahu kertas yang entah kenapa hanyutnya kenceng banget. Perahu itu pun masuk ke dalam sebuah selokan yang ternyata tempat persembunyian si badut. Dan hilanglah Georgie di dalam selokan itu.

Kehilangan Georgie membuat kakaknya, Billy terpukul. Dia percaya bahwa Georgie masih hidup. Ditambah dengan hilangnya beberapa anak di kota tersebut, Billy dan teman-teman geng The Loser pun menyelidiki tentang misteri si badut.

Oke. Karena ini film horor, keberhasilannya pasti dinilai atas takut atau tidaknya penonton. Dan film ini berhasil banget karena gue takut banget bahkan dari sejak awal film. Teror yang mencekam. Takut dan menegangkan. Gue sempat berpikir bahwa gue salah nonton film yanv kelewat seram begini. Ketakutan bukan hanya dihasilkan dari penampilan hantu yang menyeramkan. Namun juga karena situasinya dan auranya (?). Apalah itu pokoknya seram. Saking seramnya, sampai apa pun yang muncul tiba-tiba membuat gue menjerit.

Film bukan melulu seram, namun juga hangat dan lucu. Persahabatan The Loser yang terdiri atas Billy si gagap, Stanley si anak soleh, Eddie si higienis, Richie si pikiran ngeres namun lucu (favorit pertama), ditambah Ben si bulat gemay namun diam-diam seorang pujangga (favorit kedua), Beverly si sexy, dan Mike yang merupakan Michael Jackson kecil dalam benak Snap seorang. Mereka berenam memiliki ikatan yang kuat. Bersatu padu membangun cerita yang padat dan kompak. Selain itu, film ini juga dibumbui kisah manis cinta segitiga antara Billy-Beverly-Ben. Wowww mereka sangat lucu menggemaskan unchh gitu lah pokoknya.

Ada pun film ini menurut gue film yang segar dalam artian saat nonton ga akan deh itu lengah. Karena saat lengah, hantu badut nyebelin itu mungkin tiba-tiba datang.

Oh iya, balon merah melayang-layang itu sungguh sangat menyeramkan.

9/10 untuk perjalanan The Loser memecahkan misteri hilangnya anak-anak di kota Derry.

Sabtu, 12 Agustus 2017

Bising


Selama hidup, ada banyak banget suara. Kebanyakan datang dari mulut orang-orang yang sebenarnya ga punya jasa dan kontribusi apa pun untuk hidup aku. Mereka cuma bisa merecoki.

Cara aku hidup. Cara aku senang-senang. Cara aku menyikapi kesedihan. Cara aku bermimpi. Cara aku mewujudkan mimpi. Prinsip yang aku pegang. Jalan hidup yang aku pilih. Keputusan yang aku ambil. Hal-hal yang aku yakini. Mereka mengomentari banyak hal.

Dulu suara-suara itu aku dengar dan aku pikirkan. Bikin hidup aku berat padahal nyatanya ga seberat itu. Bikin aku pusing, padahal aku tahu apa yang harus aku lakukan. Sampai akhirnya aku memutuskan untuk menutup kuping dan cuma dengar diri aku sendiri. Dan rasanya lebih tenang. Pikiran lebih jernih. Positif aja bawaannya. Lalu aku pun tahu kalau selama ini suara-suara dari luar bikin aku ga bisa dengar suara aku sendiri. Padahal yang aku butuhkan cuma itu.

Sekarang, aku ga peduli sama apa pun yang orang bilang. Selama aku yakin bahwa hal itu baik dan bikin aku happy, aku ga akan berhenti.

Kata Adriano Qolbi, ga ada orang yang sukses karena dengerin saran orang lain. Ya, aku setuju.

Dan orang-orang yang (terlalu) banyak komentar itu ternyata ga ada apa-apanya buat hidup aku. Cuma kebetulan lewat dan ikut nimbrung, terus pergi gitu aja. Tapi orang-orang itu, yang ada (meski tidak selalu) dalam keadaan terburuk, terbaik, terhancur, tercemerlang, terlemah, terkuat, apa pun itu, hadir dan mendukung aku tanpa banyak komentar-komentar ga perlu, tanpa harus bikin aku tuli sama suara aku sendiri, eksis untuk mendukung dan menerima apa pun hasil dan keadaanku, adalah orang-orang penting yang akan ada dalam daftar orang-orang berjasa dalam hidup aku.

Rabu, 02 Agustus 2017

Mars Met Venus Part Cowok


Cowok dan cewek. Dua mahluk yang saling bertolak belakang. Namun untuk itulah mereka ada. Untuk kemudian bersama dan saling memahami sifat masing-masing.

Kelvin dan Mila adalah sepasang kekasih yang sudah 5 tahun berpacaran dan berencana menikah. Sebelum menikah, mereka membuat vlog yang menceritakan hubungan mereka. Di situlah muncul masalah yang selama ini mereka simpan masing-masing.

Sudah beberapa kali menonton film karya Hadrah Daeng Ratu dan kayaknya gue jatuh cinta sama cara dia bercerira. Ringan dan asyik. Film ini meskipun terkesan ribut namun asyik buat dinikmati.

Di part cowok ini, difokuskan pada sudut pandang cowok. Tentang bagaimana mereka memandang perempuan dan sebuah hubungan.

Kehangatan persahabatan antara Kelvin dan keempat sahabatnya (Cameo Project) adalah kekuatan film ini. Mereka sukses membuat gue tertawa. Tektoknya kena. Jarang yang miss. Ga melulu lucu, namun juga mereka berhasil membuat gue tersentuh di satu scene yang meskipun ujungnya ketawa juga. Haduhhhh.

Permasalahan cinta yang menjadi fokus film ini pun patut untuk disimak. Bagaimana gue jatuh cinta sama aktingnya Ge Pamungkas dan Pamela Bowie, yang sejujurnya gue agak kurang suka kalau Ge dan Pam akting. Namun di film ini, keduanya mampu mematahkan anggapan gue selama ini. Mereka aktor yang keren. Ada satu scene di mana gue merinding dan harus memberi hormat pada Ge. Oh gue hampir menangis. Dan mereka pasangan yang sangat klik. Romantisnya, unyunya, dan berantemnya pas. Gue suka!

Kelemahan film ini adalah gue merasa masalah yang harusnya susah untuk diselesaikan bisa selesai dengan sangat mudah. "Yah, gini doang." Gue sampai bilang gitu dalam hati. Tapi itu ga ada apa-apanya dibandingkan perjalanan film ini sejak awal yang membuat gue tertawa terbahak-bahak, tersenyum manis, hingga termenung hampir menangis

Oke. Scene favorit gue adalah adegan angkot. Reza Nangin selalu berhasil mencuri perhatian gue sejak film Cinta Tapi Beda. Dan begitu pula di film ini.

"Gue hapal lekuk muka dia. Gue bisa gambar wajah dia sambil merem. Tapi gue ga bisa gambar dia lagi nangis, karena gue ga bisa membayangkan dia nangis."

8/10

Selasa, 18 Juli 2017

Filosofi Kopi 2: Ben & Jody


Sebagai seorang penggemar tulisan Dee Lestari, termasuk cerpennya yang berjudul Filosofi Kopi, senang rasanya Ben dan Jody hidup dalam bentuk dan wujud yang nyata. Sejak film Filosofi Kopi yang pertama, tidak ada keraguan dan kekecewaan sama sekali atas terpilihnya Chicco Jerikho dan Rio Dewanto sebagai Ben dan Jody. Sampai sekarang muncul film Filosofi Kopi 2. Di mana ceritanya lebih fokus pada karakter Ben dan Jody, bukan hanya sebatas kopi dan filosofinya. Lebih dari itu. Tentang persahabatan, cinta, keluarga dan mimpi.

Setelah memutuskan untuk berkeliling Indonesia membagikan kopi dan menjual kedai, di tengah perjalanan, pegawai-pegawaj Filkop; Nana, Aga dan Aldi memutuskan untuk keluar karena alasan masing-masing. Di situ Ben akhirnya sadar bahwa selama ini mereka tidak ke mana-mana. Lalu dengan randomnya, Ben  berpikir untuk kembali ke Jakarta dan kembali membuka kedai. Untungnya, si Jody ini baik dan nurut-nurut aja (meskipun super pelit), jadi ikutlah dia sama idenya Ben.

Untuk membuka kedai Filkop kembali, mereka bertemu Tarra, seorang investor dan Brie, barista ngehe yang susah banget dibilangin. Dan mereka pun membuka kembali kedai Filosofi Kopi di Melawai, lalu membuka cabang di Jogja.

Seperti filmnya yang pertama, konflik di Filkop 2 ini lumayan berliku. Jelimet pokoknya. Meskipun gue lebih pusing mikirin yang di film pertama sih. Film ini lebih ke belajar ikhlas dan memaafkan. Ya, jadi semua masalah di film ini bisa selesai oleh keikhlasan memaafkan, yang mana sebenarnya itu susah sih. Apalagi buat Ben yang keras kepala, egois dan seenak jidatnya sendiri.

Dari sisi sinematografi (?), selalu suka sama setiap scenenya. Ceria, hangat, kelam, lembut, menyentuh hati. Gitulah pokoknya. Ditambah sama lagu-lagu khas anak Indie gitu. Favoritku Zona nyaman!

Chicco dan Rio berakting dengan total. Bagaimana Chicco menumbuhkan Ben dengan apa yang memang gue bayangkan. Ben si egois, emosian, random, dan tatapannya buat para gondrong itu lohhhh. Hahahaha. Tapi gue sih masuk #TeamJody . Meskipun dia pelit, tapi paling enggak dia tuh ga egois gitu. Tidak seperti si Cibai Ben. Hahhaha. Banyak sekali Cibai di film ini 😥

Luna Maya berakting baik meskipun tidak terlalu bersinar. Tapi sungguh, dia sangat cantik dan terlalu mudah membuat orang jatuh cinta. Sosok yang cantik, kuat sekaligus mandiri.

Si Brie nih yang menurut gue mengganggu. Curiga ini Brie kalau di sekolah ngeyel muluk kalau dibilangin guru. Whahahha.

Pada akhirnya Filosofi Kopi adalah sajian yang hangat dan bergizi untuk ditonton. 8/10.

Kamis, 18 Mei 2017

Ziarah


Berbekal pengetahuan yang minim mengenai film Ziarah, yaitu hanya tahu premisnya saja, tanpa tahu siapa pemain dan sutradaranya, gue memutuskan untuk menonton film ini.

Ziarah mengisahkan tentang pencarian seorang nenek berusia 90an tahun bernama Mbah Sri terhadap makam suaminya. Kelak nanti saat ia meninggal, ia ingin dikuburkan di samping makam Pawiro Sahid, suaminya.

Film ini kental sekali dengan kearifan lokal, khususnya Jawa. 99,99 % dialog menggunakan bahasa Jawa. Hal itu tidak mengurangi esensi film. Namun justru membuat film ini semakin manis sekaligus pilu.

Film ini mengingatkan gue pada film Mencari Hilal. Sama-sama tentang pencarian. Tapi tentunya apa yang mereka cari jelas berbeda.

Kesederhanaan akan mudah sekali ditemukan dan dirasakan dalam film ini. Kesederhanaan dalam hidup dan mencintai.

Film ini bertutur dengan sangat syahdu. Tidak terburu-buru, namun tidak juga terlalu lambat.

Di film ini, wajah familiar yang bisa gue temukan hanya Hanung Bramantyo. Itu pun dia hanya muncul sedetik. Tapi gue tidak perlu tahu siapa mereka, karena dengan melihat mereka di layar, terutama Mbah Sri, sudah membuat gue jatuh cinta. Gila ya! Yang jadi Mbah Sri ini aslinya juga udah sepuh banget, tapi dia aktingnya keren. Bingung, rindu, lelah, tapi tidak lantas putus asa. Cuma gue kasihan dan ga tega aja lihat nenek-nenek jalan di tengah terik siang. Rasanya pingin ngasih es jeruk untuk kesegaran :((

Well, pada akhirnya gue kembali belajar dari Mbah Sri bahwa cinta itu adalah tentang keikhlasan.

Oh iya, endingnya mengejutkan. Aku hampir menangis. Hehe.

9/10 untuk Ziarah.

Karena Ziarah cuma dapat layar dikit, di xxi Bandung pun cuma di empire BIP, jadi nontonlah segera guys. Sayang, filmnya bagus bangey soalnya.

Kamis, 11 Mei 2017

Critical Eleven


Terlalu banyak alasan untuk menonton film ini. Novelnya yang membuat gue jungkir balik jatuh cinta, kesal, marah, sedih dan jatuh cinta lagi. Deretan pemain keren: Reza Rahadian, Adinia Wirasti, Revalina S Temat, Hannah Al-Rasyid, Astrid Tiar, Hamish Daud, Refal Hady, Anggika, Widyawati, Slamet Rahardjo sampe Aci Resti. Sutradaranya, Monti Tiwa. Dan maka menontonlah gue.

Dalam dunia penerbangan, dikenal istilah Critical Eleven, yaitu sebelas menit paling kritis. Tiga menit awal penerbangan, delapan menit menuju pendaratan. Critical Eleven dalam konteks perkenalan adalah 3 menit awal saat kesan pertama terbentuk, dan 8 menit sebelum berpisah. Begitulah Ale dan Anya. Bertemu secara tak sengaja di penerbangan Jakarta-Sydney, melewati Critical Eleven dan kemudian mereka jatuh cinta lalu menjadi sepasang suami istri.

