Mei 2011

Sabtu, 21 Mei 2011

HUJAN, Kita Dan Mimpi part 4


Menatap tempat itu dari kejauhan, tapi jelas ku rasakan. Tak ada seorang pun disana. Memang, halte itu selalu sepi. Orang-orang lebih memilih naik kendaraan pribadi daripada harus berdesakan di bis. Halte itu memang khusus untukku, ya, hanya aku yang selalu mengisi tempat duduk disana. Ada dia juga, walau cuma satu hari, satu hari yang sangat indah, yang mungkin takkan kurasakan lagi.

Aku tak tahu dengan diriku, tapi sebuah angin datang meniupkan harapan. Harapan berisikan dia. Ya, aku berharap dia datang ke halte dan mencariku. Plakk! Harapan konyol, tapi apa salah untuk sekedar berharap? Kan?

Hampir 15 menit aku mempelototi semua sudut halte, tapi tak ada siapa pun disana, termasuk dia yang ku harapkan. Hello, mana mungkin dia datang, dia kan marah padaku. Iya, aku tahu, jangan cerewet deh!

Aku mulai putus asa, perlahan harapanku terkubur. Ah, selalu saja begini. Mataku mulai lelah mengawasi halte kosong itu. Ku alihkan pandanganku meski aku rasa teramat berat. KU yakin, dia tak kan datang.

Setelah istirahat sejenak, kamu kembali lagi. Ya ampun kamu memang tak betah berlama-lama meninggalkan bumi. Kamu mengetuk-ngetuk kaca jendela mobilku. Ya ampun, berisik deh! Mau apalagi kamu? ceritanya kan kita sedang bermusuhan. Dasar tuli, sudah pergi! Aku tak mau beradu argumen lagi denganmu. Dasar keras kepala, aku menggerutu, kamu terus saja menggedor-gedor kaca jendelaku. OK, aku kalah. Sebenarnya kamu mau apa? Aku menoleh ke arah hujan, dan tentunya ke arah halte. Ya ampun, jadi ini yang mau kamu tunjukkan? Indah. Dia datang, dengan ransel hitam dan sepatu basketnya. Dia terlihat celingak-celinguk mencari seseorang. Mungkinkah dia mencariku? Mungkin. Tapi untuk apa dia mencariku? Entahlah.

Aku mempertajam penglihatanku agar aku dapat mengetahui bagaimana ekspresi mukanya. Ah sial! rintikanmu terlalu besar sehingga aku tak bisa melihatnya dengan jelas.

Tepat di menit ke 25 aku memata-matainya. Dia beranjak dari tempat dudk, lalu masuk ke bis yang baru saja tiba. Dia pulang. Sendirian. Ya ampun, apa dia bisa? Siapa yang akan menjadi sandarannya saat dia ingin tertidur? siapa yang akan membangunkannya dari tidur? dan siapa....Hello, ketakutan yang berlebihan, dia bukan anak TK lagi, dia sudah SMP.

Entah apa yang kurasakan, tapi aku senang, hujan. DIa datang, meski aku tidak tau apa tujuannya datang ke tempat itu. Apakah mau menemuiku atau sekedar menunggu bis? Aku tak tahu. Yang jelas sekarang aku lega dia datang. Dia masih menjadi sang Pangeran Impian. Meski aku hanya bisa melihatnya dari kejauhan, dari balik tembok ketakutanku. Tembok yang selama ini membelengguku dan menjulang kokoh. Tapi, tembok itu pernah roboh, dia yang merunruhkannya. Dan sekarang tembok itu sudah berdiri lagi, dan dia yang membangunnya lagi.

"Mang, kita pulang." ucapku smbil terus menatap keluar jendela ketika dia menghilang dan perlahan kau pun pulang.

Mang ujan pun menancap gas mobil lalu pergi. Menjauhi tempat yang indah dan nyaman bagiku setelah pojok perpustakaan. Tmpat pertama kalinya aku bertenu dengannya di sore berhujan.

