Januari 2012

Senin, 30 Januari 2012

HUJAN, Kita Dan Mimpi part 20A


Lalu pada saat kita menambatkan hati kita pada satu adiksi yang memabukkan, masihkah hati kita dapat tercemari oleh setitik zat yang meracuni?

***

Euporia perayaan pesta ulang tahun Gabriel yang ke-18 semakin membuncah saja. Gabriel dengan dibantu tim suksesnya menyiapkan segalanya dengan semaksimal mungkin. Dari tempat diadakannya acara yang ku dengar akan dilaksanakannya di rumahnya sendiri. Undangan yang telah disebar dari tiga hari yang lalu. Souvenir dan segala macam tetek-bengek pesta telah ia siapkan. Ya, Gabriel terlihat sangat bersemangat sekali dengan pestanya esok hari. Terbukti dari ia yang terjun langsung dari segala persiapan perayaan hari jadinya. Aku juga turut membantu. Ya, walaupun tidak banyak. Hanya menemaninya saja. Tapi Gabriel mengatakan, adanya aku di sampingnya, dia sudah sangat lega. Cukup baginya. Gabriel memang tidak pernah menuntut apa-apa. Dia menerima apa pun yang hendak ku lakukan untuknya, asal aku tidak merasa keberatan. Dan toh, bahkan aku merasa bahagia dapat selalu mendampinginya. Tertawa kala ia melemparkan guyonan cerdasnya. Tersipu saat ia menggodaku. Lantas meronalah pipiku.

Dan malam ini, entah mengapa aku merasa resah. Sedari tadi, aku tak bisa merapatkan mataku dan terlelap dalam nafas satu-satu. Hanya berguling-guling di atas tempat tidur seraya mendekap bantal. Padahal ini sudah lewat larut malam. Insomnia menyebalkan. Aku merutuki diriku sendiri.

Aku mengubah posisiku menjadi duduk berselonjor. Mendesah kentara. Lalu melirik sebuah gaun cantik berwarna putih yang tergantung anggun di dalam lemari berkaca. Aku tersenyum. Gaun dari Gabriel. Dan besok akan ku kenakan di hari istimewanya. Aku terkekeh. Membayangkan ekspresinya beberapa hari silam kala ia menyerahkan gaun itu. Menggemaskan. Resahku agak berkurang.

Deru mesin kini terdengar dari luar. Terdengar pula suara gesekan gerbang yang tengah dibuka. Seseorang baru saja tiba.

Aku turun dari tempat tidur. Berjalan menuju pintu yang menghubungkan kamarku dengan balkon. Dan dari sini, dari balkon ini, aku melihat sebuah mobil mewah berwarna hitam baru saja memasuki garasi. Mama dan Papa baru saja pulang. Selarut ini. Selalu setiap malam. Aku memegangi dadaku. Sesak mencekat paru-paruku.

Aku menatapi setiap gerak-gerik mereka. Mama terlebih dulu keluar dari mobil. Sejurus kemudian disusul Papa. Nampak sekali guratan kelelahan tergambar pada wajah keduanya. Aku merasa iba. Lalu ibakah mereka padaku? Pada anak sematawayang mereka yang secara tak langsung telah mereka buang? Aku mengerutkan hidung.

Lantas aku terkesiap kala ku dapati kedua pelihat Mama menangkap siluetku yang tengah menatapinya dari atas balkon. Aku memalingkan muka dengan berbalik. Mendesah sejenak. Tergesa masuk kembali ke kamar. Layaknya dua pahlawan hidupku yang kini juga tengah bergegas memburu suatu tempat. Kamarku.

Derap langkah itu kian berpacu. Beriringan bersama lajunya waktu. Berhenti di balik pintu jati itu.
Ketukan pertama terdengar bersahaja. Diikuti kelembutan suara yang setelahnya menyapa. Suara itu tetap mempesona. Dan aku tak bisa memungkiri segalanya. Suara itu yang beberapa waktu silam memberikanku ketenangan. Suara itu ikut ambil bagian dalam proses bagaimana hatiku bertahan. Suara bersahaja yang tercipta dari bibir seorang wanita yang sangat luar biasa.

