November 2011

Selasa, 29 November 2011

Kisah Juni (Seonggok kisah yang kembali terabaikan)


Sudah selarut ini, dan aku belum bisa terlelap dalam nafas satu-satu. Aku tidak menderita insomnia. Aku masih terjaga, karena bayangmu seolah mengganjal mataku. Kau menari-nari dengan riang dalam benakku. Berlari. Melompat. Meniup gelembung. Menerbangkan merpati. Aku selalu senang melihatmu melakukan sesuatu yang aneh. Namun, masihkah rasa senang itu ada kala ku dapati kau melakukannya bersamanya? Bersama gadis ingusan yang sangat beruntung itu.

Hey Juni! Ingatkah kau padaku? Iya, aku. Gadis bodohmu. Gadis cengengmu. Gadis gendutmu. Gadis hujanmu. Kau lupa? Ah, kau menyebalkan. Pasti gadis itu adalah keponakannya Romi Rafael, jadi ia bisa menghipnotismu untuk menghapusku dari benakmu.

Baiklah, akan ku ceritakan kembali tentang kita. Ya, aku dan kamu. Juga hujan yang berperan penting dalam kisah ini.

Kamu pasti bingung kan kenapa aku memanggilmu Juni? Padahal, namamu bukan Juni. Aku memanggilmu Juni, karena rasa asing itu diselipkan Tuhan di hatiku pada bulan juni. Ya, kala sore berhujan di penghujung bulan Juni.

Saat itu, aku hendak pulang. Namun hujan harus mencegahku. Aku berteduh di sebuah pos ronda. Dan saat itu, ada kamu. Kamu yang sungguh tampan dengan peci putih, baju koko yang dibalut jaket merah dan sebuah sarung. Kau hendak berangkat ke mesjid nampaknya. Aku tersipu. Entah mengapa, merasa canggung saat kau menatap ke arahku.

"Kau mau pulang?" tanyamu saat itu.

Aku mengangguk.

"Cepat pulang! Anak gadis tak pantas masih berada di luar sendirian." kamu melepas jaketmu. Lalu melemparnya tepat di wajahku.

Aku sempat terkejut. Saat itu aku berfikir kalau kau memang tak berniat menolongku. Iya, aku dan teman-temanku tahu bahwa kau memang seorang pemuda yang teramat dingin. Apalagi terhadap lawan jenis. Namun pada saat kau mengatakan, "Pakai jaketku! Aku tak mau kamu kenapa-napa." dengan nada angkuhmu yang seperti biasa, dapat ku tangkap, kau menyisipkan nada cemas di antaranya. Hal itu ku artikan sebagai tanda kepedulianmu padaku.

Dan sesungguhnya, setiap tetes air hujan yang jatuh menerpa bumi adalah sebuah cara untuk menghantarkan rasa itu agar menempati tempat terindah dalam ragaku. Yaitu hatiku.

*

Aku suka kamu. Menyukai aksen bahasamu yang tak pernah berbasa-basi. Telak menuju sasaran. Menyukai sikapmu yang sangat dingin, namun entah karena apa, selalu menghangatkan relung jiwaku. Menyukai kamu yang sederhana. Dan menyukai hobbymu yang cukup unik. Manyun. Ah, kau selalu saja mengerucutkan bibirmu. Saat kau melamun. Kesal. Mendengarkan penjelasan guru. Bahkan pada saat hujan pertama kita pun, kamu tengah manyun. Sungguh menggemaskan.

Dan ternyata, kau hanya menunjukkan kegemaran anehmu itu hanya padaku. Di hadapanku. Tentu saja. Mungkin, kau malu mengulum bibirmu di depan yang lain. Kau kan terkenal karena gayamu yang cool. Kan tidak lucu seorang se-cool kamu tertangkap sedang manyun.

Namun kau tak pernah menjaga gengsimu di depanku. Kamu manyun semaumu. Dan karena frekuensi melihat manyun khasmu, membuatku tergerak untuk mengikuti jejakmu. Manyun. Dan karena aku adalah gadis yang tak memikirkan apa kata orang, maka aku pun mengerucutkan bibir kala aku ingin melakukannya. Terutama, saat aku merindukanmu.

Manyun yang selalu kau hadiahkan untukku, aku terjemahkan sebagai isyarat, bahwa kamu memang menganggapku 'berbeda' dari yang lain. Walau manyun menunjukkan seseorang tengah merasa sebal, namun manyun lucumu adalah pertanda bahwa kamu menyukai kehadiranku dalam tiap helaan nafasmu.

*

Cinta ada untuk saling melengkapi. Cinta tercipta untuk saling menyempurnakan. Aku percaya, cintamulah yang mengindahkan.

Aku sangat gemar berfoto. Bergaya di depan kamera. Aku banci kamera. Sedangkan kamu sangat menyukai fotographi. Senang mengkristalkan kenangan yang tak mungkin terulang. Ya, walaupun saat itu kau melakukan kegemaranmu hanya dengan ponsel berkameramu.

Suatu senja, kau berlari menghampiriku dengan wajah yang sumringah. Senyum tipismu tergantikan dengan senyum lebar yang sungguh menawan. Kau mengguncang-guncangkan tubuhku. Lalu menunjukkan sesuatu padaku. Sebuah kamera digital. Kau baru saja mendapatkan benda itu dari ayahmu. Aku ikut senang. Aku memberimu ucapan selamat.

"Kau mau ku potret? Jeprat jepret..." ujarmu.

Aku menautkan kedua alisku. Heran juga saat mendengar tawaranmu. Ah, biasanya kau paling tidak suka melihatku bergaya. Aku sering mendapatimu memutar dua bola matamu dan mencibir pelan saat aku sedang beraksi. Tapi kali ini, kau sendiri yang memintaku untuk jadi objek foto perdanamu dengan kamera barumu.

Kau terlihat salah tingkah. Kau menggaruk belakang telingamu. Lucu sekali.

"Sudahlah Ify! Sekarang, tak ada objek lain yang pantas ku foto selain dirimu!" ujarmu.

Aku tersenyum. Lantas mulai berpose semauku. Ah, aku sangat bahagia. Kau mulai memotretku. Gayamu sudah seperti fotographer profesional. Sangat keren.

Setelah berpuluh potretan, kau pun mengeluh. Lelah dan ingin beristirahat. Namun aku merajuk tak mau berhenti. Masih ada jutaan poseku yang belum diabadikan oleh lensa kamera. Aku mengulum bibir. Memaksamu untuk mengabulkan keinginanku. Dan lucunya, kau bersedia. Kau tak menolak. Walaupun kau melakukannya dengan manyun khasmu. Aku berhasil mengerjaimu.

"Udah ah Fy! Mau pipis. Kebelet!" ujarmu.

"Yah, kok?"

"Kamu mau aku pipis disini?" kau mengedipkan matamu nakal. "Aku titip ini." kau menyerahkan kamera dan ponselmu lantas bergegas menuju toilet umum.

Aku menggelengkan kepala. Lantas melirik ponsel yang ada di tanganku. Aku tersenyum miring. Menekan beberapa tombol. Aku melihat kumpulan foto di ponselmu. Dan aku terkejut saat mendapati banyak sekali fotoku di sana. Kau memotretku dan aku tak tahu itu. Diam-diam kau membekukan tiap kedipan mataku.

Aku tersenyum. Merasa dilambungkan hingga langit ke tujuh. Melesak menuju angkasa. Menari bersama taburan bintang yang bersahaja.

*

Kau itu sangat menyebalkan. Kau gemar menghilang. Membiarkan aku kebingungan mencari keberadaanmu. Tak tahukah kamu, senyummu, tawamu, dan yang pasti manyunmu sudah menjadi kebutuhan pokokku. Kau adiksiku. Lalu kau pergi. Ada bagian di hatiku yang merasakan nyeri yang begitu pilu. Sesak juga ikut mencekat dadaku. Aku menginginkan kamu untuk ada di sampingku setiap waktu. Setitik rindu yang menetes di hatiku semakin menggenang. Meluber dan membanjiri batas penantianku. Aku butuh kamu. Kembalilah.

Dan kala rindu itu sudah tak dapat ditampung lagi olehku, kau berlari menyongsongku. Meminta maaf atas ketiadaanmu. Dan aku membalasmu dengan membuang segudang rindu itu padamu. Menghempasnya bersama harapan-harapan yang kelak suatu hari nanti akan kau wujudkan.

"Kamu jahat! Aku rindu kamu." aku memukul-mukul dadamu. Agar kamu merasakan sesak yang tak terelakkan.

"Maaf!" kau menatap nanar mataku.

Dan satu kata penuh makna itulah yang mampu meluluhkanku. Aku tak bisa marah padamu. Sekalipun kau melakukan kesalahan besar, asal kau meminta maaf, aku akan langsung memaafkanmu.

"Aku suka kamu, Juni!"

"Namaku Gabriel, bukan Juni."

"Biar saja! Yang penting aku suka kamu."

Kau menepuk ubun-ubunku. Sejenak, terpana akan ketampanan wajahmu. Menggetarkan hatiku. Getaran itu berlomba dengan sang jantung yang kian kencang berpacu. Aku suka kamu. Suka suka suka. Kamu tak boleh melarangnya.

*

Ketika itu hari sabtu, kau mengajakku bermain di taman favorit kita. Kau bersama adikmu juga. Adik perempuan yang sungguh menggemaskan. Kulitnya kuning langsat. Berambut hitam dan ikal.

Aku banyak bercerita dengan adikmu. Dia anak yang seru. Tidak malu-malu. Aku suka adikmu.

Kami berdua asyik bercengkrama. Saling melemparkan lelucon yang menggelitik perut. Mengeluarkan guyonan-guyonan menyegarkan.

Aku tak menyadari, bahwa kamu yang tengah duduk di samping kananku merasa terabaikan. Luput dari perhatian. Ow ow, aku tak tahu bahwa kau tengah merutukiku dalam hati.

"Ayo Acha! Kita pulang!" kau menarik lengan adikmu dengan kasar. Lalu bergegas tanpa berkata apa pun padaku. Aku menggaruk kepalaku. Belum mengerti.

"Kamu mau kemana Juni?" aku berteriak.

Dia menghentikan langkahnya. Menoleh padaku. "Aku akan kembali. Tunggu!" ujarmu. Lantas benar-benar pergi. Menghilang di batas penglihatan.

Sepuluh menit berlalu, akhirnya kau kembali. Sendiri. Tanpa adik manismu. Kau berjalan dengan tatapan lurus ke depan. Lalu berhenti tepat di depanku.

"Aku ga suka kamu dekat-dekat adikku atau siapa pun itu selain aku." ujarmu langsung.

"Kenapa?" aku mengerutkan kening.

"Aku cemburu. Aku..." kau buru-buru menutup mulutmu. Mengatupkan rahang kuat-kuat. Lalu melengos pergi.

Aku segera berlari menyusulmu. Meraih jemarimu agas tetap tinggal dan tak bergegas kemana-mana.

"Kamu cemburu? Itu tandanya kamu..." kamu tiba-tiba membekap mulutku. Aku hanya bisa megap-megap.

"Jangan cerewet bodoh!" lalu setelah kau mengucapkan itu, kau menjauhkan tanganmu dari mulutku. Membalikkan badanmu hingga membelakangiku.