Critical Eleven mengisahkan perjalanan sepasang suami istri Ale (Reza) dan Anya (Adinia Wirasti) yang hangat dan penuh cinta. Suatu peristiwa akhirnya membuat hubungan mereka dingin dan saling mempertanyakan cinta itu sendiri.

Untuk film cinta-cintaan dengan durasi lebih dari dua jam, Critical Eleven jauh dari kata membosankan. Setiap momen, selalu menarik untuk disaksikan. Terlalu manis untuk dilewatkan.

Anya dan Ale begitu hidup dalam raga Asti dan Reza. Untuk akting, kayaknya gegabah aja gitu kalau sampai meragukan mereka. Gue nih ya, bisa rasain kesakitan Ale dan Anya sekaligus sampai-sampai gue ga bisa membela salah satu. Mereka punya kesakitannya tersendiri.

Selain hangat oleh cinta Ale dan Anya, keluarga Risjad pun tak kalah hangat. Favoritku Nino yang ga gede-gede. Wkwkwkkwkwkkw.

Kehangatan juga tercipta antara persahabatan Anya, Tara, Agnes dan Donny. Hamish sebagai Donny sangat lucu menggemaskan menyegarkan.

Tapi dari semua cast yang bermain sangat apik, favorit gue adalah Aci Resti sebagai Tini yang kerjaannya nyuguhin minuman doang :(( Semua cast dibebani kesedihan yang mendalam, tapi yg paling kuat dari semuanya adalah Tini. Dia angkat koper gede banget naik tangga tanpa kesulitan sedikit pun. Jadi, gue menyatakan diri sebagai #TeamTini

Jangan tanya apakah film ini bikin baper atau enggak. Gue sebenarnya malas sih menggunakan kata baper. Jadi gue akan menggantinya dengan kata terhanyut dan berempati. Anya nangis sesenggukan waktu ngobrol sama Tara Agnes, gue nangis. Anya di kolam renang, gue kedinginan ya ampun AC bioskop keterlaluan :(( Ale nangis, gue nangis. Ale lompat-lompat pake kolor, gue salah fokus ke bulu-bulu kalinya :((( Dwi Sasono muncul dengan serius, gue dan semua penonton malah ketawa. Salahnya di manaaa? :(((

Hahahhahaha. Ya intinya film ini keren lah gue suka. Sukaaa banget. Musik-musiknya bagus. Lagu Isyana masih terngiang-ngiang hingga sekarang.

8,5/10

Senin, 08 Mei 2017

Sebab Akibat


Waktu itu aku masih amnesia. Aku tidak bisa mengingat apa pun saat kedua mataku membuka dan kulihat wajah-wajah bahagia yang sudah lama menantiku. Yang aku tahu, aku pernah hidup bersama mereka. Bahkan menjadi satu. Entah di mana dan kapan tepatnya.

Lalu kemudian aku bertumbuh. Sel-sel tubuhku saling membelah dan aku pun membesar. Perlahan ingatanku kembali. Kalianlah yang kupanggil dengan sebutan paling indah yang pernah kudengar, Mama, Papa.

Ma, Pa, aku masih ingat hari pertamaku masuk Sekolah Dasar. Harusnya saat itu aku masuk TK. Aku tidak mau. Aku merengek ingin masuk Sekolah Dasar. Dan kalian pun mengabulkannya. Aku jadi anak SD yang harus belajar membaca, berhitung dan menulis. Bukan hanya belajar bernyanyi, menari dan melatih kepercayaan diri. Tapi aku tidak lantas kehilangan masa 'menyenangkan' di TK. Kalian ajak aku bermain, bernyanyi dan menari sehingga sekarang aku begitu percaya diri. Kalian bilang, saat tidak ada satu pun manusia yang bisa dipercaya, jadilah diri yang bisa aku percayai. Sekarang aku sangat percaya pada diriku sendiri. Terimakasih telah menjadi Taman Kanak-kanak untukku hingga kini.

Di sekolah, aku sering dibully. Dikata-katai pendek, jelek dan gemuk. Aku sering pulang dalam keadaan menangis. Tapi kalian menguatkanku. Pendek, jelek dan gemuk hanyalah ciri fisik yang fana. Kalian bilang, aku akan tumbuh tinggi, cantik, dan kurus. Sekarang, lihat aku! Meski aku tidak setinggi, secantik dan sekurus bintang sinetron itu, tapi aku tumbuh dengan sangat hidup, dan itu jauh lebih dari cukup. Ma, Pa, terimakasih untuk tidak mengajariku mengenai ukuran cantik yang selalu dikaitkan dengan Princess Disney atau Barbie!

Ma, Pa, tahu tidak apa yang paling aku syukuri dalam hidup ini? Aku punya diriku dan kalian berdua. Kalian dua manusia bertolak belakang yang membuat pikiranku terbuka dan bebas menentukan apa pun.

Mama tidak pernah menuntutku apa-apa. Bukan berarti dia tidak ingin aku jadi yang terbaik. Tapi buat apa jadi yang terbaik kalau hanya sebagai pembuktian kepada orang lain? Kata Mama, aku tidak perlu membuktikan apa pun. Hidup, berdamai, dan berbahagia saja sudah cukup.

Papa dulu suka melarang aku macam-macam. Tidak boleh ini, tidak boleh itu. Sampai sekarang juga. Namun dia selalu memberikanku kesempatan untuk bernegosiasi. Akhirnya aku boleh ini, aku boleh itu.

Ma, Pa, lebih dari dua tahun yang lalu saat pertama kalinya aku berteman dengan penyakit itu, kalian berdua adalah orang-orang yang aku percaya tidak akan meninggalkanku. Waktu aku hampir menyerah, kalian ada di sana, tersenyum dan memelukku. Dan kemudian berjalan di sampingku. Berjuang dengan segala kesakitan dan kesedihan. Karena kalian, sekarang aku bisa berdamai dengan kemalangan itu.

Ma, Pa, empat tahun adalah waktu yang singkat untuk aku dapat memahami semuanya, tentang mengapa aku ada di sini. Tapi kalian tidak memaksaku untuk mengerti. Kalian hanya memberikanku semangat dan dorongan agar aku terus berlari. Menapaki jalan yang penuh dengan rintangan ini. Tangis, luka, sedih, dan pilu telah kunikmati. Hingga akhirnya aku mencapai titik ini.

Kalian beri aku nama yang indah, Sinta Nurwahidah. Lalu disematkanlah tiga huruf di belakang namaku. Katanya itu gelar. Aku tidak bangga. Kebanggaanku adalah lahir dan tumbuh di antara kalian.

Seperti yang pernah kalian ajarkan, wujud bahagia setiap orang berbeda. Waktu aku pakai toga, aku lihat mata kalian berbinar bangga. Bolehkah aku sebut itu bahagia?

Ma, Pa, terimakasih untuk perasaan bahagia atas segala yang aku lakukan. Mungkin aku tidak cukup cemerlang dibandingkan anak-anak lain. Tapi aku selalu berusaha untuk terus bersinar. Untuk kalian dan untuk diriku sendiri.

Semua yang aku lakukan bukanlah untuk membuktikan apa pun. Bukan juga untuk membalas kasih sayang kalian berdua. Karena aku percaya, kasih dan sayang yang kalian beri tidak pernah butuh balasan. Semua yang aku lakukan adalah akibat dari banyak sebab yang telah kalian tanam selama hampir 21 tahun aku hidup.

Terimakasih.

Selasa, 11 April 2017

Get Out



Pertemuan dengan calon mertua selalu jadi momen menakutkan terutama untuk calon menantu yang merasa memiliki perbedaan dengan keluarga calon pasangan.
Dikisahkan Chris, seorang laki-laki berkulit hitam akan berkunjung ke rumah orangtua  Rose, pacarnya yang berkulit putih. Kekhawatiran muncul dalam hati Chris karena ia takut keluarga Rose tidak bisa menerima dirinya yang berbeda. Tapi Rose berusaha meyakinkan Chris bahwa keluarganya tidak rasis.
Kejanggalan terjadi saat Chris datang ke rumah Rose. Keanehan yang muncul dari dua orang kulit hitam yang bekerja di sana. Asisten rumah tangga bernama Georgina itu menyeramkan. Padahal senyum terus. Tapi senyum yang kayak penuh arti gitu :(( tukang kebunnya juga serem. Apalagi dia bisa lari kenceng tapi ga tahu arah :((((
Keanehan semakin menjadi-jadi saat diadakan sebuah pesta kebun. Serius deh, selain Chris, semua orang dalam film Get Out patut dicurigai.
Setengah jalan film, gue belum mengerti tentang film ini. Yang jelas gue takut aja. Takut tapi ga ngerti. Bingung pokoknya. Get Out sukses memberikan teror dari setiap tatapan dan sikap orang-orang di sekeliling Chris.
Satu karakter bernama Rod yang awalnya gue anggap dia sangat tidak penting dan hanya sebagai badut yang tidak lucu serta lawakannya yang receh, namum ternyata dia adalah pahlawan di sini. Dengan segala imajimasinya yang berkembang liar, ia pun berhasil memecahkan misteri yang ada di film ini.
Well, film ini keren. Tapi aneh, kayak kurang populer gitu. Mungkin karena emang temanya kurang populer. Atau karena mengangkat hal yang agak sensitif seperti ras. Tapi, gue sih terhibur sekali dengan film ini. Berteriak ketakutan sekaligus kesal.
8,5/10 untuk Get Out

Rabu, 22 Maret 2017

Puisi Kala Itu (part 7)


Syifa sudah bersemedi selama dua hari. Hasil dari semedinya adalah rangkaian koreografi yang sedang ia ajarkan pada Bian dan Shakira. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa kemampuannya menari masih sebaik dulu, meskipun ia pun sadar bahwa dalam beberapa bagian, ia melakukannya dengan tidak sempurna. Tapi itu tidak jadi masalah, karena bukan dirinya yang akan tampil. Ia hanya akan berdiri di balik layar.  

“Susah banget sih, Kak!” keluh Bian.  

“Susah, tapi pasti bisa. Ayo coba lagi! Tangannya begini nih!” Syifa membenahi posisi tangan Bian yang kurang diangkat. Kemudian menepuk bahu adiknya itu. Aba-aba untuk ia memulai kembali gerakan yang telah ia contohkan.  

“Aduh!” Shakira terperanjat saat tidak sengaja ia menginjak kakinya sendiri. Membuat tubuhnya hampir terjatuh. Gadis itu menggaruk pelipis. Ini tidak ada gerakan yang lebih sederhana apa ya? Masak dua kakinya saja bisa jadi tidak kompak begitu.  

“Kamu ga pa-pa?” tanya Syifa.  

“Ga pa-pa. Cuma pusing aja, Kak.” Gadis itu terkekeh pelan.  

“Nanti juga ga pusing lagi. Tenang aja! Kan ini baru permulaan.” Syifa mengelus puncak kepala Shakira, bersikap seolah gadis itu adalah adiknya.  

“Udah belum latihannya?” tanya Kala. Ia, Topan dan Susan menyembul dari balik pintu. Mereka baru saja menyelesaikan permasalahan musik yang pada pertemuan pertama masih berantakan.  

“Untuk hari ini segini dulu aja deh!  Kalian latihan sendiri dulu aja nanti. Pertemuan selanjutnya koreonya aku tambah,” ujar Syifa kemudian menjatuhkan diri. Duduk dan membiarkan kaki jenjangnya berselonjor.  

“Ditambah lagi?” tanya Bian dan Shakira secara bersamaan. Bian melirik Shakira sekilas. Mendengus sebal. Sementara Shakira terkikik dalam hati. Memang lucu sekali kalau dipikir-pikir hubungan dirinya dengan Bian. Tidak manis dan hangat, namun juga tidak bisa terpisahkan.  

“Iya dong! Kan yang aku ajarin barusan koreo buat sendiri-sendiri. Nanti ada yang kalian bareng gitu,” ucap Syifa. Kulitnya yang putih berubah merah karena kelelahan.  

Bian mengumpat dalam hati. Penyiksaan ini namanya. Sudah cukup disiksa dengan harus dipasangkan dengan Shakira, masih pula ia harus menghapal gerakan super rumit yang diajarkan Syifa. Sial sekali memang nasibnya.  

Sementara Shakira menanggapinya dengan pasrah. Meskipun harus bekerja keras untuk bisa melakukan gerakan-gerakan itu, mulai dari berputar, melompat, hingga berputar seraya melompat, ia ambil hikmahnya saja. Jadi kan ia bisa dekat-dekat Bian terus.  

“Semangat Bian, Shakira! Nih gue bawain es jeruk!” ujar Susan dengan membawa sebuah nampan berisi enam gelas es jeruk segar. Tadi Kala memang sempat meminta Bi Marni untuk membuatkan para tamunya itu minuman, yang kemudian dengan sukarela diambil oleh Susan dari dapur.

***  

Mereka telah membuat kesepakatan untuk berlatih dua kali sehari. Selain karena jadwal kuliah Syifa yang sangat padat, juga karena ia tidak ingin membebani keempat remaja itu. Ia pernah jadi mereka, dan rasanya sangat tidak menyenangkan kalau tenaganya dikuras habis-habisan. Mereka juga butuh waktu untuk bermain.  

Hari ini merupakan latihan kedua. Tidak seperti biasanya, Syifa sudah selesai dengan urusan kuliahnya sejak setengah jam yang lalu. Namun ia masih belum bisa pergi karena Kala masih tertahan di ruang kuliahnya. Harus mengikuti satu lagi mata kuliah sebelum jadwal hari ini berakhir.  