Hujan, dia datang
meski aku tak di sana
tapi aku merasakannya.
*


Di pojok perpustakaan kini, aku kembali menulis. Menuliskan kata-kata yang sudah mengantri dalam benak untuk ku tuliskan. Memenuhi buku catatan dengan coretan penuh makna. Hampir setengah waktu istirahat ku lalui, tapi tak da seorang pun yang datang. Aku mulai lelah menantinya. Hai bodoh, siapa pula yang kau nanti? Dia? Pangeran matahari? ya ampun, dasar tak punya otak. Untuk apa dia menemuiku? Kalau pun dia datang, dia pasti hanya mau menyakitiku.

Kini tulisanku hampir mencapai sudut halaman kertas. Dan tepet saat aku memenuhi kertas ini dia datang dengan pakaina basket yang masih di kenakannya.

"Maaf" katanya dengan suara yang has.

"buat?" tanyaku datar. Padahal ingin sekali aku melonjak mengekspresikan kebahagiaanku karena akhirnya dia datang.

"Aku udah ga percaya sama kamu, aku bodoh!" ucapnya

Aku hanya tersenyum melihat kepolosan yang tak pernah dia tunjukkan di hadapan orang lain.

"kamu mau maafin aku kan?"

"kenapa tidak? Toh tuhan juga selalu memaafkan kita kan?" ujarku

"Dasar pelangi!" Dia melangkah ke depan memelukku, pelukan hangat yang sudah lam tak ada dalam hariku, pelukan seorang sahabat.

Sepuluh detik dia memelukku, tapi bagai sepuluh tahun saja. Bagaimana tidak, pelukan tulus dari prang yang menganggapku lebih dari yang lain. Pelukan penuh makna, pelukan pemberi sekobar semangat padaku. Aku tak kan pernah lupa detik itu.

"Ku panggil kau Pelangi ya?" celotehnya sambil melepas pelukannya.

"Namaku kan Ify, Alyssa"

"aku panggil kau pelangi, karena kita selalu bertemu di iringi rintikan hujan, seperti pertemuan matahari dan pelangi kan?" jelasnya

"ya udah deh" aku tersenyum kecil

"pelangi..." Rio meraih tanganku dan menggenggamnya. Dia menggemggamnya untuk yang kesekian kalinya, dan untuk kesekian kalinya pula aku senang.

Aku tatapi kedua bola jernih dimatanya. Indah, tak ada cela sedikitpun disana.

"Janji ya, jangan marah lagi sama aku lagi ya!" katanya "dan aku juga ga akan pernah marah lagi sama kamu"

"aku janji" ujarku mantap.

Kami saling mengaitkan kelingking kami. Kelingking kecilku dengan kelingking indahnya berkaitan. Membentuk sebuah ikatan. Persahabatan. Hal yang sudah lama tak ku kecap. Dan sekarang dia datang membawa indah ini. Aku bersyukur pada-MU Tuhan, telah datangkan pangeran sempurna ini untukku yang tak lain hanya itik buruk rupa. Tidak, begitu sempurnanya dia, hingga dia mampu mengubah julukan itu. Ya, baginya aku bukanlah itik buruk rupa, tapi aku adalah pelangi yang indah.

Hujan, itik buruk rupa telah mati
yang ada hanya pelangi
dan matahari yang ingini
*

Minggu, 15 Mei 2011

HUJAN, Kita Dan Mimpi part 3


Kerikil kecil, yang mulai menyempil.

***

"hmmm,,,buku paket bahasa inggris sebelah mana ya?" tanya seorang laki-laki

Tanpa melihat siapa si empunya suara lembut itu dan sambil terus fokus pada novel Rembulan Tenggelam Di Wajahmu karya Tere-liye yang sudah tiga kali kubaca, aku menjawabnya "diatas, di rak yang paling pojok."