Aku menghela nafasku yang tersengal. Lantas menggoyangkan bahumu.

"Heh Gabriel, kau suka aku? Ayo jawab! Heh!"

"Cerewet!" ujarmu tetap dingin. Namun dapat ku rasakan, tubuhmu berubah mengejang. Mungkin kau gugup mendapatkan tekanan dariku. Kau terpojok.

Dan sikapmu yang terlihat salah tingkah itu, mengembangkan senyumku. Segala gerak tubuhmu, menandakan bahwa kau memiliki rasa yang sama seperti apa yang sudah tersimpan sejak lama di organ terkrusial dalam tubuhku.

*

Aku bodoh. Aku sering menduga-duga sesuatu yang belum pasti. Menerjemahkan apa yang tersirat. Meramalkan apa yang belum tentu terjadi.

Beberapa minggu setelah kau mengucapkan seuntai kata yang melesak anganku hingga membumbung jauh, kau membantingnya sampai ke dasar jurang tercuram. Kau mematahkan segala asa yang tercipta seiring nafas yang terhela. Kau memupus harapan-harapan yang telah ku terbangkan. Kini semua hilang, tertelan gumpalan awan di langit yang selalu berarak sengit. Awan kelabu yang kau suguhkan bersama pelatuk tajam yang menusuk-nusuk hatiku.

Kau memintaku untuk menemuimu. Namun, aku selalu saja menolak. Aku memang sangat sibuk dengan sekolahku. Dengan duniaku. Sampai-sampai aku kehilangan waktu untuk menikmati senja berhujan seperti biasanya. Aku tak menyangka, segalanya berjalan di luar jalur perkiraan.

Di hari minggu yang mendung, kau memohonku untuk menyisihkan waktu agar bisa menemuiku. Nada bicaramu sangat memelas. Aku tak tega harus menolakmu. Maka aku pun bersedia.

Aku melangkah secara perlahan. Tubuhku disambar getaran hebat yang menohok seluruh organ pentingku. Hatiku mencelos, mendapati kamu tak sendiri. Gadis cantik dengan rambut terurai tengah menggelayutimu dengan mesra. Siapa dia?

"Kenalkan, dia Sivia." kau mendesah. "Pacarku." kau menunduk.

Apa? Apa yang baru saja kau katakan? Katakan bahwa kau tengah bergurau! Katakan bahwa kau hanya tengah membuat lelucon yang sangat tidak lucu. Ayo katakan! Aku berteriak dalam hati. Menjerit. Menyuarakan bahwa aku merasakan pedih yang teramat sangat menyakitkan. Hatiku teriris. Menelan pil pahit yang menorehkan memar-memar mengenaskan.

"Kamu Ify kan? Gabriel sering cerita, dia suka sama kamu..." Sivia tersenyum. "Tapi dulu."

Aku menarik ujung-ujung bibirku. Berusaha untuk tersenyum. Tanpa sadar, setetes buliran bening mengalir meninggalkan pelupuk mataku. Disusul tangisan alam yang tanpa diberi aba-aba langsung menerpaku. Mengkamuflase tangisanku yang kian menderas.

Dan waktu seakan berhenti melaju. Semuanya membeku, termasuk aliran darahku. Maka aku hanya bisa terpaku saat desauan angin menyapu wajahku. Menandakan bahwa kamu dan Sivia baru saja melaluiku. Kalian pergi. Meninggalkan aku yang rapuh di bawah naungan hujan. Membiarkan aku yang bertahan dengan hati yang sungguh mengenaskan.

Tangisku semakin deras. Sedang hujan mulai mereda. Semuanya kini nampak begitu jelas. Aku masih terpaku. Lalu sejurus kemudian, aku menjatuhkan diri. Menundukkan kepala. Terus menangis.

Dan kamu, sang penoreh baret itu kembali menghampiriku. Kini sendiri, tanpa gadismu.

"Bukankah kamu selalu bahagia saat hujan turun?" tanyamu retoris. Mengangkatku untuk lekas bangkit dan berdiri.

"Kamu tahu kan aku menyukaimu?" aku menatap matanya yang berair. Entah karena hujan atau karena yang lain.

"Kau juga tahu kan kalau aku menyukaimu?" kamu menyentuh jemariku. Mengumpulkannya dalam satu genggaman saja.

"Lalu apa yang sekarang kau lakukan? Kau..."

Kau menarikku masuk ke dalam dekapanmu. Menelungkupkan wajah pada dada kokohmu. Dapat ku hirup aroma menenangkan dari tubuhmu. Mendengar detakan jantungmu yang beradu dengan ketukan air hujan yang kembali menderas. Bisa ku rasakan telapak tanganmu tengah menepuk-nepuk puncak kepalaku. Menguatkanku.

"Apa pun yang terjadi, aku tetap menyukaimu. Hatimu milik aku." bisikmu pelan.

*

Lalu setelah itu, apa memangnya yang kau lakukan? Kau benar-benar menjauh. Membangun sekat penghalang yang tinggi menjulang. Tak bisa ku tembus. Sekali pun aku telah mengerahkan seluruh kekuatanku. Tembok itu terlalu kuat berdiri.

Ya, aku benar-benar kehilanganmu. Sikap dinginmu. Tingkah lucumu. Sifat kekanak-kanakanmu. Manyunmu. Semua hilang. Tersapu ombak bersama karang.

Dan ketika tadi siang kita berpapasan, kita hanya diam. Saling bertatapan. Tak bertegur sapa. Melempar senyum pun tidak. Tak ada manyun yang biasnya. Semua berbeda. Bahkan sekarang, kita seperti tak saling mengenal. Padahal sebelumnya, kita adalah satu. Semua berubah.

Kamu jahat. Kamu singgah di hatiku. Mengunci hatiku agar tetap mencintaimu. Lantas setelah kau berhasil, kau pergi dan membuang kunci itu ke palung terdalam hatimu. Dan kini, aku dijejali rasa menyesakkan saat aku tahu bahwa hatimu tak lagi tertuju padaku.

Lalu memangnya, apa yang dapat ku lakukan sekarang? Mengambil kunci itu? Bahkan untuk menyentuh hatimu saja, serasa mustahil untukku.

Dan, pada akhirnya aku hanya bisa terpekur. Kembali mengenang masa indah yang dulu selalu menghiasi tiap langkah kita. Namun kini, semuanya pupus. Berganti dengan tetesan perih yang menampar telak hatiku.

Aku berharap, kisah ini akan berlanjut. Hingga nanti kita mencapai waktu terindah dalam jejak perjalanan kita. Waktu dimana hati kita melebur menjadi sebuah cinta.

***
Tamat
*

Oke, saya curhat. Ahaha, tadinya mau coretan biasa. tapi kok jadi cerpen begindang.
ini kisah saya, semuanya bener2 terjadi, cuma pelukan aja yang enggak, kalau jotos-jotosan, sering.
Ya udah, sekarang tugas kalian, doain saya, biar ga ngenes terus. *eh.

LIKE AMA KOMENT, WAJIB.

*

Bandung Barat, 27 november 2011
Oleh: Sinta Nurwahidah
twitter: @sintaSnap

Salam Pisang Goreng!

Sabtu, 12 November 2011

Coretan Pisang Goreng: Voucher Mie Rebus


Eeee,, ini Coretan Pisang Goreng yang ke-2. Ya ampun! Udah banyak ya? Oke, hari ini saya bahas apa ya? Bahas Si Juni? Ih jangan! Itu makhluk sudah tak tau rimbanya. Sudah hampir seminggu saya ga ketemu sama dia. Ga dimanyunin. Ga diledekkin. Ga dijitakkin. Ga dikerjain. Juni, kangen woy! Tuh kan, sekarang jadi galau. Daripada galau, mending saya bahas Lilis aja. Tuhan, Lilis sekarang pesonanya sudah merajalela. Awalnya, saya dan tiga teman saya yang tergila-gila sampai gila beneran sama Lilis. Tapi sekarang, kelas saya dan mungkin sebentar lagi seantero sekolah saya cinta sama Lilis. Ya iyalah, secara dia keren gituh! Cantik, imut, manis. Mana dia juga orang kaya pula. Tadi aja dia ke sekolah pake BMW warna merah. Tuh tuh, Lilis keren, kan?


Oh iya, saya jadi ingat sesuatu. Pas UTS kemarin kan saya dibantuin ama Lilis. Dia selalu nemplok di meja saya sambil bisikkin rumus-rumus yang harus saya pakai. Dan dari dua UTS yang sudah diberitahu hasilnya, nilainya memuaskan. Fisika dapat 95. Kimia dapat 100. Ya Tuhan, saya senang sekali. Setelah saya tahu hasilnya, saya langsung potong tumpeng. Gunting pita. Nyalain petasan. Ngundang ondel-ondel dan grup tanjidor. Terus saya pergi ke rumah Lilis buat ngelamar dia. Ternyata, di rumahnya, Lilis sedang melaksanakan akad nikah dengan Bisma. Saya tidak terima. Saya gorok leher Bisma. Terus saya bawa kabur Pak Penghulunya. Saya nikah deh sama Pak Penghulunya.


Nah, pas saya lagi melaksanakan resepsi, Ibu Guru Kimia datang. Dia memberi saya selamat atas pernikahan saya. Tunggu, kenapa saya jadi ngelantur? Yang bener tuh, Ibu Kimia kasih saya hadiah karena nilai kimianya saya 100, yaitu voucher makan mie rebus di kantin. Wess, langsung saya meloncat menembus langit-langit. Kebetulan banget. Saya lapar. Mana uang jajan udah tipis. Segera saya ngibrit ke kantin, buat tukerin voucher.


Setelah saya di kantin, saya langsung minta Tetehnya buat buatin mie. Ga butuh waktu lama, mie pun siap disantap.


Saya duduk bertiga, bareng Ana sama Resti. Saya juga makan bertiga. Satu mangkuk bakso buat bertiga. Kurang romantis apa lagi coba? Orang lain mah semangkuk berdua.


Pertama, saya dulu yang makan. Pas saya ambil mie pake sendok, tiba-tiba angin puting beliung datang. Mulut saya udah kebuka, udah siap buat nyantap mie. Tapi puting beliungnya rese. Suapan saya jadi tertahan. Eh, saya jadi heran, kenapa tiba-tiba ada puting beliung? Saya kira ada helikopter yang membawa Obama mendarat di sekolah saya. Atau, ada kapalnya Sandy yang dibawa oleh Spongebob dan Patrick untuk menangkap alien. Eh, perkiraan saya salah. Ternyata, fans fanatik saya datang. Ehbuset! Saya langsung keringet dingin. Tapi mulut tetep kebuka. Saya takut dia lihat saya. Terus minta foto sama tanda tangan. Tapi sayanya ga mau. Nanti saya nasib saya kaya Nemo, dapat gibeng dari dia. Pas Fans saya lewat, hawa langsung berubah. Serasa ada di metromini. Panas cyiiin! Setelah fans saya pergi, saya langsung nelen ludah. Ngelus dada. Untung dia ga liat saya. Eh, pas diselidiki, ternyata Lilis yang buat fans ga liat saya. Dia nemplok di wajah saya. Nutupin muka saya pake badannya. Ah, Lilis baik sekali ya. Saya langsung terimakasih ama Lilis. Dan akhirnya mulai makan mie sama Ana sama Resti. Eh, pas mau makan, mienya udah abis diembat Lilis.