Seperti permintaan Kala, Syifa akhirnya menunggu di kantin kampus pemuda itu. Kali pertama ia menjejakan kakinya di sana. Ia duduk di salah satu bangku. Memesan es teh manis seraya menunggu.  

“Lo pacarnya Kala, kan?”  

Syifa hampir saja tersedak ketika pertanyaan itu dilontarkan oleh seorang gadis yang tiba-tiba muncul di hadapannya. Ia mendongak. Mengamati wajah sang gadis yang rasanya sudah tidak asing lagi untuknya.  

“Jane, lo ngapain Syifa?”  

Pertanyaan Gilang akhirnya membuat Syifa mengangguk. Ia ingat gadis itu. Jane. Si pemilik party yang malam itu dibuat patah hati oleh pengakuan palsu bahwa Kala dan Syifa adalah sepasang kekasih.  

“Ga ngapa-ngapain. Nanya aja. Fakultas apa?” tanya Jane dengan nada mengintimidasi, meskipun sebenarnya tidak mempan untuk Syifa. Gadis itu menatap balik Jane dengan sangat yakin tanpa gentar sedikit pun.  

“Kedokteran.”  

“Oh, Kala butuh lo sih emang. Udah sakit dia. Ga waras. Masak dia nolak gue dan malah sama lo,” desis Jane. Gadis dalam balutan blouse tanpa lengan dan celana jeans yang di beberapa bagian robek itu tersenyum miring. Berpikir bahwa ia bisa membuat Syifa terancam.  

“Lo apa-apaan sih? Ribet amat hidup lo! Kalau udah ditolak, ya udah. Ga usah ganggu Kala lagi!” ujar Gilang. Merasa perlu untuk membela Syifa.  

Jane mengedikkan bahu. Ia lalu melengos pergi. Rambutnya berkibar layaknya sedang mengiklankan produk sampo.  

“Lo ga pa-pa?” tanya Gilang.  

“Masak gue apa-apa cuma karena diomongin begitu?” cibir Syifa. Ucapan Jane sih tidak ada apa-apanya. Mungkin hanya sekuku jari dengan perlakuan perempuan-perempuan di fakultasnya yang selalu menatapnya penuh curiga setiap kali ia bersama Kala. Seakan Kala sudah diguna-guna olehnya.  

“Oke deh! Gue temenin lo dulu ya sampai Kala datang. Nanti takutnya ada yang nyerang lagi kayak Jane.” Pemuda itu duduk di bagian lain meja, bersebrangan dengan Syifa.  

“Banyak yang suka ya sama Kala?” tiba-tiba pertanyaan itu meluncur dari mulut Syifa. Hal yang ingin ditanyakannya pada orang terdekat Kala sejak lama, meskipun tanpa sadar sekarang Syifalah yang paling dekat dengan pemuda itu. Ia tidak mau mendengarnya dari Alin atau teman-temannya yang lain. Bukan tidak percaya, namun rasanya kurang sahih saja.  

“Banyak. Jane salah satunya.”  

“Katanya, Kala itu playboy.” Syifa menggigit bibir. Entah sejak kapan ia risau dengan predikat playboy yang tersemat untuk Kala. Cemas sekali bahwa Kala datang padanya tanpa maksud lain selain untuk menambah koleksi korbannya. Meskipun selama ini pemuda itu tidak pernah terlihat mempermainkannya.  

“Fa, orang-orang yang bilang Kala playboy itu karena mereka ga tahu. Yang mereka tahu Kala dekat sama banyak perempuan. Tapi Kala ga pernah punya hubungan apa-apa. Yang salah kalau mereka sakit hati siapa coba? Kala ga pernah minta mereka dekat-dekat. Mereka yang datang sendiri. Tapi sama lo, dia usaha keras supaya bisa dekat sama lo. Karena lo, dia tolak cewek-cewek kayak Jane itu,” jelas Gilang. “Lo ga usah khawatir. Percaya sama gue, dia ga bakal pergi.”  

Syifa mengerenyit. “Kenapa?”  

“Lo masih tanya kenapa? Ya karena dia-“  

“Syifa, sorry! Nunggu lama ya?” Kala datang dengan terengah-engah. Setelah menyelesaikan kuliahnya tadi, Kala memang langsung meluncur ke kantin. Tak sempat menutup risleting ranselnya. Ia tidak ingin membuat Syifa menunggu terlalu lama.  

“Enggak, kok!” sahut Syifa.  

“Ya udah, yuk! Kila sama yang lain pasti udah nungguin kita,” ujar Kala lantas melirik Gilang. “Thanks ya bro udah nemenin Syifa!”  

Gilang hanya tersenyum. Kemudian mempersilakan Kala dan Syifa untuk segera pergi.  

"Orang-orang tahunya kita pacaran ya?" tanya Syifa sesaat setelah ia naik ke atas motor Kala. Membuat pemuda itu sejenak menunda untuk menstarter motornya.

“Ga pa-pa, kan? Gue bilang kalau lo pacar gue ke semua orang. Ya kecuali Gilang, Gery sama Danny."

"Kenapa?" tanya Syifa polos.

Kepolosan Syifa itulah yang membuat Kala selalu ragu untuk melangkah. Isyarat-isyarat yang ia berikan tak cukup untuk membuat Syifa menyadari bahwa Kala begitu tergila-gila pada gadis itu.

"Karena gue mau," jawab Kala, sejujur-jujurnya. Kalau ia katakan pada orang-orang bahwa dirinya dan Syifa berpacaran, memang begitulah yang ia inginkan. Bukan semata-mata mengerjai mereka. Sebab Kala tidak mau gadis-gadis itu datang padanya. Satu orang Syifa sudah lebih dari cukup untuknya.

Namun Syifa bersikap seperti tidak pernah terjadi apa-apa, seakan tidak memahami segala bentuk perhatian yang diberikan. Mungkin di mata Syifa, Kala tidak lebih istimewa dari sekadar teman mengobrol sekaligus orang yang bersedia mengantarkan ke mana saja. Dan tukang ojek online juga bisa melakukan hal itu, bahkan tidak perlu untuk menunggu.

Menunggu. Kala mungkin tidak tahu bahwa Syifa tidak terbiasa menunggu. Ia adalah manusia yang dinamis. Ia tidak terbiasa menghabiskan waktu untuk menunggu. Harus ada yang ia lakukan. Sementara sejak mengenal Kala, Syifa jadi terbiasa berdiam diri tanpa melakukan apa-apa hingga kemudian pemuda itu muncul menjemputnya.

"Oh. Oke. Yuk jalan!" Syifa menepuk bahu Kala dan lagi-lagi membuat harapan pemuda itu patah. Syifa masih belum memahami satu lagi anak panah yang ia lesatkan dari busur hatinya.

Kala menghidupkan mesin motor, menginjak pedal gigi untuk kemudian menancap gas dan membuat motornya melaju.

Refleks Syifa meletakkan tangannya di pinggang Kala. Sekarang, tangan itu ada di sana untuk memastikan bahwa Kala tidak akan ke mana-mana, seperti apa yang Gilang katakan. Sebab sejak hari itu, segalanya tidak lagi sama.

***  

“Ini harus ya Kak pegang-pegangan gini?” protes Bian saat Syifa mencontohkan gerakan di mana dirinya harus meletakkan satu tangan di pinggang Shakira, dan tangan lainnya memegang payung, kemudian mengikuti gerakan gadis itu lagi.  

“Ya ga pa-pa dong! Namanya juga seni. Coba sekarang Kakak mau lihat kalian,” ujar Syifa, menarik lengan Bian untuk bangkit dari posisinya yang tengah terduduk di lantai.  

Dengan malas, Bian berdiri. Atas intruksi Syifa, ia pun menyimpan tangannya di pinggang Shakira, lalu tangan yang lain ia angkat, berpura-pura memegang payung. Dan ia pun mengikuti ke mana pun Shakira bergerak. Ke depan, belakang, kiri, kanan, berputar. Sebaliknya, Shakira meletakkan tangannya di bahu Bian, kemudian bergerak dengan begitu lincah. Terbang seperti kupu-kupu.  

“Aduh!” Shakira mengaduh saat tidak sengaja kakinya terinjak oleh kaki Bian. “Sakit tahu!” gadis itu memukul lengan Bian.  

“Ih, kan ga sengaja!” tukas Bian seraya mengulum bibir. Habis, siapa suruh coba bergeraknya terlalu cepat? Bian kan belum hapal gerakannya.  

Sementara itu, Syifa terkikik geli. Gemas sekali melihat Bian dan Shakira bertengkar seperti itu.  

“Kalian latihan terus ya, sampai bisa pokoknya!” ucap Syifa kemudian melipir ke sofa di mana ada Kala, Topan dan Susan di sana, tengah berlatih melagukan puisi.  

“Ga usah manja deh! Ayo buru latihan lagi!” Bian menarik pinggang Shakira. Membawa gadis itu lebih dekat dengannya. Yang tanpa sadar membuat dada sang gadis berdebar.  

Mereka kembali menari, berdansa. Mengayunkan kaki dan tangan. Berputar, melompat, berlari, saling menangkap. Bian dan Shakira, meski selalu berdebat, namun sebagai sepasang partner menari, mereka begitu kompak.

***

Puisi Kala Itu (part 6)


Syifa melongok melalui celah pintu kamar Bian yang sedikit terbuka. Ia mendapati Bian tengah berkutat dengan ponselnya. Perlahan, Syifa mendorong pintu itu. Menimbulkan bunyi berdecit yang membuat Bian mendongak. Mengubah posisinya yang tengah terlentang menjadi duduk.  

“Kak Syifa? Ada apa?” tanya Bian. Ponsel di tangannya berkedip. Shakira tak kunjung berhenti meneror.  

Syifa berjalan masuk seraya tersenyum, duduk di samping Bian. “Mau?”  

Bian membelalak ketika melihat apa yang dibawa oleh Syifa. Macaron. Dua rasa coklat, dua rasa blueberry. Tanpa basa-basi, Bian langsung mengambil satu. Coklat terlebih dahulu.  

“Shakira. Kamu makin dekat ya sama dia? Udah lama ih Kak Syifa ga dengar kamu cerita tentang Shakira,” ucap Syifa sejurus setelah ia membaca sebuah nama yang tertera di layar ponsel Bian. Gadis itu tersenyum dengan tatapan menerawang. Mengingat bahwa dulu Bian sering sekali mengadu pada Syifa bahwa ia merasa terganggu dengan kehadiran gadis bernama Shakira, namun tak sampai hati untuk mengusirnya jauh-jauh.  

“Apa sih Kak Syifa? Aku ga dekat sama dia. Ga sengaja aja dekat. Ih sebal deh! Aku selalu satu kelompok sama dia. Ini kita lagi ngomongin tugas kelompok seni budaya,” celoteh Bian seraya mengunyah macaron yang kedua.  

“Kalau dekat terus, nanti suka tahu!” ujar Syifa, gemar sekali menggoda adiknya.  

Bian terenyak. Kalau dekat terus, nanti suka. Ia mencerna ucapan Syifa itu, yang seakan berlaku juga untuk kasusnya. Sepuluh tahun selalu bersama dan sangat dekat, diam-diam memunculkan perasaan suka yang belum berani ia buka.  

“Kak, mau bantuin aku ga?” tanya Bian. Lamunannya buyar ketika ponselnya berdering akibat pesan dari Shakira yang kembali ia terima.  

“Bantuin apa?”  

“Mau ga jadi pelatih tari buat aku sama Shakira? Jadi, tugas seni budaya tuh kita disuruh menampilkan sesuatu gitu. Nah, kelompok aku udah sepakat mau mengkolaborasikan puisi, musik sama tari. Aku kebagian tari sama Shakira,” jelas Bian. Agak malas menyebutkan nama Shakira.  

Syifa menggigit bibir, berpikir. Menari? Sudah hampir tiga tahun ia berhenti menari. Padahal waktu kecil ia pernah bercita-cita menjadi penari, namun dengan lapang dada harus ia kubur cita-cita itu karena kuliah di jurusan kedokteran menyita banyak waktu dan ia tidak suka menjalani sesuatu dengan tidak total. Sekarang, Bian meminta Syifa untuk menjadi seorang pelatih. Memangnya ia masih bisa menari?  

“Kak Syifa mau, kan? Please dong mau ya, Kak!” Bian memelas. Merapatkan kedua telapak tangan, memohon dengan sungguh-sungguh.  

Karena Syifa paling tidak tega melihat orang lain memelas, terlebih itu adalah adiknya sendiri, akhirnya ia mengangguk. Meskipun tidak yakin apakah tubuhnya masih selentur dulu. Masihkah tulang punggungnya kuat untuk diajak meliak-liuk. Kita lihat saja nanti.  

“Asyik!” Bian berseru, kemudian memeluk Syifa erat. “Makasih ya, Kak!”  

Saat itu Bian pun tahu bahwa Syifa masih menjadi miliknya. Lelaki itu, yang lengan kemejanya digulung hingga sesiku, tidak akan bisa merebut Syifa darinya, sampai kapan pun juga.

***  

“Kak Kala kok ga pernah bilang sih kalau Kakak suka puisi?” tanya Shakira seraya membaca sepintas buku-buku puisi yang dimiliki kakak laki-lakinya, Kala. Untuk kali pertama, Kala mengizinkan Shakira mengobrak-abrik lemari kecil di sudut kamar yang berisi buku puisi.  

“Ngapain bilang-bilang? Ga bilang juga kamu tahu, kan? Tukang ngintip!” cibir Kala seraya memetik gitar dengan asal, tidak jelas lagu apa yang tengah ia mainkan.  

