Mei 2012

Jumat, 25 Mei 2012

Hitam Yang Memerah


Kau pasti bertanya-tanya mengapa aku selalu cerewet ketika kau lupa membawa obat.
Atau mengapa aku selalu merajuk saat kau melupakan jam makan siangmu.

Kau pasti bingung setiap kali aku mengingatkanmu untuk mengerjakan PR fisika.
Mendengus kesal setiap kau mengumpat pengawas ujian yang galak.

Sama seperti aku yang selalu bertanya, mengapa kau selalu berusaha menjadi merah muda di hadapanku.
Kembali menghitam saat berada di duniamu.

Aku juga bingung, mengapa kau bersusah payah mengubah rumput menjadi sebiru laut.

Sudahlah!

Lebih Dari Plester part 9


Ketika genggaman tangan mengendur, sang masa lalu mulai mengabur. Dan kenangan lamat-lamat terkubur.

***

Sivia mengemasi barang-barangnya ke dalam kardus. Persiapan sebelum kepindahannya lusa nanti. Ia akan segera kembali ke kota tersayangnya. Mengorek masa lalu yang telah raip dari ingatannya. Ia hendak menemukan siapa sebenarnya dirinya. Karena semenjak ia terbebas dari tumor ganas menyebalkan itu, ia merasa ada yang hilang dari dirinya, entah apa.

Cakka, pemuda yang diam-diam mencintai Sivia itu setia menemani Sivia. Membantu berkemas. Dan mendengarkan semua ocehan gadis itu. Kebanyakan Sivia membicarakan sekolah. Ya, ia tak sabar untuk kembali ke sekolah. Setahun lamanya ia terpaksa menjalani home schooling. Tidak ada teman. Tidak ada jajan di kantin. Tidak ada pemilihan ketua OSIS. Tidak ada pensi. Hanya ada guru yang setiap harinya bergantian menyambangi apartementnya. Sivia bosan.

Sebenarnya, Cakka sedikit terganggu dengan topik pembicaraan yang dipilih Sivia. Melulu tentang kepindahan mereka. Ah, nyatanya ia memang masih enggan kembali ke kota tersayangnya. Bukan. Bukan ia tidak merindukan sahabat-sahabatnya di sana. Tapi, karena ia terlalu berat untuk menjejakan kaki di atas pijak di mana masa lalunya pernah ia onggok sampai mati. Ia tak mau masa lalu itu berbalik memburunya. Menjebaknya seumur hidup. Sehingga pengasingan dirinya dalam waktu yang cukup lama akan berbuah sia-sia. Jadi, untuk apa selama ini ia melarikan diri? Kalau pada akhirnya, ia akan terjerat perangkap dari masa lalu?

Lebih Dari Plester part 8


Karena kenangan, hanya masalah mengingat atau melupakan.

***

Gadis berambut pendek itu menggapai kursi rodanya. Ia memang telah dinyatakan sembuh dari tumor otak mematikan itu, namun tubuhnya belum cukup kuat untuk memenuhi keinginannya menikmati udara segar kota itu. Walau ia tahu, udara di kota mana pun tak akan semenyejukkan udara di kota kesayangannya.

Kini, ia tengah berada di taman belakang rumah sakit. Memandang beraneka bentuk awan yang mengarak di setiap bentangan langit. Hal yang selalu dilakukannya hampir setiap senja. Gadis itu hampir tak mengedipkan matanya, ketika ia menemukan awan yang bentuknya mirip dengan dinosaurus. Ia menatap lekat-lekat pada gumpalan awan itu. Dinosaurus? Rasanya, ia tidak asing lagi dengan hewan yang sudah punah jutaan tahun yang lalu itu. Gadis itu mengerutkan kening.

Kepalanya yang masih dibalut perban itu terasa sakit. Pening. Ia memegangi kepalanya. Efek dari terlalu kerasnya ia mengingat-ngingat tentang masa lalunya yang berhubungan dengan dinosaurus.

Dan ketika gadis itu hampir tak sadarkan diri, seorang pemuda datang. Mendekap gadis itu dari belakang.

"Kamu baik-baik aja Sivia?" bisik pemuda itu, tepat pada gadis yang dipanggilnya Sivia.

Sivia meraih tangan sang pemuda yang melingkari lehernya. Menarik sang pemuda agar berpindah ke hadapannya. "Aku baik-baik aja kok! Makasih ya Cakka!" ujar Sivia. Meyakinkan.

Jumat, 18 Mei 2012

Tanya


Sampai sekarang, aku tak pernah mengerti mengapa aku diciptakan menjadi gadis yang aneh. Dengan bintik-bintik jerawat pada pipi, membuatku terlihat seperti monster.

Tahukah kalian, aku sering bertanya pada bulan, mengapa ia bersinar di tengah kegelapan? Padahal, apa yang ia punya? Ia tak punya apa-apa.

Lalu, ketika pagi menjelang, aku bertanya pada rumput ilalang, mengapa ia tetap bersenang-senang walau ia selalu terabaikan?

Kala senja menjemput, aku kembali bertanya, kini pada katak-katak di tengah rawa. Mengapa ia tetap bernyanyi walau suaranya selalu hilang tersaput angin?

Dan ketika malam menyambut, aku masih di sini. Aku tak lagi bertanya. Untuk apa? Sekarang, aku yang akan membuat mereka bertanya, mengapa aku tumbuh menjadi gadis yang sederhana.

Pemuda Hitam


Pemuda Hitam


Aku benci hitam
Hitam yang kelam, gelap, dan keras.
Aku lebih suka jingga
Jingga yang selalu jadi pelengkap senja.
Aku lebih suka merah
Merah yang ceria, merah yang menyenangkan.
Aku lebih suka hijau
Dia teduh.
Lalu memangnya, aku bisa apa?
Saat kau datang dan memberiku satu-satunya warna yang kau punya,
Hitam…
Tak bisakah kau menghadiahkanku warna yang lain?
Abu-abu mungkin.
Seperti mendung sebelum hujan.
Atau biru?
Seperti langit selepas hujan.
Aku hanya ingin kau berhenti menghitamkan dirimu sendiri.
Wahai pemuda hitam!