*


Petuah Pisang Goreng: Jangan makan Mie rebus! Nanti diabisin ama Lilis.


*


Bandung Barat, 18 oktober 2011
By: Sinta Nurwahidah
twitter: @sintaSnap


*


Salam Pisang Goreng!

*

Coretan Pisang Goreng: Lilis... Oh Lilis...


Berawal dari status yang saya tulis yang hampir semuanya tidak penting dan tidak jelas. Seorang teman facebook saya mengatakan bahwa status saya selalu membuatnya ngakak. Entah status galau, sedih, senang, marah-marah, atau apa pun itu. Padahal saya sama sekali tidak bermaksud seperti itu. Lagi pula, status saya bukan Sule atau Mr. Bean. Jadi kenapa harus ngakak? Saya jadi heran sendiri. Apa saya mempunyai bakat melawak? Yang saya tahu, bakat saya hanya satu. Gila. Ya, saya gila. Dan saya bangga.

Maka dari itu, saya, Sinta Nurwahidah, memperkenalkan coretan terbaru saya. 'Coretan Pisang Goreng'. Bukan. Dicoretan saya ini saya tidak akan membahas mengenai cara membuat pisang goreng yang baik dan benar. Saya juga tidak akan berkoar mengenai Spongebob yang tersesat di Malaysia, lalu bertemu dengan Upin Ipin yang sedang makan ayam goreng, lalu ayam gorengnya dicuri oleh kucing Ayu Tingting yang sedang sibuk nyari alamat. Bukan. Coretan ini akan membahas tentang apa yang tidak perlu dibahas. Ya, apa saja. Coretan ini juga berperan sebagai wadah untuk mengapresiasi bakat gila saya.

Dan topik pertama yang akan saya angkat di coretan ini adalah tentang Lilis. Ya, Lilis. Tau ga Lilis? Ga tau? Kalian belum dikatakan anak gaul kalau belum tau siapa Lilis. Baiklah, karena saya anak gaul yang baik hati, maka saya akan memberi tahu siapa Lilis.

Lilis itu mahluk yang Tuhan paling mengguncang dunia. Aksinya lebih berani ketimbang Tuti Wibowo yang menyanyikan lagu hamil duluan. Lilis itu cantik. Dia pacarnya Bisma. Adiknya Rafael. Suka curhat sama Morgan. Selingkuhannya Dicky. Suka bikin envy Reza. Sahabatnya Rangga. Suka main ama Ilham. Lilis keren, kan?

Kalian ga percaya? Sumpah. Saya juga ga. Emang, sehebat apa sih seorang Lilis. Ampe member Sm*sh yang jadi maenannya. Saya juga bingung. Asli. Tapi saya lebih bingung lagi sama sikap Si Juni yang kadang-kadang baik dan tak jarang jutek juga. Jangan-jangan, Lilis dan Juni ada hubungan istimewa? Ya Tuhan, jangan sampai itu terjadi!

Oke, saya semakin ngelantur. Tapi, jangan salahkan saya. Semuanya salah Lilis. Ah ya, sudah seminggu ini saya selalu menyangkut pautkan apa yang terjadi dalam diri saya dengan Lilis. Ini karena Endah, temen sekelas saya ngenalin saya ama si Lilis. Bayangkan, tiap obrolan kami selalu saja Lilis. Lelucon yang dibuat pun tentang Lilis. Saya pergi ke sekolah naik angkot, supirnya Lilis. Ana naik ojeg, ojegnya suruhan Lilis. UTS saya kacau karena gangguan Lilis. Saya makan, Lilis ikut ambil bagian. Saya pingsan karena Si Juni, Lilis yang nolongin saya. Kenapa hidup saya di penuhi sama Lilis. Jadi, salah gue? Salah temen-temen gue? Salah orang tua gue? Makan nih!

Ah saya ga mau bahas Lilis lagi. Kasian dia. Tiap hari jadi bahan tertawaan saya. Tiap waktu jadi bahan pelampiasan kemarahan saya. Tiap sore jadi bahan perbincangan di Silet. Tiap pagi jadi bahan utama membuat kue garpu sama Master Chef Juna. Ah, saya tobat ngatain Si Lilis. Tapi, sekali-kali mah boleh dong!

*

Petuah Pisang Goreng: Sukailah Lilis seperti kau menyukai pisang Goreng.

*

Bandung Barat, 15 oktober 2011

*

Salam Pisang 'Lilis' Goreng!

Selapang Sang Rembulan part 7


Kala rasa menggelitik itu memenuhi tiap inci relung jiwa, takkan ada yang bisa mengenyahkan keajaibannya. Memupus kilauan bercak yang terpajang menyempurnakan kekosongan yang belum terjawab. Menetralisir adiksi yang terlarut bersama udara yang memadati sang kuota. Mencegah kemana desauan angin 'kan membawanya. Maka biarkanlah! Biarkan ombak itu berlari memburu tepi. Biarkan katak-katak itu menyenandungkan nyanyian kecilnya di atas teratai. Biarkan Sang Rembulan menjaga lelapnya Bumi malam ini. Juga malam lain. Dan malam-malam mendatang yang tak selalu terhindar dari kelam.



***

Shilla melepaskan sabuk pengaman yang tersampir di tubuhnya. "Thanks ya Yo!"



Shilla memutar kepalanya ke kanan. Mendapati pemuda di belakang setir itu sama sekali tak bergeming dengan ucapan Shilla barusan. Padahal, Shilla berharap kalau pemuda itu akan menoleh padanya. Paling tidak, hanya untuk memamerkan lengkung senyum khas miliknya. Namun kali ini, Shilla harus mengurut dada. Pemuda itu tak mengindahkan kehadirannya. Ia malah mengetukkan jemarinya ke atas kemudi. Fikirannya jauh mengembara.



Akhirnya, Shilla memutuskan keluar dari mobil. Setelah ia menutup pintu mobil, ia membalikkan badannya. Mengangkat tangan. Membuka mulut. Dan...



Pemuda itu melesat pergi sebelum Shilla sempat mengucapkan sesuatu. Pemuda itu seakan tengah terburu-buru untuk pergi ke suatu tempat. Pantas saja sepanjang perjalanan tadi, pemuda itu tak mengeluarkan sepatah kata pun. Sekedar bergumam saat Shilla bertanya. Ia seakan tak menginginkan adanya Shilla di sampingya. Mungkin, ia juga terpaksa mengantarkan Shilla. Ya, hanya untuk membuat Sivia tidak kecewa saja.



Shilla menunduk dalam. "Hati-hati Rio!" Ia mengucapnya begitu pelan, nyaris tak terdengar. Kalau pun ia berbicara dengan keras, atau berteriak sekali pun, pemuda itu tak akan bisa mendengarnya. Jaguar hitamnya telah menghilang dari pandangan. Ia pergi dengan membawa hatinya yang sama sekali tak menyiapkan setitik pun ruang untuk dapat tersentuh olehnya. Membentang sekat yang akan sangat sulit untuk merapat. Hatinya sakit. Lebih menyakitkan dibandingkan ketika ia melihat adegan beberapa saat yang lalu. Kali ini, menyesakkan.



***

Sivia menelan suapan buburnya yang terakhir yang ia dapat dari Gabriel. Ah ya. Dengan telaten, pemuda itu menyuapi Sivia bubur yang dimasak oleh Bi Lilis. Gabriel menyimpan mangkuk kosong ke atas nampan yang ada di atas meja. Ia lalu menyodorkan segelas air putih pada gadisnya. Lantas Sivia pun meminum air itu hingga tersisa tiga perempatnya. Gabriel menyimpannya kembali ke atas nampan. Beralih mengambil sebuah obat.



Sivia memperhatikan Gabriel yang meraih obat. Obat yang tadi diberikan oleh dokter yang datang memeriksanya. Pasti obatnya pahit. Iih,,, Sivia tidak suka. Ia bergidik ngeri.



Gabriel mengeluarkan pil obat yang harus Sivia telan. Tapi nampaknya, Sivia enggan meminumnya. Ia malam membekap mulutnya dengan telapak tangan seraya menggelengkan kepala. "Ga mau!"



Gabriel mengerutkan kening. Sivia itu gadis umur berapa sih? Disuruh minum obat saja raut wajahnya ketakutan seperti melihat mahluk halus. Gabriel menggelengkan kepala.



"Ayo minum obat dulu!" ujar Gabriel.



"Gue ga mau Odong-odong!" Sivia menepis tangan Gabriel yang hendak menyuapinya obat.



"Eh..." Gabriel mengerjap. Sepertinya ia harus segera mengeluarkan jurus terjitunya untuk membuat Sivia agar bersedia meminum obat. Ia tersenyum miring. Sivia bergidik.



Dan inilah jurus yang dimaksud. Gabriel mendekatkan wajahnya pada wajah Sivia. Sedikit menggeser posisi duduknya agar lebih nyaman untuk 'melakukan'nya.



Sivia menahan nafas. Apa lagi coba yang akan diperbuat Gabriel? Sivia jadi takut. Takut wajahnya akan menampilkan segores tinta merah merona. Takut jantungnya yang kini memompa darah lebih kuat akan meloncat keluar dari tempatnya. Takut tembok kemunafikannya runtuh. Apalagi saat ia menangkap seutas cahaya dibalik bola coklat melelehkan milik pemuda yang sudah berada sangat dekat dengannya. Ia takut Gabriel tahu, bahwa sebenarnya ia juga menyimpan rasa yang sama seperti apa yang menggelayuti hati Gabriel sejak lama.



Gabriel sekali lagi lebih mendekatkan wajahnya. Lantas ia terdiam saat mendapati sorot kilauan tajam dari manik mata gadisnya. Kilaunya yang lebih cantik dari sinar sang rembulan. Kilauan yang lebih berharga dibandingkan butir mutiara sekali pun. Gadis ini sungguh mempesona.



Gabriel segera mengerjap. Ia segera tersadar akan keterpesonaannya. Ia menunda sejenak keterpanaannya. Karena ia yakin, masih banyak waktu untuk hanya sekedar mengaguminya. Bahkan mungkin, untuk merengkuh seluruh kehidupannya. Ia kembali pada tujuan awalnya.



Gabriel mendesis pelan. "Kalo ga minum obat, gue cium!" Gabriel tersenyum menyeringai.



Apa? Gabriel menyebalkan! Sivia mendorong Gabriel agar menjauh darinya. Ia lebih baik menelan sekarung obat yang pahit, daripada dicium oleh Gabriel. Ih, Sivia mendengus kesal.



"Jadi, pilih yang mana? Kalau lo tetep ga mau minum obat, berarti lo pengen kan dicium ama gue? Haha!" Gabriel mengerlingkan matanya jahil.



"Ihhh, Gabriel centiiiiiilll...! Iya, gue minum obatnya!" ujar Sivia pada akhirnya.



Gabriel tertawa puas. Ia mengambil obat. Mendekatkannya pada mulut Sivia yang takut-takut membuka. Perlahan, mulutnya meraih obat. Lantas ia berusaha menelan obat yang begitu pahit terasa di lidahnya. Matanya terpejam. Wajahnya menggemaskan.