“Aku ga akan ngintip kalau Kak Kala cerita sama aku. Lagian sejak kapan sih main rahasia-rahasiaan?” Shakira mengulum bibir. Sebagai adik, ia merasa tersinggung. Masak kesukaan kakaknya saja ia tidak tahu. Makanya ia mengintip dan diam-diam menyelinap masuk ke kamar Kala untuk membongkar rahasia yang tersimpan di dalam lemari kecil itu.  

Kala mengelus puncak kepala Shakira. Ia tidak bermasuk untuk merahasiakan itu dari adiknya. Namun, ia merasa puisi adalah rumah untuk dirinya sendiri, yang bahkan adiknya pun tak ia izinkan untuk masuk. Rumah yang ia bentengi rapat-rapat. Meskipun akhirnya benteng itu runtuh juga hanya oleh seorang perempuan yang menatapnya hangat. Benteng kokoh yang menjulang tinggi itu meleleh seketika.  

“Kamu sendiri gimana sama Bian?” tanya Kala, mengalihkan pembicaraan. Tiba-tiba ia jadi teringat sosok yang selalu Shakira ceritakan dengan berapi-api, yang juga akan datang ke rumah beberapa menit lagi.  

“Ga gimana-gimana. Dia selalu jutek sama aku. Bodo amat! Yang penting dia ga jauhin aku.”  

Ucapan Shakira memberikan pelajaran untuk Kala bahwa ia tidak harus membuat perasaannya pada Syifa rumit. Lihatlah, Shakira! Sesederhana itu saja. Bahwa yang terpenting adalah ia masih bisa berdekatan dengan orang yang ia cinta.  

“Non Kila, itu ada temannya di bawah,” ujar Bi Marni, menyebutkan nama panggilan Shakira di rumah, setelah mengetuk pintu kamar Kala yang dibiarkan terbuka.  

“Oh iya, Bi.” Shakira menyimpan buku-buku puisi Kala ke dalam lemari. Kemudian menepuk bahu Kala. “Nanti Kak Kala ke bawah juga. Bantuin aku pilih puisi yang keren. Aku ga ngerti soalnya.”  

Di ruang tamu sudah menunggu Topan dan Susan. Tadi, mereka berangkat bersama. Kebetulan rumah Susan tidak jauh dari rumah Topan, jadi ia bisa menumpang mobil Topan. Shakira berlari menuruni anak tangga untuk kemudian bergabung dengan mereka.  

Tak lama Bian dan Syifa pun datang. Shakira menatap takjub pada Syifa. Sejak pertama kali bertemu dengan Syifa hampir dua tahun yang lalu, kekagumannya tidak pernah berubah.  

“Makasih ya Kak udah mau bantuin kita!” ujar Shakira.  

Syifa hanya tersenyum. Wajah Shakira mengingatkannya pada seseorang.  

“KAK KALAAA! SINI IH SEMUA UDAH PADA DATANG!”  

Bian, Syifa, Topan dan Susan menutup telinga saat tiba-tiba Shakira berteriak. Syifa mengerenyit. Bian, Topan dan Susan kok tahan ya berteman dengan gadis dengan suara secempreng itu? Kalau Syifa sih sudah meledak kali.  

Syifa kemudian mengerjap saat menyadari sebuah nama yang diteriakan Shakira. Kala. Maksudnya, Kala…  

Seorang pemuda dengan celana pendek dan kaos putih berjalan menyusuri tangga. Tangannya menjinjing gitar dan tangan yang lain memegang sebuah buku. Ia terlihat bersungut-sungut.  

“Kila kamu teriak gitu udah kayak ada rampok aja!” tukas Kala. Matanya menjelajahi ruang tamu yang sudah ramai. Lalu ia baru menyadari keberadaan Syifa di sana. Duduk di samping seorang pemuda yang memasang wajah tidak bersahabat seperti saat pertama kali mereka bertemu beberapa waktu lalu.  

“Loh, Syifa?” Kala terkekeh. Ternyata memang benar ada rampok. Asal tahu saja ya, perempuan dalam balutan blouse berwarna merah muda itu sudah merampok hatinya.  

“Gue baru tahu kalau Shakira itu adik lo,” ujar Syifa. Ia kemudian memandangi wajah adik-kakak itu secara bergantian. Mirip sekali.  

“Gue juga baru tahu kalau Kila temenan sama adik lo!”  

Pertemuan yang sama sekali tidak terduga. Kebetulan? Kala rasa tidak. Seperti yang pernah Syifa katakan, semua hal terjadi karena sebuah alasan. Entah apa, namun ia senang mendapati Syifa di rumahnya.  

“Kalian udah saling kenal?” tanya Shakira, memasang wajah pilon yang sangat lucu.  

“Iyalah! Mereka kan pacaran,” celetuk Bian. Ia merengut. Menjadi semakin malas berhubungan dengan Shakira saat tahu bahwa kakaknya ternyata adalah lelaki itu, yang memakai celana jeans robek saat mengantar Syifa pulang.  

“Pacar? Tuh kan! Kak Kala main rahasia-rahasiaan lagi dari aku!” Shakira meninju bahu Kala. Sebagai adik, lagi-lagi ia tidak dianggap. Meskipun ia tidak bisa memungkiri bahwa kabar itu membuatnya ikut senang. Akhirnya Kala bertemu dengan bidadarinya.  

Kala merengut. Ia meminta penjelasan dari Syifa yang dijawab senyum serta anggukan kepala dari perempuan itu. Isyarat yang akhirnya membuat Kala mengangguk.  

“Hehe. Udah ah kamu jangan ngambek-ngambek!” Kala merangkul Shakira masuk ke dalam ketiaknya. Membuat gadis itu merengut dan berusaha melepaskan diri. Sekali lagi meninju bahu Kala.

 “Bisa dimulai sekarang ga?” Topan tiba-tiba bersuara. Sejak tadi, ia merasa tersingkirkan karena urusan keluarga antara dua pasang kakak-adik itu.  

“Yuk mulai!” ujar Shakira.  

Pekerjaan dimulai dengan pemilihan puisi. Kala merekomendasikan beberapa puisi Sapardi yang ada di buku Hujan Bulan Juni, buku favoritnya karena telah mempertemukan dirinya dengan Syifa.  

“Ini kepanjangan.”  

“Aduh berat! Gue ga ngerti!”  

“Yang lain aja dong, jangan yang ini!”  

“Ini boleh sih, tapi enggak deh!”  

Setelah berunding dan berdebat beberapa menit, mempertimbangkan banyak hal, akhirnya satu puisi pun terpilih sebagai pemenang. Kuhentikan Hujan, puisi yang ditulis Sapardi pada tahun 1980. Tidak ada yang mendebat, termasuk Susan yang sedari tadi mematahkan banyak rekomendari puisi yang diberikan Kala.  

“Kakak baru bisa bikin koreografinya lusa. Harus tahu betul makna puisinya,” ujar Syifa.  

“Ya udah, sekarang kita bahas musiknya aja dulu,” sahut Kala.  

Bian, Syifa dan Shakira yang sama sekali tidak mengerti musik mengamati dari tempatnya, sementara Kala, Topan dan Susan saling berdiskusi tentang aransemen yang akan mereka buat untuk puisi Kuhentikan Hujan itu.  

“Di C tahu.”  

“Eh bukan gitu!”  

“Metiknya jangan cepat-cepat.”  

“Nah gitu!”  

“Haha, kok aneh ya?”  

“Menembus ta-, menembus ta-. Ih gimana sih?”  

“Aduh pusing!”

 “Memaksaku menciptakan bunga-bunga.”  

“Sip!”  

Kala, Topan dan Susan menghembuskan napas berat. Mereka melamparkan diri pada kepala sofa. Sumpah ya, ternyata menciptakan sebuah musik itu rumit sekali. Kala kapok menghina band-band yang muncul di acara musik pagi di televisi itu. Masih mending mereka membuat sebuah karya. Dibanding dirinya yang hanya bisa mengomentari.  

“Mungkin sekarang udahan dulu aja. Kepala gue udah panas nih!” keluh Topan. Meneguk ludah melihat tulisan tangannya di kertas yang teramat berantakan. Coretan di mana-mana.  

“Iya, gue juga pusing. Nanti di rumah gue pelajarin deh!” ungkap Susan. Memegangi kepalanya yang semakin terasa berat saat kembali membaca tulisan Topan yang lebih mirip resep obat.  

“Eh, kita jadi kan jenguk Sofia?” tanya Shakira. Menyebut nama teman sekelas mereka yang sekarang sedang dirawat di rumah sakit karena demam berdarah.  

“Jadi. Sekarang aja yuk!” usul Topan, yang kemudian diangguki oleh tiga temannya yang lain, termasuk Bian, meskipun kalau boleh jujur ia tidak rela membiarkan Syifa bersama Kala berdua saja.  

“Kak Syifa, aku jenguk temanku dulu!” pamit Bian.  

“Kak Kala aku pergi. Tadi aku udah izin kok sama Mama. Bye!" Shakira mencium pipi Kala, kemudian berjalan menyusul teman-temannya yang sudah terlebih dahulu keluar.  

Di ruangan itu, tinggalah Kala dan Syifa berdua. Sejenak mereka terdiam, sampai akhirnya Kala memecahnya dengan sebuah pertanyaan tak terduga.  

“Lo penari?”  

Syifa terkesiap. Ia tersenyum miring, dipaksakan.

“Dulu.”  

“Sekarang?”  

“Calon dokter.”  

“Kenapa ga sambil nari?”  

Syifa bergeming.  

“Oh sibuk ya pasti? Untung lo masih punya waktu buat ketemu gue.”  

“Ih apa coba?” Syifa terkekeh. Sejenak kembali mengingat masa itu, saat setiap hari dirinya bisa menari dan tidak dipusingkan dengan segala masalah perkuliahan. 

“Lapar ga? Gue iya. Makan yuk!” Kala berdiri, mengulurkan tangannya pada Syifa. Kesekian kali ia melakukan itu dan selalu berharap agar Syifa mau meraihnya untuk satu kali saja.  

“Yuk!”  Harap itu pun kembali menguap. Syifa bangkit tanpa bantuan tangan Kala. Ia berjalan mendahului pemuda itu. Seperti biasa, ia seakan-akan tahu di mana letak dapur rumah Kala.  

“Kita lihat Bi Marni masak apa.”

Kala mengangkat tudung saji yang ternyata menyembunyikan nasi serta lauk pauknya, ayam goreng, tempe dan tahu goreng, sambal terasi serta jangan lupa lalapan. Kala tersenyum. Melihat makanan yang ada di atas meja membuat perutnya semakin terasa lapar.  Kala menarik sebuah kursi, mempersilakan Syifa untuk duduk. Namun gadis itu melengos, bergerak ke arah wastafel dan mencuci tangan. Setelah itu barulah ia menjatuhkan tubuhnya di atas kursi yang disediakan Kala.  

“Makan masakan begini tuh enaknya pakai tangan,” ujar Syifa seraya mengambil sebuah piring yang tak lama kemudian telah terisi dengan satu centong nasi, sepotong ayam goreng bagian paha atas, tahu dan tempe, serta satu sendok sambal terasi.  

Kala lalu bergegas menuju wastafel untuk mencuci tangan. Sejurus kemudian ia telah kembali ke meja makan. Duduk di sebrang Syifa dan memindahkan makanan-makanan itu ke dalam piringnya.  

Setelah berdoa dalam hati masing-masing, Kala dan Syifa memulai suapan yang pertama. Kala sebenarnya ragu saat memasukkan makanan itu ke dalam mulut lewat tangannya langsung. Jujur saja, ini kali pertama ia makan tanpa menggunakan sendok. Tapi melihat Syifa yang makan dengan lahap, ia jadi tergoda juga. Dan rasanya memang lebih nikmat makan langsung dengan tangan.  

“Setiap kali gue makan sama lo, nafsu makan gue jadi naik. Abis lihat lo kayak yang enak banget,” ucap Kala.  

“Emang enak.” Syifa mengedikan bahu dan lanjut menghabiskan makanan yang ada di dalam piringnya. Sedari kecil, ia sudah diajari Bunda untuk menghargai semua makanan, terlebih makanan yang akan ia makan, karena mungkin itu adalah jatah makannya yang terakhir. Satu-satunya hal yang tidak pernah dicibir Syifa adalah makanan. Ia selalu bersyukur untuk semua makanannya.

Syifa sudah membersihkan semua makanan yang ada di atas piring, tidak berniat untuk mengambil porsi kedua karena perutnya sudah kenyang, meskipun ayam goreng dan sambal terasi buatan Bi Marni lezat sekali. Gadis itu berjalan menuju wastafel. Mencuci tangannya dengan sabun untuk menghilangkan aroma terasi yang menyengat.  

Kala menyusul Syifa. Pemuda itu membasahi kedua tangannya, mengambil setetes sabun, bilas-bilas sedetik, kemudian membasuhnya lagi dengan air. Ia melakukan hal itu jauh lebih cepat dibanding Syifa. Sontak membuat gadis itu memukul punggung tangan Kala.  

“Cuci tangannya yang benar!” tegur Syifa.  

Kala cuma bisa melongo saat Syifa memelototinya seperti seorang ibu yang memergoki anaknya mencuri mainan. Pemuda itu merengut, menyerahkan kedua tangannya pada Syifa.  

Syifa meraih tangan itu, membawanya ke bawah air keran yang dibiarkan mengalir, lalu meneteskan sabun di sana.  

“Gini nih kalau cuci tangan.”

