2011

Kamis, 29 Desember 2011

Selapang Sang Rembulan part 8



Keindahan cinta memang tak dapat tertanggungkan. Semuanya melebur dalam satu rasa. Cinta. Cinta. Cinta. Sebuah rasa istimewa yang akan melapangkan setiap hati insan di dunia.

***

Sivia tengah berjalan beriringan dengan Pricilla. Ia nampak tengah berceloteh ria. Sepertinya ia tengah bercerita mengenai pengalamannya kemarin. Saat ia menjadi penipu professional. Berpura-pura sakit lantas meminta Rio dan Shilla untuk datang ke rumahnya, dengan tujuan agar mereka berdua bisa menjalin kedekatan yang selama ini serasa sulit untuk terwujud. Lalu setelah itu ia kabur dari rumah. Berjumpa dengan Gabriel yang memaksanya memakan rujak. Kemudian ia sakit perut dan langsung diantar pulang oleh Gabriel. Rio yang mengetahui bahwa ternyata ia telah ditipu oleh Sivia sangat marah. Namun, melihat keadaan Sivia yang sungguh menyedihkan, ia merasa kasihan dan menyuruh Gabriel untuk menjaganya sampai sembuh. Lalu saat menjelang shubuh, Gabriel…

Sivia menghentikan ucapannya. Ia membekap mulutnya tiba-tiba. Akankah ia menceritakan peristiwa ‘terindah’ tadi malam pada sahabat cantiknya ini? Tidak. Sivia menggelengkan kepala. Ia belum siap. Nanti, apa kata Pricilla? Apa kata yang lain? Apa kata dunia? Dia dan Gabriel yang tak pernah akur, hanya dalam rentang waktu satu malam, menjadi sepasang… kekasih?  Tidak.

“Kenapa? Gabriel ngapain lo pas mau shubuh?” Tanya Pricilla. Ia memicingkan mata. Menyelidik.

“Eh, dia… dia…” Sivia menggigiti ujung telunjuknya. “Dia bangunin gue,” ucapnya spontan. “Pamit pulang.” Tambahnya lantas tersenyum jengah.

Pricilla menggelengkan kepala. “Kirain, elo diapain ama dia.” Ujarnya santai.

“Emang, elo mau gue diapa-apain ya ama dia?” Tanya Sivia. Ia mendelik tajam pada Pricilla.

Pricilla hanya mengerlingkan matanya nakal. Lantas berjalan mendahului Sivia.

“Pricilla nyebeliiiinnnn!” Sivia merajuk. Bibirnya mengerucut lucu. Lantas memperbesar jangkauan kakinya untuk mengejar Pricilla yang sudah beberapa langkah di depannya.

Kedua gadis cantik itu pun kini telah sampai di depan ruangan kelasnya. Tiba-tiba, Sivia merasakan ada sesuatu yang berbeda pada dirinya saat mendapati pemuda pencuri hatinya itu kini tengah berdiri diambang pintu bersama Cakka, sahabatnya. Sivia merasakan jantungnya berdegup lebih kencang, seperti saat pertama ia naik tornado di Dufan dulu. Lalu kini, perutnya serasa dijejali buncahan getaran yang membuatnya mual. Nafasnya memburu seketika. Aliran darah berhenti pada satu titik.

Sivia dan Pricilla sudah berada tepat di depan Gabriel dan Cakka. Mereka berhenti sejenak. Pricilla memamerkan senyum manisnya pada dua pemuda di hadapannya. Sementara Sivia hanya menundukkan kepala. Tak berani menerima kenyataan bahwa kini pemuda itu telah berstatus sebagai pemudanya.

“Cakka, Gabriel, kalian berdua sok ganteng deh berdiri di situ!” Pricilla mencibir lalu segera berlalu dan masuk ke dalam kelas.

“Nyeh..” Cakka menyusul Pricilla. Masakah ia yang –menurutnya- setampan Justin Bieber itu dibilang sok ganteng. Padahal kan dia memang ganteng.

Lalu Gabriel terus menerus mengamati profil Sivia dari ujung jempol kaki sampai puncak kepala. Gadis ini, begitu menawan dengan rambut panjang hitam terurainya. Sebuah jepitan beraksen daun menghiasi jumputan rambutnya. Ia tersenyum. Berusaha menahan lengannya yang hendak mengacak rambut gadisnya. Atau hanya sekedar mengusapnya pelan untuk menunjukkan betapa yang terjadi dini hari tadi adalah memang sebuah kejujuran yang sudah tak terelakkan.

Sivia yang merasa sedang dipandangi merasa risih. Ia terburu-buru mengusir segala apa pun yang membuatnya kacau. Lantas ia segera melangkah. Melewati Gabriel yang justru seketika langsung meraih tangannya. Menahannya untuk tak lekas bergegas.

Sivia menoleh ke belakang. Menangkap pergelangan tangannya tertahan oleh lengan kokoh Gabriel. Sejurus kemudian, ia memindahkan focus tatapannya pada wajah tampan Gabriel. Ia tengah tersenyum. Senyum yang dulu sungguh menyebalkan. Lalu sekarang, mengapa senyuman itulah yang  justru mampu meredam perasaan bergemuruh dalam hatinya?

Gabriel menggerakkan genggamannya untuk mengumpulkan jemari Sivia yang terurai. Ia tersenyum disertai kehangatan yang menjalari tiap sela jemarinya. Lalu kini, ikut menghangatkan hatinya. Sivia terpana. Terkagum-kagum melihat selaput bening yang dimiliki pemudanya.

Lantas terkesiaplah Sivia kala ia mendengar suara baritone khas yang baru saja melafalkan namanya.

“Sivia,,, udah sembuh?”

“Eh,,,” Sivia mengerjap. Reflex hendak melepaskan tangannya yang tengah berada dalam genggaman hangat Gabriel. Namun Gabriel segera menahannya. Ia memandang Sivia. Mengisyaratkan bahwa sudah tak ada lagi yang perlu ditutup-tutupi. Kini semuanya kentara. Antara mereka kini memang terjalin sebuah cerita. Cerita tentang dunia yang hanya ada kejujuran dan kelapangan hati disana.

Sivia mengangguk. Mungkin memang sebaiknya, ia tak lagi harus memunafikkan hatinya sendiri. Toh, ia pun juga mempunyai rasa yang sama dengan apa yang mengendap di hati pemudanya. Bahkan mungkin jauh lebih bersahaja.

“Udah Yo. Thanks ya!” Sivia mengulum senyum tipis.

Lantas mereka bertiga melangkah masuk ke dalam kelas. Rio selangkah di depan. Sedangkan sivia dan Gabriel berjalan beriringan. Jemari mereka tetap saling bertautan. Menegaskan.

Cakka yang menyadari bahwa ketiga sahabatnya baru saja tiba langsung berlari memburu mereka. Mereka? Ah tidak. Ternyata dia hanya memburu satu orang. Satu-satunya gadis diantara dua pemuda tampan. Sivia.

“Sivia, elo ga pa-pa kan? Kata Shilla kamu sakit ya? Ya ampun! Kenapa ga minta tolong ke gue sih? Nanti gue bakalan dating ke rumah lo. Lo ga tahu kan, gue itu calon dokter. Dokter ganteng.” Cakka terus berceloteh. Sesekali ia menjawil pipi ranum Sivia.

Gabriel mengulum bibir. Apa-apaan itu Cakka? Sok khawatir pada Sivia. Bukankah ia pernah bercerita bahwa gadis yang ia sukai adalah Shilla. Lalu mengapa ia begitu mencemaskan keadaan Sivia? Gadis lucu yang telah mutlak menjadi miliknya. Tak boleh diganggu gugat.

“Heh, jangan pegang-pegang cewek gue!” hardik Gabriel. Ia menghentakkan tangannya untuk menangkis tangan Cakka yang lagi-lagi hendak mencubit pipi tembem Sivia.

“Hah?”

Semuanya terperangah. Semua yang mendengar pernyataan lantang yang disuarakan Gabriel. Mulut mereka menganga. Cakka membelalakkan matanya. Rio menautkan kedua alisnya. Ify, Pricilla, Shilla dan Febby bergegas menghampiri mereka.