Gabriel menyerahkan gelas berisi air putih untuk membantu Sivia menelan obat, dan untuk menghilangkan rasa pahitnya.



Maka Sivia segera meneguk air tersebut sampai habis. Fiuhh, obatnya tidak enak. Coba saja obat itu rasanya seperti permen, Sivia mau terus sakit. 'Kan biar bisa terus makan obat rasa permen. Tapi sayang, obat yang baru saja ia telan sama sekali tidak seperti permen yang manis dan enak. Ih, Sivia jadi tidak mau sakit lagi.



"Sekarang, tidur gih!" kata Gabriel.



Sivia cuma melongo. Gabriel perhatian sekali padanya. Seperti Bunda. Omong-omong, kenapa Bunda, Ayah serta Bang Sion belum juga pulang ya? Padahal hari sudah sore. Ah, Sivia ingin mereka pulang. Agar pemuda tengil ini segera menghilang dari hadapannya. Lebih baik ia ditemani ledekkan Bang Sion yang membuat hatinya dongkol. Daripada harus bersama dengan pemuda yang terus memamerkan senyum dan menatapnya lekat-lekat. Kadang, juga melirik dengan cukup 'nakal'. Sivia sebal pada Gabriel. Dia selalu saja membuat bibirnya manyun. Dia selalu membuat Sivia tersipu. Dia selalu saja mengundang getaran hebat dalam tubuhnya. Dia yang selalu memacu aliran darah lebih cepat dari seharusnya. Dan dia yang selalu menempati ruangan istimewa di hatinya.



Tak lama, terdengar suara ketukan pada pintu kamar Sivia. Sejurus kemudian, kepala Bi Lilis menyembul dari balik pintu. Ia menunduk. Meminta izin untuk masuk. Maka setelah Sivia mengatakan "Masuk aja Bi!" Bi Lilis melangkah menghampirinya.



"Barusan Ibu telepon. Beliau bilang, baru bisa pulang besok. Soalnya, masih ada yang urusan." ujar Bi Lilis takzim.



Sivia mendengus sebal. Ada urusan apa sih mereka di rumah orangtuanya Bang Sion? Jangan-jangan, Bang Sion akan tinggal bersama orangtuanya di Bandung. Kalau begitu, siapa yang akan menjadi rivalnya saat bermain ular tangga? Tapi tunggu. Lalu siapa yang akan menemaninya malam ini? Tak mungkin pemuda ini. Sivia menggeleng-gelengkan kepala.



"Bi, saya boleh temenin Sivia kan? Saya udah janji sama Rio." Gabriel memelas. Memohon agar wanita paruh baya itu memberikan izin.



Tadi, Rio sempat menelpon Bi Lilis untuk membiarkan Gabriel menginap dan menjaga Sivia malam ini. Itu sebagai hukuman karena telah membuat Sivia sakit, katanya. Bi Lilis nampak berfikir. Sepertinya akan lebih baik jika Nona-nya dijaga oleh Gabriel. Ia yakin Gabriel akan menjaga Sivia dengan baik. Lagipula, ia sudah mengenal Gabriel sejak lama. Dan juga, ia tahu kalau Sivia menyukai Gabriel. Jelas saja. Sivia kan sering cerita mengenai Gabriel padanya. Ya, walaupun tidak terang-terangan mengatakan kalau dia memeliki rasa untuk Gabriel. Tapi paling tidak, dengan topik yang selalu dijadikan bahan cerita Sivia adalah Gabriel -entah itu bagaimana ia menjahili Gabriel atau pun sebaliknya-, Bi Lilis mampu memperkirakannya.



Bi Lilis mengangguk seraya tersenyum.



"Tapi Bi..." Sivia menghentikkan ucapannya ketika Gabriel buru-buru angkat suara.



"Aku disuruh Rio lho! Elo mau Rio marah?"



Sial. Sivia paling tidak bisa menolak kehendak sahabat kerennya itu. Rio. Bagaimana pun juga, dia adalah sahabat yang selalu melindunginya. Meskipun ia terkesan menutup diri dari jamahan Sivia, tapi Sivia yakin, Rio tetaplah sahabatnya. Sahabat keren layaknya Superman. Ia sangat menyayangi Rio. Maka Sivia tak bisa mengelak. Terpaksa mengangguk. Pasrah harus menghadapi 'cobaan' yang dihadiahkan Tuhan. Gadis berlesung pipi itu melipat tangannya di depan dada. Memanyunkan bibirnya.



Bi Lilis menahan tawa saat melihat ekspresi Nona-nya. Lalu membungkuk permisi untuk beranjak keluar kamar.



Gabriel tersenyum. Ia sangat bahagia. Ia diberi kesempatan untuk menemani gadis-nya semalaman. Rio tahu sekali apa yang diinginkannya. Bi Lilis juga sangat pengertian. Lantas ia pun melirik Sivia yang tengah menggerutu pelan. Sepertinya ia tengah merutuki Rio, Bi Lilis atau mungkin Gabriel sendiri.



Sivia bisa menangkap dari sudut matanya bahwa Gabriel sedang memperhatikannya dengan senyum khasnya yang menyebalkan. Maka Sivia pun menoleh. Menatap tajam pada Gabriel. Lalu menghardiknya.



"Apa lo?"



Gabriel hanya terkekeh. Ia seperti berada di atas angin.



***

Pemuda itu membanting pintu jaguarnya. Setelah itu melangkah kakinya menuju pintu masuk sebuah rumah mewah yang baru saja ia datangi. Lantas setelah berdiri tepat di depan pintu, ia mengetuk pintu tersebut.



Tak berapa lama, suara langkah kecil terdengar mendekati pintu. Pemuda itu sudah tidak sabar untuk bertemu dengan gadis-nya. Ia mencium setangkai mawar yang ia beli di toko bunga langganannya sebelum ke tempat ini.



Pintu terbuka. Gadis cantik yang mengenakan baju terusan lengan pendek berwarna putih yang membukakannya. Dia gadisnya. Gadis Si Pemuda. Gadis yang nampak sangat manis dengan rambut ikalnya yang terhias jepitan beludru putih. Sejenak membuat pemuda itu hanya bisa melongo.



"Aku kira, kau tak akan datang." ujar gadis itu. Tatapannya nanar.



"Aku fikir, kamu tak akan menungguku." timpal Sang Pemuda.



"Aku selalu menunggumu Rio!" ujar gadis berdagu runcing itu dengan penekanan pada kata kedua dan terakhir.



"Dan aku akan datang untukmu Ify." ujar Rio. "Gaharu." Rio menambahkan.



Gaharu. Sejenis kayu yang harum baunya. Ya, bagi Rio, seperti itulah Ify. Gadis cantik yang mempesona, namun begitu tegar dan lapang. Maka dari itu, Rio memanggilnya Gaharu.



Ify tersenyum. Tersanjung saat pemudanya memanggilnya Gaharu.



"Apa kau mengizinkanku masuk ke rumahmu?" tanya Rio.



"Tentu." Ify melengos. "Bahkan aku mengizinkanmu masuk dan tinggal di hatiku."



Rio melangkahkan kakinya untuk masuk ke kediaman gadisnya yang selalu saja seperti ini, sepi. Sama layaknya tempat tinggalnya. Ia segera mensejajarkan posisinya dengan Ify. Merangkulnya. Lantas berjalan beriringan.



Mereka berdua sampai di sebuah ruangan yang berwarnakan biru langit. Dinding-dindingnya dipenuhi oleh lukisan-lukisan wajah cantik Ify. Dan perlu diketahui, bahwa yang menciptakan lukisan-lukisan itu adalah Rio. Pemuda itu memang pandai menggoreskan cat beraneka warna pada kanvas. Dan dari sekian banyak karya yang telah ia ciptakan, keindahan gadisnya selalu jadi objek utama. Ruangan itu beralaskan karpet. Di sudut kiri, berdiri sebuah lemari besar yang berisikan buku-buku koleksi Ify. Gadis itu sangat gemar membaca. Maka tak heran dia selalu mendapatkan posisi tiga besar di kelas.



Akhirnya mereka duduk bersila. Menghadapi sepiring puding coklat yang sudah tersedia di sana.



"Mungkin pudingnya sudah basi. Aku membuatnya tadi pagi. Sore ini, kita makan angin aja!" ujar Ify seraya menyingkirkan piring berisi puding itu ke pinggir.



Rio terkekeh lucu. Ify memang tak berniat melawak. Lagipula, ucapannya bukanlah sebuah lelucon. Namun Rio selalu saja terkekeh atau sekedar tersenyum selepas Ify berucapnya. Caranya mengeluarkan setiap kata sungguh berbeda. Unik. Lucu. Apalagi dengan nada bicaranya yang manja. Aksen bahasanya begitu lembut. Menggelitik hati.



"Aku membawa mawar untukmu." ujar Rio seraya menyerahkan setangkai mawar merah yang masih segar.



Ify meraihnya. Mencium dan menghirup aromanya. Wangi sekali. Menenangkan. Ia sangat suka aroma mawar. Namun ia jauh lebih suka dengan aroma maskulin alami yang menyeruak dari tubuh pemuda tampan di hadapannya. Bahkan ia membutuhkan aroma itu untuk mengikis rasa sepi yang sering menjuntai di relung kalbunya.



"Kecantikan mawar itu tak mengalahkan kecantikanmu." sekali lagi Rio menyanjung gadisnya. Itu memang benar. Rio tidak sedang menggombal seperti kebanyakan lelaki hanya untuk membuat pasangannya terbang. Namun itu memang sebuah kenyataan yang tak dapat terbantahkan. Ify memang cantik. Bahkan sangat cantik bagi Rio. Ia sangat mencintainya.



Maka jangan harap ada setitik pun celah untuk siapa pun masuk dan tinggal di hatinya. Karena cinta gadisnya telah bersemayam memenuhi tiap sudut hatinya. Tak ada tempat untuk cinta yang lain. Cintanya hanya satu. Yaitu Ify.



***

Sivia membuka kedua matanya. Entah mengapa ia bisa terjaga dari tidurnya. Padahal biasanya, ia tidur seperti orang mati. Ia melirik jam di dinding. Benda penunjuk waktu itu menunjukkan pukul 23.12 WIB. Sudah larut malam. Ia lantas melirik pemuda yang sudah terlelap dengan posisi duduk. Kepalanya tenggelam di atas tempat tidur. Dan yang baru Sivia sadari, tangannya digenggam erat oleh kelima jari milik pemuda itu. Sivia tidur diiringi tautan tangan penuh kasih sayang yang diberikan Gabriel. Pemuda yang telah memenuhi janjinya pada Rio untuk menemani dan menjaga Sivia. Pemuda yang sabar menghadapi rengekkan Sivia saat ia meminta untuk dibuatkan coklat hangat sebelum tidur. Pemuda yang dengan telaten melayani kehendak Sivia yang aneh-aneh. Tadi saja, Sivia menyuruhnya menjadi badut. Jadi, terpaksalah ia harus mewarnai hidungnya dengan lipstik merah milik Bi Lilis, lalu bertingkah konyol seperti badut. Tapi semuanya Gabriel lakukan dengan senang hati. Tentu saja. Karena gadisnya yang meminta. Kalau saja Sivia memintanya untuk mencabuti rumput di lapangan seakbola sekalipun, ia akan melakukannya. Semuanya tak apa dibandingkan seulas senyum yang pasti akan selalu membuat hatinya berbunga.