Lebih Dari Plester part 7


"Operasinya berhasil!" ujar seorang lelaki paruh baya yang baru saja keluar dari sebuah ruangan.

"Benarkah Dok?" ujar lelaki yang lain tak percaya.

"Ya, semangatnya memang patut diacungi jempol. Itu adalah salah satu faktor ia bisa bertahan hingga sampai saat ini. Pak Alvin beruntung memilikinya." kata lelaki yang pertama yang adalah seorang dokter.

Lelaki yang dipanggil Pak Alvin itu tersenyum. Mengusap dadanya lega. "Ya, saya memang beruntung. Terimakasih dok! Oh iya, saya boleh bertemu dengan anak saya?" tanya Pak Alvin.

"Tentu saja. Tapi saya harap Pak Alvin tidak terkejut kalau sampai dia lupa sesuatu tentang dirinya dan orang-orang di sekitarnya. Operasi pengangkatan tumor di otaknya membuat sedikit banyak ingatan dalam memorinya hilang." jelas sang dokter.

Pak Alvin mengangguk. Tak apa. Bukan hal buruk baginya. Yang terpenting adalah kesehatan anaknya. Bahwa gadis kecilnya telah berhasil menaklukan satu lagi penyakit dari dua penyakit yang bersemayam dalam tubuh ringkihnya. Dua penyakit itu yang memaksa gadis itu meninggalkan semuanya. Kota dan seluruh kenangan di dalamnya. Termasuk pemuda cerobohnya.

Kini, dari bibir Pak Alvin tak berhenti terlontar ucapan terimakasih untuk sang dokter yang telah tiga tahun menemani perjuangan gadis kecilnya. Dalam hatinya lantunan syukur tak henti ia panjat untung sang pemilik hidup.

Pak Alvin bergegas memasuki ruangan. Hendak menemui putrinya. Berharap bahwa kenangan pahitlah yang hilang. Hanya menyisakan kenangan indah yang telah dipahatnya selama hampir 17 tahun ia menjejak bumi.

***

Gabriel melemparkan jaket yang baru saja ia lepas dari tubuhnya ke sembarang tempat. Langsung menghempaskan tubuhnya ke atas tempat tidur. Hendak melepas lelahnya selepas mengantar Ify pulang.

Ify? Gabriel tersenyum. Entah mengapa hatinya tergelitik saat mengingat nama gadis polos sok tahu itu. Pemuda itu memejamkan mata. Berharap di tidurnya nanti, sang gadis akan datang menghadiahkannya mimpi terindah.

Beberapa detik saja matanya tertutup, Gabriel langsung membelalakan mata. Ekor matanya tertumbuk pada rak yang ada di samping meja belajar. Tadi ia mendapati Ify tengah mengamati koleksi boneka dinosaurusnya. Gabriel tersenyum penuh arti. Tanpa bisa ditebak, ia mencelat dari kasur. Mengambil salah satu boneka. Berlari keluar kamar.

Gabriel sudah sampai di sana. Tempat di mana orang tuanya sedang asyik bercengkrama. Gabriel menghampiri mereka.

"Loh, Gabriel? Kirain udah tidur. Ada apa Nak?" tanya Mama.

"Tolong bungkusin ini ya Ma!" Gabriel memberikan sebuah boneka dinosaurus yang dibalut kaos berwarna merah muda.

Mama menatap boneka itu bingung. Lalu menatap Papa. Yang ditatap menggeleng samar. Lantas beralih menatap Gabriel. "Untuk apa?"

"I-Ify." ujar Gabriel agak segan.

Mama akhirnya mengerti. Mengurai kerutan di keningnya. Baiklah. Dengan senang hati. Tentu saja ini adalah hal yang baik. Ya, gadis polos itu memang hebat. Sebelumnya, mana pernah putranya itu memberikan salah satu dari boneka kesayangannya kepada orang lain. Jangankan memberi, untuk mengizinkan seseorang menyentuhnya saja ia enggan. Dan sekarang, Ify perlahan mengembalikan keramahan putranya. Mama mengangguk.

"Makasih ya Ma. Aku tidur dulu. Malam Ma, Pa!" Gabriel melengos pergi. Melanjutkan prosedur tidurnya yang belum sempat dijajaki.

***

Jalanan kota masih lumayan lengang. Tak ada sesak kendaraan yang biasa menghantarnya ke sekolah. Gabriel memang sengaja berangkat sedini mungkin. Agar ketika ia tiba di sekolah nanti, ia menjadi orang kedua yang datang ke sekolah setelah Pak Indra, satpam sekolahnya. Juga agar rencananya tak diketahui siapa-siapa.

Benar. Sekolahnya memang masih sepi. Hanya Pak Indra yang didapatinya di pos satpam yang tengah menyesap secangkir kopi. Gabriel bergegas menuju kelasnya.

Ketika ia sudah mencapai kelas, tergesa ia menghampiri mejanya. Mengeluarkan sebuah kotak cantik berhiaskan pita merah menyala. Kotak itu ditemukannya di atas meja belajarnya pagi tadi kala pertama ia membuka mata. Kotak itu pula yang membuatnya semangat mengarungi tiap detik untuk hari ini.

Gabriel menyimpannya di atas meja. Celingak-celinguk ke sekitarnya. Memastikan bahwa tidak ada satu pasang mata pun yang menyaksikan semua yang dilakukannya. Gayanya sudah seperti secret admirer di film yang pernah ditontonnya. Ternyata memang, diam-diam Gabriel mengagumi kepolosan gadis itu.