“Elo ga main-main Yel?” Tanya Cakka tak percaya. Ia mengguncang-guncang bahu Gabriel.

Gabriel tersenyum miring. Ia melirik kea rah tautan jemarinya. Mengisyaratkan agar Cakka dan semuanya mengikuti arah lirikannya.

Kini, banyak pasang itu membulat kala melihat sesuatu yang rasanya seperti mustahil untuk terjadi. Kesepuluh jemari mereka berkumpul. Saling menggengam dengan penuh kehangatan. Mereka menggelengkan kepala. Belum sepenuhnya percaya.

“Sivia, elo udah jadian ama Gabriel?” Tanya Febby antusias. Ia menepuk pundak Sivia.

Sivia hanya diam. Ia bingung mau mejawab apa. Mengiyakan atau menyangkal segala yang diucapkan Gabriel. Ia menoleh kea rah Gabriel. Tegakah ia kalau ia akan menyanggah segalanya? Segalanya yang bahkan kini menjadi satu-satunya yang rasa yang menjadi penguasa? Kembali menjadi munafik. Bertopengkan kebohongan. Lantas menyakiti hati pemuda yang bahkan selalu memberikan seluruh kasih untuknya. Tidak. Mana mungkin ia sejahat itu. Lagi pula, pernyataan Gabriel memang benar adanya. Dan hatinya takkan lagi mampu mengkamuflase rasa itu. Semuanya transparan. Apa yang terlihat mata, adalah perwujudan dari setiap rasa.

Maka Sivia menundukkan kepala. Dalam keingintahuan setiap sosok yang menyaksikannya, ia mengangguk. Lemah seakan pasrah. Namun mantap tak dapat terbantah.

“Huaaaa,,, Siviaaaa…!!!” Febby menghambur memeluk Sivia. Diikuti Shilla dan Ify. Cakka hendak bergabung ke dalam pelukan ketiga gadis itu. Namun segera ditahan Gabriel. Gabriel mengurai genggamannya. Toh, ia masih punya jutaan waktu untuk merasakan kelembutan sela jemari gadisnya. Bahkan mungkin, lebih dari itu.

“Kebiasaan banget Cakka!” ujar Gabriel.

“Naluri playboy sih ah! Jadinya susah!” ujar Rio dan mendorong tubuh Cakka pelan.

Cakka mengulum bibir. Ia menggaruk kepala bagian belakang. Sahabatnya itu kadang memang suka iri padanya. Ya, wajarlah. Secara kan Cakka itu tampan nan rupawan. Banyak gadis yang ingin menjadi kekasihnya. Tapi ia cukup tahu akan hatinya. Akan siapa yang menjadi pemilik cinta yang bergelung di hatinya. Tentulah gadis itu adalah satu-satunya gadis yang selalu saja ada di fikirannya. Gadis yang menjadi salah satu bagian dari adegan berpelukan yang ada di hadapannya. Gadis yang tak pernah tahu akan gemuruh ombak yang selalu saja membuat perutnya mual kala berada di sampingnya. Gadis yang malah mengejar cinta yang lain yang semakin menjauh seiring perjuangan keras yang dilakukan untuk meraihnya.

Pricilla tak berniat ikut terlibat dalam pelukan perayaan tersebut. Ia meletakkan telunjuknya di dagu. Mengangguk-angguk seraya tersenyum miring.

“Jadi ini toh yang terjadi pas mau shubuh!” Pricilla mendelik ke arah Gabriel. “Hebat juga lo pangeran vesva. Haha…”

Sivia buru-buru mengurai pelukannya. Ia mencubit lengan Pricilla sampai gadis berponi itu meringis kesakitan. Sivia mempelototi Pricilla. Yang dipelototi malah mengusap-usap area bekas cubitan. Sesekali terkekeh jahil menggoda sahabatnya.

“Oh, Sivia ditembaknya shubuh ya? Ish ish, sok romantis lo Yel!” Rio ikut mencibir.

“Riooooo… apa-apaan sih! Nyebelin ya kaya Pricilla!” Sivia mengulum bibir. Tuh kan, sekarang ia jadi bahan ledekan teman-temannya. Gabriel sih!

Sementara Gabriel tak berniat sedikit pun membela gadisnya. Biar saja gadisnya menahan malu. Kan kalau malu, wajah Sivia suka berubah warna menjadi merah ranum. Nanti ia bisa menjawil pipi Sivia. Gabriel tersenyum menyeringai.

“Wah Yo, kita berdua nyebelin. Tos dongse!” Pricilla mengayunkan telapak tangannya yang langsung disambut oleh telapak tangan Rio.

“Tostos!” ujar Rio.

Sivia mendengus kesal. Kedua sahabatnya itu keterlaluan. Ia menghentakkan kakinya ke lantai. Menyikut perut Gabriel yang sebagai pacarnya sama sekali tidak berkutik saat Sivia menjadi sasaran kejahilan teman-temannya.

“Heh odong-odong, belain aku napa? Ish!” ujar Sivia.

“Cieee,,, Odong-odong. Belain Becak dongse! Ahahaha!” Pricilla memperagakan gaya Sivia yang manja. Namun malah terkesan berlebihan dan –cukup- menggelikan.

“Ish…” Sivia berdecak. Capek menghadapi teman-temannya yang menyebalkannya sudah mencapai level tertinggi. Mungkin, ini karma ya. Biasanya kan Sivia yang membuat mereka kesal sampai guling-guling di lantai. Sekarang gantian dia yang harus sering mengurut dadanya. Menyabarkan diri dari mahluk-mahluk yang hamper kehilangan warasnya.

“Cieee,,, yang ngambek! Uuuhhh,,, lucu deh!” Gabriel mencubit pipi Sivia. Kena kan dia. Gabriel bersorak bahagia.

“Odong-odong nyebeliiiiiinnnn!!!!!” Sivia berteriak. Membuat seisi kelas diam sejenak. Dan akhirnya bersama-sama menertawakan tingkah lucu dan konyol dari pasangan terfenomenal abad ini. Odong-odong dan Becak.

***

Gadis cantik itu tengah duduk berselonjor kaki di bawah sebuah pohon besar yang berdiri kokoh di taman sekolah. Dipangkuannya tergeletak pasrah sebuah buku –nampaknya novel- bersampul jingga keemasan. Gadis itu tengah melamun. Fikirannya jauh menerawang. Ia sama sekali tak mempedulikan bukunya yang berpindah halaman sendiri dengan bantuan angin. Ada hal yang lebih krusial daripada sekedar menyelesaikan bab-bab dalam buku tersebut. Mengenai hati dan perasaan yang ada di dalamnya. Gadis itu mendesah.

“Gaharu.” Kata itu terdengar begitu indah saat suara baritone itu melapalkannya. Si empunya suara, ikut duduk di sebelah Gaharunya. Ia menekuk kedua lutut.

“Kau menemukanku?” Tanya Gadis itu retoris.

“Aku selalu dapat mengetahui keberadaanmu Ify. Instingku kuat.”

Lalu setelah itu hening. Mereka memang bukan seperti pasangan lain yang seringkali mengungkapkan perasaannya dengan jutaan kata indah atau hanya sekedar gombalan konyol belaka. Mereka lebih senang seperti ini. Menikmati tiap pergeseran jarum jam berduaan tanpa suara. Merasakan keindaham cinta tanpa harus berfikir keras menghasilkan syair-syair cinta memikat seolah sang pujangga. Mensyukuri anugerah Tuhan yang kerap terlupakan.

Dan Rio -pemuda itu- kali ini seperti berada pada titik dimana ia tak lagi nyaman dengan keadaan seperti ini. Ia mendesah kentara. Teramat kentara.

“Sampai kapan kita begini?”

Ify terkesiap. Ia menoleh sejenak. Lantas kembali memalingkan muka ke depan. “Kau bosan?” Tanya Ify sarkatis.

“Aku ingin seperti Gabriel dan Sivia. Tak ada yang ditutu-tutupi. Kita sudah cukup lama begini.” Nada bicara Rio mulai meninggi.