Aku tak menjawab. Hanya menggeleng. Duduk memeluk lutut di atas tempat tidur. Menggigit bibir.
Ketukan selanjutnya, terselip kesan kehkawatiran. Temponya agak dipercepat. Namun suaranya tak sedikit pun berubah, tetap bersahaja. Dia memanggil namaku.

Aku malah menunduk. Untuk apa? Biarkan aku sendirian. Seperti biasanya. Untuk apa mereka kemari? Beristirahatlah saja! Biar! Biar aku mengendap bersama perasaan kecewaku ini. Biarkan!
Ketukan lagi. kian memburu. Kini suara yang lebih arif yang menembus tebalnya pintu jati.

“Ify, buka pintunya peri kecil!”

Tak usah. Tak apa. Pergilah! Tak perlu. Biar! Aku sudah nyaman seperti ini. Aku menggeleng. Menangis.
Tidak. Bahkan aku berani berbohong pada diriku sendiri pada hatiku. Aku hanya,,, hanya. Ah sudahlah. Aku hanya ingin terlepas dari harapan akan kehadiran mereka. Biarkan aku sendirian. Bukankah itu yang terjadi selama beberapa tahun belakangan? Mereka hanya mengawasiku dari jauh. Mencintaiku? Pasti. Karena aku pun mencintai mereka. Walau sering kami saling mengecewakan satu sama lain.

“Ify…hhh!!!” desahan keputusasaan terhantar begitu kentara. “Bukalah pintunya sayang!”

Aku menyeka air mataku. Jangan menangis Salsa. Aku menguatkan hatiku. Tak ada hujan kini. Pangeran hujan pun tak sedang berada di sampingku. Jadi siapa yang akan menghapus tangisku? Aku menegadahkan kepalaku. Menggerakkan telapak tanganku. Berhentilah.

“Ify, apa kamu ga kangen sama mamamu ini? Papamu?” Tanya mama retoris.

Jangan ucapkan itu. Aku bahkan teramat merindukan kalian. Dekapan kalian. Tapi nanti, di saat yang tepat, aku pasti akan menyerahkan setumpuk rindu yang menyesakkan dada ini pada kalian. Kalian pahlawan sepanjang kehidupanku.

Aku menarik nafas. Merogoh bandul pelangi yang terselubungi piama bergambar domba yang tengah ku kenakan. Aku menggenggam erat bandul itu. Menyimpannya di dada. Kembali menguatkan diri sendiri.

Dan nyatanya, kalung itu masih saja memiliki magisnya yang luar biasa. Bandul itu masih saja dapat mencipta sedikit kekuatan yang mampu menolong keluarnya beberapa kata yang sebelumnya tersangkut di tenggorokkan dan akhirnya kembali tertelan.

“Ify mau tidur Ma, Pa. Ify…” genggamanku semakin kuat. “Ify sayang Mama Papa!”

Lalu setelah itu, aku menelungkupkan wajahku pada bantal. Kembali menangis. Tanganku masih tetap mengepal. Tak ada sedikit pun niat untuk melonggarkan genggamannya. Hanya ini yang dapat ku lakukan untuk menguatkan hatiku sendiri sementara pemuda berhati malaikat itu tengah berada di antah berantah. Walau sebenarnya sangatlah janggal aku melakukannya. Bandul pelangi itu dari Sang penoreh luka menganga, dari pangeran matahari. Tak patut aku melakukannya. Harusnya aku melakukan hal yang lain. Yang lebih terhormat mungkin. Lalu apa? Berlari menemui Gabriel dan mengadu padanya? Setiap sesak terasa? Tak mungkin. Lalu apakah ternyata, diam-diam, tanpa adanya hujan, aku bergantung pada matahari?