Sivia jadi heran sendiri. Padahal dirinya selalu bersikap tidak baik padanya. Selalu menolak mentah-mentah kebaikan yang hendak diberikan Gabriel. Tapi pemuda itu tak pernah marah padanya. Apa dia tidak sakit hati diperlakukan seperti itu? Ia jadi merasa bersalah atas sikapnya. Tapi semua yang dilakukan Sivia semata-mata hanya untuk menutupi letupan perasaan yang merayapi hatinya. Tak ada maksud lain. Apalagi maksud untuk menyakitinya. Menyakiti pemuda yang telah mengindahkan hidupnya.



Sivia mendesah tak kentara. Mengangkat tangannya yang bersatu dengan tangan sang pemuda. Lalu mengecupnya hangat. Sivia agak lama melakukannya. Ia seperti menikmati tiap detik saat bibir manisnya menyentuh punggung tangan sang pemuda. Lalu pada akhirnya, ia menyimpannya di dada. Agar pemuda itu merasakan bahwa hatinya tak pernah diam saat dia hadir disisinya.



Sivia kembali terlelap dalam nafas beraturan.



***

Pemuda itu bergerak-gerak. Beberapa saat kemudia ia mendongakkan kepala. Melihat wajah gadisnya yang nampak begitu manis ketika tertidur. Ia mendapati tangannya yang digenggam oleh Sivia. Ia tersenyum. Pelan-pelan melepaskan tangannya dengan hati-hati. Takut apa yang dilakukannya akan mengusik tidur gadisnya. Ia lantas mengusap puncak kepala Sivia lembut. Lalu bangkit dari tempat duduknya. Berjalan keluar menuju balkon kamar Sivia.



Balkon kamar Sivia menghadap ke arah barat. Mungkin kalau senja tiba, ia akan bisa melihat mentari yang hendak pulang ke persembunyian dengan semburat merah kekuningan yang menawan. Namun saat ini gelap. Arloji di pergelangan tangan kirinya masih menunjukkan pukul 02.53 WIB. Dan kelamnya langit terkikis oleh Sang Rembulan yang sudah condong ke arah barat. Bentuknya bulat sempurna. Sungguh mempesona.



Gabriel tak melakukan apa-apa. Ia hanya berdiri seraya terus menatapi tiap kilauan sang rembulan. Ah, hanya melakukan itu saja sudah membuat hatinya begitu tenang.

Dan tanpa ia tahu, Sivia kembali terbangun dari tidurnya. Dia merasa ada sesuatu yang menghilang. Ternyata jemari hangat itu telah terlepas dari kungkungan tangannya. Pemuda empunya jemari itu pun kini sudah tidak ada di kamarnya. Kemana dia?



Sivia menuruni tempat tidurnya. Sekarang, kondisinya sudah tidak semenyedihkan kemarin. Buktinya kini ia mampu melangkahkan kakinya.



Sivia mengerutkan kening. Memicingkan mata mendapati pintu kamar yang menghubungkannya ke balkon terbuka. Pencuri kah? Atau mungkin Gabriel tengah berada di balkon? Tapi, untuk apa? Sivia berjalan menuju balkon.



Benar saja. Pemuda berbadan tegap itu tengah mematung di balkon. Matanya tertuju pada rembulan yang menggantung di kegelapan malam. Nampaknya, Gabriel juga menyukai bulan, seperti dirinya. Ia lantas menghampirinya. Ikut berdiri di samping kanannya.



"Aku cari kamu." ujar Sivia. Ikut menatapi bulan yang sangat menawan.



"Eh..." Gabriel terkesiap. Ia baru menyadari gadisnya ikut bergabung bersamanya. Ia menoleh pada Sivia. Gelagapan membuka mulutnya.



"Kalau mau lihat bulan, kenapa ga ajak aku? Aku juga suka bulan." ujar Sivia. Ia tersenyum kecil.



"Eh... maaf!" ia menggaruk belakang telinganya. "Ke dalam lagi yuk!" Gabriel melengos hendak pergi. Sampai akhirnya lengan kokohnya dicekal oleh lengan lembut Sivia. "Eh..." Lagi-lagi Gabriel terkesiap. Ia membalikkan badannya.



"Tetap disini sampai bulan pergi!" pinta Sivia.



Gabriel mengangguk. Kembali ke posisinya yang semula. Menghadap bulan yang masih benderang. Ia merasakan ada sesuatu yang berbeda saat berada di sisi Sivia.



"Kenapa kamu mau repot-repot jagain aku?" tanya Sivia. Ia bersikap tak seperti biasanya. Mungkin kini, perlahan dia telah berusaha memangkas sedikit demi sedikit menara kemunafikannya. Ia telah berani membuka hatinya. Membiarkan pemuda disampingnya masuk dan mengisi seluruh ruangan kosong di hatinya.



Gabriel nampak terkejut. Sesaat ia tertegun mendengar pertanyaan Sivia. Pertanyaan pembuka dari kejujuran-kejujuran yang akan segera terkuak. Ia bingung juga harus menjawab apa.



"Selain karena Rio." Sivia menambahkan, karena Sivia tahu Gabriel akan memberikan alasan tersebut.



"Emm..." Gabriel menggigit bibir. Entah apa yang harus dikatakannya. Hati kecilnya memintanya untuk mengungkapkan segalanya. Ya, mungkin itu yang harus dilakukan Gabriel.



Gabriel menghela nafas. Mengumpulkan keping-keping keberanian. Lantas ia berkata...



"Karena hati aku."



Sivia terkekeh. Memutar tubuhnya menghadap Gabriel. Lantas Gabriel pun ikut menghadap Sivia.



"Hati kamu? Bukannya hati kamu dulu ga suka sama aku?" tanya Sivia sarkatis.



"Hati bisa berubah. Sekarang, hatiku sangat menyukaimu. Bahkan mencintaimu." ujar Gabriel. Ia menatap Sivia dengan tatapan yang meneduhkan.



"Berarti nanti, hatimu juga akan berubah lagi?" tanya Sivia retoris. Ia seakan tengah mencari sebuah kepastian yang akan memantapkan hatinya.



Gabriel terperanjat. Ia tak menyangka Sivia akan melontarkan pernyataan tersebut. Ia menggelengkan kepala.



"Aku harap takkan pernah. Karena aku juga merasakan hal yang sama denganmu." Sivia melompat merengkuh tubuh kokoh pemuda di hadapannya. Dan Gabriel pun sigap menangkapnya.



Gabriel membelai lembut rambut hitam nan panjang gadis dalam dekapannya. Ia serasa terbang melayang menembus angkasa saat kini gadis yang dulu seakan sulit untuk ia raih, sekarang berlari menghampirinya. Bahkan kini terkungkung di balik kedua tangannya.



Sementara Sivia juga tak kalah berbahagianya. Ia tersenyum. Menghirup aroma tubuh kokoh pemudanya yang seakan menjadi adiksi untuk tiap jengkal sukmanya. Mengadu dentuman berirama dari jantung keduanya. Memadu rasa cinta yang telah berbaur dalam kemahaindahan. Sivia meruntuhkan tembok yang selama ini selalu menghalangi dirinya untuk membuka gerbang di hatinya. Memusnahkannya lantas berdoa pada yang Maha Esa, agar harapannya selalu terjaga dan takkan teronggok mati.



Mereka pun mengurai pelukannya. Kembali menghadap ke arah bulan. Bulan yang jadi saksi bisu atas jalinan cinta yang mereka sulam dengan ketulusan.



Gabriel melingkarkan lengan kanannya pada pinggang Sivia. Sementara Sivia menyandarkan kepalanya pada bahu pemuda yang telah 'resmi' menjadi pemudanya. Pemuda berhati lapang. Selapang Sang Rembulan.



***



Bersambung.



***

Selapang Sang Rembulan part 6


Ketika Sang Amor turun ke bumi. Berkelana mencari sepasang hati yang akan ia titipkan sebuah rasa. Maka pada saat ia menemukannya, ia akan memerintahkan si empunya hati untuk menjaganya. Menjaga rasa yang akan bertahan sangat lama. Atau mungkin segera hilang, tersentuh keluh.



*



Rio tengah menyusuri satu persatu anak tangga. Di belakangnya, Shilla mengekori dengan membawa nampan yang di atasnya terdapat semangkuk sup wortel hangat, segelas air putih, dan obat yang diambilnya dari kotak P3K. Setelah keduanya berada di ujung tangga, mereka bergegas menuju sebuah kamar dengan pintu jati kokoh di hadapan mereka. Rio memegang kenop pintu lalu segera memutarnya. Sejurus kemudian, pintu terbuka. Ia mempersilakan Shilla untuk masuk ke kamar yang bercatkan biru langit tersebut. Lalu akhirnya, ia pun ikut masuk. Membiarkan pintu tetap terbuka.



Shilla menaruh nampan yang ia bawa di atas meja kecil yang terletak di samping tempat tidur.



Rio bergerak meraih mangkuk berisi sup wortel. Lantas mengambil posisi duduk di tepi ranjang yang ditempati oleh sahabat manisnya yang tengah terlelap dengan balutan selimut bergambar dombanya. Ia lantas menarik selimut tersebut. Berniat untuk menyuapi gadis dibaliknya. Dan ia -juga Shilla- terperanjat saat mendapati hanya sebuah gulinglah yang ada di sana. Tak ada sahabat manisnya. Dia pergi. Tapi kemana? Masakah dengan keadaannya yang payah itu dia bisa melarikan diri? Ck. Rio berdecak.



Shilla segera berlari menuju kamar mandi. Mengecek. Kalau-kalau, sahabatnya ada di sana. Nihil. Shilla tak menemukannya. Lantas ia bergegas menuju ruangan-ruangan yang ada di rumah itu. Tapi tetap saja, dia tak menemukannya di salah satu ruangan yang ia datangi. Maka ia kembali ke kamar itu dengan wajah yang begitu cemas.



Baru saja Shilla akan mengatakan bahwa ia tak berhasil menemukannya di setiap sudut rumah, ia langsung disergap Rio yang bertanya seraya mengguncang-guncangkan tubuhnya. Wajah Rio teramat kalut.



"Sivia ga ada di kamar mandi. Di ruangan lain juga ga ada. Dia mungkin keluar." ujar Shilla.



Ck. Rio berdecak. Ia menghentakkan kakinya ke lantai. Mengacak-acak kepalanya. Bagaimana mungkin Sivia keluar, sementara ia tengah mengalami sakit yang -cukup- menyedihkan. Ia merasa bersalah. Harusnya dia bisa menjaga Sivia. Tak membiarkannya keluar dan menerima hembusan angin yang akan memperburuk kondisi tubuhnya. Rio sangat khawatir pada Sivia, sahabat manisnya.