"dimana?" tanyanya lagi.

"Di sana, cari saja!" kataku yang masih fokus pada novelku

"Kalau ngomong, liat orangnya dong!" perkataanya membuatku sungguh kaget.

aku menutup novelku dan begitu terkejutnya aku saat dia sudah ada persis di depan wajahku "Rio?"

"hai! hehe, kita ketemu lagi ya! oh ya, kamu lagi apa disini?" tanya Rio

"Aku selalu kesini" jawabku yang kemudian membuka novelku lagi

"pantas aku tak pernah bertemu denganmu" katanya lalu menarik sebuah kursi dan duduk berhadapan denganku.

"Rembulan tenggelam diwajahmu, itu novel kan udah lama" celetuknya lagi

"tapi aku ga pernah bosen bacanya, udah tiga kali aku baca novel ini, tapi tetep seru!" kataku

"huh, aku dapet tugas bahasa inggris nih! yaampun, mana aku kurang menguasai pelajarannya" keluhnya.

"kerjakan saja, jangan hanya mengeluh." ujarku sambil sedikit meliriknya.

Terlihat dia mulai mengerjakan tugasnya, kadang dia menghapus kembali tulisannya, dan menulis kembali. Ulet banget. Sama seperti saat dia tak menyerah memasukkan bola ke ring.

Entah kenapa, aku terus saja menatapnya, hingga celetukannya kembali menghentikan tatapanku. "selesai juga! hyuhh! cape" katanya sambil menghapus keringat di keningnya.

Aku pun kembali fokus pada novelku

"makasih ya! udah mau nyemangatin aku!" celetuknya lagi lalu memegang pundakku. "aku ke kelas ya!" dia pun pergi meninggalkanku bersama deretan rak dan tumpukan buku di pojok perpustakaan, tempat favoritku. Dimana aku merasa tenang, di temani sumber ilmu di rak-rak yang berjejer.

Sambil menatapi rangkaian kata-kata di novel, aku memikirkan kata-katanya. Dia bilang aku telah menyemangatinya. Sungguh, kata itu membuatku merasa berguna untuk yang pertama kalinya setelah sekian lama aku merasa bahawa hidupku tidak ada gunanya. Dan dialah orang pertama yang mengatakan itu.

Hujan, dia menemukanku
bukan tengah bersamamu
tapi sendiri, di pojok duniaku
*

Langit terlihat gelap, matahari sudah sembunyi, dan nampaknya kamu sudah ancang-ancantg untuk menerpa bumi. Aku senang, kau mau menemaniku menunggu bis.

Tapi, tiba-tiba sebuah mobil berhenti di hadapanku, kacanya mulai terbuka, terlihat Mang Ujang, supirku. Ah, hari ini aku dijemput.

"ayo non, pulang!" ajaknya

"ga mau mang, aku mau naik bis" jawabku

"ayolah non, ntar hujan"

Huh, dia memelas, aku kan tidak bisa melihat orang memelas. Dengan berat aku masuk ke mobil

"udah aku bilang kan, aku tga mau di jemput" gerutuku

"maaf non, tadinya mang ujang ga akan jemput, tapi tadi nyonya telpon, nyuruh mamang jemput non." jelas mang ujang

Sebenarnya aku sedikit senang, karena kedatangan mang ujang disuruh mama. Tapi tetap saja, aku ingin mama sendiri yang datang menjemput

Ku lihat ke luar, rintikanmu mengetuk jendela mobil. Aku tahu kamu mau mengajakku bermain, tapi maafkan aku, hari ini bermainnya libur dulu ya! besok aku janji, kita main lagi.
*