Syifa mengajari Kala cara mencuci tangan yang baik dan benar, lebih tepatnya mencucikan tangan Kala. Karena sedari tadi Kala hanya diam dan membiarkan tangannya dikuasai oleh Syifa.  

Dimulai dengan membilas bagian telapak, lalu bergerak ke punggung tangan. Telusuri pula bagian sela-sela jari, buku-buku jari dan kemudian gerakan khusus untuk membersihkan ibu jari. Ujung-ujung jari pun harus dibersihkan dengan cara digosok-gosok dengan gerakan memutar di telapak tangan, sebelum terakhir membilasnya di bawah air mengalir.  

Kala tidak sempat memprotes meskipun ia merasa bodoh sekali karena di usianya yang sudah berkepala dua, ia baru tahu cara mencuci tangan yang benar. Bagaimana akan sempat, kalau diam-diam pemuda itu menikmati setiap inci tangannya yang bersentuhan dengan Syifa. Akhirnya tangan itu tak lagi hampa. Samar, ia tersenyum. Meresapi kehangatan yang tiba-tiba menjalari dada. Menyusup hingga jauh sekali ke dalam.  

Sekarang Syifa mengambil beberapa lembar tissue untuk mengeringkan tangan Kala yang kemudian ia pakai juga itu melapisi tangannya saat menutup keran.  

“Nah sekarang tangan lo udah bersih deh! Ga kayak tadi. Apaan cuci tangan cuma sedetik!” Syifa bersungut-sungut. Hal kecil sekaliber cuci tangan sepertinya perlu diajarkan dengan lebih baik pada orang-orang. Banyak penyakit yang bersumber dari tangan. Kalau mencuci tangan saja tidak benar, bagaimana bisa menjaga diri agar tetap sehat? Tanpa sadar, Syifa khawatir bila Kala jatuh sakit hanya karena cara mencuci tangan yang salah.  

Kala tertegun, menunggu momentum yang tepat untuk menggapai kedua tangan itu. Sejurus kemudian kedua tangan yang jemarinya lentik itu sudah berada dalam rengkuhannya. Kala membawanya naik, hingga memudahkan bibirnya untuk mendarat di sana, memberi kecupan hangat. Tak cukup sampai situ, ia baui harum tangan itu yang menguarkan aroma lemon sabun cuci tangan.  

Sebentar. Jantung Syifa kok tiba-tiba berdebar lebih kencang ya? Padahal, ia sedang tidak minum kafein. Ia bahkan bisa mendengar sendiri suara jantungnya saat memompa. Dug dug dug dug. Cepat sekali.  

Saat memandang Kala yang masih menjajah kedua tangannya, Syifa merasakan dadanya sesak. Ia tidak tahu sejak kapan dirinya menahan napas. Tapi selama tangannya bersentuhan dengan Kala, ia yakin bahwa saluran pernapasannya akan terus tercekat.  

Syifa tidak bisa tinggal diam. Bisa-bisa ia mati karena kehabisan oksigen. Gadis itu menarik tangannya. Membuat Kala terkesiap dan memasang wajah menyesal.  

“Maaf, Syifa!” Kala menggaruk tengkuknya.  

Sekarang, Syifa justru merasa bahagia. Ia tidak bisa menahan diri untuk tidak tertawa. Entah sejak kapan pastinya, namun ia pun tahu bahwa Kala diam-diam menyelinap masuk ke hatinya. Menetap di sana.  

Satu hal lagi yang tidak diketahui Syifa, bahwa malaikat itu tengah membayang-bayangi di salah satu sudut hatinya yang gelap. Menunggu waktu yang tepat.

Puisi Kala Itu (part 5)


"Bian!" seru seorang gadis berambut panjang seraya berlari ke arah Bian.

"Apa?" tanya Bian dengan malas. Ia memang kurang suka jika harus berhubungan dengan gadis yang bernama Shakira itu. Dia cerewet sekali. Belum lagi suaranya yang secempreng mercon. Membuat gendang telinganya seakan pecah. Sialnya, entah mengapa banyak hal yang harus ia lalui besama gadis itu, mulai dari teman sekelas, hingga bergabung dalam satu kelompok teater yang sama.

"Gimana tugas kelompok kita? Mau kapan nih mulai dikerjain?"
Bian mendesah samar. Terpaksa menerima nasib bahwa ia dipersatukan dengan Shakira dalam sebuah kelompok, yang itu berarti untuk sebulan ke depan sebelum deadline tugas itu dikumpulkan, ia harus terus berinteraksi dengan gadis itu.

"Kapan dong?" Bian bertanya balik, malas berpikir.

"Pulang sekolah yuk di rumah gue! Tadi gue juga udah bilang Topan sama Susan. Mereka ga ada acara pulang sekolah," ujar Shakira, menyebut dua nama lain yang menjadi anggota kelompok mereka.

"Oke," ucap Bian kemudian melengos melintasi Shakira.

Shakira memutar tubuh, melihat punggung Bian yang perlahan menjauhinya. "Mau ke mana, Bi?" tanya gadis itu.

"Kantin."

"Gue ikutttt!"

Bian tidak menoleh dan hanya memberikan isyarat melalui lambaian tangan. Mau tak mau mengizinkan Shakira untuk ikut bersamanya. Menemaninya menyantap soto ayam kantin favoritnya.

Kata teman-temannya, Bian dan Shakira itu cocok. Wajah Bian tampan, cocok kalau jadi bintang sinetron. Shakira juga cantik, pantas kalau wajahnya muncul di iklan. Banyak yang bilang bahwa mereka serasi kalau menjadi sepasang kekasih.

Sayangnya, Bian selalu mengabaikan saran Topan, penasihat pribadinya (yang bahkan nasihat Topan lebih banyak daripada nasihat orangtua Bian sendiri). Topan bilang, sudah saatnya Bian membuka hati. Mencicipi indahnya cinta. Masa remaja tidak akan terulang dua kali. Jadi, harus dinikmati. Tapi Bian selalu berkilah bahwa hidupnya sudah penuh dengan cinta sejak ia lahir ke dunia. Mama, Papa dan juga seorang kakak perempuan yang teramat menyayanginya. Apalagi yang kurang?

"Beda kali, Bi! Makanya lo pacaran dulu, biar tahu bedanya," ujar Topan.

Bian mencibir. Kalau ia sudah mendapatkan semua keindahan cinta dari keluarganya, untuk apa lagi ia berharap dari orang asing yang belum lama hadir di hidupnya? Untuk saat ini, ia masih merasa cukup dilimpahi cinta. Dan kalaupun ia sudah merasa siap untuk memiliki hubungan cinta dengan seorang perempuan, ia bisa pastikan bukan Shakira orangnya. Sumpah ya! Mau dijodohkan seperti apa pun juga, ia sama sekali tidak memiliki perasaan terhadap gadis itu.

Lain hal dengan Shakira. Melakukan banyak kegiatan bersama Bian ternyata menumbuhkan sebuah perasaan aneh di hatinya. Sebuah rasa yang membuat Shakira ingin terus menerus berada di samping Bian. Melihat profil itu. Mendengar tawa renyah itu. Menikmati rengekan, rajukan, celaan, atau apa pun yang keluar dari mulut itu.

Kata kakaknya, perasaan itu bernama cinta. Shakira terkikik geli. Masak ia jatuh cinta sama Bian? Yang selalu cemberut kalau dibilang bulu matanya lentik seperti perempuan. Yang selalu mengeluh di setiap pelajaran olahraga. Yang selalu membuatnya kesal kalau sedang berbicara tidak didengarkan.

Namun Shakira menikmati perasaan itu. Semuanya. Ia tidak terganggu dengan orang-orang yang berusaha menjodohkannya dengan Bian. Tidak pula menerima. Ia biarkan semuanya mengalir seperti perasaan yang terus menetes setiap kali detik terlewat bersama Bian.

***

"Tembak aja buruan tuh si Syifa!" ujar Danny.

Gilang menyikut lengan Kala. "Noh dengerin si Danny! Buruan! Nanti keburu diambil orang, tahu rasa lo!" Pemuda berambut keriting itu menakut-nakuti.

"Iya. Kalau ditolak, kalian ga akan tahu rasanya!" Kala menangkupkan kepala di atas kertas tugasnya yang masih bersih dan baru diisi dengan nama serta nomor pokok mahasiswa. Pusing memikirkan kelanjutan hubungannya dengan Syifa, membuat ia malas sekali mengerjakan tugas yang diberikan oleh Pak Sandi.

"Aduh! Lo lemah banget sih! Kalau takut ditolak, lo sama Jane aja. Lima juta persen lo ga akan ditolak," ujar Gery.

"Tapi gue yang nolak dia." Kala mengacak rambutnya gemas. "Tahu deh gue pusing ah! Syifa tuh polos banget ceweknya. Gue kode-kode, dia ga ngerti juga. Gue ga tahu gimana perasaan dia ke gue."

"Ya makanya, lo tanya langsung dong. Ga usah kode-kode lah, kayak ABG aja sih!"

Kala tidak menyahuti ucapan Gilang karena ponselnya berdering. Ia membuka pesan yang dikirim oleh Syifa yang tanpa sadar membuat bibirnya mengulas senyum.

"Kala, hari ini pulang bareng ga? Kalau enggak, gue duluan sama Alin. Kalau iya, gue tungguin. Tapi jangan lebih dari 30 menit karena baterai HP gue mau abis dalam waktu 30 menit."

Kala segera membalas pesan dari Syifa.

"BARENG! Sebelum 30 menit, gue udah di sana. Ini bentar lagi gue selesai kok!"

Setelah mengirimkan pesan itu, Kala mengambil bolpoin dan menuliskan apa pun di kertas tugasnya. Segera ia selesaikan sebelum waktu 30 menit yang diberikan Syifa habis. Membuat ketiga sahabatnya mengerenyit bingung. Mengapa Kala jadi tiba-tiba jenius dan begitu lancar saat mengerjakan tugas?

Sepuluh menit berlalu dan kertas polio bergaris itu sudah penuh oleh catatan tangan Kala. Ia meraih ranselnya, kemudian berjalan ke depan kelas untuk menyimpan kertas itu di atas meja. Sekarang, ia bisa langsung menemui Syifa. Gadis cantik tidak boleh dibiarkan terlalu lama menunggu. Pemuda itu melesat secepat angin.

"Ga telat, kan?" tanya Kala dengan napas tersengal sesaat setelah ia menghentikan laju motornya tepat di depan Syifa berdiri.

"Enggak. Kalau telat, gue udah pergi dari sini. Kan seperti yang gue bilang, 30 menit. Masih ada waktu 7 menit," tukas Syifa, melirik arloji yang melingkari pergelangan tangannya.

Kala tersenyum lega. Ia menyerahkan helm pada Syifa.

"Mau antar gue ke Braga dulu ga?" tanya Syifa sembari membenahi posisi helm yang baru saja terpasang di kepalanya.

"Mau!" ujar Kala tanpa berpikir. Ke mana pun Syifa ingin pergi, akan Kala antarkan. Sampai suatu hari Syifa lelah dan hanya butuh dirinya untuk ia jadikan tujuan pulang.

"Makasih ya!"

Syifa segera naik ke atas motor Kala. Tanpa diminta, ia berpegangan pada pinggang Kala. Meskipun tidak melingkar sempurna, namun tetap saja membuat senyum di wajah lelaki itu merekah. Syifa sendiri tidak sadar dengan apa yang ia lakukan. Tangan yang ia daratkan di pinggang Kala tidak berarti apa-apa untuknya.

"Udah siap?" tanya Kala.

Syifa mengangguk. Helmnya terantuk pada helm Kala dan membuat keduanya tertawa.

***

"Gimana kalau kita musikalisasi puisi aja?" celetuk Shakira. Ia mendapat wangsit itu saat tidak sengaja matanya tertumbuk pada potret dirinya dan sang kakak semasa kecil yang terpajang di dinding. Ia ingat bahwa kakak laki-lakinya itu suka sekali puisi, meskipun tidak secara terang-terangan ia menunjukan. Shakira tahu hal itu karena melihat tumpukan buku puisi di kamar kakaknya.

"Puisi? Old school ga sih?" tanya Susan retoris. Ia bukannya meremehkan, namun untuk remaja seusia mereka, jarang sekali ada yang menyukai puisi.

"Tapi boleh juga tuh. Topan juga kan bisa main gitar," ujar Bian. Untuk kali ini ia setuju dengan usul Shakira.

"Gimana, San? Suara lo kan bagus, kalau cuma nyanyi lagu yang udah ada sih biasa. Kita harus bikin yang ga biasa, supaya kita dapat nilai tertinggi dan tampil di acara hari pendidikan nasional bulan depan," kata Topan. Ia tahu sekali bahwa Susan banci tampil dan terobsesi untuk menjadi penyanyi. Semoga dengan mengiming-imingi kesempatan untuk mewakili kelas mereka di acara hardiknas nanti, Susan akan menyetujui ide cemerlang Shakira.

"Boleh sih. Tapi puisi aja? Kayak ga seru gitu!" Susan mengeluh, masih ragu.

"Kalau ditambahin tari gitu gimana?" lagi-lagi Shakira yang menemukan ide. Gadis itu memang paling kreatif di antara semuanya. Hal-hal yang tidak terpikirkan oleh orang kebanyakan justru terlintas di benak gadis itu.

Susan membeliak, tanda antusias. "Boleh! Keren tuh. Puisi, musik dan tari."

"Gue juga setuju!" ujar Bian.

"Ga ada alasan buat gue untuk ga setuju. Gila! Kepikiran aja lu, Sha!" Topan berdecak.

"Oke, jadi semua setuju ya?" Shakira kemudian menulis sesuatu di buku catatannya.