Sementara kedua sahabatnya tengah ketar-ketir setengah mati mencari keberadaannya, Sivia malah asyik menikmati rujaknya. Walau sesekali ia mengulum bibir karena kesal dengan perlakuan Gabriel yang jahilnya sudah keterlaluan. Tapi toh, Sivia terus saja melahap rujaknya. Rujaknya enak sih! Mana pedas lagi. Sivia kan paling suka yang pedas-pedas.



Tapi Sivia lupa bahwa dari tadi pagi, perutnya sama sekali belum terisi. Maka setelah ia melahap rujak hampir satu porsi, Sivia memegangi perutnya yang mulai terasa sakit. Aduh. Sivia meringis kesakitan. Perutnya serasa dililit rantai besi. Seakan ribuan belati tengah menusuk-nusuk organ pencernaannya. Dan Sivia juga merasakan panas yang membakar organ bagian dalam tubuhnya. Sivia memejamkan kedua matanya. Meraung meminta pertolongan.



Gabriel yang mengetahui ada yang tidak beres pada gadis 'becak'-nya segera memasang ekspresi cemas yang sangat kentara. Bersatu dengan garis ketampanan wajahnya. Dengan panik, ia bertanya...



"Lo kenapa Vi?"



Gabriel menyingkirkan jumputan poni Sivia dan menahannya dengan telapak tangan. Ia melihat wajah Sivia yang berubah menjadi pucat pasi. Keringat sebesar biji jagung mulai menghiasi bingkai manis wajah gadisnya. Tuhan, ada apa dengan Sivia?



"Sakit... sakit peruuut... Aduuuh!" Sivia kembali mengaduh. Perutnya benar-benar sakit. Seakan tengah dilindas truk bermuatkan ber-ton-ton batu. Sakit sekali. Melilit.



Gabriel menggaruk belakang telinganya. "Ya udah, gue anterin pulang yuk!"



Sivia mengangguk lemah. Lantas dituntunnya ia oleh Gabriel menuju vespa yang terparkir di tepi jalan.



Gabriel melompak naik ke atas vespanya. Menghidupkannya. Lalu menyuruh Sivia untuk ikut naik di belakangnya. Kini, dengan perut yang terasa semakin melilit, Sivia tak menolak perintah Gabriel. Tentu saja. Dengan sakitnya, ia melupakan sejenak gengsinya. Sivia naik ke atas vespa Gabriel. Tangan kanannya masih tetap memegangi perutnya. Sementara tangannya yang lain ia lingkarkan pada tubuh pemuda tampan di depannya. Maka setelah vespa melaju, tangan kiri Gabriel menggenggam erat tangan Sivia yang melingkar. Menyisipkan sebuah kasih yang di terkontaminasi rasa cemas lewat tautan kelima jemarinya. Menguatkan sang gadis yang kini tengah menyandarkan kepalanya pada punggung kokoh miliknya. Seraya terus meringis. Menyedihkan.



Dan harusnya dia tak lagi menutupi setiap dentuman perasaan yang bergelung dalam jiwanya. Karena semuanya kentara. Walau tak dapat teraba. Akan tetapi, dalam ombak yang berkejaran lewat bola matanya, semua tak dapat terbantahkan. Rasa itu memburu pemiliknya. Memintanya untuk segera menyibak tiap inci realita.



***



"Jadi, Sivia cuma pura-pura sakit doang?" tanya Rio seraya melonjak bangkit dari sofa empuk yang sebelumnya ia duduki.



Wanita yang mengenakan daster bunga-bunga itu hanya mengangguk. Lantas dengan agak takut -karena melihat ekspresi Rio- berujar "Iya Den Rio. Maafin Bi Lilis ya!"



Rio mendengus kesal. Tega sekali Sivia mengerjainya seperti ini. Ini sama sekali tidak lucu. Tak tahukah ia bahwa dirinya sangat amat mengkhawatirkan keadaannya. Bahkan ia merasa bersalah atas menghilangnya Sivia. Dan ternyata, semuanya hanya akting. Sivia telah benar-benar mempermainkannya. Emosi Rio mulai membuncah sampai ke ubun-ubun kepalanya.



Sementara Shilla hanya bisa menunduk. Ia menelan ludah. Rio kalau marah ngeri juga ya!



Lantas Rio pun memutuskan untuk bergegas. Pergi dan menemui gadisnya daripada harus berada di tempat yang membuat emosinya memuncak tak dapat terkendali. Tanpa mengatakan apa pun pada gadis di sampingnya dan wanita di depannya, ia berlari ke arah pintu keluar.



Shilla hanya mengangkat bahu saat Bi Lilis menatapnya dengan menautkan kedua alis. Tanya saja orangnya.

*

Rio membuka pintu jaguar miliknya. Segera masuk dan duduk di kursi pengemudi. Lalu menutup pintu mobilnya dengan kasar. Ia hendak menghidupkan mesin mobilnya. Dan pemuda yang tengah bernafas secara terengah-engah itu pun menunda untuk melakukan niatnya saat sebuah vesva yang dikendarai oleh seorang pemuda yang sangat familiar dengannya masuk ke pelataran rumah. Dia tak sendiri. Seorang gadis berambut panjang terkulai tak berdaya di punggung sang pemuda. Sivia? Kenapa dia? Rio memicingkan mata.



Gabriel menghentikan laju vespanya. Ia berbalik dan melihat gadisnya yang terlihat semakin menyedihkan. Sivia terus menunduk seraya meremas-remas perutnya. Seakan hal itu dapat membunuh kesakitannya. Rambut hitamnya basah oleh keringat. Membentuk lukisan yang membingkai wajahnya.



Gabriel turun dari vespanya. Lalu meminta Sivia untuk naik ke punggungnya. Ia tahu, Sivia takkan kuat untuk masuk ke rumahnya. Kalau pun kuat, Gabriel takkan tega membiarkannya menyeret tubuhnya sendiri. Maka ia rela meminjamkan punggungnya. Ia rela demi gadisnya.



Sivia mengangkat wajahnya. Menatap Gabriel yang sudah siap dengan posisi untuk menggendong. Mulutnya terbuka. Ragu untuk berbicara.



Gabriel segera menyambar tangan Sivia. Ia tahu, gadis itu akan menolak untuk digendong olehnya. Ia menatap Sivia dengan tatapan lembut meneduhkan. Sivia menggigit bibir. Akhirnya mengangguk dan bersedia untuk digendong oleh Gabriel. Maka sejurus kemudian, Sivia naik ke punggung Gabriel. Dan pemuda itu menoleh ke belakang. Tersenyum manis saat nafas hangat gadisnya menelisik wajahnya.



Dan Sivia mendorong wajah Gabriel. Meski ia sedang sakit, tapi toh hatinya tetap saja bereaksi saat wajah Gabriel berada dekat dengan wajahnya. Hatinya bergetar.



"Odong-odong, cabuuut!" ujar Sivia dengan suara parau.



Gabriel terkekeh. Gadisnya memang unik. Sedang sakit saja, ia masih bisa bergurau. Lantas Gabriel menggeleng dan mulai melangkah masuk ke dalam rumah.



Sedangkan pemuda dalam jaguar hitam itu terus mengamati gerak-gerik kedua sahabatnya. Sivia yang digendong oleh Gabriel untuk masuk ke kediamannya. Sakitkah Sivia sampai-sampai tak mampu untuk membawa dirinya sendiri? Ah, mungkin Sivia tengah berakting. Seperti apa yang dilakukan gadis itu padanya. Tapi, Sivia kan bukan cewek ganjen yang suka cari perhatian pada cowok. Lagipula, yang menggendongnya tadi adalah Gabriel. Rio tahu Sivia tak menyukai Gabriel dan tak mungkin mau untuk digendong olehnya -tapi Rio tak tahu apa yang tersimpan pada tempat istimewa di hati Sivia-. Sepertinya ada yang tidak beres. Rio terlihat menimbang-nimbang seraya mengetukkan telunjuknya ke atas setir mobil. Bingung. Apa yang harus dilakukannya sekarang?



Akhirnya, setelah pemuda bergigi gingsul itu menghela nafas panjang, ia memutuskan untuk keluar dari mobil kesayangannya. Membanting pintu dengan keras. Lantas berlari dan kembali memasuki rumah Sivia.

*

Shilla mencelat dari tempat duduknya ketika melihat Sivia yang menghilang, datang bersama Gabriel yang menggendongnya. Segera Bi Lilis berlari kecil dan menghampiri keduanya. Wanita yang telah bekerja pada keluarga Sivia semenjak berumur 9 tahun itu pun nampak panik. Mendapati Nona cantik yang ia sayangi dalam keadaan yang menyedihkan.



"Non Sivia kenapa Mas?" tanya Bi Lilis. Ia mengusap peluh yang melumuri pelipis Sivia.



"Jelasinnya nanti ya Bi! Kita bawa Sivia ke kamar dulu ya! Kasihan becakku yang satu ini." ujar Gabriel.



Sivia terkesiap. Aduh. Gabriel itu menyebalkannya tak pernah hilang. Sivia menarik kuping Gabriel. Tapi nampaknya, hal itu bukan membuat Gabriel sakit. Malah ia merasa geli. Ia terkekeh lalu berjalan menuju tangga untuk mencapai kamar Sivia yang terletak di lantai dua.



Sivia menoleh ke belakang. "Aku cuma sakit perut Bi." ujar Sivia pada Bi Lilis yang mengekorinya.



Lantas Shilla hanya berdiri mematung di tempatnya. Mengerutkan kening. Tak mengerti dengan apa yang terjadi pada sahabat kentalnya. Sivia sempat melirik Shilla. Lantas dia mengedipkan matanya jahil sembari tersenyum menyeringai.



Shilla terkejut saat mengetahui pemuda yang beberapa saat lalu bergegas dengan amarah yang membuncah kini kembali masuk ke dalam rumah. Nafasnya sedikit tersengal. Ia menoleh pada Shilla. "Sivia kenapa?" tanya Rio yang dijawab dengan gelengan kepala dan bahu terangkat.



Akhirnya, untuk memastikan apa yang tengah terjadi, mereka berdua pun menyusul pergi ke kamar Sivia.



Gabriel langsung membaringkan Sivia ke atas tempat tidur. Bi Lilis dengan sigap menarik selimut dan membalutkannya ke atas tubuh Sivia.



"Kok Non bisa sakit gini sih?" tanya Bi Lilis. Kecemasan pada garis wajahnya belum sirna.



Gabriel menunduk. "Saya yang salah Bi." Dia mendesah. Menyesal.



Sivia mendelik ke arah Gabriel yang berekspresi lucu baginya. Pasti akan lebih lucu kalau dia mengerjainya. Sivia jadi punya ide nih! Ia tersenyum miring. Sekali-kali gantian dia yang mengerjai Gabriel. Biar adil.



"Aku sakit perut karena disuruh makan rujak ama Gabriel. Padahal, aku belum sarapan Bi." kata Sivia dengan manja. Melirik wajah Gabriel yang semakin lucu dari sudut matanya. Ia mencoba menahan tawanya.



"Maafin gue Vi! Coba aja gue ga maksa elo buat makan rujak. Elo ga akan sakit gini." ujar Gabriel semakin merasa bersalah. Bi Lilis langsung mengusap-usap punggung teman lelaki Nona-nya.