Setelah itu, Gabriel memutuskan pergi. Matahari yang mulai meninggi, mengindikasikan bahwa teman-temannya akan segera datang. Kalau ia tetap di sana, mereka pasti akan mencurigainya.

Kini, Gabriel memilih menyendiri di taman belakang sekolah. Mengamati lalu lalang kendaraan di sepanjang jalan. Sambil merenungi apa yang telah diperbuatnya.

Tiba-tiba ia merasa telah melupakan sesuatu. Namun rasa itu ditepisnya kuat-kuat. Biarkan. Biarkan penantian semu itu hanya mengurung hatinya. Karena lamat-lamat, jiwa dan raganya telah berhasil meloloskan diri.

***

Ify membekap mulutnya ketika ia terhenyak mendapati sebuah kotak cantik di atas mejanya. Awalnya, ia mengira bahwa kotak itu bukan ditujukan padanya. Namun ia membaca sebuah kertas memo di atas kotak yang mengatakan bahwa kotak itu diperuntukan kepadanya. Ify mengetukan telunjuknya pada cuping hidungnya. Hari ini bukan ulang tahunnya.

Ify mengerjap. Entah mengapa, bisa-bisanya ia berpikir bahwa yang ada di dalam kotak itu adalah bom. Tapi, di sekolahnya tidak ada teroris. Anaknya Amrozi juga tidak bersekolah di sana. Lalu mengapa bisa ada bom di atas mejanya.

Ify terkesiap ketika sebuah tangan lembut menyentuh bahunya. Ify melirik pemilik tangan itu. Oik.

"Itu apa?" Oik menunjuk kotak itu.

"Bom." ujar Ify setengah berbisik.

Oik mengerenyit. Mana mungkin ada bom. Gadis berambut sebahu itu meraih kotak itu, setelah berhasil terlepas dari cegahan Ify. Oik meyakinkan Ify bahwa tak ada bom atau benda berbahaya lainnya di dalam kotak.

Oik membuka kotak itu. Matanya yang kecil membelalak ketika melihat isi kotak itu. Ia menggeleng tak percaya.

Dan gadis polos itu langsung mengambil kotak itu dari tangan Oik. Gesit ia meraih isi kotak itu. Boneka dinosaurus yang sangat menggemaskan. Ify tersenyum. Memeluk erat sang boneka.

Oik masih belum benar-benar percaya. Ia tahu siapa yang memberikan boneka itu pada Ify. Pasti. Siapa lagi kalau bukan pemuda ceroboh itu. Ya, apa yang dilakukan pemuda itu memang adalah sebuah kecerobohan. Tak tahukah ia, bahwa hati Ify mungkin saja tersentuh karenanya?

"Ya ampun Oik! Ini boneka yang aku lihat kemarin di kamar Gabriel. Iya. Pasti ini dari dia." ujar Ify. Gadis itu masih memeluk dinosaurusnya.

Oik tersenyum miring. Setengah ia mati ia memaksakan diri. Kabar ini harus segera diberitahukan pada sahabatnya.

Wajah Ify nampak berseri-seri. Setelah memeluknya, ia menciumi sang boneka.

***

Rio menyandarkan tubuhnya yang berlumur peluh pada tiang gawang. Setelah berkali-kali ia menendang bola dengan segenap tenaga. Ditambah emosi yang sedari tadi entah mengapa membuncahi logikanya.

Rio sadar, tidak seharusnya seperti ini. Ia tidak berhak.

Apa? Apanya yang tidak berhak? Cemburu maksudnya? Rio terkekeh. Mana mungkin Rio cemburu saat Ify mendapatkan hadiah boneka dari Gabriel.

Tapi kalau bukan cemburu, apa namanya? Kalau hatinya seakan terbakar saat Ify terus menerus bercerita tentang Gabriel. Apalagi sekarang, Gabriel perlahan melunak pada Ify.

Rio kini sendiri. Menikmati nafasnya yang terengah-engah.

Lalu tak berapa lama, gadis yang membuatnya kacau itu datang. Membawakan sebotol air mineral untuk Rio. Gadis itu duduk di samping Rio.

"Kapan-kapan, aku boleh kan main bola sama kamu?" tanya Ify. Membukakan botol air mineral untuk Rio. Menyerahkannya pada pemuda itu.

Rio melirik Ify. Gadis yang dilirik itu mengerjapkan mata.

Rio meraih botol air mineral. Menenggak isinya. Lalu mengusap habis buliran keringat yang bergelayut pada wajah tampannya.

"Makasih ya!" ujar Rio.

Memang seharusnya, ia tidak seperti itu. Toh, kedekatan Ify dan Gabriel yang mulai terjalin, tak membuat gadis itu menjauh darinya. Ia masih bisa mendapatkan perhatian Ify dengan caranya sendiri. Itu sudah cukup baginya.

***

Ify mencubiti boneka dinosaurus yang sudah menjadi miliknya. Sesekali ia terkikik, mengingat wajah Gabriel yang lucu ketika ia memastikan bahwa memang Gabriel yang memberikan boneka itu. Dan ia juga teringat, saat ia membisikan kata terimakasih tepat pada telinga Gabriel. Membuat wajah pemuda itu berubah memerah.

Sekali lagi Ify memeluk bonekanya.

Ketika Ify mengurai pelukannya, ia menemukan sebuah kalung cantik berwarna perak. Ify memperhatikan kalung itu dengan seksama. Dan ia juga mendapati sebuah nama dengan huruf yang dibuat bersambung terukir pada bandulnya. Ify memicingkan mata. Mencoba membacanya.

"S-Si... Si... Sivia?" Ify menatap langit-langit kamarnya.

