Mama Gabriel mengetuk pintu itu. Setelah kata
‘masuk’ samar terdengar dari dalam kamar, Mama memutar kenop pintu dan
membukanya. Ify langsung disuguhkan pada sebuah ruangan bercat biru yang sangat
rapi dan tertata. Namun tak ada siapa pun di sana. Empunya suara pun entah di
mana. Lalu siapa yang tadi bersuara? Jangan-jangan mahluk halus. Kalau Gabriel
kan mahluk kasar. Ify terkekeh sendiri.
“Ify masuk aja. Gabriel pasti lagi di balkon.” Mama
menunjuk sebuah pintu penghubung kamar dengan balkon yang setengah terbuka. Ify
mengangguk mengerti. Mama melengos undur diri.
Ify melangkah perlahan-lahan. Kedua matanya
mengerjap-ngerjap. Mengamati setiap benda yang ada di kamar itu. Ify mendapati
selimut, bantal serta guling bergambar dinosaurus. Lalu ia melirik meja
belajar. Ify mendesah. Untung saja di sana tidak ada benda yang berbau
dinosaurus. Kalau sampai didapatinya benda-benda itu di sana, Ify bisa saja
mengira bahwa kamar Gabriel adalah museum dinosaurus.
Namun Ify harus meneguk ludah. Ketika ia melihat sebuah
rak yang cukup besar yang terdapat di samping meja belajar. Di dalamnya diisi
berbagai macam pernak-pernik dinosaurus., kebanyakan boneka. Ify menahan
kuat-kuat tangannya untuk tidak bergerak meraih salah satu dari boneka-boneka
menggemaskan itu. Ia tidak mau membuat Gabriel marah lagi. Maka ia mengabaikan
boneka itu. Melanjutkan langkahnya kembali menuju balkon. Mungkin nanti, kalau
Ify memintanya langsung pada Gabriel, ia bisa memiliki salah satu dari boneka
itu. Bukan mencurinya seperti kemarin.
Benar kata Mama. Gabriel memang di sana. Berdiri di
dekat pagar pembatas. Entah tengah melamunkan apa. Ify agak ragu untuk meminta
maaf atas kesalahan yang telah diperbuatnya. Ia takut Gabriel akan marah lagi.
Namun seketika, Ify kembali memantapkan niatnya ketika ia menatap punggung
Gabriel yang nampak murung. Ia yakin, Gabriel pasti punya alasan mengapa ia
bersikap kasar kepadanya. Bukan hanya semata-mata ia meneladani idolanya;
dinosaurus. Mungkin Gabriel punya masalah. Dan mungkin, Ify bisa membantu
menyelesaikannya. Ya, ia pasti bisa. Karena pada hakikatnya, untuk itulah Ify
dikirimkan Tuhan pada kehidupan pemuda nelangsa itu. Agar ia tak lagi melakukan
hal yang sia-sia. Menunggu masa lalu.
“G-Gabriel…” seru Ify tertahan. Bergerak
lamat-lamat menuju pagar pembatas. Berdiri di samping Gabriel.
Pemuda itu terhenyak. Suara lembut yang baru saja
menggelitik telinganya membuyarkan seluruh lamunannya. Gabriel menoleh.
Mendapati Ify mengerjapkan mata padanya. Wajah polosnya sangat kentara. Pemuda
masih menangkap robekan luka yang masih tertera di sana. Hatinya mencelos.
Tanpa diminta, bayangan gadis plester yang sedari tadi menjejali benaknya enyah
seketika. Tergantikan ulasan senyum dari gadis di hadapannya. Baru kali ini ia
menatap lekat-lekat wajah lugu itu. Dan ia baru sadar, bahwa gadis di
hadapannya memiliki senyum yang sangat manis. Mempesona.
“Gabriel…” Ify berseru lagi.
Gabriel terkesiap. Membuang pandangannya kembali ke
depan. Apa yang telah dilakukannya? Diam-diam ia merutuki dirinya sendiri
karena telah terpesona pada siluet gadis itu. Sebisa mungkin, ia tak akan
mengulangi hal yang sama.
Wajah Gabriel tiba-tiba memerah. Ketar-ketir
setengah mati ia menutupinya. “Apa? Ngapain lo di sini?” tanya Gabriel dengan
nada sedater mungkin. Berusaha menutupi kegelisahan yang merayapi hatinya, entah karena apa.Top
of For
“Aku…” Ify menghela nafas. “Aku mau minta maaf.
Maaf udah nyuri plester kamu. Aku ga tahu kalau plester itu berharga banget
buat kamu.” Ify menunduk dalam.
Gabriel berdecak. Setelah ia menenangkan diri di
balkon selama lebih dari satu jam, emosinya perlahan teredam. “Makanya, jangan
sok tahu!” ujar Gabriel dengan nada masih terdengar datar. Namun kali ini,
terkesan dipaksakan.
“Jadi?” Ify menggoyang-goyangkan lengan Gabriel.