Maka setelah Gabriel berucap, pintu kamar langsung terbuka. Siluet tampan itu menyembul dan masuk ke dalam kamar, beserta gadis cantik yang mengikutinya.



Sivia, Gabriel dan Bi Lilis pun serta merta menoleh ke arak keduanya. Nampak Rio dengan wajah yang pasti akan membuat siapa saja yang melihatnya ketakutan. Dan Shilla yang berada satu langkah di belakangnya.



Rio mendekat pada Gabriel. Ia menatap tajam sahabatnya. Tanpa terduga, ia mengangkat t-shirt yang dikenakan Gabriel. Gabriel langsung terperanjat lantas ia pun berdiri. Membalas tatapan Rio dengan kening yang berkerut. Tak mengerti kenapa Rio tiba-tiba bersikap itu padanya.



"Jadi, elo yang bawa kabur Sivia? Terus, elo ajak dia makan rujak? Dan akhirnya, dia sakit perut? Gara-gara elo, Yel?" tanya Rio bertubi-tubi.



Gabriel pasrah. Tak dapat mengelak. Memang dia yang telah membuat gadisnya seperti ini.



Rio mengepalkan tangan. Mengangkatnya tinggi. Lantas segera mendaratkannya pada wajah Gabriel. Biar ia tahu apa yang dirasakan Sivia.



Namun Sivia segera bereaksi. Ia berteriak -walau tidak keras-. Menghentikan kepalan tangan Rio yang hampir saja menghujam wajah Gabriel. Rio menoleh pada Sivia. Mendapati sahabat manisnya itu tengah menatapnya nanar. Meluluhkan keras hati Rio. Meredam amarah yang sebelumnya begitu membuncah. Ia mendorong tubuh Gabriel. Melengos menghampiri Sivia. Ia duduk di tepi ranjang.



"Apa yang sakit Vi? Perut? Kepala? Apa?" Rio menempelkan telapak tangannya pada dahi Sivia. Agak panas dan berkeringat.



Sivia menunduk. "Maafin gue ya Yo! Gue tadi bohongin elo sama Shilla. Pura-pura sakit. Eh, sekarang gue sakit beneran."



"Iya, ga pa-pa. Jangan ulangi lagi ya! Gue khawatir. Elo itu sahabat gue Sivia. Gue sayang ama elo." Rio mendekap tubuh Sivia. Membelai rambut panjang nan hitam milik sahabatnya. Sahabat kecilnya. Sampai selamanya.



Gabriel terus menunduk. Ah, semuanya karena dia. Kenapa coba dia malah menyakiti Sivia? Bukankah dia sangat mencintai Sivia? Harusnya, ia menjaga Sivia. Gabriel merutuk dalam hati. Ada bagian dari hatinya yang sakit saat ini. Dadanya sesak. Nafasnya tercekat.



Sama halnya dengan gadis yang kini berdiri sejajar dengan Gabriel. Ia juga merasakan sakit pada hatinya. Pedih saat melihat adegan berpelukan di depannya yang seharusnya nampak biasa saja. Tapi sebuah rasa dalam dirinya telah mengubah cara pandangnya. Adegan itu sangat tidak 'biasa', karena dapat membuat hatinya kecewa. Shilla cemburu pada sahabatnya sendiri.



Setelah beberapa saat, Rio mengurai pelukannya. "Gue harus pulang." Rio baru ingat sesuatu. "Ada hal penting."



Sivia mengangguk.



"Jangan khawatir! Kan ada Bi Lilis." Rio melirik Gabriel. "Juga cowok yang udah bikin lo kaya gini, yang bakal jagain lo sampai lo sembuh. Iya kan, Yel?"



"Gue cowok yang bertanggung jawab kok!" ujar Gabriel.



Rio lantas menepuk pelan puncak kepala Sivia. Bangkit dari duduknya. Memberi isyarat pada Bi Lilis untuk menjaga Sivia. Sejurus kemudian, melangkah menghampiri Gabriel. Ia mendekatkan mulutnya pada telinga Gabriel. Berbisik pelan. "Kesempatan lo."



Gabriel terkesiap. Akhirnya menarik ujung-ujung bibirnya.



Rio melirik Shilla. Gadis itu tengah mematung dengan tatapan menerawang. Kenapa dengan dia?



"Mau pulang ga? Bareng gue aja!" tawar Rio.



"Eh..." Shilla mengerjap. Apa tadi katanya? Rio mengajak untuk pulang bersama? Shilla menatap Sivia, seperti seorang putri yang meminta izin pada bundanya. Sivia pun mengedipkan matanya. Mengizinkan Shilla pulang bersama Rio. Bersama pemuda pujaan Shilla. Membiarkannya untuk berdua saja. Takkan ada yang mengganggu. Sekalipun desauan angin, atau mungkin hujan yang tiba-tiba turun. Itu harapan Sivia, yang merupakan harapan terbesar Shilla. Namun harapan sang pemuda, tetap untuk gadisnya.



"Gue pulang deh! Cepet sembuh ya Vi! Jagain ya Yel! Bi Lilis, Shilla pamit ya!" ujar Shilla.



Rio dan Shilla keluar dari kamar Sivia. Berjalan beriringan menuju jaguar hitam yang telah menanti di pelataran rumah.



Bersambung



***

Selapang Sang Rembulan part 5


"Lo kan sahabat Rio, bantu gue deketin dia dong!" Setelah tiga hari yang lalu kalimat penuh harap tersebut ia dengar dari Shilla, sahabatnya sendiri. Apalagi saat mengatakannya, Shilla memasang wajah yang memelas. Maka Sivia tak mau membuat Shilla kecewa. Shilla sudah mempercayainya. Ia harus menjaga kepercayaan itu. Dengan caranya sendiri, Sivia bertekad membantu mewujudkan keinginan sahabat kentalnya.



Lalu kini, di minggu pagi yang cerah ini, Sivia akan memulai aksinya. Ya, Sivia sudah menyusun sebuah rencana besar tadi malam. Dan pagi ini, ia siap merealisasikannya.



Mobil berwarna silver yang membawa Ayah, Bunda dan Bang Sion itu sudah tak terlihat lagi. Sudah menghilang di ujung pandangan. Sivia menarik nafas. Tersenyum penuh arti. Lantas menutup gerbang berwarnakan putih di hadapannya. Sejurus kemudian berlari memasuki rumah lalu menuju kamar tidurnya di lantai dua.



Ia membuka dengan kasar pintu kamarnya. Mengambil ponsel yang tergeletak di meja belajar. Lalu menuliskan segurat pesan singkat yang berisikan "Gue sakit perut. Di rumah ga ada siapa-siapa. Gue sendirian. Tolongin gue!" Dan setelah pesan tersebut selesai ia tulis, ia segera mengirimkannya ke dua deretan nomor yang berbeda. Satu untuk konsumennya. Dan satu lagi untuk sasaran aksinya.



Laporan bahwa pesan tersebut telah terkirim dan dipastikan telah diterima oleh para korbannya, membuat senyum di wajah Sivia mengembang seketika. Ia bersorak gembira. Menyimpan ponselnya kembali ke tempat semula. Lantas meloncat girang ke atas tempat tidur. Menarik selimut seraya terus tersenyum. Memejamkan kedua mata indahnya. Lalu mulai mencoba terlelap dalam nafas teratur. Senyum manisnya masih terpatri, seperti enggan untuk pergi.



*



Pemuda yang hanya mengenakan kaos kumal dan celana pendek yang tak kalah kumal itu masih berbaring di atas tempat tidurnya yang empuk. Dengan mata tertutup, ia meraba-raba nakas tempat tidurnya untuk mengambil ponselnya yang tiga detik lalu bersuara, penanda sebuah pesan baru saja diterima. Lantas setelah ia berhasil meraih ponselnya, ia mulai membaca pesan tersebut.



Tiba-tiba, pemuda itu melonjak bangun dari tidurnya. Terperanjat sekaligus tak percaya dengan isi pesan tersebut. Ia pasti salah baca. Tadi ia membacanya setengah sadar. Maka tergesa ia mengucek matanya. Membaca ulang pesan tersebut. Memastikan bahwa apa yang ia baca tadi tidak benar adanya.



Sial. Dengan nyawa yang sudah terkumpul sepenuhnya, dengan mata yang sengaja ia picingkan, isi dari pesan itu sama persis dengan apa yang dibacanya tadi. Pemuda itu langsung mengacak rambutnya. Wajah kalut langsung tertoreh pada tiap inci ketampanannya. Ia berdecak. Terburu-buru pergi ke kamar mandi.



*



Gadis berkulit putih itu langsung bangkit dari duduknya selepas mengetahui isi pesan yang baru ia terima. Tanpa membuang waktu, ia mengambil tas selempangnya yang tersampir di balik pintu. Lantas keluar dari kamarnya.



"Mau kemana Kak?" tanya seorang bocah laki-laki yang mengenakan kemeja coklat dengan gambar domba kecil di bagian dada kirinya.



Gadis itu kemudian menghentikan langkahnya yang tergesa saat bocah tersebut menghampirinya. Dia tersenyum tipis. Sementara sang bocah menatap heran pada kakak tersayangnya. Tak biasanya kakaknya itu pergi di minggu pagi seperti ini. Mau jogging? Sudah terlambat. Main? Kakaknya tak pernah main sepagi ini. Bocah itu mengerutkan kening.



"Sivia sakit. Aku mau lihat keadaannya. Kamu tolong bilang ke mama ya, Ray!" ujar gadis itu seraya menepuk bahu adiknya yang berambut gondrong.



Kemudian, setelah gadis itu melihat adiknya mengangguk menyanggupi, ia melanjutkan langkahnya yang sempat tertunda. Dan dengan rasa khawatir yang mendera hatinya, ia berlari keluar dan pergi ke tempat tujuannya.



*



Pemuda dengan kemeja putih bergaris itu keluar dari jaguar hitamnya. Terburu-buru ia masuk ke dalam rumah yang sudah ada di hadapannya. Ia membuat langkah yang cepat, berkejaran dengan detak jantungnya yang bertalu tak menentu. Seutas pesan yang ia terima tadi, membuat hatinya ketar-ketir setengah mati. Bagaimana tidak? Sivia. Sahabat manisnya sedang sakit. Dan dia sendirian. Maka pemuda itu teramat mencemaskan sahabatnya. Hanya satu yang ada di fikirannya kini. Keadaan Sivia.



Pemuda itu tak butuh waktu yang lama untuk mencapai kamar Sivia. Ia sudah hafal betul seluk beluk rumah yang cukup besar ini. Maka ia langsung mendorong pintu yang ada di hadapannya. Ia mendapati Sivia tengah berbaring lemah di ranjangnya. Ia segera menghampiri Sivia.



Hatinya mencelos seketika, kala ia melihat wajah Sivia yang pucat pasi. Keringat dingin bergulir membasahi pelipisnya. Bibirnya bergetar. Sesekali meringis kesakitan seraya memegangi perutnya.



"Maaf gue telat, Vi!" ujar pemuda itu. Ia mengulurkan tangannya. Meraba kening Sivia untuk mengetahui suhu tubuhnya. Dan Tuhan. Sivia panas. Benar-benar menyedihkan. Pemuda itu menggigiti bibir bawahnya. Seakan merasa bahwa dialah yang membuat Sivia seperti ini.