***

Bersambung

Patton Otlivio Latupeirissa



Halo teman-teman! Tahukah kalian siapa big idol saya? Bukan. Bukan Denu. Mentang-mentang badannya buntel *eh.Yang udah kenal saya pasti tahulah siapa idola sejati saya seluruh dunia (?).Ya. Patton Otlivio Latupeirissa. Saya seorang Patton Banget. Itu sebabnya akun facebook saya ‘SintaBanget’. Add ya :p

Pada kesempatan yang berbahagia sejahtera aman sentosa (?) kali ini, saya akan coret-coret tentang Patton :)

Patton Otlivio Latupeirissa. Anak bungsu dari pasangan Om Adolf Latupeirissa dan Mama Merry #gilaguesokakrab. Dia memiliki 2 kakak laki-laki dan 1 kakak perempuan.Yaitu, Kak Adrisa Senda Latuperissa, Kak Sandy Latuperissa, satu lagi lupa *plakk

Patton lahir di Makassar, tanggal 29 oktober 1998. Dia merupakan runner up idola cilik 2. Yang membuat saya tergila-gila pada ini bocah satu, bukan hanya karena suaranya yang memang luar biasa. Tapi dia juga pintar dan pantang menyerah. Tahu ga perjalanan dia untuk mencapai titik ini? Yang ga tahu kamseupay kaya kumis pak Somad *eh

Cerita dikit boleh ya! Patton awalnya ikut audisi idola cilik 1, tapi sayang ga lolos. Terus dia juga ikut audisi Afi junior, ga lolos juga -___-. Dan ternyata, Tuhan punya rencana lain. Saat dia mau pulang ke kota asalnya; Makassar, dia –entah bagaimana ceritanya- diminta menyanyi di depan petinggi yayasan Pasiad Turki. Dia nyanyi baguuuuuussss banget seluruh dunia. Dan akhirnya, dia diberi beasiswa untuk sekolah di sekolah pribadi Turki tersebut. Dia tinggal di asrama.Mama Merry balik ke Makassar.

Dan akhirnya, dia ikut idola cilik 2. Lolos hingga dia berhasil jadi juara ke dua ajang idola cilik.

Usai dari idola cilik, Patton diundang di berbagai acara. Debat calon  presiden. Panasonic gobel award.  Terus acara waktu om MJ (?) meninggal (nyanyi sama Angel dan Gita Gutawa). Happy song (menang sampe duel). Dahsyat. Bonar sang pendongeng (dua kali. Jadi Jaka, sama pacarnya Fallery). Bombastis (dia menang pas ini, sama Obiet) Banyak deh .-.

Di idola cilik, Patton juga tergabung dalam icil divo bersama Gabriel, Cakka, Rio, Alvin, Debo, Irsyad, dan Kiki.

Selain bernyanyi, Patton juga pernah mengisi suara dalam film Meraih Mimpi bareng Gita Gutawa sama Om Indra Bekti. Dia jadi Ray. Patton juga ikut ambil bagian dalam film project Langit Biru bersama Ratnakanya, Brandon IMB, dan Jeje Soekarno (Bukan adeknyaIbu Megawati, tapi adeknya Ricky Harun). Patton berperan jadi Jason, pemeran antagonis, tukang ngebully. Klop sama sifat saya di sekolah *eh

Patton juga pernah jadi presenter di acara koreografi di global tv. Tiap minggu, saya ga pernah kelewatan nonton dia! PB sejati kan namanya juga.

Oh iya, Patton juga pernah bergabung dengan Musikal Laskar Pelangi. MLP pertama dia berperan sebagai Lintang. Bocah jenius yang suka dicegat buaya -___-. MLP kedua (MLP paling nyesek seluruh dunia buat saya, saya gagal nonton), Patton berperan menjadi Mahar, seniman Belitong. Tapi sayang, MLP Dufan Patton ga ikut. Dia harus mengikuti pertukaran pelajar selama 3 bulan di Turki. Apes. Giliran saya nonton, dia kaga ada -_____-

Dan ini dia, beberapa foto Patton.

 Wihhh,,, adek saya! wkwkw
 Ini Patton waktu duet sama Om Tompi. Lagu Menghujam jantungku. Om Tompi pernah bilang di twitter, kalau sampai sekarang, hanya Patton yang dapat menyanyikan lagu itu dengan berhasil dan gayanya sendiri. Good job!
 Patton bareng Zahra, Angel dan Lintar.
 Mereka kaya tiga bersaudara ya?
 Anak idola cilik yang main di MLP 1. Patton, Bastian, Shilla, dan Gabriel.
 Adek belajar gitar.

 Artikel adek di salah satu majalah.
 Patton waktu jadi Mahar.
 Patton Banget. Nama fans clubnya.
 Beneran udah kaya adik kakak.
 Ini di vc Bersatulah indonesia.
 Patton waktu jadi Jaka di Bonar Sang pendongeng.
 Bareng temen-temen MLP
 Lintang
 Lintang lagi!

 Maguc. Haha
 -_____-
 Bareng temen-temen MLP lagi!
 Filmnya Patton.

Sabtu, 12 Mei 2012

Lebih Dari Plester part 6B



Mama Gabriel mengetuk pintu itu. Setelah kata ‘masuk’ samar terdengar dari dalam kamar, Mama memutar kenop pintu dan membukanya. Ify langsung disuguhkan pada sebuah ruangan bercat biru yang sangat rapi dan tertata. Namun tak ada siapa pun di sana. Empunya suara pun entah di mana. Lalu siapa yang tadi bersuara? Jangan-jangan mahluk halus. Kalau Gabriel kan mahluk kasar. Ify terkekeh sendiri.

“Ify masuk aja. Gabriel pasti lagi di balkon.” Mama menunjuk sebuah pintu penghubung kamar dengan balkon yang setengah terbuka. Ify mengangguk mengerti. Mama melengos undur diri.