Empunya lengan mendelik pada Ify. Ify langsung
melepaskan tangannya dari lengan Gabriel. Nyengir seraya bercicit ‘maaf’.
Gabriel kembali memandang lurus ke depan. “Udah gue
maafin. Sekarang, lo bisa pergi.” ujar Gabriel. Tersirat ketidaksukaannya
terhadap kehadiran Ify. Bukan. Ia bukan tidak suka pada Ify. Ia hanya teringat
akan ucapan Oik. Kalau ia sampai menyukai Ify, semua penantiannya selama ini
akan kacau. Dan ia juga pasti akan menyakiti gadis plesternya. Karena tidak
bisa dipungkiri, bahwa dengan ia bersama gadis itu dalam waktu yang lama, akan
membuatnya perlahan menyukai gadis itu. Ia tidak mau dan tidak boleh menyukai
Ify. Walau ia tahu, rasa itu tak pernah bisa ditepis. Sehebat apa pun ia.
“Tunggu.” Ify mengeluarkan sesuatu dari dalam
tasnya. Lantas menyerahkannya pada Gabriel.
Gabriel melirik benda tersebut. Lantas berpaling
memicingkan mata pada Ify. Apa? Ia menatap bertanya.
“Plester. Aku tahu, sebanyak apa pun plester yang
aku kasih ke kamu, itu ga akan cukup. Tapi tolong! Biarin aku membayar
kesalahan aku. Meskipun aku ga akan bisa melunasinya.” Ify meraih tangan
Gabriel. Meletakkan sekantong plester itu pada telapak tangan Gabriel yang
telah dipaksanya untuk terbuka. “Kamu terima ya!” ujar Ify memelas.
Gabriel tidak bisa berbuat apa-apa. Dengan
terpaksa, ia menerima plester tersebut. Kembali membuang muka setelah bergumam
‘terimakasih’ pelan. “Sekarang, lo pergi!” Gabriel tetap tidak menghendaki
kehadiran Ify.
“Tunggu! A…” Baru saja Ify membuka mulutnya,
Gabriel menyela.
“Apa lagi sih lo?” kata Gabriel dengan agak
membentak. Membuat Ify terhenyak.
Tubuhnya gemetar ketakutan.
Pemuda itu mendesah. Lupa. Seharusnya ia tidak
boleh bersikap kasar lagi pada gadis polos itu. Peraturan itu dibuatnya
sendiri.. “Maaf! Ada apa?” tanya Gabriel. Kali ini nadanya mulai melemah.
Wajah Ify berubah seketika. Matanya yang tak
berhenti mengerjap berbinar ceria. Terburu ia merogoh tasnya. Mengeluarkan beberapa
buku bersampul coklat miliknya. “Banyak PR buat besok. Mau nyalin?”
Gabriel berdecak. Mengapa dalam keadaan seperti ini
saja, Ify masih memikirkan hal kecil seperti PR. Pantas saja ia pintar. “Ayo!”
Gabriel menarik lengan Ify ke kamarnya.
Gabriel tidak ingin kalah oleh Ify. Maka dari itu,
ia menyalin semua PR lengkap dengan catatan dari mata pelajaran yang
ditinggalkannya tadi. Ia memilih mengerjakannya di atas karpet. Agar terkesan
santai. Sementara itu, Ify duduk bersila di samping Gabriel.
Sesekali, Ify memberikan penjelasan tentang materi
yang belum dimengerti oleh Gabriel. Gabriel mengangguk mengerti. Sepertinya
mereka cocok untuk menjadi sepasang sahabat. Atau lebih mungkin. Seperti…
kekasih?
Gabriel terkesiap ketika ia tertangkap basah sedang
menatap lekat-lekat profil wajah Ify. Sedangkan Ify hanya tertawa menyeringai.
Melanjutkan kembali penjelasannya.
Nampaknya memandangi wajah Ify menjadi sesuatu yang
menyenangkan. Karena setelah Ify memergokinya melakukan hal itu pun, Gabriel
tidak jera. Kini ia melakukannya kembali. Tanpa sadar, ia menciptakan seulas
senyum di wajahnya. Entah karena dan untuk apa. Diam-diam, rasa yang
dihindarinya berbalik memburunya.
Dan ketika itu, Gabriel kembali menemukan bekas
luka cakaran pada wajah Ify. Cakaran tangannya. Hatinya mencelos seketika. Rasa
bersalah merayapi dinding hatinya. Ia juga merasa malu. Ify saja yang
sebenarnya kesalahannya hanya sebesar biji sawi, berusaha untuk membayarnya.
Sementara dirinya? Ah. Lelaki macam apa dia? Lelaki sejati adalah lelaki yang
berani mengakui kesalahan yang telah diperbuatnya dan membayar lunas semuanya.
Gabriel berjingkat dari duduknya. Melengos pergi
entah kemana. Ify belum sempat mencegahnya. Ia mengangkat bahu.
Tak lama kemudian, Gabriel kembali dengan sebuah
handuk kecil yang terlebih dahulu dibasahinya. Ia duduk kembali di hadapan Ify.