“Intinya,,, kau bosan kan?” Ify menohok kedua mata Rio. Lalu tersenyum miring.

“Bukan. Aku tak pernah bosan melakukan suatu hal bersamamu Gaharu! Tapi,,,” Rio berhenti sejenak. Ia mnghela nafas. Berusaha memperlembut aksen bahasanya. Takut melukai hati Gaharunya. Perlu diketahui, Rio akan mati-matian berusaha agar hati gadisnya tak pernah sedikit pun terluka. “Tapi, kenapa kita tak bisa seperti mereka yang bahkan selama ini pun tak pernah ada tanda-tanda cinta di antara mereka.”

Ify menunduk. Ia merutuki dirinya sendiri dalam hati. Ia tahu Rio sangat marah padanya, namun sekuat tenaga ia tahan untuknya. “Aku bukan Sivia. Dan kamu juga bukan Gabriel. Kita berbeda dengan mereka.”

Rio mengerutkan kening. “Apa bedanya? Kita sama-sama memiliki cinta. Bahkan jauh lebih lama dari mereka”

Ya, tak ada yang berbeda dari ini semua. Lalu kenapa gadis itu selalu teguh pada pendiriannya? Memutuskan untuk tidak ada satu orang pun yang tahu akan hubungan istimewa yang terjalin antara mereka sejak beberapa bulan silam. Apa yang sebenarnya ada di dalam fikiran Gaharunya? Atau dalam hatinya? Rio jadi ragu sekarang. Adakah ia selama ini mengisi relung hati gadis Gaharunya? Atau selama ini, hanya kepalsuan saja? Hanya untuk membuatnya bangkit dari keterpurukkan setelah perpecahan dalam keluarganya? Rio menggeleng. Tidak. Gaharunya tak mungkin sejahat itu. Ia menyingkirkan dugaan konyol yang baru saja mengusiknya.

“kalau kita melakukan hal yang sama dengan apa yang dilakukan Sivia dan Gabriel, maka aka nada hati yang terluka. Aku tak mau,,,” Ify menunduk. Menggigiti bibirnya.

Ya, itulah alasan Ify menginginkan hubungan istimewa dengan pemudanya dirahasiakan. Karena ia tahu, ada hati lain yang lebih rapuh akan menelan pil kekecewaan apabila mengetahui semuanya. Dan ia tahu, pemilik hati rapuh itu adalah gadis yang rapuh juga. Sahabatnya sendiri. Walau ia tak pernah mendengar langsung dari sahabatnya, ia tahu. Sangatlah tahu. Mata beningnya tak pernah bisa menutupi gejolak yang bergemuruh d hatinya. Gejolak yang kerap membuncah kala sahabatnya itu berhubungan dengan semua yang bersangkutan dengan pemudanya. Entah itu kala ia berhadapan langsung, berbicara langsung, berkontak tubuh langsung, atau hanya kala membicarakannya saja. Bahkan, mendengar nama pemudanya disebut saja, bisa-bisanya membuat gadis rapuh itu terpesona. Ify takkan sampai hati harus menyakiti sahabatnya. Dia gadis yang baik. Hatinya putih dan suci.

Sementara Rio terperanjat. Hati siapa yang dimaksud? Rio benar-benar belum mengerti. Tapi Rio sudah cukup menerima akan alasan itu. Alasan yang mulia. Ia mendesah. Kenapa gadisnya masih saja memikirkan hati orang lain, sementara ia yakin bahwa hatinya sendiri juga tak sepenuhnya nyaman dalam keadaan seperti ini.

Rio melingkarkan lengannya untuk merengkuh tubuh Ify. Ia memberikan gesture lembut sehingga Ify dengan senang hati mendaratkan kepala pada bahu kokohnya. Rio mengusap-usap pelipis Gaharunya. Merasa beruntung memiliki Gahari yang sangat istimewa.

“Aku mencintaimu Ify…”

Kalimat itu pun kini tak sedikit pun berkurang khasiatnya. Tetap memiliki kekuatan magis. Ify selalu saja merasa tenang setelah mendengar kalimat itu terucap dari pemuda yang telah mengubah harinya menjadi lebih indah. Dan Rio sangat tahu apa yang dapat membuncahkan bahagia di hati Gaharunya. Maka ia rela mengucap kalimat itu bermiliyar kali pun, asal Gaharunya tetap tinggal di sisinya.

Maka tanpa mereka tahu, seorang siluet tampan tengah memperhatikan mereka dari kejauhan. Pemuda itu mengepalkan tangannya. Ada perasaan marah di hatinya, bercampur dengan kekecewaan. Namun perasaan yang sedikit lebih banyak dari itu semua adalah kecemasan. Rasa cemas yang ia tujukan untuk gadis pemilik hati yang Ify maksud tadi. Gadis yang sudah berhasil memikat hatinya. Pemuda itu mendengus.

***

Bersambung 

***

Hehehe, ngaret yak? Maaf deh! Thanks udah nemenin saya disaat suka maupun duka. #cielahbahasanya. Haa,, pokoknya thanks a lot lah buat semuanya. Terutama buat PRENSINTALICIOUS. #okeguesokartis. haha, becanda doang! Orang saya ga punya prens, pens mah banyak!
Sekian ya cuap-cuap saya! Selamat Tahun Baru aja! Haha #padahalbelum See you in 2012! Muahmuah!

Oleh: Sinta Nurwahidah
fb: 1. Sinta Banget
     2. Shinta Nurwahidah
Twitter: @sintaSnap

Salam Pisang goreng!

Rabu, 28 Desember 2011

HUJAN, Kita Dan Mimpi part 19B






“Kita mau ke mana sih Yel?” tanyaku pada Gabriel yang masih terus bersemangat mengayuh sepedanya.


“Ke mana aja boleh!” ujarnya sambil terkekeh.

Aku mengulum bibir. Terkadang, Gabriel itu –sok- misterius. Tapi, tak bisa ku pungkiri, aku menyukai kemisteriusannya. Tentulah. Aku pasti akan menyukai apa pun tentangnya.

Beberapa menit kemudian, akhirnya Gabriel menghentikan kayuhannya. Kami tiba di sebuah butik. Butik yang dimiliki oleh seorang desainer yang cukup ternama.

Aku menautkan kedua alis. Untuk apa Gabriel membawaku ke tempat ini? Apakah dia mau memesan gaun pengantin untuk kami menikah nanti. Ish, apa pula aku ini? Kenapa sampai berfikir sejauh itu? Kami kan masih SMP. Mana mungkin kami menikah. Tapi, sudah dewasa nanti, mungkin saja. Siapa yang tahu. Aku terkekeh.

“Kok senyum-senyum?” Tanya Gabriel.

Aku terkesiap. Menggeleng cepat. Lalu menanyakan apa tujuan dia mengajakku ke tempat ini.

Dan yang ditanya hanya menjawab dengan senyum simpul. Ia meraih lenganku. Menariknya dan membawaku masuk ke butik yang elegant ini.

Kami sungguh beruntung, karena sesaat setelah kami masuk, kami disambut oleh keramahan sang pemilik butik. Seorang wanita yang masih terlihat segar dengan usianya yang sudah tidak muda lagi. Wanita tersebut tersenyum pada kami.

“Siang tante!” sapa Gabriel. Ia mencium punggung lengan si empunya butik.

“Gabriel, kenapa baru sekarang kau datang ke sini? Padahal dari seminggu yang lalu, pesananmu sudah selesai.” Ujar sang wanita. Lantas ia melirik ke arahku. “Eh cantik, siapa namanya?”

“Ini Ify tante. Fy, kenalin, ini tante Zevana.” Tutur Gabriel.

Aku mengangguk. Tersenyum. Lalu bersalaman dengannya.

“Maaf tante. Baru ada waktu. Saya boleh liat pesanan saya?” Tanya Gabriel.

“Tunggu sebentar.” Tante Zevana bergegas mengambil barang yang dimaksud.

Aku menatap Gabriel. Ia terlihat berseri-seri. Sedari tadi, ia tak henti memulas senyum pada wajah tampannya. Aku mengerutkan kening.