Ify melangkah perlahan-lahan. Kedua matanya mengerjap-ngerjap. Mengamati setiap benda yang ada di kamar itu. Ify mendapati selimut, bantal serta guling bergambar dinosaurus. Lalu ia melirik meja belajar. Ify mendesah. Untung saja di sana tidak ada benda yang berbau dinosaurus. Kalau sampai didapatinya benda-benda itu di sana, Ify bisa saja mengira bahwa kamar Gabriel adalah museum dinosaurus.

Namun Ify harus meneguk ludah. Ketika ia melihat sebuah rak yang cukup besar yang terdapat di samping meja belajar. Di dalamnya diisi berbagai macam pernak-pernik dinosaurus., kebanyakan boneka. Ify menahan kuat-kuat tangannya untuk tidak bergerak meraih salah satu dari boneka-boneka menggemaskan itu. Ia tidak mau membuat Gabriel marah lagi. Maka ia mengabaikan boneka itu. Melanjutkan langkahnya kembali menuju balkon. Mungkin nanti, kalau Ify memintanya langsung pada Gabriel, ia bisa memiliki salah satu dari boneka itu. Bukan mencurinya seperti kemarin.

Benar kata Mama. Gabriel memang di sana. Berdiri di dekat pagar pembatas. Entah tengah melamunkan apa. Ify agak ragu untuk meminta maaf atas kesalahan yang telah diperbuatnya. Ia takut Gabriel akan marah lagi. Namun seketika, Ify kembali memantapkan niatnya ketika ia menatap punggung Gabriel yang nampak murung. Ia yakin, Gabriel pasti punya alasan mengapa ia bersikap kasar kepadanya. Bukan hanya semata-mata ia meneladani idolanya; dinosaurus. Mungkin Gabriel punya masalah. Dan mungkin, Ify bisa membantu menyelesaikannya. Ya, ia pasti bisa. Karena pada hakikatnya, untuk itulah Ify dikirimkan Tuhan pada kehidupan pemuda nelangsa itu. Agar ia tak lagi melakukan hal yang sia-sia. Menunggu masa lalu.

“G-Gabriel…” seru Ify tertahan. Bergerak lamat-lamat menuju pagar pembatas. Berdiri di samping Gabriel.
Pemuda itu terhenyak. Suara lembut yang baru saja menggelitik telinganya membuyarkan seluruh lamunannya. Gabriel menoleh. Mendapati Ify mengerjapkan mata padanya. Wajah polosnya sangat kentara. Pemuda masih menangkap robekan luka yang masih tertera di sana. Hatinya mencelos. Tanpa diminta, bayangan gadis plester yang sedari tadi menjejali benaknya enyah seketika. Tergantikan ulasan senyum dari gadis di hadapannya. Baru kali ini ia menatap lekat-lekat wajah lugu itu. Dan ia baru sadar, bahwa gadis di hadapannya memiliki senyum yang sangat manis. Mempesona.

“Gabriel…” Ify berseru lagi.

Gabriel terkesiap. Membuang pandangannya kembali ke depan. Apa yang telah dilakukannya? Diam-diam ia merutuki dirinya sendiri karena telah terpesona pada siluet gadis itu. Sebisa mungkin, ia tak akan mengulangi hal yang sama.

Wajah Gabriel tiba-tiba memerah. Ketar-ketir setengah mati ia menutupinya. “Apa? Ngapain lo di sini?” tanya Gabriel dengan nada sedater mungkin. Berusaha menutupi kegelisahan yang merayapi hatinya, entah karena apa.Top of For

“Aku…” Ify menghela nafas. “Aku mau minta maaf. Maaf udah nyuri plester kamu. Aku ga tahu kalau plester itu berharga banget buat kamu.” Ify menunduk dalam.

Gabriel berdecak. Setelah ia menenangkan diri di balkon selama lebih dari satu jam, emosinya perlahan teredam. “Makanya, jangan sok tahu!” ujar Gabriel dengan nada masih terdengar datar. Namun kali ini, terkesan dipaksakan.

“Jadi?” Ify menggoyang-goyangkan lengan Gabriel.

Empunya lengan mendelik pada Ify. Ify langsung melepaskan tangannya dari lengan Gabriel. Nyengir seraya bercicit ‘maaf’.

Gabriel kembali memandang lurus ke depan. “Udah gue maafin. Sekarang, lo bisa pergi.” ujar Gabriel. Tersirat ketidaksukaannya terhadap kehadiran Ify. Bukan. Ia bukan tidak suka pada Ify. Ia hanya teringat akan ucapan Oik. Kalau ia sampai menyukai Ify, semua penantiannya selama ini akan kacau. Dan ia juga pasti akan menyakiti gadis plesternya. Karena tidak bisa dipungkiri, bahwa dengan ia bersama gadis itu dalam waktu yang lama, akan membuatnya perlahan menyukai gadis itu. Ia tidak mau dan tidak boleh menyukai Ify. Walau ia tahu, rasa itu tak pernah bisa ditepis. Sehebat apa pun ia.

“Tunggu.” Ify mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. Lantas menyerahkannya pada Gabriel.

Gabriel melirik benda tersebut. Lantas berpaling memicingkan mata pada Ify. Apa? Ia menatap bertanya.

“Plester. Aku tahu, sebanyak apa pun plester yang aku kasih ke kamu, itu ga akan cukup. Tapi tolong! Biarin aku membayar kesalahan aku. Meskipun aku ga akan bisa melunasinya.” Ify meraih tangan Gabriel. Meletakkan sekantong plester itu pada telapak tangan Gabriel yang telah dipaksanya untuk terbuka. “Kamu terima ya!” ujar Ify memelas.

