September 2018

Minggu, 16 September 2018

Pahlawanku


Teman-teman, perkenalkan! Namanya Peter, dan dia adalah seorang Pan. Anak blasteran Peri dan Kesatria. Rumahnya di Neverland, tapi sesekali dia mengunjungiku ke bumi.

Empat belas tahun lalu kali pertama aku bertemu dengannya. Dalam layar berbentuk kotak yang ada di rumahku. Waktu itu dia datang ke rumah Wendy, menganggu tidur gadis yang suka mendongeng itu. Kemudian ia ajak Wendy dan kedua adiknya ikut ke Neverland. Diam-diam, aku ikut juga bersama mereka.

Kali pertama aku menjejakkan kaki di Neverland, aku langsung jatuh cinta. Ada banyak peri di sana. Peter punya satu, namanya Tinkerbelle. Aku tidak punya sama sekali. Tapi aku tidak patah hati. Neverland selalu menyenangkan. Walaupun aku harus berlari karena Kapten Hook suka tiba-tiba muncul.

Peter ingin Wendy untuk tinggal selamanya di Neverland. Tapi Wendy harus pulang dan tumbuh dewasa. Peter sedih. Aku juga sedih. Karena kalau Wendy pulang, aku juga harus pulang. Padahal aku begitu kerasan di Neverland.

Pada akhirnya, aku memang harus pulang. Rumahku bukan di Neverland dan menjadi dewasa adalah kepastian. Semua anak tumbuh dewasa, kecuali Peter Pan. Dan mungkin saja aku. Peter ajari aku bahwa menjadi dewasa ternyata adalah pilihan. Dan Peter memilih untuk tetap menjadi anak-anak, meskipun dengan bayaran teramat mahal bahwa dia harus berpisah dengan Wendy.

Teman-teman, kalian pasti punya pahlawan masa kecil, kan? Pahlawanku sejak empat belas tahun lalu adalah Peter Pan. Maaf kalau aku sedikit berbeda. Aku tidak suka cerita tentang Putri yang menikah dengan Pangeran kemudian hidup berbahagia. Aku tidak suka dengan dongeng-dongeng yang (dipaksakan) berakhir bahagia. Peter menutup dongengnya dengan sebuah perpisahan. Dan apakah perpisahan bukan sesuatu yang indah? Meskipun bukan kebahagiaan, aku percaya perpisahan yang dipilih adalah perpisahan yang indah.

Peter ajariku jadi anak yang kuat dan ceria. Tapi bukan berarti aku tidak boleh marah dan menangis. Aku boleh marah untuk sesuatu yang tidak aku suka. Aku boleh menangis untuk hal menyedihkan. Peter ajariku mencintai, memaafkan dan merelakan. Peter bukan manusia, namun dia sangat manusiawi. Dia ajariku bagaimana jadi manusia.

Pernah sekali waktu dalam hidupku aku merasa kehilangan diriku sendiri. Sering kali aku bertanya-tanya siapa aku sebenarnya dan kalau yang sekarang bukan lagi aku, aku yang sebenarnya ada di mana?

Aku terus menerus mencari, tapi tidak pernah aku temukan apa pun. Sampai akhirnya aku berhenti mencari karena memang aku tidak perlu lagi untuk mencari.

Bayangkanlah hal-hal menyenangkan, maka kau akan dapat terbang. Peter bilang seperti itu. Aku tidak menurut. Aku bukan hanya membayangkan, namun aku melakukannya. Terlalu banyak hal yang menyenangkan sampai-sampai aku tidak peduli apakah aku bisa terbang atau tidak.

Peter selalu jadi pahlawanku. Kesatria dan Peri sekaligus. Dia menolongku dengan tidak melakukan apa pun untukku. Dia hanya jadi dirinya sendiri.

Semua anak tumbuh dewasa, kecuali satu, Peter Pan.

Peter Pan mungkin tidak pernah dewasa, namun telah ribuan kali ia mendewasakanku dengan membuatku berani memilih, apakah aku akan jadi dewasa, atau menjadi anak-anak saja.

***

(Sinta, 18 mei 2017)