Puisi Kala Itu (part 5)

Rabu, 22 Maret 2017

Puisi Kala Itu (part 5)


"Bian!" seru seorang gadis berambut panjang seraya berlari ke arah Bian.

"Apa?" tanya Bian dengan malas. Ia memang kurang suka jika harus berhubungan dengan gadis yang bernama Shakira itu. Dia cerewet sekali. Belum lagi suaranya yang secempreng mercon. Membuat gendang telinganya seakan pecah. Sialnya, entah mengapa banyak hal yang harus ia lalui besama gadis itu, mulai dari teman sekelas, hingga bergabung dalam satu kelompok teater yang sama.

"Gimana tugas kelompok kita? Mau kapan nih mulai dikerjain?"
Bian mendesah samar. Terpaksa menerima nasib bahwa ia dipersatukan dengan Shakira dalam sebuah kelompok, yang itu berarti untuk sebulan ke depan sebelum deadline tugas itu dikumpulkan, ia harus terus berinteraksi dengan gadis itu.

"Kapan dong?" Bian bertanya balik, malas berpikir.

"Pulang sekolah yuk di rumah gue! Tadi gue juga udah bilang Topan sama Susan. Mereka ga ada acara pulang sekolah," ujar Shakira, menyebut dua nama lain yang menjadi anggota kelompok mereka.

"Oke," ucap Bian kemudian melengos melintasi Shakira.

Shakira memutar tubuh, melihat punggung Bian yang perlahan menjauhinya. "Mau ke mana, Bi?" tanya gadis itu.

"Kantin."

"Gue ikutttt!"

Bian tidak menoleh dan hanya memberikan isyarat melalui lambaian tangan. Mau tak mau mengizinkan Shakira untuk ikut bersamanya. Menemaninya menyantap soto ayam kantin favoritnya.

Kata teman-temannya, Bian dan Shakira itu cocok. Wajah Bian tampan, cocok kalau jadi bintang sinetron. Shakira juga cantik, pantas kalau wajahnya muncul di iklan. Banyak yang bilang bahwa mereka serasi kalau menjadi sepasang kekasih.

Sayangnya, Bian selalu mengabaikan saran Topan, penasihat pribadinya (yang bahkan nasihat Topan lebih banyak daripada nasihat orangtua Bian sendiri). Topan bilang, sudah saatnya Bian membuka hati. Mencicipi indahnya cinta. Masa remaja tidak akan terulang dua kali. Jadi, harus dinikmati. Tapi Bian selalu berkilah bahwa hidupnya sudah penuh dengan cinta sejak ia lahir ke dunia. Mama, Papa dan juga seorang kakak perempuan yang teramat menyayanginya. Apalagi yang kurang?

"Beda kali, Bi! Makanya lo pacaran dulu, biar tahu bedanya," ujar Topan.

Bian mencibir. Kalau ia sudah mendapatkan semua keindahan cinta dari keluarganya, untuk apa lagi ia berharap dari orang asing yang belum lama hadir di hidupnya? Untuk saat ini, ia masih merasa cukup dilimpahi cinta. Dan kalaupun ia sudah merasa siap untuk memiliki hubungan cinta dengan seorang perempuan, ia bisa pastikan bukan Shakira orangnya. Sumpah ya! Mau dijodohkan seperti apa pun juga, ia sama sekali tidak memiliki perasaan terhadap gadis itu.

Lain hal dengan Shakira. Melakukan banyak kegiatan bersama Bian ternyata menumbuhkan sebuah perasaan aneh di hatinya. Sebuah rasa yang membuat Shakira ingin terus menerus berada di samping Bian. Melihat profil itu. Mendengar tawa renyah itu. Menikmati rengekan, rajukan, celaan, atau apa pun yang keluar dari mulut itu.

Kata kakaknya, perasaan itu bernama cinta. Shakira terkikik geli. Masak ia jatuh cinta sama Bian? Yang selalu cemberut kalau dibilang bulu matanya lentik seperti perempuan. Yang selalu mengeluh di setiap pelajaran olahraga. Yang selalu membuatnya kesal kalau sedang berbicara tidak didengarkan.

Namun Shakira menikmati perasaan itu. Semuanya. Ia tidak terganggu dengan orang-orang yang berusaha menjodohkannya dengan Bian. Tidak pula menerima. Ia biarkan semuanya mengalir seperti perasaan yang terus menetes setiap kali detik terlewat bersama Bian.

***

"Tembak aja buruan tuh si Syifa!" ujar Danny.

Gilang menyikut lengan Kala. "Noh dengerin si Danny! Buruan! Nanti keburu diambil orang, tahu rasa lo!" Pemuda berambut keriting itu menakut-nakuti.