Gabriel tidak bisa berbuat apa-apa. Dengan terpaksa, ia menerima plester tersebut. Kembali membuang muka setelah bergumam ‘terimakasih’ pelan. “Sekarang, lo pergi!” Gabriel tetap tidak menghendaki kehadiran Ify.

“Tunggu! A…” Baru saja Ify membuka mulutnya, Gabriel menyela.

“Apa lagi sih lo?” kata Gabriel dengan agak membentak. Membuat Ify  terhenyak. Tubuhnya gemetar ketakutan.

Pemuda itu mendesah. Lupa. Seharusnya ia tidak boleh bersikap kasar lagi pada gadis polos itu. Peraturan itu dibuatnya sendiri.. “Maaf! Ada apa?” tanya Gabriel. Kali ini nadanya mulai melemah.

Wajah Ify berubah seketika. Matanya yang tak berhenti mengerjap berbinar ceria. Terburu ia merogoh tasnya. Mengeluarkan beberapa buku bersampul coklat miliknya. “Banyak PR buat besok. Mau nyalin?”

Gabriel berdecak. Mengapa dalam keadaan seperti ini saja, Ify masih memikirkan hal kecil seperti PR. Pantas saja ia pintar. “Ayo!” Gabriel menarik lengan Ify ke kamarnya.

Gabriel tidak ingin kalah oleh Ify. Maka dari itu, ia menyalin semua PR lengkap dengan catatan dari mata pelajaran yang ditinggalkannya tadi. Ia memilih mengerjakannya di atas karpet. Agar terkesan santai. Sementara itu, Ify duduk bersila di samping Gabriel.

Sesekali, Ify memberikan penjelasan tentang materi yang belum dimengerti oleh Gabriel. Gabriel mengangguk mengerti. Sepertinya mereka cocok untuk menjadi sepasang sahabat. Atau lebih mungkin. Seperti… kekasih?

Gabriel terkesiap ketika ia tertangkap basah sedang menatap lekat-lekat profil wajah Ify. Sedangkan Ify hanya tertawa menyeringai. Melanjutkan kembali penjelasannya.

Nampaknya memandangi wajah Ify menjadi sesuatu yang menyenangkan. Karena setelah Ify memergokinya melakukan hal itu pun, Gabriel tidak jera. Kini ia melakukannya kembali. Tanpa sadar, ia menciptakan seulas senyum di wajahnya. Entah karena dan untuk apa. Diam-diam, rasa yang dihindarinya berbalik memburunya.

Dan ketika itu, Gabriel kembali menemukan bekas luka cakaran pada wajah Ify. Cakaran tangannya. Hatinya mencelos seketika. Rasa bersalah merayapi dinding hatinya. Ia juga merasa malu. Ify saja yang sebenarnya kesalahannya hanya sebesar biji sawi, berusaha untuk membayarnya. Sementara dirinya? Ah. Lelaki macam apa dia? Lelaki sejati adalah lelaki yang berani mengakui kesalahan yang telah diperbuatnya dan membayar lunas semuanya.

Gabriel berjingkat dari duduknya. Melengos pergi entah kemana. Ify belum sempat mencegahnya. Ia mengangkat bahu.

Tak lama kemudian, Gabriel kembali dengan sebuah handuk kecil yang terlebih dahulu dibasahinya. Ia duduk kembali di hadapan Ify.

Ify hendak bertanya untuk apa handuk tersebut, ketika Gabriel langsung mendekatkan wajahnya pada wajah Ify. Awalnya, Ify takut Gabriel akan melakukan hal yang tidak-tidak kepadanya. Namun rasa takut itu seketika sirna, ketika Gabriel membersihkan luka di wajah Ify oleh handuk yang dibawanya. Ia menghapus habis darah yang mengerak di antaranya.

Belum selesai. Gabriel mengambil sebuah plester dari kantong plester pemberian Ify. Plester yang ternyata bergambar dinosaurus juga. Sejenak Gabriel terpana. Ia lalu membukanya. Lantas menempelkannya pada area luka. Sehingga bekas cakaran itu tak lagi kentara.

Ify mengucapkan terimakasih dengan takzim. Matanya terus mengerjap.

Kerjapan itu mengingatkan Gabriel akan sesuatu yang lain yang menyebabkan Ify selalu saja mengerjap-ngerjapkan mata. Mungkin, ia tidak terbiasa melihat tanpa kacamata. Ya, kacamata yang telah dirusaknya menjadi dua.

“Kacamata lo mana?” tanya Gabriel.

“Hah? Eh iya…” Ify mengeluarkan kacamatanya dari saku kemeja. Tanpa bertanya, menyerahkannya pada Gabriel.

Mungkin, hal yang kini akan dilakukannya dapat menebus semua kesalahannya. Gabriel mengambil satu plester lagi dengan gambar yang masih sama –hanya warnanya saja yang berbeda, kali ini ia mengambil yang berwana merah muda. Gabriel menggunakan plester itu untuk menggabungkan kembali kedua bagian kacamata yang terpisah. Sejurus kemudian, ia memasangkannya sendiri untuk Ify. Sempurna. Ya. Gadis itu sempurna cantiknya.

Melihat wajah Ify yang polos, membuat Gabriel tak bisa lagi mengalihkan pandangannya. Bahkan untuk sekedar bekedip saja ia enggan. Telunjuknya menapaki setiap inci wajah Ify. Dari kening, pelipis, pipi, pada akhirnya sampai pada ujung dagu runcing Ify. Wajah Ify membuatnya lupa segalanya. Lupa bahwa sampai saat ini, ia masih terjebak dalam penantian semu.

Dering ponsel membuat keduanya terkesiap. Gabriel menggaruk tengkuknya. Wajahnya memerah; salah tingkah. Sementara Ify langsung meraih ponselnya. Mendapati sebuah pesan dari sang Mama. Memintanya untuk segera pulang.

“Aku harus pulang.” ujar Ify.