Hingga saat ini aku masih terus melanjutkan kisahku dengan rasa yang selalu hinggap ketika aku masuk ke rumah. Rumah yang menurutku adalah tempat yang menamparku bahwa aku memang seorang itik buruk rupa. Entah kapan semua kepahitanku bermulai. Dulu aku baik-baik saja. Aku sama seperti anak-anak lain. ceria, riang, punya banyak teman. Dan entah karena shir apa aku berubah menjadi seperti ini. Aku menjadi remaja yang pendiam. penyendiri dan tak punya teman. Ingin aku kembali menjadi anak-anak lagi. Tapi apa kau bisa mewujudkannya? aku yakin tidak. Tapi entah karena apa, tuhan mengirimkanku seorang pangeran yang dapat sejenak membuatku merasa aku tak sendiri. Tapi sejenak saja, setelah kami berpisah, rasa itu mulai menyergapku. Rasa yang ingin ku usir dari hidupku.
*

"Kamu bohong kan sama aku?" Tanya seseorang yang membuatku sangat terkejut dan spontan langsung mentup novel yang tengah kubaca.

"Maksud kamu apa?" Tanyaku heran

"Nama kamu bukan Ify kan? tapi Alyssa Saufika Umari, iya kan?" tanya Rio dengan tatapan yang begitu tajam.

"namaku memang Alyssa, tapi..." jawabku gelagapan

"jadi kamu emang beneran bohong sama aku? Aku ga nyangka dalam hal kecil seperti ini aja kamu berani bohong, apalagi hal lain yang lebih besar" celotehnya keras dan tidak memperdulikan tempat yang kami diami yaitu perpustakaan.

"aku bisa jelasin semuanya..."

"Aku nyesel pernah percaya sama kamu, aku kira kamu orang yang jujur, ternyata aku salah besar!" Katanya lagi dengan raut muka yang marah.

"Namaku memang Alyssa Saufika Umari, di sekolah orang tau aku Alyssa. Tapi di rumah aku di panggil Ify, hanya orang yang bagiku penting sja yang memanggilku Ify. Dan kamu tau kenapa ak bilang kepadamu bahwa namaku Ify? karena aku mau, kamu menjadi orang penting di hidupku. Makasih karena pernah mempercayai dan menjadi penting bagiki, walau hanya sebentar" Dengan butiran bening yang mengalir di pipiku aku menakhiri kalimat-kalimat yang terlontar begitu saja dari bibirku.

Aku pergi meninggalkannya, di pojok perpustakaan tempat kami melakukan adegan yang menurutku paling bodoh. Aku sempat meliriknya, terlihat dia duduk di kursi 6yang sering ku duduki. Aku tak dapat melihat raut wajahnya, karena dia menundukkan kepalanya.
*

Kini, aku melanjutkan tangisku. Tangis yang menyadarkanku bahwa aku adalah seorang yang tak pantas mempunyai teman sepertinya. Memang, ah bodohnya aku. Kenapa pula aku bisa akan hal itu? huh, memalukan. Ya ampun, kenapa jadi begini? rasanya sakit banget, sepertinya dia memang membenciku, sampai-sampai dia telah menghancurkan sebutir kebahagiaan yang susah payah ku petik. Tidak. Dasar ya, kenapa aku malah menyalahkanya? aku saja yang bodoh, aku terlalu berharap agar dia selalu bersamaku.

Sekarang, mau apa lagi kau? Sial, kau malah berjingkrak-jingkrak. Kamu tau? Aku sedih hujan. Ayo, sekarang hibur aku! buat aku tersenyum! ayo! Ah, kau bodoh. Masak menciptakan senyum di bibirku saja tak bisa, Dasar payah! Oke, sekarang aku menerkammu dan berharap kamu bisa menggambar senyum itu. Ah, kau payah sekali, aku sudah basah kuyup begini, kamu masih saja belum mampu.

"Non. ayo pulang! kok malah hujan-hujanan?" Suara seseorang yang membuyarkan imajinasiku bersamamu. Untung saja mang ujan datang, kalau tidak, sudah ku bunuh kau beserta seluruh prajuritmu. Hari ini kau selamat, tapi tunggu saja nanti.