“Kamu pesen apa sih?”

Gabriel mengerlingkan matanya nakal. Lalu memalingkan wajah kala Tante Zevana telah kembali bergabung bersama kami. Di lengannya tersampir sebuah setelan jas berwarna putih dan sebuah gaun yang berwarna senada dengan setelan jas tersebut. Gaun yang sangat cantik.

“Ini pesanan kamu.” Tante Zevana menyerahkan jas dan gaun tersebut pada Gabriel.

Kerutan di keningku belum juga terurai. Aneh sekali. Gabriel memesan jas bukanlah sesuatu yang aneh. Tapi gaun cantik itu? Masakah gaun itu untuk dikenakannya. Gabriel itu laki-laki sejati. Untuk mamanya? Ah, mana muat. Gaun itu sepertinya berukuran sama dengan gaun-gaun yang ku punya. Ataukah mungkin untukku? Untuk aku kenakan suatu saat. Untuk aku pakai saat berdiri berdampingan dengannya. Aku menggelengkan kepala. Yang benar saja. Kenapa akhir-akhir ini aku sering sekali berangan-angan tentangnya? Sama seperti saat dulu ketika aku berada di dekat pemuda lain yang bahkan kini telah sepenuhnya meninggalkan hati dan fikiranku. Atau kini, semuanya memang kembali terulang. De javu. Ya, lalu setelah aku masuk ke dalam dunia angan-angan yang seringkali, menawarkan kebahagiaan, aku kembali dihempaskan. Terabaikan oleh kedatangan atmosfer yang gaya tariknya lebih mengagumkan. Kembali menorehkan baret luka. Lalu mencari kekuatan yang aku tak yakin kali ini dapat menguatkan. Tidak. Penyangkalan terus ku rapal berulang-ulang. Gabriel adalah pemuda berhati malaikat. Jadi, dia takkan pernah menyakitiku. Kapan pun.

“Langsung bungkus aja ya Tante!”

“Kok ga dicoba dulu?” Tanya Tante Zevana.

“Ga usah deh! Nanti aja pas acaranya. Hehe…” Gabriel memamerkan deretan giginya yang rapi.

“Ya udah!” Tante Zevana kini bergegas untuk membungkus dua pakaian mewah tersebut. Lalu setelah selesai, beliau menyerahkannya pada Gabriel.

Gabriel secepat kilat meraih bungkusan tersebut. Ia kemudian menyimpannya di depan dada. Memeluknya erat. Tampak guratan kepuasan pada garis wajahnya. Aku pun ikut tersenyum. Entah mengapa dapat merasakan kebahagiaan yang tengah membuncah di hati pemuda ajaib itu.

***

“Bang, kembang gulanya dua ya!” ujar seorang pemuda

Dua bocah laki-laki yang tengah duduk di atas hamparan rumput seraya asyik menikmati kembang gula berwarna merah mudanya langsung berhenti sejenak. Ia mendelik ke arah si empunya suara. Kakak jelek itu lagi. Fikir mereka. Mau apa lagi dia? Pasti ada yang tidak beres.

“Heh kakak jelek!” hardik Ozy. Deva meneruskan prosedur menikmati kembang gulanya yang sempat terhambat.

Rio memandangi Ozy dengan satu alis yang terangkat. Lalu beralih memandangi Deva yang sepertinya kurang peduli dengan keberadaannya. Bocah itu masih serius dengan kembang gulanya. Rio mencibir. Kali ini dia tidak berniat untuk bersitegang dengan bocah-bocah ingusan di hadapannya. Waktunya terlalu berharga untuk dibuang percuma. Lagipula, gadisnya pasti telah menantinya. Ia memalingkan muka. Focus pada penjual kembang gula yang tengah membuat dua buah penganan yang terbuat dari gula pasir tersebut.
Ozy yang merasa diacuhkan langsung mengulum bibir. Ih, kakak jelek tidak asyik. Dia kan mau berantem lagi seperti tadi. Ozy menyikut lengan Deva.

“Aduuhhh,,, Ozy apa sih? Ganggu aja!” Deva mengembungkan pipinya.

“Ih, masa kakak jeleknya ga ngajakin berantem lagi sih?” Ozy berbisik.

“Biarin dongse! Sekarang mah, mending makan kembang gula aja. Tuh, punya kamu udah mulai ciut!” Deva menunjuk kembang gula milik Ozy.

“Huaaa,,, iya deh!” Ozy terburu-buru memasukan kembang gulanya ke dalam mulut. Ia tidak rela hartanya ciut termakan angin.

“Ini mas!” Bapak pedagang memberikan dua buah kembang gula sebesar guling bayi kepada Rio.

Rio memberikan selembar uang sepuluh ribu. Mengucapkan terimakasih. Lantas melengos setelah menjulurkan bibir pada dua bocah tengil yang telah memberinya ide untuk menghadiahkan kembang gula yang super manis itu pada Auroranya. Ia berlari. Tak sabar untuk memberikan sesuatu yag ada di tangannya pada gadis yang sudah benar-benar membuatnya melupakan segalanya. Termasuk siapa sesungguhnya yang menjadi penghuni pertama dan istimewa di hatinya. Yang ia tahu kini hanyalah dia. Dia. Dia. Auroranya. Adiksinya. Gravitasinya.

Sementara di tempat lain, Sang Aurora masih tetap setia menanti pemudanya. Pemuda pertama yang mengenalkannya pada keindahan cinta. Ia tengah duduk sambil bertopang dagu. Memikirkan Pangeran Mataharinya. Akankah sampai nanti ia juga setia untuk menanti kedatangan sang pemuda yang tengah jauh berkelana? Dan akankah pemuda itu juga kembali untuk tetap menjaga cinta agar pesonanya tetap menjadi yang paling sempurna. Tanpa apa dan siapa pun mengusik. Tetap seperti ini.

Lalu tak lama setelah itu, nyatanya gadis itu langsung menghilangkan segala yang beberapa menit lalu mengganngu fikirannya, kala ia melihat siluet tampan itu tengah berjalan menghampirinya. Dia masih saja terlihat begitu menawan dan mempesona. Apalagi kini, di masing-masing tangannya, ada dua guling berwarna pink. Menggemaskan.

“Kok lama? Kamu buang dimana Ozy dan Deva?” Tanya Keke. Ia tak bisa menutupi rona bahagianya kala pemuda itu sudah benar-benar berdiri tepat dihadapannya.

“Di Bantar Gebang. Ini..” Rio menunduk. Memberikan satu dari dua guling yang dibawanya pada Keke. Keke langsung meraihnya. Dan akhirnya Rio pun ikut duduk di sebelahnya.

“Itu anak orang tauuuu…” Keke mulai mencoba guling pinknya. Umm,,, manis. Keke mencomot kembali gulingnya.

Rio tersenyum melihat ekspresi Keke yang begitu lucu kala ia memasukkan secomot guling legi itu ke dalam mulutnya. Lantas ia pun ikut menikmati gulingnya seraya terus mengamati profil wajah Keke yang tak pernah bosan untuk ia tatapi lekat-lekat.

“Manis ya Yo?”

“Manisan kamu.” Rio tak sadar mengucapnya. Walau toh, kalimat itu memang benar adanya. Kesungguhan. Keke memang manis. Sangat manis. Apalagi dengan lengkungan senyum khasnya. Rio masih saja memaku pandangannya tepat pada selaput bening bulat yang dimiliki Auroranya.

Keke terperanjat. Hampir saja ia mencelat dari duduknya. Ia menoleh kea rah Rio. Manangkap pemuda itu tengah menatapinya tajam. Langsung saja matanya ditohok oleh kilauan indah yang terpancar dari kedua bola indah Rio.

“Aku cinta kamu Aurora.” Rio bergumam. Nyaris berbisik. Ikut menghilang seiring terpaan angin yang baru saja melintas.