"Kita mulai dari pembagian tugas yuk! Urusan musik sama aransemen itu biar gue aja. Susan nanti bantuin gue. Dia yang nyanyi juga. Nah, Shakira sama Bian bagian tari," ujar Topan.

Bian merengut. Ia menggeleng cepat, lalu memprotes. "Ga mau gue! Apaan sih?"

"Kalian berdua kan ikut teater, udah biasa gerak-gerakin tubuh gitu. Lagian, elo kan ga bisa main alat musik, Bi. Mentok-mentok juga suling. Itu pun karena wajib bisa buat ujian praktik Bahasa Sunda," ujar Topan dengan nada menyindir.

"Ih, teater sama tari tuh beda tahu!" Bian masih belum menyerah. Bukan apa-apa. Kalau pasangannya bukan Shakira sih ia mau saja.

"Tapi kan nanti bisa latihan. Kakak lo bukannya penari kontemporer ya? Minta dia ajarin lo aja," kata Susan.

Bian tertegun mendengar ucapan Susan. Pemuda itu akhirnya mengangguk, menyetujui. Ya sudahlah. Apa boleh buat? Demi memenuhi tugas kelompok dengan bonus bahwa yang mendapat nilai tertinggi akan mewakili kelas untuk bisa tampil di acara hardiknas, ia pun rela harus dipasangkan dengan Shakira. Lagipula, yang nanti akan melatihnya adalah Syifa, kakaknya. Rasanya sudah lama sekali Bian tidak menghabiskan banyak waktu dengan Syifa. Terhitung sejak kakak perempuannya itu memiliki pacar. Bian juga sudah merindukan tarian indah sang Kakak. Sejak disibukkan dengan dunia perkuliahan, Syifa tidak lagi menari.

"Untuk puisinya, biar nanti gue konsultasi sama kakak gue. Dia punya banyak buku puisi, kali aja ada yang cocok. Dia juga ngerti musik. Bisa bantu-bantu kita nanti," ujar Shakira.

"Oke deh!"

***

Syifa mendorong pintu kaca sebuah toko kue di daerah Braga itu hingga menimbulkan suara berdenting. Sementara itu, Kala membuntuti dari belakang.

"Selamat sore! Ada yang bisa saya bantu?" seorang pelayan datang menyambut kedatangan Syifa dan Kala. Perempuan dengan seragam merah muda itu menunduk takzim.

"Iya, saya mau beli macaron," ujar Syifa, menyebutkan nama pastry asal Prancis itu.

"Mari, ke sebelah sini. Ada berbagai rasa yang tersedia. Silakan dipilih!" ujar si pelayan, menunjuk deretan rak kaca yang menampilkan kue mini warna-warni yang bentuknya mirip dengan burger itu.

Syifa mulai menjelajahi rak kaca itu sembari membawa sebuah nampan dan alat capit kue berukuran sedang. Memilih macaron rasa apa yang akan ia bawa pulang.

Sepuluh macaron pertama yang Syifa ambil adalah yang berwarna hijau, rasa greentea, kesukaannya. Dulu sepulang dari sanggar tari, Syifa selalu mampir ke toko ini, membeli beberapa buah penganan yang teksturnya crunchy itu. Ia kemudian akan memakan kue lucu itu di taman tak jauh dari toko, seraya menonton komunitas skateboard dan sepeda BMX yang berlatih di sana setiap sore.

Sudah tiga tahun semenjak dirinya resmi menjadi mahasiswa, Syifa keluar dari sanggar tari. Dan selama itu pula ia tidak pernah datang ke toko ini. Biasanya, kalau sedang ingin makan macaron, ia meminta Pak Tarman untuk membelikannya. Atau kalau tidak, ia memesan di toko kue online, yang sayangnya rasanya tidak seenak macaron yang dijual di toko ini. Tadi saat menunggu Kala, ia sempat membuka sosial media dan melihat temannya mengunggah foto macaron yang membuatnya tergiur. Jadi, ia minta pada Kala untuk mengantarnya kemari.

Syifa menambah jumlah macaron di atas nampan. Ia mengambil beberapa warna lain, coklat, coklat tua, kuning, merah, dan biru. Rasa coklat, kopi, keju, stroberi dan blueberry. Sekarang, di tangannya ada segunung macaron beraneka warna yang cantik sekali. Syifa terkikik. Tidak sabar untuk mencicipi kue-kue itu.

Kala berdeham. Sejak tadi, Syifa seperti tenggelam dengan kue-kue mungil itu. Ia tidak menyadari bahwa Kala ada di sampingnya. Ia baru sadar saat kepalanya mendongak dari rak kaca, hendak pergi ke meja kasir dan ia hampir menabrak Kala.

"Serius banget. Gue dilupain," cibir Kala.

Syifa tertawa menyeringai. "Iya. Gue beneran lupa tahu kalau ada lo," ujar gadis itu ringan.

"Jahat!" Kala mengulum bibir. Oleh macaron yang tak bernyawa saja dirinya kalah.

"Ga jahat. Nanti gue kasih macaron. Gue bayar dulu ya!" Syifa lalu berjalan ke arah kasir. Mengantri di belakang dua orang lain yang telah terlebih dahulu ke sana.

Setelah menunggu sekitar lima menit, Syifa dan Kala akhirnya keluar dari toko itu dengan membawa tiga kotak macaron yang masing-masing berisi 12 buah.

"Kala sini, makan dulu!" Syifa menarik lengan Kala untuk ikut duduk di sebuah bangku panjang yang ada di trotoar. Ia kemudian mengeluarkan satu kotak.

"Buat lo."

Kala kemudian membuka kotak itu. Menyeruaklah dua belas buah macaron beraneka warna. Harumnya menguar membangkitkan selera. Pemuda itu mengambil satu yang berwarna kuning. Jujur, ini kali pertama ia makan kue imut itu. Lamat, ia menggigit si kuning. Tekstur renyah sekaligus lembut di lidah membuat ujung-ujung bibirnya tertarik ke atas. Apalagi ketika krim keju dari si kuning meleleh di mulutnya. Enak sekali.

Syifa turut tersenyum melihat ekspresi Kala. Ia memang suka sekali mengamati wajah orang yang sedang makan. Seperti segala masalah dan beban tersingkirkan.

"Gue ga pernah mau sebenarnya makan macaron. Abis keimutan buat gue. Gue merasa nggak macho aja makan beginian. Tapi gue menyesal. Gila! Enak banget!" umpat Kala. Ia kemudian mengambil macaron yang lain. Kali ini warna merah, rasa stroberi. Yang kemudian ia habiskan hanya dalam sekejap.

Kala baru menyadari bahwa Syifa tidak ikut memakan macaron, sementara dirinya bersemangat sekali melahap kue imut itu. Ia tersenyum menyeringai. Menggaruk tengkuknya salah tingkah.

"Maaf ya! Norak banget gue! Tapi gue kan ga bisa bohong kalau ini enak banget."

Mungkin hanya di hadapan Syifa, Kala berani menunjukan kenorakannya. Dan mungkin juga hanya Syifa yang tidak bergidik jijik melihat Kala makan seperti orang kesetanan. Gadis itu justru tertawa, sesekali melempar guyonan yang berhasil membuat Kala terpingkal.

Untuk saat ini, semuanya terasa cukup untuk Kala. Tidak usah terburu-buru. Bukankah kemajuan saat Syifa minta diantarkan ke suatu tempat selain kampus dan rumah? Tidak perlu ia mendengarkan wanti-wanti sahabatnya untuk segera mengungkapkan perasaannya pada Syifa. Toh, selama ini Syifa tidak pernah dekat dengan lelaki mana pun selain dirinya. Jadi, Kala tidak perlu khawatir. Semua akan ada waktu yang tepat. Kalau bukan saat ini, pasti selalu akan ada nanti.

Masih bisa membuat Syifa tertawa saja sudah lebih dari cukup untuk membuat perasaan itu tetap ada.

***

Puisi Kala Itu (part 4)


Mata-mata itu menatap Syifa dengan berbagai makna. Ada yang menatapnya takjub, ada pula yang memberikan tatapan kesal sekaligus cemburu. Oh ayolah! Syifa tidak melakukan apa pun. Ia hanya makan siang seperti biasa. Nasi, ayam sambal hijau, dan capcay. Tapi tentu saja tatapan itu bukan karena menu makanan Syifa. Pemuda yang sekarang tengah duduk di sebrang Syifalah yang jadi pemicunya.

Kala datang menunaikan apa yang ia ucapkan kemarin. Menemani Syifa makan siang seraya mengobrol.

“Gue udah selesai lho baca buku Hujan Bulan Juni. Keren banget! Meskipun gue ga ngerti sebenarnya,” ujar Syifa.

“Oh ya? Puisi favorit lo apa? Kalau gue-“

“Dalam diriku.”

Kala terkesiap saat Syifa menyela ucapannya. Ia kemudian terkekeh.

“Dan karena hidup itu indah, aku menangis sepuas-puasnya.”

Syifa dan Kala tertawa saat bersama-sama mereka mengucapkan bait terakhir dari puisi berjudul ‘Dalam Diriku’ itu. Tawa yang kental sekali dengan kehangatan. Menjadikan jam istirahat Syifa terasa sekejap mata. Ia mengeluh saat Alin mengajaknya untuk bersegera kembali ke ruang kuliah.

“Nanti pulang bareng gue ya!” ujar Kala.

Syifa sudah tidak lagi membantah. Ia mengangguk seraya tersenyum, lalu berjalan tersaruk mengikuti langkah Alin yang besar-besar.

“Sukses nih bro!” Gery menepuk punggung Kala. Pemuda itu sengaja ikut dengan Kala ke kantin Fakultas Kedokteran. Katanya, mahasiswi kedokteran itu cantik-cantik. Gery datang untuk membuktikannya. Dan Tuhan, kalau tahu ada banyak bidadari, sudah dari dulu ia ke tempat itu. Menikmati kecantikan alami dari perempuan-perempuan berkacamata yang menenteng buku jumbo ke mana-mana.

Kala mendorong bahu Gery pelan. Sukses? Mungkin ya. Karena satu jam yang telah ia lewati bersama Syifa penuh dengan obrolan yang dijeda hanya dengan tawa. Atau mungkin juga tidak. karena satu jam saja belum bisa mengupas tentang pribadi Syifa sesunggunya. Yang ia tahu, Syifa adalah gadis yang menyenangkan. Yang masih bisa membuatnya berdecak kagum meski sebutir nasi menempel di pipinya.

***

Satu minggu berlalu dengan konsisten. Setiap jam istirahat, Kala menemani Syifa makan siang, yang lalu berlanjut dengan obrolan sampai kemudian Alin akan mengingatkan Syifa bahwa sudah saatnya mereka kembali ke ruang kuliah. Sorenya, Kala akan mengantarkan Syifa pulang. Kegiatan berulang yang sama sekali tidak membosankan untuk Kala. Bahkan saat satu juta kali dilakukan lagi pun, euforianya tetap sama. Debaran menggelikan yang ada tiap kali Syifa menatapnya. Rasa hangat di sekujur tubuh saat Syifa menepuk pundaknya. Ia begitu menikmati semuanya.

“Minggu jalan yuk!” ujar Kala. Mencoba sesuatu yang baru. Takutnya Syifa bosan, meskipun kelihatannya tidak sama sekali.
“Ga bisa. Harus ke gereja.”

Kala mengerutkan kening. Gereja? Bukannya Syifa muslim ya? Sebelum bertemu dengannya untuk makan siang bersama, Syifa selalu habis melaksanakan shalat dzuhur di mushala. Tapi kok ke gereja?

“Keluarga gue yang ke gereja. Gue enggak,” ujar Syifa. Semakin membuat Kala bingung. Keyakinan Syifa berbeda dengan keluarganya?

“Nyokap bokap gue udah meninggal waktu gue kecil. Terus gue dititipin sama teman bokap. Keluarga gue yang sekarang,” jelas Syifa. Mengurai lipatan pada dahi Kala.

Kala membulatkan mulut. Kali pertama Syifa membuka topik tentang dirinya, dan Kala sangat terpana. Bagaimana bisa ia tinggal dengan orang-orang yang berbeda dengannya? Ia saja dan Shakira, adik perempuannya sering bertengkar hanya gara-gara beda selera makan. Kala lebih suka ayam goreng, sedangkan Shakira sukanya ayam bakar, pakai kecap, uh sedap.

Toleransi Syifa pastilah sangat tinggi. Terlihat dari ia yang tidak pernah memprotes penampilan Kala yang tidak rapi. Syifa juga tidak pernah mengomentari kebiasan Kala merokok. Sebagai calon dokter, Syifa pasti paham betul bahwa merokok berbahaya bagi tubuh, namun gadis itu tidak pernah melarang Kala untuk merokok. Ia justru menghormati pilihan Kala. Hal itulah yang membuat Kala sadar dan perlahan meninggalkan rokok, meski belum sepenuhnya bisa.

“Jadi kapan dong kita bisa jalan?” tanya Kala.

“Sabtu.”

“Oke.”

“Ya udah, gue balik ke kelas dulu ya! Bye!” Syifa melengos pergi. Meninggalkan harumnya yang masih bisa Kala baui dengan jelas. Membuat pemuda itu tidak bisa sedetik pun berpaling hingga siluet gadis itu benar-benar menghilang.