Arrghtt!!! Aku melepaskan genggamanku. Menampar pipi tirusku yang masih basah berbekas tangis. Bodoh. Untuk apa aku memikirkan hal yang sangat tidak terpuji itu? Semuanya hanya akan menyakiti hati orang-orang yang aku kasihi. Keke, sahabat manisku. Dan Gabriel, pemuda berhati malaikat yang telah menjelma menjadi Pangeran Hujan yang ajaib bagiku.

Maka kini, baiknya aku memejamkan kedua mata. Semoga terlelapnya aku malam ini, dapat mengenyahkan segala apa pun yang hendak mengusik cinta sederhana ini. Biarkanlah. Biarkan Pelangi bahagia bersama rinai Hujannya. Pelangi sudah cukup bahagia tanpa adanya Matahari. Walau tanpa sadar, Pelangi takkan pernah ada tanpa adanya Matahari yang menyambut undurnya Sang Hujan.

***

Cahaya itu datang terlalu tiba-tiba. Menikam tajam tak terelakkan. Menyilaukan. Aku mengkerut. Sudah pagi rupanya. Dan cahaya menyilaukan barusan menembus kaca jendela dan masuk melalui celah tirai yang agak terbuka. Agak? Tidak. Tirai itu hampir sempurna dan terbuka. Aku mengerutkan kening. Mengucek kedua mataku. Menggeliat sejenak. Terkesiap kala mendapatkan sapaan selamat pagi yang menyenangkan dari seseorang yang baru saja ku sadari tengah duduk di tepi tempat tidurku. Dia tak mengenakan jas putih kebanggaannya. Dia Nampak cantik dan sederhana dengan pakaian rumah yang biasa dipakai ibu-ibu lainnya. Aku mengubah posisiku menjadi duduk. Masih dengan rasa tak percaya. Terus mengucek mata. meyakinkan. Mencari kebenaran. Mungkin saja ini khayalan. Fantasi belaka.

“Ma-mama??” berkata tanpa suara. Menggelengkan kepala.

Mama tersenyum. Senyum yang sangat cantik. Ya, Mama memang cantik. Wanita tercantik seluruh dunia.

“Mama kenapa bisa ada di sini?” Tanya yang bukan hanya berarti kenapa wanita hebat itu biasa masuk ke kamarku, padahal seingatku, sudah ku kunci rapat-rapat pintu jati itu. Tapi juga memiliki makna lain yang lebih krusial dari makna denotasinya. Kenapa? Kenapa mama ada disini? Bukankah seharusnya, sedari tadi Mama –dan juga Papa- telah bergegas menuju dunia mereka? Meninggalkan aku yang selalu tertinggal bersama duniaku sendiri. Sepi. Lalu pagi ini, ada apa? Langit cerah. Tak ada hujan yang menggagalkan rutinitas ‘menyenangkan’ mereka. Hey, Hujan? Hujan? Kemana Kau? Sudah beberapa pekan kau tak mengunjungiku. Aku rindu padamu. Bukankah akan lebih lengkap jika Pangeran Hujan ditemani Hujan-nya?

Helaan nafasnya terdengar bersahaja. Mama mengucap kalimat berikutnya setelah sapaan hangat tadi. 
“Kenapa Mama tidak bisa berada di kamar anak Mama sendiri?” Mama tersenyum menyeringai.

Aku tersenyum. Sedikit mencibir. Sejak kapan Mama menyambut pagiku? Pagi-pagi yang telah berlalu, dia tak pernah melakukannya. Sudah semiliyar pagi ia lewatkan untuk membangunkanku. Dan pagi ini, dia memotong rekor yang telah beberapa tahun terakhir ia cipta.

“Umm…” aku berfikir sejenak. “Tumben, belum pergi ke rumah sakit?” aku memutar kedua bola mata. Memalingkan muka. Kurang nyaman mendapatkan tatapan lembut yang ditujukan Mama padaku. Tertarik menatap keluar jendela. Seekor burung tengah melenguh dengan riangnya

“Ga akan. Papa juga di rumah. Hari ini, kami milikmu.” Mama mengusap rambutku. Lembut.