Namun Keke masih bisa mendengarnya. Tepatnya hatinya. Namun entah karena apa, dalam hatinya justru ia mengucapkan berjuta kalimat penyangkalan. Jangan. Ucapnya. Jangan seperti ini. Jangan buat aku semakin mencintaimu. Karena semakin cinta itu membuncah, maka semakin berat pulalah aku harus melepasmu kala suatu saat rasa itu telah lenyap di hatimu.

Dan Rio amat tahu bagaimana terusiknya hati gadis di hadapannya. Maka ia memberikan tatapan memohon pada Keke. Tolong percaya, cinta ini terlalu besar untuk dienyahkan. Sekali pun tanpa sadar, ada cinta yang yang jauh lebih sederhana yang masih ia simpan di salah satu tempat teristimewa di hatinya.

Keke mengangguk. Berharap tak ada kebohongan dari ini semua. Atau mungkin, kebenaran yang berusaha ditampikkan. Keke tersenyum. Hatinya sudah merasa sedikit lega. Semoga memang hanyalah cintanya yang tetap menjadi gravitasi terkuat tarikannya.

Namun siapa yang tahu, mungkin hanya Tuhan dan monster kecil yang tengah terlelap untuk sementara di hati sang pemuda yang tahu akan kebenaran yang sesungguhnya. Ya, kenyataan bahwa ada pesona yang terlebih dulu mengisi ruang itu. Pesona yang memang tak terlalu memabukkan seperti yang tengah ia kecaa sekarang. Tapi yakinlah, pesona itu tak akan lekang oleh zaman. Tetap menawan sebagaimana mestinya. Dan sesungguhnya, hanya pesona itulah yang benar-benar menjadi tempatnya kembali kala pesona yang lain menguap bersama embun-embun kekecewaan.

***

Gabriel menenggak air mineralnya. Ia terlihat sangat kelelahan. Tentu saja. Mengayuh sepeda dengan aku ikut duduk di belakangnya pasti sangat menguras tenaganya. Apalagi perjalanan kali ini adalah perjalanan yang tidak biasa. Dari sekolah ke butik Tante Zevana. Setelah itu bergegas ke toko bunga milik mamanya, menunjukkan jas dan hujan yang telah terlebih dulu ia ambil dari Tante Zevana pada sang mama. Lantas setelah itu, dia belum juga mau pulang. Pemuda berhati malaikat itu malah membawaku ke sini, ke taman yang rasanya sudah tak asing lagi bagiku. Dulu, bersama Rio aku sering ke sini. Menikmati senja di bawah kokohnya pohon jati. Dan kini, bukan lagi Rio yang ada di sampingku. Dan toh, aku pun tak lagi berharap kalau Rio hadir disini, saat ini. Aku punya Gabriel. Pangeran hujan berhati malaikat. Pemilik senyum lebar nan menenangkan. Empunya tatapan tajam namun meneduhkan. Dan Gabriel jelas jauh lebih bisa membuatku bahagia. Dia selalu menganggapku istimewa. Terlihat dari perlakuannya.

“Kenapa kita ga pulang aja? Kamu kelihatan capek banget!” aku merogoh tasku. Mengeluarkan sebuah sapu tangan lantas memberikannya pada Gabriel.

Gabriel tersenyum. Menggapai sapu tangan berwarna putih tersebut, lantas mengusapkannya pada wajahnya yang telah berlumuran peluh. Kemudian, melirikku.

Aku mengangkat sebelah alis. Menanti apa yang akan terucap dari mulutnya. Pasti kalimat ajaib. Gabriel kan pemuda yang ajaib.

“Aku hanya ingin melihatmu tersenyum Ify. Melihat kamu bahagia…” Gabriel memberikan kembali sapu tangan milikku.

Aku menggeleng. Mendorong lengannya. Biar saja. Biarkan sapu tangan itu menjadi miliknya. Sebagai ucapan terimakasih atas segala keajaiban yang nyatanya selalu mampu menyeka tiap buliran air mata yang menganak sungai di pipiku. Lebih hebat lagi, kesederhanaannya mampu menyulam senyum di wajahku. Senyum bahagia. Dan kali ini pun, aku tersenyum kala mendengar kalimat ajaib yang ia utarakan seperti biasanya. Dengan ketulusan. Lalu senyum ini pun lebih lebar bahkan. Dan senyum ini tercipta karena dan untuknya.

Gabriel mengangkat bahunya. Menggenggam erat sapu tangan yang telah resmi menjadi miliknya. Kemudian menyimpannya ke dalam saku celana.

“Oh iya, jas sama gaun tadi untuk apa? Oke, maksudku gaunnya saja. Kau tak akan memakai gaun itu saat acara tahun baru nanti, kan?”

“Haa,,,” Gabriel terkekeh. Lalu meraih tas dimana ia menyimpan jas dan gaun tadi. Ia membuka resletingnya. Merogohnya dan mengeluarkan gaun cantik tadi yang telah terbungkus oleh plastic transparan. Ia menatapku sejenak lantas meletakkan gaun tersebut di pangkuanku.

Aku terperanjat. Semakin tidak mengerti. Kembali mencipta kerutan kebingungan pada keningku. Benar-benar tidak tahu apa maksud Gabriel. Mungkinkah gaun itu memang sengaja dipesan Gabriel untukku? Untuk aku kenakan? Untuk aku selaku Putri Pelanginya? Ah iya, mungkin saja. Aku memicingkan mata menatapnya.

“Kamu pakai ya gaun itu di pesta ulang tahunku minggu depan!”

Apa? Jadi gaun itu memang untukku? Aku membuka mulutku. Hendak berkata. Namun serasa tertahan oleh buncahan rasa bahagia.


“Kenapa?” hanya itu yang dapat keluar dari mulutku. Kenapa. Kenapa ia begitu ajaib sehingga aku dapat dengan begitu cepat berpaling dari hati yang lain ke hatinya, pada cintanya? Kenapa ia sangat hebat sampai mampu membasuh luka yang dulu terlihat sangat menyedihkan? Kenapa ia baik dan mau menyusun potongan-potongan hati hingga tersusun rapi kembali, bersusah payah mencari bagian yang hilang, dan pada saat bagian itu telah lenyap tertelan kedap, ia rela menggantikannya dengan ketulusan yang ia punya? Kenapa ia tulus sehingga dengan mudahnya ia menggenngam harapku lantas membumbungnya jauh hingga ke angkasa? Dan kenapa tak dari dulu saja ia hadir dengan segala kesederhanaannya? Tidak. Bahkan dia telah menemani setiap kedipan mataku jauh sebelum pemuda penoreh luka itu mengisi hariku. Ya, aku saja yang tak menyadarinya.

“Karena aku sayang kamu Ify. Hanya kamu.”

Dua kalimat singkat yang ia tuturkan kembali membuatku terpana. Hanya karena aku. Hanya karena dia menyayangiku. Menyayangi dengan caranya sendiri. Cara ajaibnya. Hatiku bergetar. Ini sungguh bukanlah bualan belaka. Ini ketulusan. Aku tahu itu. Ombak yang menari-nari di matanya. Pancaran kelembutan terhadir dari tiap inci lengkung senyumnya. Segalanya kentara.

“Terimakasih Gabriel. Aku…” aku menundukkan kepala. Menggigit bibir. “Aku… kamu Pangeran Hujanku!”

Gabriel tersenyum menyeringai. Menggerakkan lengannya meraih kelima jemariku. Ia kumpulkan menjadi satu. Satu penuh cinta. Ia genggam begitu erat dan hangat, seakan mengikat.

Dan dalam keheningan yang tiba-tiba saja tercipta, sesungguhnya hati kami masing-masing tengah berseru. Saling meyakinkan. Mungkin memang terlalu dini. Kami belum mengerti betul akan semuanya. Namun kami –terutama aku- yakin bahwa perasaan sederhana ini ada untuk menyempurnakan segalanya. Segala yang kadang selalu tercampakkan. Tak pernah merasakan sentuhan ketulusan.

Tiap hela nafas yang kini memenuhi kuota seakan menghantarkan seutas harapan, agar kisah ini, kisah tentang Hujan, Kita -yaitu Pelangi dan Hujan- juga beserta jutaan mimpi yang telah melesak ini akan tetap berjalan semestinya. Tetap sederhana.

