HUJAN, Kita Dan Mimpi part 4
Aku tak tahu dengan diriku, tapi sebuah angin datang meniupkan harapan. Harapan berisikan dia. Ya, aku berharap dia datang ke halte dan mencariku. Plakk! Harapan konyol, tapi apa salah untuk sekedar berharap? Kan?
Hampir 15 menit aku mempelototi semua sudut halte, tapi tak ada siapa pun disana, termasuk dia yang ku harapkan. Hello, mana mungkin dia datang, dia kan marah padaku. Iya, aku tahu, jangan cerewet deh!
Aku mulai putus asa, perlahan harapanku terkubur. Ah, selalu saja begini. Mataku mulai lelah mengawasi halte kosong itu. Ku alihkan pandanganku meski aku rasa teramat berat. KU yakin, dia tak kan datang.
Setelah istirahat sejenak, kamu kembali lagi. Ya ampun kamu memang tak betah berlama-lama meninggalkan bumi. Kamu mengetuk-ngetuk kaca jendela mobilku. Ya ampun, berisik deh! Mau apalagi kamu? ceritanya kan kita sedang bermusuhan. Dasar tuli, sudah pergi! Aku tak mau beradu argumen lagi denganmu. Dasar keras kepala, aku menggerutu, kamu terus saja menggedor-gedor kaca jendelaku. OK, aku kalah. Sebenarnya kamu mau apa? Aku menoleh ke arah hujan, dan tentunya ke arah halte. Ya ampun, jadi ini yang mau kamu tunjukkan? Indah. Dia datang, dengan ransel hitam dan sepatu basketnya. Dia terlihat celingak-celinguk mencari seseorang. Mungkinkah dia mencariku? Mungkin. Tapi untuk apa dia mencariku? Entahlah.
Aku mempertajam penglihatanku agar aku dapat mengetahui bagaimana ekspresi mukanya. Ah sial! rintikanmu terlalu besar sehingga aku tak bisa melihatnya dengan jelas.
Tepat di menit ke 25 aku memata-matainya. Dia beranjak dari tempat dudk, lalu masuk ke bis yang baru saja tiba. Dia pulang. Sendirian. Ya ampun, apa dia bisa? Siapa yang akan menjadi sandarannya saat dia ingin tertidur? siapa yang akan membangunkannya dari tidur? dan siapa....Hello, ketakutan yang berlebihan, dia bukan anak TK lagi, dia sudah SMP.
Entah apa yang kurasakan, tapi aku senang, hujan. DIa datang, meski aku tidak tau apa tujuannya datang ke tempat itu. Apakah mau menemuiku atau sekedar menunggu bis? Aku tak tahu. Yang jelas sekarang aku lega dia datang. Dia masih menjadi sang Pangeran Impian. Meski aku hanya bisa melihatnya dari kejauhan, dari balik tembok ketakutanku. Tembok yang selama ini membelengguku dan menjulang kokoh. Tapi, tembok itu pernah roboh, dia yang merunruhkannya. Dan sekarang tembok itu sudah berdiri lagi, dan dia yang membangunnya lagi.
"Mang, kita pulang." ucapku smbil terus menatap keluar jendela ketika dia menghilang dan perlahan kau pun pulang.
Mang ujan pun menancap gas mobil lalu pergi. Menjauhi tempat yang indah dan nyaman bagiku setelah pojok perpustakaan. Tmpat pertama kalinya aku bertenu dengannya di sore berhujan.
Hujan, dia datang
meski aku tak di sana
tapi aku merasakannya.
*
Di pojok perpustakaan kini, aku kembali menulis. Menuliskan kata-kata yang sudah mengantri dalam benak untuk ku tuliskan. Memenuhi buku catatan dengan coretan penuh makna. Hampir setengah waktu istirahat ku lalui, tapi tak da seorang pun yang datang. Aku mulai lelah menantinya. Hai bodoh, siapa pula yang kau nanti? Dia? Pangeran matahari? ya ampun, dasar tak punya otak. Untuk apa dia menemuiku? Kalau pun dia datang, dia pasti hanya mau menyakitiku.
Kini tulisanku hampir mencapai sudut halaman kertas. Dan tepet saat aku memenuhi kertas ini dia datang dengan pakaina basket yang masih di kenakannya.
"Maaf" katanya dengan suara yang has.
"buat?" tanyaku datar. Padahal ingin sekali aku melonjak mengekspresikan kebahagiaanku karena akhirnya dia datang.
"Aku udah ga percaya sama kamu, aku bodoh!" ucapnya
Aku hanya tersenyum melihat kepolosan yang tak pernah dia tunjukkan di hadapan orang lain.
"kamu mau maafin aku kan?"
"kenapa tidak? Toh tuhan juga selalu memaafkan kita kan?" ujarku
"Dasar pelangi!" Dia melangkah ke depan memelukku, pelukan hangat yang sudah lam tak ada dalam hariku, pelukan seorang sahabat.
Sepuluh detik dia memelukku, tapi bagai sepuluh tahun saja. Bagaimana tidak, pelukan tulus dari prang yang menganggapku lebih dari yang lain. Pelukan penuh makna, pelukan pemberi sekobar semangat padaku. Aku tak kan pernah lupa detik itu.
"Ku panggil kau Pelangi ya?" celotehnya sambil melepas pelukannya.
"Namaku kan Ify, Alyssa"
"aku panggil kau pelangi, karena kita selalu bertemu di iringi rintikan hujan, seperti pertemuan matahari dan pelangi kan?" jelasnya
"ya udah deh" aku tersenyum kecil
"pelangi..." Rio meraih tanganku dan menggenggamnya. Dia menggemggamnya untuk yang kesekian kalinya, dan untuk kesekian kalinya pula aku senang.
Aku tatapi kedua bola jernih dimatanya. Indah, tak ada cela sedikitpun disana.
"Janji ya, jangan marah lagi sama aku lagi ya!" katanya "dan aku juga ga akan pernah marah lagi sama kamu"
"aku janji" ujarku mantap.
Kami saling mengaitkan kelingking kami. Kelingking kecilku dengan kelingking indahnya berkaitan. Membentuk sebuah ikatan. Persahabatan. Hal yang sudah lama tak ku kecap. Dan sekarang dia datang membawa indah ini. Aku bersyukur pada-MU Tuhan, telah datangkan pangeran sempurna ini untukku yang tak lain hanya itik buruk rupa. Tidak, begitu sempurnanya dia, hingga dia mampu mengubah julukan itu. Ya, baginya aku bukanlah itik buruk rupa, tapi aku adalah pelangi yang indah.
Hujan, itik buruk rupa telah mati
yang ada hanya pelangi
dan matahari yang ingini
*