"Iya. Kalau ditolak, kalian ga akan tahu rasanya!" Kala menangkupkan kepala di atas kertas tugasnya yang masih bersih dan baru diisi dengan nama serta nomor pokok mahasiswa. Pusing memikirkan kelanjutan hubungannya dengan Syifa, membuat ia malas sekali mengerjakan tugas yang diberikan oleh Pak Sandi.

"Aduh! Lo lemah banget sih! Kalau takut ditolak, lo sama Jane aja. Lima juta persen lo ga akan ditolak," ujar Gery.

"Tapi gue yang nolak dia." Kala mengacak rambutnya gemas. "Tahu deh gue pusing ah! Syifa tuh polos banget ceweknya. Gue kode-kode, dia ga ngerti juga. Gue ga tahu gimana perasaan dia ke gue."

"Ya makanya, lo tanya langsung dong. Ga usah kode-kode lah, kayak ABG aja sih!"

Kala tidak menyahuti ucapan Gilang karena ponselnya berdering. Ia membuka pesan yang dikirim oleh Syifa yang tanpa sadar membuat bibirnya mengulas senyum.

"Kala, hari ini pulang bareng ga? Kalau enggak, gue duluan sama Alin. Kalau iya, gue tungguin. Tapi jangan lebih dari 30 menit karena baterai HP gue mau abis dalam waktu 30 menit."

Kala segera membalas pesan dari Syifa.

"BARENG! Sebelum 30 menit, gue udah di sana. Ini bentar lagi gue selesai kok!"

Setelah mengirimkan pesan itu, Kala mengambil bolpoin dan menuliskan apa pun di kertas tugasnya. Segera ia selesaikan sebelum waktu 30 menit yang diberikan Syifa habis. Membuat ketiga sahabatnya mengerenyit bingung. Mengapa Kala jadi tiba-tiba jenius dan begitu lancar saat mengerjakan tugas?

Sepuluh menit berlalu dan kertas polio bergaris itu sudah penuh oleh catatan tangan Kala. Ia meraih ranselnya, kemudian berjalan ke depan kelas untuk menyimpan kertas itu di atas meja. Sekarang, ia bisa langsung menemui Syifa. Gadis cantik tidak boleh dibiarkan terlalu lama menunggu. Pemuda itu melesat secepat angin.

"Ga telat, kan?" tanya Kala dengan napas tersengal sesaat setelah ia menghentikan laju motornya tepat di depan Syifa berdiri.

"Enggak. Kalau telat, gue udah pergi dari sini. Kan seperti yang gue bilang, 30 menit. Masih ada waktu 7 menit," tukas Syifa, melirik arloji yang melingkari pergelangan tangannya.

Kala tersenyum lega. Ia menyerahkan helm pada Syifa.

"Mau antar gue ke Braga dulu ga?" tanya Syifa sembari membenahi posisi helm yang baru saja terpasang di kepalanya.

"Mau!" ujar Kala tanpa berpikir. Ke mana pun Syifa ingin pergi, akan Kala antarkan. Sampai suatu hari Syifa lelah dan hanya butuh dirinya untuk ia jadikan tujuan pulang.

"Makasih ya!"

Syifa segera naik ke atas motor Kala. Tanpa diminta, ia berpegangan pada pinggang Kala. Meskipun tidak melingkar sempurna, namun tetap saja membuat senyum di wajah lelaki itu merekah. Syifa sendiri tidak sadar dengan apa yang ia lakukan. Tangan yang ia daratkan di pinggang Kala tidak berarti apa-apa untuknya.

"Udah siap?" tanya Kala.

Syifa mengangguk. Helmnya terantuk pada helm Kala dan membuat keduanya tertawa.

***

"Gimana kalau kita musikalisasi puisi aja?" celetuk Shakira. Ia mendapat wangsit itu saat tidak sengaja matanya tertumbuk pada potret dirinya dan sang kakak semasa kecil yang terpajang di dinding. Ia ingat bahwa kakak laki-lakinya itu suka sekali puisi, meskipun tidak secara terang-terangan ia menunjukan. Shakira tahu hal itu karena melihat tumpukan buku puisi di kamar kakaknya.

"Puisi? Old school ga sih?" tanya Susan retoris. Ia bukannya meremehkan, namun untuk remaja seusia mereka, jarang sekali ada yang menyukai puisi.

"Tapi boleh juga tuh. Topan juga kan bisa main gitar," ujar Bian. Untuk kali ini ia setuju dengan usul Shakira.