Hampir saja aku mencelat. Terperanjat. Bukan karena mendapatkan gesture hangat yang terhantar lewat usapan tangan Mama. Tapi lebih kepada kalimat di penghujung ucapannya. Hari ini, kami milikmu. Masih ingat dengan kalimat ‘Besok, kami milikmu’. Semuanya sama –kecuali kata awalnya yang diganti-. Caranya mengucapkannya. Sangat menyenangkan. Seraya tersenyum. Senyum mempesona. Dengan aksen suara yang menggetarkan. Tatapan mata teduh meyakinkan. Dan apa? Semuanya memang sama. Sama pula dengan apa yang hati ini rasakan kala mendengarnya. Terpana. Kalimat itu, meluluhkan tebalnya tembok kemunafikkan yang ku bangun dengan pondasi keegoisan. Seketika. Sekejap mata.

Aku mengerjap. Kalau semuanya sama, lalu apakah bagian akhir dari kelanjutan sepenggal kisah ini pun akan sama? Kembali berujung sesak. Akhir yang memilukan. Aku menggeleng. Mendorong lengan Mama dengan –agak- kasar agar menjauh dari rambutku.

Aku menyibak selimutku. Bangkit berdiri. Menyambar handuk yang tergantung di pinggir lemari. Bergegas ke kamar mandi.

Mama tersentak mendapat perlakuanku yang terkesan menghindarinya. Ia menatapi punggungku yang akhirnya menghilang di balik pintu kamar mandi. Menunduk dalam.

Lalu beberapa saat kemudian, derap adu antara alas kaki dan lantai terdengar mendekat kea rah kamar mandi. Mama mengetuk pelan pintu yang ada di belakangku. “Mama sama Papa tunggu di taman belakang rumah, sayang!”

Terduduk. Lemah tak berdaya. Menggigiti bibir sangat kuat. Apa yang baru saja ku lakukan? Menghindar? Kadang, saat kita bersusah payah menggapai mimpi namun mimpi itu terasa semakin jauh berlari. Meninggalkan raga yang tak lagi berarti. Menyerah dan mengubur dalam-dalam sang mimpi. Lalu apa? Saat sang mimpi datang menghampiri, mengulurkan kebahagian yang selama ini diingini, raga itu menampiknya. Menganggap mimpi itu tak lagi perlu untuk dimiliki. Menghindar. Namun, saat sang raga munafik itu sadar bahwa apa yang selama ini menjadi bagian dari hidupnya itu adalah mimpi, sesungguhnya ia akan merasakan sesal yang tak terperikan. Menyesakkan. Kini, biarkan. Kita lihat, apa yang akan dilakukan raga itu selanjutnya. Semoga rasa menyesakkan dari sebuah sesal tak kan pernah menyentuh hati rapuhnya.

***

Gabriel sedang memperhatikan setiap lekuk dasi kupu-kupu berwarna putih yang beberapa hari lalu baru dia ambil dari butik Tante Zevana, bersamaan dengan jas dan juga gaun cantik –calon- gadisnya. Ia tertawa. Menutupi mulutnya dengan telapak tangan. Nanti malam akan menjadi malam istimewanya. Perayaan hari jadinya yang ke-15 juga mungkin peresmian hubungannya dengan Putri Pelanginya. Untuk yang kedua, mungkin hanya angan-angannya saja. Ya, karena toh dia tak ingin memaksakan keadaan. Ia tak mau gadisnya itu tertekan. Biarkan saja. Seperti air. Siklusnya takkan ada habisnya. Berawal dari menguapnya air di bumi. Membentuk gumpalan awan mempesona di langit. Lalu mengembun dan akhirnya diturunkan lagi ke bumi melalui hujan. Hujannya yang baik dan menyenangkan. Begitu seterusnya. Siklus itu terus berputar tak ada hentinya. Tepat sekali. Seperti hatinya. Hati malaikatnya yang tak pernah berhenti mencintai Putri Pelanginya dengan tulus barang sedetik. Bahkan itu sudah hatinya lakukan sejak lama. Sejak ia dan gadisnya masih gemar bermain pistol-pistolan yang terbuat dari bambu. Bermain perang-perangan dengan tawa riang. Berakting dokter-dokteran di atas rumah pohon. Bermain basket dengan gembira. Walau pada awalnya, tak ada satu pun hati yang menyadarinya. Namun percayalah, Hujan sudah tahu sejak rasa itu masih berwujud kecambah. Dan sampai sekarang, sampai rasa itu telah mengakar dengan kuat, Hujan pun tahu. Hujan tahu semuanya.