Aku masuk ke mobil dengan badan basah kuyup karena seranganmu. "Kita ke halte dulu ya mang!" ucapku

"baik non." mang ujang menancap gas mobil menuju halte.

Hujan, dia marah
dia tak percaya
memang seharusnya seperti itu
semuanya pantas.

Selasa, 10 Mei 2011

HUJAN, Kita Dan Mimpi Part 2


Huh, kali ini kau sudah keterlaluan, 3 hari berturut-turut kau menjebakku, bahkan sekarang aku masih di depan kelas, mana mungkin ada bis yg mampir dulu kekelasku. ayolah pulang, jarak ke sekolah ke halte kan lumayan. ah kau tuli, ddari tadi aku ngomel kau tetap saja menari. dsar menari diatas penderitaan orang!.

"pakai payungku saja!" dia datang lagi, selalu dalam suasana seperti ini

Tanpa bertanya apa tida merepotkan aku menerima payung tersebut, payung kecil yg hanya cukup untuk satu orang berwarna biru, warna kesukaanku.

ku buka payungnya lalu mulai melangkah diatas beton yg basah, baru saja 5 langkah berjalan, aku tertarik melihatnya. Ah dia masih disana, berdiri dengan gaya so dewasanya, dia membuat kepulanganku tertunda saja, ahirnya dgn dukungamu juga aku kembali menghampiriya.

"jemputanmu blum datang?" tanyaku

"haha, aku bukan anak tk yg harus slalu di jemput, aku udah SMA. hari ini aku mau naik bis, setelah hujan reda baru aku pergi ke halte" ujarnya.

"hujan seperti ini pasti lama, kau pakai saja payung ini." aku menyodorkan payungnya

"loh, ga usah, lebih baik payungnya untukmu, kalau kamu hujan-hujanan nanti sakit."

"kamu pikir aku tega memakai payung ini, sementera kamu si empunya harus menunggu disini" aku menutup payung itu

Rio terlihat heran

"mending kita bermain bersama dia" ujarku

"dia siapa?"

"hujan" aku menengadahkan tanganku agar rintik-rintik itu dapat mendarat di tanganku

"oke, yuk!" dia menarik tanganku lalu menyambar rintikan yg kian membesar.

kami pun segera berlari mengejar beribu-ribu tetesan yg di berikan tuhan, kami bergandengan tangan hujan, aku senang melakukan hal itu. Hujan, taukah kamu, kali ini aku benar-benar lepas bermain denganmu, melepas ikatan yg menjerat kuat tubuh lemahku, melepas atribut kesendirianku. ya, kali ini aku bermain ditemani dia, selanjutnya kami tertaa, lepas sangat lepas. keras sangat keras dan bahkan lebih keras dari suaramu bersama gerombolanmu.

hujan, kali ini kita bermain
bersamamu, bersamanya

########################

"brrrr....dingin banget!" kata rio "kamu ga kedinginan?"

"haha, aku sudah sering bermain bersama hujan, jadi aku ga pernah merasa kednginan" kataku, ya, aku ta pernah merasa kedinginan, justru aku slalu hangat saat di timpa hujan, karena hujan slalu mau menemaniku.
"hmmm.....eh bisnya udah dateng, yuk!" rio menarik tanganku lagi dan mengajaku naik ke bis, entah mengapa rasa ini muncul kembali, rasa dimana aku tak sendiri lagi seperti sebelum-senelumnya.

kami pun duduk bersebelahan dibaris ketiga, aku duduk didekat jendela dan dia duduk tepat disampingku
bis mulai melaju menerobos hujan yg sedari tadi konsisten turun.