“Sabtu kan party-nya Jane,” ujar Gery. Diam-diam, ia menguping pembicaraan antara Kala dan Syifa. Hari ini, Anggi, gadis incarannya tidak masuk kuliah. Tidak juga ia berniat mencari gadis lain. Makanya sejak tadi ia diam di belakang Kala. Menyantap semangkuk mie ayam seraya mencuri dengar perbincangan antara Kala dan Syifa.

“Ya udah, gue ajak Syifa ke party-nya Jane aja!” ujar Kala ringan. Satu minggu melakukan pendekatan secara intens, melambungkan kepercayaan dirinya. Syifa pasti bersedia untuk diajak pergi, meskipun ia tidak yakin bahwa Syifa pernah menghadiri sebuah ‘party’.

***

“Kak Syifa mau ke mana?” tanya Bian saat melihat Syifa menuruni anak tangga. Gadis itu terlihat berbeda dengan skinny dress berwarna hitam dan sepatu boots berwarna senada pula.

“Mau tahu aja urusan orang gede!” ujar Syifa. Berusaha untuk menahan ledakan tawa saat melihat Bian mengulum bibir.

“Mau pacaran ya?” tuduh Bian.

Syifa mengangkat bahu. Bunyi ketukan di pintu membuat perhatiannya teralih. Gadis itu berlari untuk membuka pintu.

Kala menatap terpana saat melihat penampakan Syifa di hadapannya. Skinny dress hitam itu sempurna mencetak setiap lekuk tubuh Syifa yang baginya seindah puisi dari surga. Make up tipis andalannya. Serta senyum yang manisnya tiada dua.

“Lo cantik banget!” puji Kala.

“Makasih.”

“Keluarga lo mana? Gue mau izin dulu,” Kala melongok ke dalam. Tak dilihat siapa-siapa selain seorang cowok yang berdiri di dekat sofa.

“Itu adik lo?” tanya Kala.

Syifa mengangguk.

“Iya. Bian namanya.”

“Bian, gue pergi dulu ya sama Kak Syifa!” seru Kala seraya melambaikan tangan. Minta restu pada calon adik ipar.

Bian membuang wajah. Jangan sok manis deh di hadapannya. Dia pikir, Bian akan ikhlas apa kakaknya diculik oleh lelaki yang mencukur janggut saja tidak bersih seperti itu? Enak saja.

“Kenapa dia?” tanya Kala, menyadari bahwa Bian tidak memberikan respon baik terhadap kehadirannya.

“Udah ga usah dipikirin. Dia lagi bête ditinggalin sendirian di rumah. Om Tian sama Tante Viona lagi keluar juga soalnya. Yuk pergi sekarang!”

Syifa menarik lengan Kala pergi. Meninggalkan Bian dengan umpatan-umpatan jahat yang hanya bisa ia pendam sendirian.

***

Syifa tahu party macam apa yang dimaksud oleh Kala. Sebuah acara yang seumur hidup tidak pernah didatanginya. Syifa selalu suka mencoba hal yang baru. Maka ketika Kala mengajaknya untuk menghadiri party itu, ia tidak menolak.

Kala mengulurkan tangannya pada Syifa, menunggu gadis itu untuk menyambutnya. Namun seperti biasa, ia memberikan kejutan yang tak terduga. Gadis itu melangkah masuk mendahului Kala. Sama sekali tidak mengindahkan telapak tangan Kala yang harus berpuas diri tidak menggenggam apa-apa selain udara.

Syifa menghentikan ayunan kakinya sesaat setelah ia masuk. Ia mencoba mencermati tempat itu. Alunan musik yang bergema mengisi setiap sudut ruangan. Orang-orang saling bercengkrama dengan kelompoknya. Gulungan asap rokok berterbangan di mana-mana. Syifa merengut. Tidak yakin ia bisa bertahan di tempat itu hingga acaranya selesai.

“Yuk!” Kala menggamit lengan Syifa. Membuat Syifa mau tak mau harus mengikuti gerakan pemuda itu.

“Kalaaa, gue udah nunggu lo dari tadi!” suara Jane membuat Kala terperanjat. Tanpa permisi, gadis dalam balutan gaun malam tanpa lengan berwarna biru itu menghambur memeluk Kala.

Kala agak risih diperlakukan sedemikian rupa oleh Jane, terlebih karena ada Syifa di sampingnya. Sedangkan Syifa menatap si empunya hajat dengan biasa saja. Tidak terganggu, terlebih cemburu. Gadis itu justru menarik ujung-ujung bibirnya ke atas.

“Happy birthday, Jane!” ujar Kala, seraya melepaskan diri dari Jane. “Betewe, kenalin ini Syifa.”

Syifa mengangguk sembari tersenyum. Hal lumrah yang biasa ia lakukan saat bertemu dengan orang baru.

Jane mengerenyit. “Siapanya elo, Kal?”

“Syifa…” Kala menggigit bibir. Sekilas ia melirik Syifa. Ia berdeham pelan, lalu melanjutkan, “pacar gue.” Dalam hati, Kala berdoa supaya Syifa tidak menyanggahnya.

Sontak Jane membuka mulut. Tak percaya. Silih berganti ia memandangi Kala kemudian gadis yang penampilannya sangat biasa saja itu. Kok bisa Kala pacaran dengan perempuan yang tidak lebih cantik darinya? Jane merengut.

Sedangkan Syifa memasang ekspresi tenang. Sama sekali tidak terkejut dengan apa yang Kala ucapkan. Gadis itu justru tengah menahan diri agar tidak tertawa. Ternyata, Kala sama sepertinya, gemar mengerjai orang. Kala bilang kalau Syifa pacarnya. Yang benar saja?

“Gue ke sana dulu ya!” ujar Kala seraya menunjuk Gery, Gilang dan Danny di sisi lain ruangan. Ia mendesah lega saat Syifa tidak memprotes. Mungkinkah gadis itu mengerti tentang maksud tersirat tentang mengapa ia mengatakan Jane bahwa mereka berdua adalah sepasang kekasih? Atau justru gadis itulah yang memberikan kode pada Kala, bahwa ia pun memiliki perasaan yang sama sehingga tidak perlu untuk membantah? Entahlah.

Kala dan Syifa melangkah dengan saling bergandengan. Meninggalkan Jane yang harus patah hati tepat di hari yang seharusnya membahagiakan. Kalau bukan karena menghormati ratusan tamu yang ia undang, Jane rasanya ingin segera mengakhiri party-nya saat itu juga. Musik itu, tawa itu, ucapan selamat itu, seperti sebuah perayaan untuk kemalangannya malam ini. Kala, lelaki pujaannya lebih memilih gadis yang alisnya tidak simetris.

“Hai, Gery!” sapa Syifa. Ia menyapa terlebih dahulu sebelum Kala, seakan dirinyalah yang telah bersahabat lama dengan Gery.

“Halo, Syifa!” ucap Gery.

“Kok cuma Gery yang disapa?” sindir Danny, yang diangguki oleh Gilang.

“Oh halo! Siapa ya?”

Keempat pemuda itu spontan tertawa mendengar pertanyaan Syifa yang sangat polos. Gadis itu menyapa orang yang belum ia tahu namanya. Malam ini memang pertemuan pertamanya dengan Danny dan Gilang. Kalau Gery sih sudah kenal lama. Kala selalu datang menemuinya di kampus bersama pemuda itu.

“Gue Danny.”

"Gilang."

Seperti orang yang sudah mengenal lama, Syifa pun mengobrol banyak dengan Danny, Gilang dan Gery. Sesekali Kala terlibat. Ikut tertawa saat Danny menggodanya. Mengatakan bahwa setiap hari yang selalu ia ceritakan adalah tentang Syifa.

Dalam hati, Kala mengeluh. Mengapa Syifa dengan mudah akrab dengan siapa saja? Bukan hanya dengannya ternyata. Sepuluh menit yang lalu, Kala berbesar kepala karena mengira bahwa Syifa juga menyukainya karena tidak protes saat dia mengatakan bahwa mereka berpacaran. Kini, melihat Syifa bercanda dengan Danny, Gilang dan Gery membuat Kala menciut hingga sekuku jari. Ternyata, ia tidak seistimewa itu.

Danny, Gilang dan Gery menyadari perubahan sikap Kala. Mereka akhirnya memutuskan untuk pergi, meninggalkan Kala dan Syifa berduaan saja.

“Lo setiap ngenalin cewek ke orang, selalu bilang itu pacar lo ya?” celetuk Syifa.

Kala mengerjap. Ia gelagapan menjawab, “oh tadi ya? Enggak kok! Cuma sama Jane doang! Biar dia berhenti ngejar-ngejar gue.”

“Dia suka sama lo?” tanya Syifa dengan wajah penasaran, bukan ekspresi cemburu seperti yang Kala harapkan.

“Kayaknya sih begitu.”

Syifa mengangguk. Harusnya ia sudah tahu hal itu saat pertama kali melihat Jane. Gadis itu terlihat bahagia bertemu Kala. Tanpa sungkan memeluk pemuda itu. Sayangnya, kebahagiaan itu sirna saat Kala memperkenalkan dirinya pada Jane. Wajah itu berubah murung. Syifa jadi merasa bersalah telah ikut bersekongkol untuk mengerjai Jane.

“Lo marah ya sama gue?” Kala bertanya hati-hati.

“Enggak. Gue biasa aja. Gue juga bilang kalau kita pacaran sama Bian.”

“Oh ya?” hati Kala merekah berbunga.

“Iya. Gue emang suka ngerjain adik gue. Lucu. Hahaha.”

“Ha-ha-ha.” Bunga itu layu sedetik kemudian. Ternyata bagi Syifa, hubungan antara mereka hanyalah lelucon. Sekali lagi, mari tertawa! Ha-ha-ha.

“Aww!” Syifa mengurut kepalanya yang berdenyut. Ia meringis. Hampir jatuh kalau tidak segera ditahan Kala.

“Lo kenapa?” tanya Kala. Khawatir sekali melihat Syifa yang tiba-tiba mengaduh kesakitan.

“Pusing gue! Banyak asap rokok. Sama musiknya ini dari tadi intro semua, ga ada liriknya,” keluh Syifa. Masih memegangi kepala.

Kala menggaruk tengkuknya. Bingung antara harus cemas atas tertawa. Syifa ini polosnya kebangetan. Masak dibilang musiknya intro semua. Kalau sampai terdengar oleh sang DJ di depan sana, bisa-bisa ia diamuk.

“Pulang aja yuk!” ujar Kala. Ternyata kecemasannya terhadap keadaan Syifa sangat besar. Tidak tega melihat gadis itu kesakitan.

“Acaranya kan belum selesai.”

“Ga pa-pa. Yuk! Daripada lo kenapa-napa.”

Anggukan dari Syifa akhirnya menjadi komando untuk Kala memapah Syifa keluar dari tempat itu. Menyelamatkan gadis itu dari musik berisik dan asap rokok yang membuat kepalanya hampir meledak.

“Nih minum dulu biar pusingnya ilang,” ujar Kala seraya menyerahkan sebotol air mineral. Mereka kini sudah berada di dalam mobil.

Syifa meneguk air itu hingga tersisa setengah. Air mineral memang minuman paling enak seluruh dunia. Membuat tubuhnya segar dan kepalanya tidak lagi terasa berat.

“Maaf ya, gue norak banget. Ga bisa dengar musik begitu. Ditambah asap rokok pula.”

“Gue yang harusnya minta maaf udah ajak lo,” ucap Kala dengan menyesal.

“Ih! Jangan minta maaf dong! Gue senang kok!” Syifa tersenyum lebar. Menampilkan deretan gigi yang tersusun rapi. Keadaan gadis itu sudah kembali membaik.

“Kalau lo senang ga?” tanya Syifa.

Kala terkesiap. Ia melirik Syifa yang terlihat bersinar, seperti mutiara. Meskipun sikap Syifa membingungkan, namun tatapan itu kembali meyakinkan, bahwa gadis pemilik aroma kayu manis itu adalah orang yang tepat untuk tetap ia perjuangkan.

“Banget!” ujar Kala. Tersenyum.

***

Puisi Kala Itu (part 3)


Seminggu berlalu dan Syifa tidak pernah menghubungi Kala. Pemuda itu hampir frustasi dibuatnya.

Sebenarnya, kalau Kala mau, ia bisa meminta bantuan Alin untuk mempertemukannya dengan Syifa. Tapi Kala tidak melakukannya. Ia ingin Syifa sendiri yang menghubunginya. Untuk menguji apakah gadis itu memiliki ketertarikan padanya atau tidak. Hari kesekian dan Kala pun tahu bahwa perasaannya bertepuk sebelah tangan. Ia ditarik habis-habisan oleh Syifa. Namun Syifa justru semakin menjauh dari raihannya.

“Lo samperin dia aja kenapa sih?” ujar Gery. Gemas sekali melihat Kala dilanda galau yang kadarnya sudah tidak wajar.

“Ga segampang itu lah! Gue pingin tahu aja, dia suka ga sama gue. Atau minimal penasaran deh!” ujar Kala.

Gilang berdecak. “Lo sih kebiasaan dikejar-kejar sama cewek. Giliran ada yang lo suka, lo malah malas usaha,” cibir cowok berambut keriting itu.

“Atau mau gue yang samperin?” Danny menaik turunkan alisnya, menggoda Kala hingga pemuda itu tersulut dan menoyor kepalanya.

“Yang ada nanti dia sukanya sama lo! Jangan berani-berani lo ya! Awas aja!” ancam Kala. Ia teringat kejadian saat Cindy yang dulu dekat dengannya tiba-tiba malah berpacaran dengan Danny. Meskipun tidak memiliki perasaan apa-apa pada Cindy, tapi Kala tetap sebal juga.