“Oke, gue antar lo pulang. Tunggu ya!” Gabriel melengos.

Ify mendesah. Kenapa Gabriel sangat gemar membuatnya bingung? Sekarang, mau kemana lagi pemuda itu? Ify mengulum bibir. Memutuskan untuk bangkit dan mendekati rak dengan banyak sekali boneka dinosaurus di sana. Ify mengamatinya satu persatu. Semuanya lucu. Ia sempat berkhayal dapat memiliki salah satu.

Gabriel datang mengejutkan. Pemuda itu mendapati Ify tengah berada di dekat rak bonekanya. Namun kali ini, ia tidak memarahi gadis itu. Biarkan saja. Toh, ia tidak mengusik benda-benda masa lalunya. Gabriel mengedikan kepala. Mengajak Ify untuk segera bergegas.

Ify mengangguk. Mengikuti langkah Gabriel. Setelah mereka berpamitan pada mama Gabriel, mereka langsung keluar rumah. Gabriel mengambil motornya di garasi. Sementara Ify menantinya di depan gerbang.
Ify langsung melompat naik ke atas motor, ketika Gabriel datang menghampirinya. Tanpa segan berpegangan pada pinggang Gabriel. Setelah itu, barulah Gabriel menancap gasnya. Melaju kencang. Membelah jalanan kota.

Dan semua yang dilakukan oleh Ify dan Gabriel tak pernah terlepas dari intaian mata-mata. Pemuda yang mengantar Ify ke rumah Gabriel tadi ternyata masih di sana. Menanti di sebuah warung nasi goreng. Ia bukan pemuda yang tidak bertanggung jawab. Jadilah ia tidak akan pergi sebelum memastikan sendiri bahwa Ify baik-baik saja. Ia tersenyum. Rasa was-was yang berpendar di hatinya hilang ketika ia melihat Ify tidak disakiti lagi oleh sahabatnya. Bahkan kini, mereka terlihat sangat akrab. Dan pemuda itu tak menyadari, bahwa di samping rasa lega, rasa sesak mendampingi.

Mata-mata yang lain ada di sana. Di balik gerbang rumahnya. Ia mendesah kentara. Bagaimana ini? Bagaimana ia memberitahu gadis plester itu tentang kekecauan yang perlahan mengembang?Bottom of F

Jumat, 11 Mei 2012

Lebih Dari Plester part 6A


Hidup bukan melulu tentang satu. Ada banyak hal yang harus dilakoni dalam hidup. Tak sekedar menanti. Hingga penantian itu malah mengundang mati. Mati rasa. Tuna akan sentuhan cinta.

Mungkin, Gabriel tidak sepantasnya memperlakukan Ify seperti itu. Ia bisa bersikap manis, seperti apa yang dulu selalu ditunjukkannya ketika sang gadis plester masih ada dalam raihannya. Lalu sekarang, buat apa ia masih menanti kembalinya gadis itu? Kalau pada akhirnya ia hanya bisa menyakiti orang lain. Dan apakah gadis itu memberikan jaminan bahwa dirinya akan pulang? Tidak, bukan?

Cinta. Karena Gabriel mencintainya? Ah, bahkan ia telah lupa bagaimana rasanya mencintai. Hatinya yang keras, dibekukan oleh segala keyakinan yang tidak berakar. Kalau Gabriel mencintai gadis itu, ia akan berusaha menjadi Gabriel yang hebat. Bukan Gabriel yang jahat.

Lalu sebenarnya, apa yang membuat Gabriel seangkuh ini?

Gabriel memutuskan untuk pulang di jam kedua. Ia meminta izin dengan mengatakan bahwa kepalanya sakit. Seperti mau pecah. Ya, ia tidak berbohong. Batok kepalanya memang terasa pening. Dijejali segala tetek bengek tentang insiden tadi pagi yang tidak penting. Tentang gadis menyebalkan yang telah mencuri plester berharganya. Belum lagi dengan ucapan Oik yang memukuli kepalanya dengan berjuta martil. Sangat tidak penting.

Ha? Tidak penting? Munafik. Kalau semua itu tidak mungkin, mengapa ia bisa sepusing ini? Dan mengapa ia dihantui rasa sesal terhadap Ify? Ia menyesal telah menyakiti gadis itu.

Sesal itu semakin menampar dirinya ketika ia mendapati Ify yang duduk di sebelahnya meringis kesakitan sembari memegangi robekan pada kulit bawah matanya. Tangan yang digunakan untuk memegang luka itu berlumuran darah. Beberapa tetes sampai mendarat pada bukunya. Ify seperti sedang menghukum dirinya sendiri. Ia tidak berniat mengobati luka di wajah cantiknya. Membiarkan luka itu mengering dengan sendirinya. Kepingan darah mengerak di sekelilingnya.

Sepanjang jam pelajaran, Gabriel tak mengurai kepalan tangannya. Itu semata-mata agar ia tak tergeletak akibat sesak yang mencekat dadanya. Ditambah mual ketika sesuatu seperti sedang mengoyak perutnya. Maka pulang dan tak melihat siluet Ify lagi adalah cara yang paling tepat untuk mengobati segala kekacauannya.

Gabriel sudah memasuki komplek perumahannya. Sepi. Saat ini memang masih jam sekolah dan jam kerja. Jadi, tak banyak orang yang berkeliaran. Ia bisa bernafas lega. Karena nyatanya, emosinya selalu terpacu ketika bertemu dengan seseorang, entah karena apa. Untuk pertama kalinya, ia ingin pindah ke tempat lain yang tidak ada manusianya.

Dan hatinya tiba-tiba mencelos ketika ia menemukan dua anak lelaki dan perempuan tengah bermain sepeda. Sepertinya, mereka tengah bolos dari kewajibannya sebagai pelajar.