"hoammm, naik bis bikin aku ngantuk" celetuknya yg berhasil memecah lamunanku

"kalo ngantuk, tidur lah"

"ya udah, aku tidur ya, ku pinjam bahumu ya?" tanpa mendengar jawabanku, kepalanya sudah duluan mendarat di bahuku, dia mulai memejamkan matanya dan mungkin sebentar lagi akan memasuki dunia mimpi.
5 menit sudah aku menatapinya, menatapi ketampanannya. pantas saja dia diskai banyak siswa di sekolah dan tatapanku usai saat ku dengar kau mengetuk kaca jendela bis, haha, kau cemburu ya melihatku dekat dgnnya? tenanglah, dia takkan selalu bersamamku

***

"kamu kenapa baru pulang?" suara itu membuat langkahku terhenti, suara yg sangat aku rindukan, suara mama.

"mama dengar sudah sebulan kamu selalu pulang naik bis dan tidak mau di jemput, kenapa?"

"aku lebih senang naik bis"

"kamu tau syang, mama khawatir saat mendengar hal itu" mama membelai rambutku

"udahlah ma, ify bukan anak kecil lagi" aku meninggalkannya, sosok yg sebenarnya sangat ku cintai

aku masuk ke kamarku, dimana aku bebas melakukan apa saja, menangis, bernyanyi, menari dan menulis, ya, aku ingin menulis, mengungkapkan isi hatiku lewat goresan tinta dan aku ingin melanjutkan kisahku lagi

"sosok itu kembali dgn wjah penuh cinta, cinta yg mungkin bukan untukku, tapi untuk mereka, tahukah kamu, saat aku melihatnya, menyambutku pulang sekolah, mengungkapakan kekhawatiranya, membelai rambutku yg masih basah, aku ingin sekali memeluknya, tapi entah apa yg terjadi badanku kaku, aku tak bisa menggapainya lalu mengatakan aku merindukannya"

***

HUJAN, Kita Dan Mimpi Part 1


Di kala kau datang, aku masih saja disini, menunggumu untuk segera pulang. kau telah menjebakku hampir satu jam dan yang bisa aku lakukan hanya duduk disini sambil menuliskan beberapa kata diatas lembaran-lembaran putih ini. beberapa? aku rasa tidak, sudah banyak kata yang ku tuliskan, aku tak tau jumlahnya, kata itu tertulis begitu saja, menyusun sebuah kisah, kisah tentang Si Bodoh yang ta pernah di percaya, Si Jelek yang lebih jelek dari itik buruk rupa, kisahku, kisah yang pait. aku ta tau kapan kisahku berahir, kamu ta memberitaunya, kamu hanya bisa terus menerus memintaku menulis. aku juga ta tau bagaimana ahir dari kisahku ini, apakah happy ending sseperti dongeng cinderella yang sering ku dengar dulu sebelum masuk ke wahana mimpi, atau juga sad ending seperti film Titanic yang memisahkan 2 sejoli. entahlah, kau juga ta memberitau tentang hal itu.

"huh, sudah hampir 1 jam aku disini, hujannya malah makin deras" kataku lalu beranjak dari tempat duduk di halte

Sebuah mobil hitam berhenti di depanku, siapa dia? pasti dia hanya mau mencibirku

"ayo naik, hujannya makin deras" kata seorang laki2 sambil mebuka jendela mobilnya

"tidak, terimakasih, aku sedang menunggu bis" kataku sedikit berteriak karna hujan pasti akan mengalahkan suaraku jika aku bicara seperti biasa

"sampai kapan kamu akan menunggu disitu, hari sudah semakin malam, lebih baik kamu pulang bersamaku!" kata lelaki itu lagi

"apa tak merepotkan?"

"sudahlah, ayo!"

entah mengapa aku mau saja masuk kedalam mobil orang yang belum aku kenal. bukan, aku mengenalnya, ya, ta ada satu pun yg ta mengenalnya, Rio, laki2 tampan seorang ketua osis sekaligus bintang basket.
ta ada percakapan antara kami, mungkin dia malu berbicara denganku, orang yang aneh.