"Maaf ya Rio! Gue terpaksa minta lo ke sini. Ayah, Bunda sama Bang Sion tadi pagi pergi ke Bandung. Bi Lilis juga ga tau kemana." jelas Sivia. Ia kembali meringis.



"Ga pa-pa Vi! Lo kan sahabat gue, bahkan gue udah anggap lo adik gue sendiri." Rio mengelus rambut Sivia yang cukup basah.



Sivia tersenyum. Menatap nanar lalu berkata "Makasih ya, Yo!" dengan suara bergetar.



Rio mengangguk lalu menyunggingkan senyum tipis. Ah, kasihan sekali sahabatnya ini. Seharusnya, di hari libur seperti ini, ia bisa menikmatinya dengan tawa renyah dan ocehannya yang mengganggu. Tapi saat ini, dia hanya bisa tergolek lemah. Bahkan mungkin, untuk mencapai kamar mandi pun, ia akan kesulitan.



Kalau saja Tuhan mau untuk diajak kompromi, ia akan meminta Tuhan untuk menukar posisinya dengan Sivia. Ia rela merasakan sakit yang teramat, asal Sivia dapat tersenyum. Asalkan Sivia ceria layaknya biasanya. Ia bersedia. Sungguh. Ini karena ia sangat menyayanginya. Tentu saja. Ia sudah bersahabat sejak lama dengan Sivia. Bahkan ketika masih kanak-kanak, mereka selalu menghabiskan waktu bersama. Mereka sangat dekat bagaikan pasangan adik-kakak. Dan itu terus berlangsung hingga mereka dewasa seperti saat ini. Hanya saja, semenjak tiga bulan yang lalu, hubungan mereka sedikit merenggang. Perceraian orang tua Rio membuat sikapnya berubah. Dia menjadi lebih murung dan tak seterbuka dulu. Lalu akhirnya, Rio pun terkesan menjauh dari Sivia. Namun sesungguhnya, tak ada sedikit pun niat di hatinya untuk menjauh. Ia tetap menyayangi sahabat manisnya. Sampai nanti. Sampai waktu yang tak ada batasnya.



"Gue buatin sup wortel ya? Lo kan paling suka sama wortel. Pasti, sup wortel bisa buat perut kamu lebih mendingan." ujar Rio lantas bergegas menuju dapur.



Sivia menoleh ke seluruh penjuru kamar. Memastikan bahwa Rio sudah benar-benar tak berada di kamarnya lagi. Kemudian ia mendesah lega. Senyum miring terlukis pada wajah cantiknya. Korban pertamanya telah berhasil ia pancing sehingga terjerat dalam jebakannya. Ia hanya tinggal menunggu korban terakhirnya yang pasti dengan mudah akan masuk dalam jebakan yang sama. Setelah itu, Sivia bersorak. Merayakan kemenangan atas rencana besarnya yang berjalan sempurna.



"Sivia..." khayalan Sivia seketika memudar saat seorang gadis yang baru saja menyembul dari balik pintu menyebut namanya. Sivia segera membenahi posisinya. Kembali berakting seperti tadi.



"Shilla!" ucap Sivia teramat pelan. Suaranya hilang tersapu angin.



Setelah menutup pintu, Shilla berjalan menuju tempat Sivia tengah berbaring.



"Lo kenapa?" tanya Shilla dengan menyisipkan nada cemas di antaranya.



"Perut gue Shil! Aww... aduuuh!!" Sivia meringis. Kedua tangannya meremas-remas perut.



Shilla menelan ludah. Ia tak pernah melihat Sivia meringis kesakitan seperti ini. Ia jadi tak tega melihatnya. Hatinya juga ikut merasakan sakit. Shilla menggeleng-gelengkan kepala. Menggenggam tangan sahabatnya yang berlumur keringat. Mencoba menguatkan.



"Shil, gue mau sup. Tolong ambilin ke dapur ya!" pinta Sivia.



Shilla mengangguk cepat. Tersenyum dan mulai melaksanakan permintaan Sivia. Ia melangkah menuju pintu lantas membukanya. Pada akhirnya, siluetnya pun menghilang di balik pintu.



Dan bagaikan mercon yang terkena sengatan api, Sivia langsung melejit. Bangkit lantas berjingkrak-jingkrak di atas tempat tidur. Ia tak peduli kalau jingkrakkannya akan membuat berantakan tempat tidurnya. Lalu nanti Bunda akan mengomelinya. Disusul Ayah yang pasti akan mendukung Bunda sepenuhnya. Pada akhirnya ia akan mendapat cemoohan telak yang menyebalkan dari Bang Sion. Tapi, apalah arti semua itu dengan pencapaian gemilangnya pagi ini. Ya, rencana besarnya, berjalan lancar. Sivia menepuk dadanya dengan bangga lantas tertawa lepas.



*



Aroma menggoda yang bersumber dari panci di atas kompor itu menyeruak ke seisi ruang. Suara bergolak dari dalam panci pun mulai terdengar. Menghasilkan irama yang menggemaskan. Terdengar juga bunyi ketukan yang diciptakan oleh pisau yang beradu dengan tatakan. Rio, pemuda bertubuh jangkung itu tengah memotong-motong wortel. Dilanjutkan setangkai daun seledri yang akan lebih menambah aroma menggoda pada sup yang tengah ia buat.



Gadis yang baru saja menginjakkan kakinya di ruang tersebut langsung terkesiap melihat siapa yang menjadi pengisi ruang sebelum ia datang. Itu pemuda penggelitik hatinya. Tiba-tiba, darahnya seakan berhenti mengalir. Tubuhnya bergetar tak terkendali. Shilla mendesah tak kentara. Mencoba menetralisir perasaan yang membuncah di hatinya. Dan desahan itu ternyata terhembus angin lantas menelisik gendang telinga pemuda di depannya. Pemuda itu berhenti melakukan pekerjaannya. Menoleh ke arah tempat Shilla sedang mematung.



Shilla cuma bisa melongo, saat pemuda itu mengibaskan rambut yang menghalangi matanya. Sejenak Shilla terpana. Pemuda itu benar-benar tampan. Dengan gaya rambutnya dan juga celemek yang dikenakannya. Dia terlihat lebih menawan.



"Shil, bantuin gue sini!" ujar Rio.



Shilla mengerjap. Dia buru-buru menunda keterpanaannya. Segera melakukan sesuatu yang lebih penting dibandingkan sekedar mengagumi ketampanan sang pemuda. Walau dalam hatinya, pemuda itu memang lebih penting dari segalanya.



Rio dan Shilla saling bekerja sama. Mereka menjelma menjadi tim pembuat sup yang solid. Rio yang memasukkan potongan wortel serta bumbu-bumbu. Shilla yang mengaduk-aduk sup dalam panci. Mereka pasangan yang cocok. Ya, walau hanya dalam kapasitas membuat sup. Tapi Shilla berharap, dalam hal lain yang lebih besar pun, mereka bisa menjadi pasangan yang baik serta serasi.



*



Rencana besar yang dirancang Sivia semalaman suntuk sudah 90 % berjalan. Kedua korbannya telah masuk ke dalam jebakan mematikan yang ia buat. Hanya tinggal menunggu waktu saja.



Dan menunggu adalah hal yang menyebalkan bagi seluruh penghuni bumi. Termasuk Sivia. Dia jenuh harus terus menerus berdiam diri di kamarnya. Berpura-pura sakit. Ah, di kamar tidak asyik. Dia mau main keluar. Membeli eskrim atau hanya sekedar berkeliling komplek. Maka Sivia keluar dari kamarnya. Mengendap-ngendap seraya menoleh ke kanan kiri. Memastikan bahwa keadaan aman dan memungkinkannya untuk melarikan diri dan bersenang-senang di luar rumah.



Ah ya. Sivia memang pintar. Tiap pergerakannya sangatlah licin. Buktinya, sekarang ia sudah berada di luar rumahnya dan sejurus kemudian mengambil langkah seribu. Menjauhi rumahnya dan membiarkan orang yang menghuninya berdua menikmati tiap detik kebersamaan yang diharapkan oleh salah satu diantaranya.



Sivia melangkah dengan ceria. Lengkungan senyum manis tertoreh pada wajah cantiknya. Sesekali ia bersenandung. Kadang terkekeh kala ekspresi merona yang pasti Shilla tampilkan saat sedang bersama Rio. Ah dunia memang indah, saat kita dapat berguna bagi sesama terlebih bagi sahabat.



Langkah Sivia terhenti, saat suara khas yang sudah familiar di telinganya terdengar dari seberang jalan.



"Heh becaknya gue!"



Sivia mengerutkan kening. Menelan ludah lantas memasang ekspresi ketakutan. Aduh, ia pasti akan dikerjai habis-habisan oleh pemuda pemilik suara menyebalkan tadi. Ia menghela nafas lalu menoleh ke arah sumber suara.



Sivia lantas terperanjat saat sebuah tangan kokoh menyambar tangannya. Kemudian ditariknya tangan Sivia menuju seberang jalan. Terpaksa membuat Sivia, harus mengekorinya.



"Ish, Odong-odong nyebelin. Apaan coba ngajakin gue ke sini!" Sivia menghempaskan lengan yang dipegang oleh sang pemuda. Ia meringis kesakitan. Cengkraman pemuda itu erat sekali. Sivia mengulum bibir.



Gabriel -pemuda itu- terkekeh lalu duduk di sebuah bangku kayu yang ada di samping seorang tukang rujak. "Makan rujak yuk!" ajak pemuda itu dengan polos. Tak sedikit pun merasa bersalah atas apa yang dilakukannya pada Sivia. Ia malah mengerjapkan matanya beberapa kali.



"Ga mau!" tolak Sivia ketus. Ia mengulum bibir. Merutuk dalam hati.



"Mau aja deh! Mang, rujaknya dua." ujar sang pemuda sambil tertawa menyeringai. Lantas menarik tangan Sivia untuk duduk di sebelahnya.



Sementara Sivia terus saja merutuk. Dasar Gabriel autis. Jelas-jelas ia menolaknya mentah-mentah. Tapi, tetap saja melakukannya. Sivia berdecak. Rutukan masih terus ia gumamkan pelan.

"Nih!" Gabriel menyodorkan sebungkus rujak pada Sivia. Sebenarnya, Sivia malu juga harus menerima rujak itu. Tapi, dilihat-lihat, rujaknya cukup menggiurkan juga. Dan akhirnya, meskipun hatinya terus merutuk dan bibirnya terus dikerucutkan, Sivia menerimanya lantas membuat suapan pertamanya.

Gabriel melirik ke arah gadis becaknya. Ia menggeleng melihat Sivia tetap melahap rujak pemberian darinya, walau dengan muka yang sangat terpaksa. Namun justru, ekspresi yang seperti itu terkesan lucu dan mengesankan. Membuat hati Gabriel semakin terkesima.

"Odong-odong sayang Becak!" Gabriel berbisik pelan tepat di telinga Sivia. Sejenak, Sivia terbuai pada kalimat penuh ketulusan yang diciptakan pemuda menyebalkan di sampingnya. Maka ia menunduk. Tersenyum jengah. Tersipu malu.

*



Bersambung

*