"Gimana, San? Suara lo kan bagus, kalau cuma nyanyi lagu yang udah ada sih biasa. Kita harus bikin yang ga biasa, supaya kita dapat nilai tertinggi dan tampil di acara hari pendidikan nasional bulan depan," kata Topan. Ia tahu sekali bahwa Susan banci tampil dan terobsesi untuk menjadi penyanyi. Semoga dengan mengiming-imingi kesempatan untuk mewakili kelas mereka di acara hardiknas nanti, Susan akan menyetujui ide cemerlang Shakira.

"Boleh sih. Tapi puisi aja? Kayak ga seru gitu!" Susan mengeluh, masih ragu.

"Kalau ditambahin tari gitu gimana?" lagi-lagi Shakira yang menemukan ide. Gadis itu memang paling kreatif di antara semuanya. Hal-hal yang tidak terpikirkan oleh orang kebanyakan justru terlintas di benak gadis itu.

Susan membeliak, tanda antusias. "Boleh! Keren tuh. Puisi, musik dan tari."

"Gue juga setuju!" ujar Bian.

"Ga ada alasan buat gue untuk ga setuju. Gila! Kepikiran aja lu, Sha!" Topan berdecak.

"Oke, jadi semua setuju ya?" Shakira kemudian menulis sesuatu di buku catatannya.

"Kita mulai dari pembagian tugas yuk! Urusan musik sama aransemen itu biar gue aja. Susan nanti bantuin gue. Dia yang nyanyi juga. Nah, Shakira sama Bian bagian tari," ujar Topan.

Bian merengut. Ia menggeleng cepat, lalu memprotes. "Ga mau gue! Apaan sih?"

"Kalian berdua kan ikut teater, udah biasa gerak-gerakin tubuh gitu. Lagian, elo kan ga bisa main alat musik, Bi. Mentok-mentok juga suling. Itu pun karena wajib bisa buat ujian praktik Bahasa Sunda," ujar Topan dengan nada menyindir.

"Ih, teater sama tari tuh beda tahu!" Bian masih belum menyerah. Bukan apa-apa. Kalau pasangannya bukan Shakira sih ia mau saja.

"Tapi kan nanti bisa latihan. Kakak lo bukannya penari kontemporer ya? Minta dia ajarin lo aja," kata Susan.

Bian tertegun mendengar ucapan Susan. Pemuda itu akhirnya mengangguk, menyetujui. Ya sudahlah. Apa boleh buat? Demi memenuhi tugas kelompok dengan bonus bahwa yang mendapat nilai tertinggi akan mewakili kelas untuk bisa tampil di acara hardiknas, ia pun rela harus dipasangkan dengan Shakira. Lagipula, yang nanti akan melatihnya adalah Syifa, kakaknya. Rasanya sudah lama sekali Bian tidak menghabiskan banyak waktu dengan Syifa. Terhitung sejak kakak perempuannya itu memiliki pacar. Bian juga sudah merindukan tarian indah sang Kakak. Sejak disibukkan dengan dunia perkuliahan, Syifa tidak lagi menari.

"Untuk puisinya, biar nanti gue konsultasi sama kakak gue. Dia punya banyak buku puisi, kali aja ada yang cocok. Dia juga ngerti musik. Bisa bantu-bantu kita nanti," ujar Shakira.

"Oke deh!"

***

Syifa mendorong pintu kaca sebuah toko kue di daerah Braga itu hingga menimbulkan suara berdenting. Sementara itu, Kala membuntuti dari belakang.

"Selamat sore! Ada yang bisa saya bantu?" seorang pelayan datang menyambut kedatangan Syifa dan Kala. Perempuan dengan seragam merah muda itu menunduk takzim.

"Iya, saya mau beli macaron," ujar Syifa, menyebutkan nama pastry asal Prancis itu.

"Mari, ke sebelah sini. Ada berbagai rasa yang tersedia. Silakan dipilih!" ujar si pelayan, menunjuk deretan rak kaca yang menampilkan kue mini warna-warni yang bentuknya mirip dengan burger itu.

Syifa mulai menjelajahi rak kaca itu sembari membawa sebuah nampan dan alat capit kue berukuran sedang. Memilih macaron rasa apa yang akan ia bawa pulang.

Sepuluh macaron pertama yang Syifa ambil adalah yang berwarna hijau, rasa greentea, kesukaannya. Dulu sepulang dari sanggar tari, Syifa selalu mampir ke toko ini, membeli beberapa buah penganan yang teksturnya crunchy itu. Ia kemudian akan memakan kue lucu itu di taman tak jauh dari toko, seraya menonton komunitas skateboard dan sepeda BMX yang berlatih di sana setiap sore.