***

Bersambung.
Nb: Yeah, cerbung yang umurnya udah 10 bulan ini dilanjut juga! Sempet hopeless kemaren. Tapi, untung aja masih ada yang ngePRENS ama saya. Thanks buat Rizky yang udah ngedesainin tempat saya satu-satunya buat coret-coret.
Dan saya juga mau minta maaf untuk penghuni FB yang udah ngikutin HKDM dari awal brojol. Saya ga ngelanjutin di tempat ia dilahirkan. MAAF. Maaf banget!
Oke, saya kira sekarang tinggal koment aja! Boleh langsung disini, atau di fb saya: Sinta Banget dan Shinta Nurwahidah. Bisa juga di twitter, @sintaSnap

Thank you!
Salam Pisang Goreng!

Kamis, 15 Desember 2011

Hujan Berangin Di Bulan Desember (Sekuel Aku Dan Hujan Bulan Juni)







Aku ingin seperti angin, desauannya selalu menyejukkan hati.
Aku ingin seperti angin, sapuannya selalu menggelitik sukma.
Aku ingin seperti angin, aromanya selalu melesak angan.
Dan semoga angin pulalah yang menghantarkan Sang Hujan kembali dalam dekapan.

***

Kala menunggu adalah hal yang paling terkutuk di muka bumi ini, maka menunggumu adalah sesuatu termenyenangkan untukku. Karena pada saat itu, cinta sucimu selalu hadir di setiap deru nafasku.

*

~30 Juni 2008~

“Gue pergi. Jangan nangis! Hujan ga pernah suka liat lo nangis.”

Siluet tampan itu pun bergegas setelah menyelesaikan ucapan termanisnya. Ia berlari menerobos hujan. Sampai sosoknya pun hilang tertelan kabut yang enggan luput. Ia kini benar-benar pergi. Angin yang mengiringi kehadiran sang hujan turut serta dalam setiap pergerakan langkahnya.

Sementara aku hanya bisa menunduk. Merasakan sesak yang bergelung mencekat rongga pernafasanku. Menara yang selama ini berdiri kokoh ditopang hujan, runtuh seketika saat pemuda itu dengan tega membiarkanku menanggung sendiri jutaan harapan itu. Membiarkan aku berjuang mengerahkan seluruh kekuatanku untuk bertahan dari gelombang yang suatu saat pasti menerjang. Mecampakkan perih yang tertabur menyakitkan tepat pada ulu hati yang terdalam.

Namun ternyata, dibalik keangkuhannya, dia sangatlah peduli padaku. Pada perasaanku. Pada harapan-harapanku. Maka kali ini, disertai kerendahan hatinya, dia memintaku untuk tidak terus membanjiri dunia ini dengan buliran air mataku. Dia memberikanku keyakinan bahwa kelak suatu saat nanti, disaat yang tepat dia sendirilah yang akan mewujudkan semua harap yang ku panjat. Dia mendorongku untuk tidak menyerah lantas membanting segudang harapan itu sampai batas terdalam dari jurang tercuram. Menimbunnya dengan bermiliyar penyesalan. Lalu mati dan tak dapat melesak kembali. Dia menitipkanku pada hujan. Hujan yang baik dan menyenangkan. Hujan yang selalu membumbungkan angan hingga ke awang-awang. Hujan yang selalu menyisipkan kekuatan lewat tiap rinainya yang sederhana. Hujan yang hebat dan bijaksana. Hujan yang tak pernah menyukai adanya tangisan di muka bumi ini. Hujan yang akan segera mengkamuflase aliran sungai yang merembesi pipiku. Hujan yang selalu menjadi saksi dari tiap inci kisah ini.

Dan aku tak pernah merasa sendiri. Atau sepi karena hanya ada letupan yang diciptakan oleh rintikan hujan yang menemani tiap hembusan nafasku. Karena, bukan sekedar hujan yang ia tinggalkan. Tapi ia juga memberikanku angin. Angin yang tanpa aku sadari menjadi satu diantara tiga alasan untuk aku tetap bertahan. Walau logika telah gencar melakukan pemberontakkan.

***

~1 Juni 2009~

Di tanggal yang sama, setahun silam, aku dan dia terjebak di sini. Di halte tua yang keadaannya tak banyak berubah. Hanya cat dari bangku panjang halte saja yang terlihat sedikit memudar. Lebih dari itu, semuanya sama. Dan suasananya tetap sama. Menenangkan. Apalagi diiringi hujan di awal bulan juni seperti ini. Hujan yang selalu saja bersikap bijak.

Aku duduk di bangku panjang halte. Mengedarkan pandangan ke seluruh sudut halte. Tersenyum miring. Wajahnya kembali berkelebat dalam benakku saat merasakan setetes air baru saja jatuh tepat di punggung tanganku. Ah, sepertinya aku diserang perasaan rindu yang bearak mengelilingi relungku.

Aku terkesiap saat mendengar deru mesin yang berhenti tidak jauh dari tempatku berada. Bis baru saja tiba. Aku hanya menatapi bis itu. Aku tak berniat untuk naik dan menumpang bis itu untuk mencapai suatu tempat. Aku ke halte ini pun bukan dengan tujuan apa-apa. Aku hanya mengikuti tuntutan rindu yang sudah membuncah tak bisa dibantah. Ya, berdiam diri dan menikmati ketukan berirama dari sang hujan selalu berhasil menawar rindu yang mengendap di dasar permukaan hatiku. Seperti sekarang.

Setelah beberapa saat, bis itu pun kembali melaju dengan kecepatan yang sedikit di atas batas kewajaran. Tentu saja hal itu menciptakan sehembus angin yang langsung menyapu wajahku. Rambutku yang terurai berterbangan terhempas sang angin.

Aku merapikan rambutku yang tak beraturan akibat sapaan angin. Lalu aku pun tertegun. Sejenak, memori tentang awal kisah ini tercipta kembali berputar di otakku. Menampilkan peristiwa penting yang memulai kisah sederhana ini. Ketika aku yang sedang merutuki hujan yang menyebalkan karena telah menghambat kepulanganku. Lalu tiba-tiba dia hadir dengan cibirannya yang –cukup- pedas. Lalu setelah itu aku membentaknya dan dia hanya terkekeh dan sama sekali tak peduli. Lalu semua kejadian itu silih berganti menempati kotak memori.

Angin yang telah berlalu, mengajakku menjelajahi lebih jauh akan kisah ini. Mengungkap kebenaran yang selama ini tak pernah terkatakan. Semuanya nampak begitu kentara. Begitu juga perasaan asing yang dititipkan Tuhan sejak kejadian itu yang selalu berusaha ku sangkal. Dan kali ini, seakan abadi memenuhi ruang di hati. Setidaknya sampai rasa jenuh dan lelah mengungkung perasaan itu.

“Ifyyyy!”

Aku mengerjap. Seseorang baru saja melafalkan namaku. Lengkap dengan kelembutan yang lekat mengiringi. Aku menoleh kea rah sumber suara. Gabriel. Teman dekatku.

“Ayo! Acara sudah mau dimulai!” Gabriel melambaikan tangannya dari dalam mobil mewahnya. Ia mengedikkan kepala.

“Tunggu!”

Aku mendesah. Mungkin memang saat ini aku harus lekas bergegas. Mungkin, dia memang tak akan kembali dulu. Juni ini bukan saatnya. Tapi aku yakin, juni berikutnya, atau juni-juni mendatang, atau bahkan di waktu yang aku yakin akan jauh lebih indah dari waktu mana pun, dia akan kembali. Menyambung kembali potongan hati yang telah ia curi. Ia akan mengembalikannya. Lengkap dengan kesempurnaan kasihnya. Aku percaya itu.

Aku berjalan menuju mobil Gabriel. Membuka pintu. Lantas duduk di jok penumpang depan.

Gabriel menoleh ke arahku. Tersenyum lalu mengusap lenganku. Sebuah perasaan janggal mulai mengintip dari celah kejenuhan yang mulai terbuka.