Ify hendak bertanya untuk apa handuk tersebut,
ketika Gabriel langsung mendekatkan wajahnya pada wajah Ify. Awalnya, Ify takut
Gabriel akan melakukan hal yang tidak-tidak kepadanya. Namun rasa takut itu
seketika sirna, ketika Gabriel membersihkan luka di wajah Ify oleh handuk yang
dibawanya. Ia menghapus habis darah yang mengerak di antaranya.
Belum selesai. Gabriel mengambil sebuah plester
dari kantong plester pemberian Ify. Plester yang ternyata bergambar dinosaurus
juga. Sejenak Gabriel terpana. Ia lalu membukanya. Lantas menempelkannya pada
area luka. Sehingga bekas cakaran itu tak lagi kentara.
Ify mengucapkan terimakasih dengan takzim. Matanya
terus mengerjap.
Kerjapan itu mengingatkan Gabriel akan sesuatu yang
lain yang menyebabkan Ify selalu saja mengerjap-ngerjapkan mata. Mungkin, ia
tidak terbiasa melihat tanpa kacamata. Ya, kacamata yang telah dirusaknya
menjadi dua.
“Kacamata lo mana?” tanya Gabriel.
“Hah? Eh iya…” Ify mengeluarkan kacamatanya dari
saku kemeja. Tanpa bertanya, menyerahkannya pada Gabriel.
Mungkin, hal yang kini akan dilakukannya dapat
menebus semua kesalahannya. Gabriel mengambil satu plester lagi dengan gambar
yang masih sama –hanya warnanya saja yang berbeda, kali ini ia mengambil yang
berwana merah muda. Gabriel menggunakan plester itu untuk menggabungkan kembali
kedua bagian kacamata yang terpisah. Sejurus kemudian, ia memasangkannya
sendiri untuk Ify. Sempurna. Ya. Gadis itu sempurna cantiknya.
Melihat wajah Ify yang polos, membuat Gabriel tak
bisa lagi mengalihkan pandangannya. Bahkan untuk sekedar bekedip saja ia
enggan. Telunjuknya menapaki setiap inci wajah Ify. Dari kening, pelipis, pipi,
pada akhirnya sampai pada ujung dagu runcing Ify. Wajah Ify membuatnya lupa
segalanya. Lupa bahwa sampai saat ini, ia masih terjebak dalam penantian semu.
Dering ponsel membuat keduanya terkesiap. Gabriel
menggaruk tengkuknya. Wajahnya memerah; salah tingkah. Sementara Ify langsung
meraih ponselnya. Mendapati sebuah pesan dari sang Mama. Memintanya untuk
segera pulang.
“Aku harus pulang.” ujar Ify.
“Oke, gue antar lo pulang. Tunggu ya!” Gabriel
melengos.
Ify mendesah. Kenapa Gabriel sangat gemar
membuatnya bingung? Sekarang, mau kemana lagi pemuda itu? Ify mengulum bibir.
Memutuskan untuk bangkit dan mendekati rak dengan banyak sekali boneka
dinosaurus di sana. Ify mengamatinya satu persatu. Semuanya lucu. Ia sempat
berkhayal dapat memiliki salah satu.
Gabriel datang mengejutkan. Pemuda itu mendapati
Ify tengah berada di dekat rak bonekanya. Namun kali ini, ia tidak memarahi
gadis itu. Biarkan saja. Toh, ia tidak mengusik benda-benda masa lalunya.
Gabriel mengedikan kepala. Mengajak Ify untuk segera bergegas.
Ify mengangguk. Mengikuti langkah Gabriel. Setelah
mereka berpamitan pada mama Gabriel, mereka langsung keluar rumah. Gabriel
mengambil motornya di garasi. Sementara Ify menantinya di depan gerbang.
Ify langsung melompat naik ke atas motor, ketika
Gabriel datang menghampirinya. Tanpa segan berpegangan pada pinggang Gabriel.
Setelah itu, barulah Gabriel menancap gasnya. Melaju kencang. Membelah jalanan
kota.
Dan semua yang dilakukan oleh Ify dan Gabriel tak
pernah terlepas dari intaian mata-mata. Pemuda yang mengantar Ify ke rumah
Gabriel tadi ternyata masih di sana. Menanti di sebuah warung nasi goreng. Ia
bukan pemuda yang tidak bertanggung jawab. Jadilah ia tidak akan pergi sebelum
memastikan sendiri bahwa Ify baik-baik saja. Ia tersenyum. Rasa was-was yang
berpendar di hatinya hilang ketika ia melihat Ify tidak disakiti lagi oleh
sahabatnya. Bahkan kini, mereka terlihat sangat akrab. Dan pemuda itu tak
menyadari, bahwa di samping rasa lega, rasa sesak mendampingi.
Mata-mata yang lain ada di sana. Di balik gerbang
rumahnya. Ia mendesah kentara. Bagaimana ini? Bagaimana ia memberitahu gadis
plester itu tentang kekecauan yang perlahan mengembang?Bottom of F