Namun Gabriel sama sekali tak peduli dengan hal itu. Ia hanya merasa, anak lelaki dan perempuan itu seperti visualisasi dari dirinya dan gadis plesternya dulu. Kenangan itu terlalu indah untuk dibuatnya tameng dari penantiannya selama ini. Dadanya semakin perih. Ia memutuskan untuk pergi dan tak lagi memperhatikan kedua anak itu. Mengumpat dalam hati.

Kalau masa lalu itu hanya membuatnya sakit, mengapa ia masih memegang kukuh sang masa lalu? Harusnya, ia kubur dalam-dalam. Membiarkannya mati bersama onggokan luka yang telah membusuk saking lamanya. Mengenaskan.

***

"Fy, beneran lukanya ga mau diobatin?" tanya Rio. Memastikan untuk kesekian kali.

"Bener Rio keceee!" kata Ify gemas. Ia menutup resleting tasnya. "Mau antar Ify ke rumah Gabriel ga?"

Rio hampir tersedak mendengar ucapan Ify. Untuk apa gadis itu ke rumah Gabriel? Rio berdecak. Ify sama saja dengan masuk ke mulut buaya kalau begitu jadinya. "Mau ngapain?"

"Ada urusan. Mau ga?" Ify memelas. Membuat Rio mau tak mau menuruti permintaannya.

"Tapi gue ga tanggung jawab ya kalau lo diapa-apain lagi sama Gabriel!" kata Rio. Berjalan berdampingan dengan Ify menuju tempat parkir. Di sana ia menyimpan motornya.

"Tenang. Nanti aku yang bakalan apa-apain dia. Haha..." Ify tertawa. Tawa yang renyah.

Rio meneguk ludah. Maksudnya, Ify akan balas dendam pada Gabriel? Rio berdecak. Menggeleng samar. Ternyata, dibalik tubuh mungilnya, Ify mempunyai keahlian bela diri. Karate atau silat mungkin. Ya, kalau Ify tidak mempunyai keahlian itu, mana mungkin ia berani balas dendam pada Gabriel yang ganas seperti monster. Mulai sekarang, ia akan berhati-hati pada Ify. Takut-takut ia yang akan dijurus oleh gadis itu.

"Ayo Rio!" Ify menepuk punggung Rio sesaat setelah ia naik ke motor Rio.

"Eh... iya!" Rio buru-buru menancap gas. Semoga di tengah jalan, Ify tidak mengeluarkan salah satu jurus andalannya. Paranoid tak jelas menghantui benak Rio.

Rio akhirnya sampai dengan selamat di pelataran sebuah rumah mewah dengan nuansa klasik. Ify segera turun dari motor Rio. Menatap bingung pada Rio yang wajahnya nampak aneh, seperti ketakutan.

Lantas Ify hanya mengangkat bahu ketika Rio berpamitan pulang. Berdalih bahwa ia harus mengantar sang mama ke supermarket.

Kini, tinggalah Ify sendiri di sana. Ia mengumpulkan amunisi keberaniaannya untuk memantapkan niat hatinya. Ify menghela nafas. Bergegas menuju pintu masuk yang berwarna coklat keemasan. Ify mengetuk pintu itu.

Sayup-sayup dapat didengarnya derap kaki teredam dari dalam rumah. Beberapa saat, pintu di hadapannya terbuka. Didapatinya seorang wanita yang masih nampak elegan dengan umurnya yang sudah tidak muda lagi. Wanita itu tersenyum. Menyambut baik kedatangan Ify.

"Mamanya Gabriel ya? Gabrielnya ada? Boleh saya ketemu?" tanya Ify.

Wanita yang memang adalah mama Gabriel itu mengangguk samar. Menautkan kedua alisnya. Lupa, kapan terakhir kali teman perempuan sang putra menyambangi kediamannya. Beberapa lama ia tertegun.

"Mamanya Gabriel, halo Mamanya Gabriel!" Ify menggerakan telapak tangannya di depan wajah Mama Gabriel.

"Eh..." Mama Gabriel terkesiap. Ia tersenyum. Ini tentunya kabar baik. "Ada ada. Yuk ke dalam!" Mama Gabriel mempersilakan Ify masuk. Ify mengekorinya dari belakang. Duduk di sebuah sofa berwarna merah marun.

"Nama kamu siapa, Nak?" Mama Gabriel menyusupkan rambut Ify ke belakang telinga. Entah mengapa, ia sangat senang ketika pertama kali melihat siluet Ify. Ditambah wajahnya yang cantik, juga pembawaannya yang ceria. Mama Gabriel juga merasa sudah sangat dekat dengan Ify. Tanpa disadari, ia telah menyayangi gadis itu dengan segala kepolosannya.

"Aku Ify. Oh ya, Gabrielnya mana? Sakit ya? Aduh, padahal PR buat besok banyak banget. Kalau Gabriel sakit, dia pasti ga bisa kerjain PRnya." Ify mengulum bibir.

Wanita paruh baya di hadapannya terkikik pelan. Ify adalah gadis yang lucu. Suatu hari nanti, apabila putranya meminta restu atas hubungan istimewanya dengan Ify, ia akan langsung memberikan restu itu. Lengkap dengan doa dan harapan agar semuanya selalu baik-baik saja.

"Bisa kok! Kan Ify yang ngajarin." ujar Mama Gabriel. Tersenyum.

Ify membuka mulutnya. Mengerutkan kening.

"Yuk ke kamar Gabriel!" wanita itu meraih tangan Ify yang masih ternganga. Menariknya menyusuri anak tangga. Hingga akhirnya mencapai sebuah ruangan.

Dalam ruangan itu, seorang pemuda masih menekuri kisah hidupnya. Lebih tepatnya, kisah masa lalu yang harusnya ia biarkan berlalu.

***

Bersambung

*