“Kal, gue ga pernah lihat lo sampai sebegininya, ga mungkin lah gue nikung lo! Bisa mati bunuh diri kali lo,” Danny terkikik. Terus menerus menggoda Kala.

“Udahlah, Kal. Samperin aja! Cemen banget sih lo! Sekali-kali ditolak ga pa-pa kali. Ga bosan apa lo nolak cewek mulu? Mau nunggu sampai kapan coba? Sampai nenek lo perawan lagi?” ujar Gery yang disambut dengan ledakan tawa dari Gilang dan Danny.

Sahabat yang kurang ajar memang! Umpat Kala dalam hati. Tapi apa yang dikatakan Gery, Gilang dan Danny ada benarnya. Ia tidak bisa terus menerus menunggu tanpa ada kepastian. Mungkin memang Syifa tidak tertarik padanya. Tapi kan kalau ia tidak pantang menyerah, mungkin gadis itu akan luluh padanya. Atau kalapun tertarik, Syifa tidak akan terang-terangan menunjukkan perasaannya. Gadis itu berbeda dengan gadis-gadis yang selama ini dikenalnya.

Baiklah. Kala menghela napas panjang. Mengumpulkan segunung nyali untuk menemui Syifa sore nanti.

***

“Lo sama Kala gimana?” tanya Alin. Perempuan dalam balutan rok span hitam selutut itu selalu penasaran dengan perkembangan hubungan antara Syifa dan Kala. Seraya mendekap buku berukuran jumbo di dada, ia menyingkirkan sejumput rambut ke belakang telinga.

“Gimana apanya?” Syifa balik bertanya, meskipun sebenarnya ia tahu ke mana arah pembicaraan Alin.

“Ya gimana hubungan lo sama dia?” Alin berdecak seraya memutar bola matanya. Syifa memang agak susah kalau diajak membicarakan masalah ‘hubungan’. Padahal ia begitu jenius ketika diminta menjelaskan perjalanan obat sejak ditelan hingga menimbulkan reaksi.

“Ga gimana-gimana. Terakhir ketemu minggu lalu, dan gue ga pernah berhubungan sama dia lagi. Please deh, Lin! Gue tuh beneran ya ga ada apa-apa sama Kala!” Syifa mengulum bibir. Berjalan tersaruk membuntuti Alin menuju tempat parkir.

“Gue sebenarnya ga masalah kalau lo punya hubungan sekalipun. Apalagi lo belum pernah pacaran. Gue cuma pingin lo hati-hati, Fa!” ujar Alin seraya membuka bagasi mobilnya, menyimpan buku jumbo yang sedari tadi ia dekap dengan sekuat tenaga.

“Gue bisa jaga diri, Lin! Kalau ada yang bakalan sakit hati, gue pastiin bukan gue,” kata Syifa seraya tersenyum.

“Gue berharap juga gitu!”

Alin berjalan memutar. Ia membuka pintu mobilnya sedetik sebelum seseorang berteriak dan berlari menghampiri mereka berdua.

Syifa melirik Alin sekilas, kemudian beralih pada pemuda di hadapannya. Ia mengerutkan dahi. “ada apa?”

“Kok lo ga pernah telepon gue sih?” tanya Kala, bergelut dengan napasnya yang tersengal.

“Ngapain gue telepon lo?” tanya Syifa dengan wajah pilon. Membuat Kala harus menahan tangannya untuk tidak bergerak menjawil pucuk hidung bangir yang menggemaskan itu.

“Lo kan udah save nomor gue,” ujar Kala.

“Ya tapi kan gue ga ada butuh apa-apa sama lo. Jadi ngapain gue telepon lo?”

Kala mengacak rambutnya sendiri gemas. Gadis itu benar-benar polos atau hanya pura-pura sih? Keterlaluan sekali kalau pura-pura. Tapi masak ia tidak mengerti juga dengan maksud Kala. Buat apa coba ia muncul di sana kalau ia tidak suka pada Syifa?

“Ngapain lo ke sini, Kal?” tanya Alin. Mulutnya sudah gatal ingin berbicara.

Kala mengerjap. “ketemu Syifa.” Ia melirik gadis berambut sebahu yang super polos itu.

“Mau apa ketemu sama gue?” tanya Syifa.

“Emang harus ada alasannya?” tanya Kala retoris. Tuh kan! Gadis itu masih belum mengerti.

“Ya harus lah! Everything’s happen for a reason.”

“Tapi gue ga punya alasan apa pun selain mau. Ya pokoknya gue mau aja ketemu sama lo,” tukas Kala. Sumpah ya! Baru kali ini ia dibuat mati gaya oleh seorang mahluk bernama perempuan.

“Terus sekarang kan udah ketemu, mau ngapain lagi?” Syifa belum puas membuat Kala frustasi.

Kala berpikir sejenak. “Mau ngajak lo makan.”

“Udah.”

Sial! Kala merutuk dalam hati. Pemuda itu merasa sangat bodoh sekarang. Otaknya buntu dan sama sekali tidak memiliki ide. Aduh! Ini sih namanya lebih parah daripada ditolak.

“Terus lo mau ngapain?” tanya Syifa lagi. Ia semakin menyudutkan Kala meskipun sesungguhnya ia tidak bermaksud seperti itu.

“Gue mau nganter lo balik,” ucap Kala pada akhirnya. Ide mainstream yang harusnya muncul sedari awal.

“Gue pulang sama Alin.”

Kala langsung melirik Alin. Memberikan kode pada Alin agar ia mendukung dirinya. Gadis itu mengangguk malas.

“Gue lupa nih, Fa. Gue mau ketemu Sony,” ujar Alin. Menjadikan pacarnya sebagai tameng untuk melancarkan rencana Kala. Meskipun jujur ia agak tidak rela jika Syifa harus pulang bersama Kala.

“Oh gitu ya? Ya udah deh! Yuk, Kal balik!” ucap Syifa ringan. Gadis itu kemudian berjalan mendahului Kala. Seakan ia tahu di mana Kala menyimpan motornya.

Kala bergegas menyusul Syifa setelah memberikan seutas senyum tanda terimakasih pada Alin. Langkah kakinya besar-besar supaya dapat segera mensejajarkan dirinya dengan gadis itu.

“Kita langsung pulang?” tanya Kala. Pemuda itu mengendarai motornya dengan teramat pelan. Berharap waktu membekukan dirinya dan Syifa.

“APA?” tanya Syifa dengan agak berteriak. Ia mencondongkan tubuhnya ke depan supaya dapat mendengar ucapan Kala dengan jelas.

“Kita mau langsung pulang?” ulang Kala sekali lagi. Pemuda itu menoleh dan mendapati wajah Syifa di bahunya. Dari sana, ia bisa dengan jelas melihat profil wajah cantik itu. Matanya tenang seperti semilir angin petang.

“Iya lah! Emangnya mau ke mana lagi?”

Kala terkesiap dengan jawaban Syifa yang lagi-lagi membuatnya kehilangan kata. Pemuda itu mendesah samar. Menyerah. Pengalamannya menaklukan banyak perempuan tidak berguna sama sekali ketika ia berhadapan dengan gadis super polos dan to the point seperti Syifa.

Kala memutuskan untuk fokus terhadap jalanan. Ia menambah kecepatan motornya. Meliak-liuk menyalip beberapa mobil. Hingga akhirnya kini mereka sampai di depan sebuah bangunan bertingkat dua bernuansa klasik, rumah Syifa.

“Syifa, kalau gue mau ketemu sama lo lagi, boleh ga? Tapi lo jangan tanya alasannya apa. Pokoknya gue mau ketemu sama lo aja!” ujar Kala. Ia menggigit bibir. Menanti jawaban Syifa yang pasti tidak akan biasa.

Syifa menggaruk pelipis, mengerutkan kening. “Tapi kalau ga ada alasannya, buat apa gitu ketemu sama gue?”

Kala sudah bisa mengira bahwa Syifa tidak akan dengan mudah untuk pasrah. Ia memutar otak. Mencari alasan yang bisa dipakainya berulang kali dan gadis itu tidak akan mempermasalahkan.

“Ngobrol?” Kala sama sekali tidak memiliki ide selain itu. “Gue suka ngobrol sama lo. Lo asyik orangnya.”

Syifa mengangguk cepat. “Boleh.”

Kala berseru tertahan. Senang sekali ketika Syifa mengangguk dan mengizinkan Kala untuk bisa menemuinya kapan saja. Hanya dengan alasan mengobrol. Gila ya! Padahal Kala sudah berpikir sangat keras untuk mencari alasan terbaik. Tapi yang diterima Syifa justru alasan remeh sekaliber ngobrol. Syifa, mengapa kamu ajaib sekali?

“Makasih ya! Ya udah, gue balik dulu. Besok gue ke fakultas lo. Ngobrol sambil makan siang,” ujar Kala. Pemuda itu kemudian pergi, membawa perasaan yang kian hari kian membuncah.

Syifa masih berdiri di sana. Tidak tertinggal apa pun di sana selain fakta bahwa kini ia punya teman mengobrol baru yang menyenangkan. Yang tidak akan membahas baju buatan siapa yang dikenakan Pevita Pearce di acara festival film, tas merk apa yang digunakan Syahrini, atau ketampanan Brooklyn yang sudah menyamai Beckam. Semua kefanaan yang akan hilang seiring dengan waktu. Tapi Kala lain. Ia menyuguhkan topik menarik yang tidak ia dapatkan dari teman-temannya, juga beberapa pemuda yang pernah mendekatinya. Makanya, saat Kala ingin bertemu dengannya untuk mengobrol, dengan senang hati Syifa menerima.

Syifa masih bergeming saat sebuah tangan mendarat di bahunya. Gadis itu mengerjap. “Kamu baru pulang?” tanya Syifa pada adiknya, Bian.

“Yang tadi siapa?” Bian balik bertanya. Ia melongok. Penampakan pemuda yang mengantar kakaknya pulang sudah tidak terlihat. Ia mengerutkan kening. Menunggu jawaban Syifa.
“Kala.”

“Pacar?” tanya Bian dengan nada menyelidik.

Syifa tersenyum penuh arti. Senyum yang bisa diterjemahkan dengan ya atau tidak. Ia melengos masuk ke dalam rumah.

Bian menghentakkan kaki. Ia segera menyusul Syifa.

“Kak, jawab dong! Itu pacar Kak Syifa bukan?”

“Kamu bawel banget sih!” ujar Syifa. Senang sekali membuat Bian merengut dan tenggelam dalam rasa penasaran.

“Parah banget sih, Kak! Awas aja kalau itu beneran pacarnya Kak Syifa! Aku bilang sama Mama nih!” ancam Bian. Cowok yang masih duduk di bangku SMA itu berlari menghampiri Viona yang sedang membaca majalah.

Sementara Syifa mengedikan bahu. Membuntuti Bian seraya terkikik geli.

“Ma, Kak Syifa punya pacar tahu!” ujar Bian. Ia menjulurkan lidah, mengejek Syifa.

Viona membenarkan posisi kacamatanya yang melorot. Melirik Bian yang sudah duduk di samping kanannya, kemudian mengalihkan pandangan pada Syifa yang kini bergerak untuk mengambil posisi di samping kirinya.

“Beneran, Fa?” tanya Viona.

Jawaban dari Syifa masih sama, seutas senyum yang bisa diartikan ya atau tidak.

Viona turut tersenyum, menepuk lengan Bian. “Ga pa-pa dong Kak Syifa punya pacar. Kan dia udah kuliah. Nanti juga kalau Bian udah kuliah, Mama izinin Bian buat punya pacar juga kok!”

Bian terkejut dengan ucapan Viona. Namun yang membuatnya resah adalah fakta bahwa cepat atau lambat, ia memang tidak akan memiliki Syifa sepenuhnya. Gadis itu sudah tumbuh dewasa dan sewajarnya menemukan cinta. Tapi entah mengapa, Bian tidak bisa terima. Ada pedih yang ia rasakan di sudut hatinya yang gelap.

Syifa menjulurkan lidah, balas mengejek Bian. Gadis itu tertawa. Senang sekali mengerjai Bian. Padahal, siapa juga yang pacaran sama Kala. Pemuda itu kan hanya teman mengobrol. Dan tidak ada niatan juga untuk mengubah status itu dengan yang lain. Karena seindah apa pun puisi Kala, masih jauh lebih indah rengekan malaikatnya. Syifa hanya belum menyadarinya.

“Kakak masih mau main sama aku kan meskipun udah punya pacar?” tanya Bian retoris sejurus setelah Viona pergi ke dapur untuk mengambil minum. Lebih dari separuh hidupnya dihabiskan bersama Syifa membuat ia takut sekali kehilangan sosok itu, yang bawel sekali mengajarinya matematika, yang menyebalkan sekali kalau sudah main playstation karena Bian pasti kalah, yang begadang untuk menjaga Bian kalau demam semalaman.

“Kenapa harus ga mau? Kamu itu teman main Kak Syifa yang paling seru!” ujar Syifa seraya mengacak rambut Bian. Membuat cowok itu tersenyum meskipun kini rambutnya sudah awut-awutan. Paling tidak, sekarang ia tahu bahwa meski kakak perempuannya telah bertemu dengan lelaki itu, posisinya tidak akan tergantikan. Selamanya ia akan jadi adik kecilnya.

Bagi Syifa sendiri, Bian sudah ia anggap sebagai malaikat. Membuatnya aman saat orang-orang yang dicintainya pergi meninggalkan. Lelaki mana pun, datang dari kerajaan apa pun, tidak akan mampu menggantikan posisi Bian. Selamanya ia akan jadi malaikatnya.

***