Sudah tiga tahun semenjak dirinya resmi menjadi mahasiswa, Syifa keluar dari sanggar tari. Dan selama itu pula ia tidak pernah datang ke toko ini. Biasanya, kalau sedang ingin makan macaron, ia meminta Pak Tarman untuk membelikannya. Atau kalau tidak, ia memesan di toko kue online, yang sayangnya rasanya tidak seenak macaron yang dijual di toko ini. Tadi saat menunggu Kala, ia sempat membuka sosial media dan melihat temannya mengunggah foto macaron yang membuatnya tergiur. Jadi, ia minta pada Kala untuk mengantarnya kemari.

Syifa menambah jumlah macaron di atas nampan. Ia mengambil beberapa warna lain, coklat, coklat tua, kuning, merah, dan biru. Rasa coklat, kopi, keju, stroberi dan blueberry. Sekarang, di tangannya ada segunung macaron beraneka warna yang cantik sekali. Syifa terkikik. Tidak sabar untuk mencicipi kue-kue itu.

Kala berdeham. Sejak tadi, Syifa seperti tenggelam dengan kue-kue mungil itu. Ia tidak menyadari bahwa Kala ada di sampingnya. Ia baru sadar saat kepalanya mendongak dari rak kaca, hendak pergi ke meja kasir dan ia hampir menabrak Kala.

"Serius banget. Gue dilupain," cibir Kala.

Syifa tertawa menyeringai. "Iya. Gue beneran lupa tahu kalau ada lo," ujar gadis itu ringan.

"Jahat!" Kala mengulum bibir. Oleh macaron yang tak bernyawa saja dirinya kalah.

"Ga jahat. Nanti gue kasih macaron. Gue bayar dulu ya!" Syifa lalu berjalan ke arah kasir. Mengantri di belakang dua orang lain yang telah terlebih dahulu ke sana.

Setelah menunggu sekitar lima menit, Syifa dan Kala akhirnya keluar dari toko itu dengan membawa tiga kotak macaron yang masing-masing berisi 12 buah.

"Kala sini, makan dulu!" Syifa menarik lengan Kala untuk ikut duduk di sebuah bangku panjang yang ada di trotoar. Ia kemudian mengeluarkan satu kotak.

"Buat lo."

Kala kemudian membuka kotak itu. Menyeruaklah dua belas buah macaron beraneka warna. Harumnya menguar membangkitkan selera. Pemuda itu mengambil satu yang berwarna kuning. Jujur, ini kali pertama ia makan kue imut itu. Lamat, ia menggigit si kuning. Tekstur renyah sekaligus lembut di lidah membuat ujung-ujung bibirnya tertarik ke atas. Apalagi ketika krim keju dari si kuning meleleh di mulutnya. Enak sekali.

Syifa turut tersenyum melihat ekspresi Kala. Ia memang suka sekali mengamati wajah orang yang sedang makan. Seperti segala masalah dan beban tersingkirkan.

"Gue ga pernah mau sebenarnya makan macaron. Abis keimutan buat gue. Gue merasa nggak macho aja makan beginian. Tapi gue menyesal. Gila! Enak banget!" umpat Kala. Ia kemudian mengambil macaron yang lain. Kali ini warna merah, rasa stroberi. Yang kemudian ia habiskan hanya dalam sekejap.

Kala baru menyadari bahwa Syifa tidak ikut memakan macaron, sementara dirinya bersemangat sekali melahap kue imut itu. Ia tersenyum menyeringai. Menggaruk tengkuknya salah tingkah.

"Maaf ya! Norak banget gue! Tapi gue kan ga bisa bohong kalau ini enak banget."

Mungkin hanya di hadapan Syifa, Kala berani menunjukan kenorakannya. Dan mungkin juga hanya Syifa yang tidak bergidik jijik melihat Kala makan seperti orang kesetanan. Gadis itu justru tertawa, sesekali melempar guyonan yang berhasil membuat Kala terpingkal.

Untuk saat ini, semuanya terasa cukup untuk Kala. Tidak usah terburu-buru. Bukankah kemajuan saat Syifa minta diantarkan ke suatu tempat selain kampus dan rumah? Tidak perlu ia mendengarkan wanti-wanti sahabatnya untuk segera mengungkapkan perasaannya pada Syifa. Toh, selama ini Syifa tidak pernah dekat dengan lelaki mana pun selain dirinya. Jadi, Kala tidak perlu khawatir. Semua akan ada waktu yang tepat. Kalau bukan saat ini, pasti selalu akan ada nanti.

Masih bisa membuat Syifa tertawa saja sudah lebih dari cukup untuk membuat perasaan itu tetap ada.

***

0 Komentar :

Posting Komentar

Komentari