"stoppp...udah sampai disini saja" kataku

seketika supir Rio mengerem mobilnya

"memangnya sudah sampai?" tanyanya

"sebenarnya sih belum, tapi rumahku sudah dekat ko" jawabku

"loh, diluar kan masih hujan"

"cuma gerimis, lagian aku mau main dulu bersamanya, terimakassih atas tumpangannya" pamitku lalu keluar dari mobilnya. seperti yg ku bilang padanya, aku mau bermain dulu denganmu. haha, aku kan paling senang berlarian denganmu, membuat hatiku senang saja, walu kebanyakan kamu menyebalkan.

hujan, kau pertemukan kita
aku si Itik buruk rupa
dia sang pangeran matahari

##########

"non ify habis hujan-hujanan lagi ya? nanti nyonya marah non" kata bi surti

"biarinlah bi, toh dia ga peduli" kataku berlalu.

bukan hanya seorang itik buruk rupa, tapi aku juga gelandangan yang ta pernah di perhatikan, mereka sibuk mencari uang dan aku kesepian. Untung ada kamu hujan, buku catatan, pena bertinta hitam, dan laptop yang selalu menemaniku, yang selalu mau mendengar ssemua keluh kesahku meski kalian ta pernah memberiku solusi dari semua masalhku, bagiku mendengarkan saja cukup, ta perlu lebih.
****

aku menunggumu lagi, sambil mendengar gemericik tetesanmu di sekelilingku, berharap kamu beristirahat dulu, agar aku segera pulang, namun kau masih ingin menari nampaknya. aku menulis lagi, meneruskan kisah yang tiada ahir, seperti  sinetron barangkali, tapi bedanya dalam sinetron pemeran utamanya mempunyai banyak sekali pemeran pembantu, sedangkan kisahku si pemeran utama yaitu aku ta punya siapa2, aku hanya sendiri.

"ayo pulang!" ajak dia, ya tepat sekali, aku bertemu dengannya lagi, di suasana yang sama

"apa tak merepotkan?" tanyaku

"kamu pikir tuhan merasa di repotkan saat dia menolong kita, tidak kan? jadi untuk apa aku merasa di repotkan saat menolong sesama" jawabnya.

"baiklah" aku lalu masuk ke mobilnya

lalu supirnya pun menancap gas mobil

"oh ya, kemarin kan kita belum berkenalan, aku Rio, namamu siapa?" tanyanya, ahirnya setelah lama membisu, dia bicara juga.

"aku Ify, kelas 12 ipa 1" jawabku

"aku kelas 12 ipa 2, tapi aku ta pernah melihatmu"

"tapi aku sering melihatmu kala kamu berpidato di depan banyak siswa dan saat kamu bertanding basket"

"haha, aku ta peka dengan sekelilingku" katanya " oh ya, hujannya kan deras banget, aku antarkan sampai rumahmu ya"

"apa..." belum selesai aku bicara, rio lalu menyambarnya, ah bagai petir saja

"jangan katakan kamu merepotkanku, pliisss jangan tolak aku" kata rio

Rio lalu benar2 mengantarkanku sampai rumah, taukah kamu, untuk pertama kalinya aku merasa ta peduli padamu walau hanya sebentar. karena kau tau sendiri kan, kau adalah sebuah magnet dan aku adalah sebuah besi yang lembek, kamu tau, aku akan tertarik olehmu, jadi aku ta bisa berlama-lama untuk ta peduli padamu

"sudah sampai" kataku

"itu rumahmu?"

"ya, aku sampai di rumah tepat saat hujan telah pulang, terimakasih untuk tumpangannya laagi." kataku lalu keluar dari mobilnya dan masuk kembali ke dunia kesendirianku.

hujan, kau pertemukan kami lagi
ta ada yang berubah
aku tetap itik buruk rupa
dia selalu sang pangeran matahari

##############