***

~30 Juni 2010~

Juni lagi. Dua tahun setelah dia tak lagi menjadi sandaran saat kenelangsaan melanda. Dua tahun bukan waktu yang sebentar untuk tetap menjaga perasaan itu agar tetap berkuasa sebagaimana mestinya. Membangun benteng pertahanan untuk mengusir rasa mana pun yang hendak menyisihkan keadidayaan sang rasa istimewa. Berniat untuk menempati hati lebih dari batas kewajaran. Aku masih menantinya. Menanti dia berlari dan menyongsongku dengan jutaan kabar gembira bahwa dia mempunyai hadiah untukku. Yaitu segudang rindu.

Dalam segala kelemahanku, nyatanya aku masih tetap bertahan. Aku masih mengharapkannya kembali hadir dan menawarkan dekapan hangatmya untuk mengenyahkan gundah yang meresah. Berharap dia masih tak menyukai tetesan bening yang menganak sungai di pipiku. Berharap dia akan membuktikan bahwa dia akan tetap menyayangiku sampai juni-juni yang kelak akan terlewati. Namun, akankah segenggam harapan itu menjadi sebuah kenyataan yang membuncahkan kebahagiaan. Atau kemungkinan buruknya, harapan itu akan terhempas ke tengah-tengah samudera. Terombang-ambing kepahitan yang menyesakkan. Lalu akhirnya, menghilang tertelan gulungan ombak.

Angin menerpa wajahku. Menerbangkan rambut ikalku yang ikut melambungkan setiap jengkal harapan. Sang angin berjanji, ia akan menyampaikan harapan-harapan itu padanya yang berada di antah berantah. Lalu membawanya kembali ke dalam atmosfer kasihku. Aku meyakini itu. Karena Tuhan pun berjanji.

***

~6 Desember 2010~

“Happy birthday Ifyyyy!”

Kalimat itu langsung menyambutku saat aku baru saja membuka pintu. Aku tersenyum mendengarnya. Kalimat itu terucap dari pemuda tampan yang kini sungguh tampan dengan kemeja putih yang sangat pas membalut tubuh jangkungnya.

“Thanks Yel!” ucapku.

“Aku punya hadiah untuk kamu.” Gabriel meraih jemariku. Lantas mengumpulkannya menjadi satu. Berpadu dengan kelima jarinya. Lalu ia menariknya. Membawaku ke tempat yang ia tuju.

*

Gabriel nampaknya sudah merancang semua ini dengan baik. Ia sengaja menyewa café ini hanya untukku. Untuk hari spesialku. Ulang tahunku yang ke-18. Ia menyulap café ini menjadi  sebuah kerajaan di negeri dongeng. Para pelayan yang melayani kami berpakaian layaknya pegawai kerajaan. Dengan baju berwarna cerah dan dihiasi renda putih yang menawan. Di salah satu sudut, terdapat sebuah miniature kereta kuda yang sangat menggemaskan. Senyumku mengembang melihatnya.

“Thanks banget ya Yel!” ujarku sumringah. Aku membekap mulutku. Masih belum percaya dengan apa yang ada di hadapanku.

Gabriel hanya tersenyum.

Kami berdua pun duduk. Hendak menikmati cake coklat yang sudah tersedia diatas meja.

Aku mengambil cake dengan garpu. Lantas memasukannya ke dalam mulut. Enak. Manisnya pas. Aku suka. Lalu aku pun mengulang kegiatan itu berulang kali.

Lalu pada saat aku hendak melakukan suapanku yang ke-lima, aku berhenti sejenak. Melirik Gabriel yang entah karena apa terus menerus mematri senyum lebar pada wajah tampannya. Aku memicingkan mata. Melanjutkan suapanku yang sempat tertunda.

“Thanks ya Yel!” ujarku.

“Semuanya untukmu.” Ujarnya setengah bergumam. Matanya menatap lembut padaku. Nampak sekali bahwa ia melakukan segalanya dengan tulus.

Maka aku tersentak. Semuanya untukku. Dia melakukan semuanya untukku. Dengan ketulusan hati pula. Lalu mengapa pemuda yang sudah lebih dari dua tahun aku nanti itu tak pernah melakukan apa-apa untukku? Dia bahkan pergi. Memaksaku untuk tetap bertahan untuknya, tanpa adanya dia disisi. Lalu sekarang, kemanakah ia? Kenapa ia tak kembali saja? Untukku? Sebagaimana Gabriel yang melakukan segalanya untukku. Tiba-tiba aku kembali dijejali rasa jenuh yang perlahan mengikis perasaan yang telah sekian lama bersemayam dalam hati yang terdalam.

Aku pun berfikir, apakah ia masih menyimpan rasa itu di hatinya. Atau malah membuangnya pada gadis lain yang jauh lebih baik dariku? Mungkin saja. Di Inggris sana, ada jutaan gadis yang hebat yang mampu menyelinap masuk ke dalam hatinya. Lalu aku yang tak punya kuasa, harus tersisih sia-sia. Begitukah? Lalu untuk apa selama ini aku masih mengharapkan dekapannya kembali hadir untuk menghangatkan sepiku? Untuk apa aku berusaha menjaga sang rasa agar tetap menjadi yang paling berkuasa, sementara dia yang jauh disana, belum tentu melakukan hal yang sama? Untuk apa aku menutup rapat hatiku agar tak ada siapa pun yang menyusup dan menggantikan posisinya di hatiku? Kadang, aku merasa bersalah pada beberapa pemuda yang ku tolak. Alvin, Cakka, dan Ray adalah tiga diantaranya. Lalu Gabriel? Tegakah aku kembali menolak pemuda yang sangat baik itu? Yang benar saja. Aku takkan mampu membuatnya terluka.

Aku terjebak dalam kebimbangan. Tetap bertahan dengan beberapa alasan. Atau berpaling dan menganggap alasan yang ku punya hanyalah lelucon belaka. Entahlah.

Aku membalas tatapan Gabriel. Matanya menyala-nyala. Menyambar  hatiku agar memilih kehadirannya saja. Namun pada saat aku hendak mengangguk menyetujui, tiba-tiba aku terkesiap. Hembusan angin membuatku tersadar dari lamunan-lamunan yang menjerumuskan. Tidak. Bentaknya. Dia akan kembali. Sebentar lagi. Tunggulah. Dia punya semilyar hadiah yang akan ia suguhkan untukku. Percayalah. Bersabarlah.

Aku memalingkan muka. “Aku hanya ingin dia kembali. Aku ingin melewati ulang tahunku bersamanya.” Aku mendesah. “Aku belum pernah.”

Lalu Gabriel meraih tanganku. Mengusapnya. Lalu menggenggamnya begitu erat. Hendak mengalirkan kekuatan untuk aku agar terus bertahan.

Maka aku kembali tersenyum miring.

***

~30 juni 2011~

Kami sungguh sial. Sore berhujan ini, kami terjebak dalam kemacetan kota metropolitan yang sudah rutin terjadi. Kami harus membuang waktu berharga kami hanya dengan berdiam diri di dalam mobil. Tanpa suara pula. Entah karena apa, tanpa ada yang meminta, kami sama-sama tak mengeluarkan sepatah kata pun. Kami membisu. Menikmati kemacetan diiringi ketukan berirama sang hujan pada kaca jendela. Terhanyut dalam fikiran masing-masing. Terutama aku yang selalu saja terlarut dalam kenangan yang selalu saja muncul kala hujan menyapa bumi.

Gabriel berinisiatif untuk memecah keheningan. Ia menyalakan radio dan berharap sebuah senandung atau mungkin sekedar cuap-cuap sang penyiar mampu mengusir sepi yang ada diantara kami. Dan sebuah suara serak-serak basah kini terdengar melantunkan sebuah lagu.

Kekasihmu tak mencintai dirimu sepenuh hati
Dia selalu pergi meninggalkan kau sendiri

Aku tersentak mendengar lirik lagu tersebut. Aku menoleh pada Gabriel. Dia tengah menatapiku lekat-lekat. Aku menohok matanya. Menautkan kedua alis. Menyibak kebenaran dibalik selaput bening miliknya. Benarkah dia yang selama ini ku nanti tidak benar-benar mencintaiku? Dan kepergiannya adalah pertanda bahwa memang dia bukan tercipta untukku?

Gabriel meletakan telapak tangannya di dahiku. Menyibak jumputan poniku ke belakang. Ia tersenyum. Membuat kebimbangan semakin bergelung di dalam relung jiwaku.

Mengapa kau mempertahankan cinta pedih menyakitkan
Kau masih saja membutuhkan dia, membutuhkan dia

Jemarinya kini bergerak menyentuh pipiku. Telunjuknya sedikit menekan. Aku bisa merasakan gesture hangat yang ia berikan dalam tiap sela jemarinya.

“Aku sayang kamu.” Kata Gabriel. Suaranya tertahan. Ia menyisipkan nada pengharapan diantaranya.

Kau harusnya memilih aku
yang lebih mampu menyayangimu berada di sampingmu
Kau harusnya memilih aku
Tinggalkan dia, lupakan dia
Datanglah kepadaku

Lalu tangan Gabriel yang lain meraih tanganku. Mengangkatnya lantas menyimpannya di tempat yang memungkinkanku untuk aku mengetahui apa yang tengah bergemuruh di hatinya. Dada kokohnya.

“Beri aku kesempatan!” ujarnya. Kali ini terdengar sedikit memaksa.

Tanpa sadar, air mata mengalir dari sudut mataku. Pertanda bahwa kebimbangan yang kian membuncah tak terkendali ini sangat menyiksaku. Menekanku dalam sebuah keadaan dimana aku harus memilih. Memilih yang sudah benar-benar pasti dan berada di depan mata kepalaku. Atau memilih yang semu yang keberadaannya kini dipertanyakan.

Kau tak pantas tuk disakiti
Kau pantas dicintai
Bodohnya dia yang meninggalkanmu demi cinta yang tak pasti

Gabriel mempererat genggamannya. Seakan ia ingin menunjukkan betapa ia jauh lebih baik dari pemuda yang selalu aku harapkan. Meyakinkan agar aku memilihnya saja. Dia yang sudah jelas-jelas selalu ada untuknya. Bukan dia yang nun jauh disana, yang hanya bisa membuatku lelah menunggu. Yang hanya mencampakkanku dengan seonggok cinta yang ia paksa untuk ku jaga. Gabriel ada. Untukku.

Mulutku terbuka membentuk huruf ‘a’ tanpa suara. Berniat untuk mengatakan sesuatu. Namun terasa berat. Tertahan di pangkal tenggorokkan.

“Kamu istimewa untukku.” Gabriel mengangkat genggamannya. Mendekatkannya pada mulutnya. Lalu sejurus kemudian mengecupnya lembut. Agak lama dan begitu hangat.

“Aku… aku… aku masih mengharapkan dia kembali. Rio itu belahan jiwa aku.”

Aku mengambil tanganku. Memalingkan muka. Lebih memilih memandangi tetesan hujan yang membasahi kaca jendela, daripada terus menerus menatapi wajahnya. Karena semakin lama aku mendapati wajah tampannya, aku akan semakin terperangkap dalam buai pesonanya. Itu sama saja aku mengkhianati penantianku selama 3 tahun yang telah berlalu.

“Sampai kapan kamu mau menunggunya?” Tanya Gabriel sarkatis.

“Sampai aku lelah. Sampai secuil cinta ini habis dan menguap bersama setumpuk rindu yang mengendap disini.” Aku menunjuk dadaku.

Kembali ku dengar suara itu mengalunkan lagu yang rasanya sangat pas dengan keadaanku saat ini.

Kau harusnya memilih aku
yang lebih mampu menyayangimu berada di sampingmu
Kau harusnya memilih aku
Tinggalkan dia, lupakan dia
Datanglah kepadaku

Dan akhirnya, lagu dari Tery itu pun usai. Namun suasana yang tercipta masih enggan berubah. Tetap mencekam. Bahkan kini, semilir angin yang berhembus melewati celah kaca jendela menambah dingin suasana.

Dapat ku rasakan, tangan Gabriel menyusuri punggungku. Ia mengusapnya perlahan. Kembali menguatkan. Kali ini, bukan untuk pertahananku. Namun untuk hatiku agar berani mengambil keputusan yang paling besar dalam perjalanan kisah hidupku.

“Aku hanya ingin kamu bahagia Ify.”

***

~06 Desember 2011~

Hari ini, detik ini, aku berdiam diri disini. Sendiri. Hanya berkawan sepi. Mungkin inilah hari eksekusi hati. Penentuan apakah aku akan bertahan atau mungkin berlari menerima cinta yang ditawarkan oleh pemuda tampan beberapa waktu silam.

Aku kembali ke tempat ini dengan tujuan agar cinta yang hanya tinggal seberapa ini kembali mengembang. Memenuhi setiap sudut hatiku. Karena nyatanya, rasa jenuhlah yang kini menjadi penguasa. Menyingkirkan cinta yang kemungkinan akan segera menghilang.

Menyisir pandangan ke seluruh penjuru halte. Berharap dapat meredam rindu yang sudah tak dapat terbendung lagi. Duduk memandangi sang hujan. Berdoa agar tiap rinai hujan akan membasuh kesakitan yang telah menetes di hatiku.

Sayang. Semuanya terasa sia-sia. Yang mampu menyelesaikan prahara yang membelitku ini adalah kehadirannya. Kembalinya ia dari penjelajahannya akan membuat segalanya menjadi baik-baik saja. Seperti semula. Seperti apa yang selalu ia katakan dahulu kala. Seperti yang selalu ia tekankan saat aku mulai dilanda keraguan. Aku butuh dia. Ku mohon kembali.

Baik. Kalau itu maunya. Aku menyerah. Sekarang, biarlah ia tetap disana. Biarlah ia selamanya tak pernah kembali. Dan biarlah aku mendekap pemuda lain yang sungguh-sungguh mencintaiku. Bukan pengecut yang tak pernah menunjukkan seberapa besar cintanya untukku.

Cih. Aku mendengus. Bangkit. Dan melangkah pergi meninggalkan tempat memuakkan ini.

Dan langkahku terhenti saat suara baritone yang selama ini ku rindukan menyapa telingaku, dihantar angin yang senantiasa menenangkan hatiku.

“Happy birthday Ify! Putri Desemberku!”

Aku membalikkan tubuhku. Begitu terkejutnya aku, mendapati siluet tampan nan gagah itu tengah berdiri di bawah ribuan rinai hujan yang menggemaskan. Aku segera berlari menyongsongnya. Melompat dan menghambur ke dalam dekapan hangatnya yang teramat ku rindukan.

Dan dia masih seperti dulu. Tak pernah keberatan untuk memberikan pelukannya. Dia merengkuhku. Menenggelamkan kepalaku pada dada lapangnya yang kini bergemuruh dengan suara detakkan jantungnya yang bertalu-talu.

“Aku kangen kamu. Kamu ga kangen aku?” tanyaku. Menengadahkan kepalaku.

“Aku kangen banget sama kamu.” Rio membelai rambutku. Lalu melanjutkan kembali ucapannya. “Aku penuhi janji aku. Aku pulang. Untuk kamu. Semuanya untuk kamu. Termasuk cinta aku.”

Aku tersenyum. Diiringi air mata bahagia yang mengalir tersamarkan hujan. Aku mengeratkan dekapanku.
Benar saja, kehadirannya memang yang aku butuhkan. Maka semua perasaan jenuhlah yang menguap. Tergantikan rasa cinta yang kembali mengembang sebagaimana seharusnya. Kebimbangan itu pun menghilang. Takkan pernah kembali. Tak kan ada lagi keraguan yang merayapi hatiku. Kini yang ada hanya cinta. Cinta. Cinta. Dan semilyar cinta yang takkan ada habisnya,

Terimakasih Tuhan, Terimaksih Hujan. Terimakasih angin. Terimakasih Rio. Dan terimakasih Hujan berangin di bulan desember yang telah membawanya kembali dengan sejuta hadiah yang ia berikan untukku. Yaitu akhir kisah yang bahagia.

~selesai~