Seorang wanita yang masih mengenakan celemek di tubuhnya melangkah perlahan mendekati putra tampannya yang tengah duduk dengan wajah berseri di balkon kamarnya. Ia ikut duduk di kursi lain di balkon itu. Tersenyum menatap putranya.

Gabriel menoleh ke arah Bunda –sekaligus Ayah- nya. Ikut tersenyum.

“Yel, Bunda ga sabar buat nanti malam. Bunda ingin bertemu dengan Putri Pelangimu. Pasti cantik.” Mama mengerlingkan matanya jahil.

Sang putra mencubit lengan Bundanya pelan. Ia mengulum bibir. Memalingkan wajahnya. Sedikit curi-curi pandang kea rah Mamanya.

Bunda tersenyum menyeringai. Ia menggerakkan tangannya untuk menyentuh bahu putranya. Putranya yang tampan. Ketampanan yang diwarisi dari Ayahnya yang dua tahun silam telah tiada. Gabriel menoleh. Menatapi wajah Bundanya yang teduh. Ia megulurkan tangan untuk mengusap cemong di pipi Bundanya. Sekarang, sempurnalah cantiknya. Bunda mengedipkan mata. Berterimakasih.

“Kamu sudah besar. Kamu tumbuh jadi apa yang Ayah dan Bunda harapkan. Tampan dan baik hati. Hebat dan sederhana.”

Gabriel tersenyum. Senyum lebarnya yang khas. Ia menyentuh lembut tangan Bunda yang masih berada di bahunya. Ia membawanya ke depan bibirnya. Mengecupnya beberapa detik. “Itu semua karena doa Bunda. Juga Ayah yang sedang menuntun kita dari surga.” Gabriel bergumam pelan.

Bunda menunduk. Ayah? Lelaki itu telah beristirahat dengan tenang. Mempercayakan Ksatria kecil di hadapannya ini padanya. Untuk ia jaga. Untuk ia didik. Untuk menjadi tempat terlapang penampungan kasihnya. Menitipkannya agar Kesatria kecilnya itu tumbuh menjadi lelaki yang tampan dan baik hati. Lelaki yang hebat. Lelaki yang sederhana. Duplikat  siluetnya.

Gabriel tahu benar apa yang dirasakan oleh Bundanya. Wanita hebat itu pasti tengah menabung rindu di hatinya. Rindu yang entah kapan dapat terbayarkan. Karena ia pun sama. Ia rindu Ayahnya. Lelaki tampan yang pertama mengenalkannya pada musik dan basket. Sosok yang jauh lebih super dari manusia super lainnya. Dia lelaki tangguh. Tegas. Baik hati. Dan tidak pernah menyakiti hati siapa pun, terutama Bunda. Maka ia kembali teringat akan segores pesan yang disampaikan Ayah sebelum menjemput keabadian. Jadilah pengganti Ayah untuk Bunda. Sayangi Bunda. Lindungi Bunda. Hapuslah air mata Bunda. Jadilah lelaki yang tampan, baik hati, hebat dan juga sederhana. Sederhana, anakku!

Gabriel meletakkan telunjuknya pada ujung dagu Bunda. Mengangkatnya pelan. Ia menohok pelihat sang Bunda. Ya Tuhan, lihatlah Bundanya! Bundanya yang cantik, namun wajahnya terlihat sendu. Gabriel menggeleng.

“Bunda, jangan sedih! Gabriel janji, Gabriel akan lakuin apa yang dikatakan Ayah. Menyayangi Bunda. Melindungi Bunda. Menghapus tangis Bunda.” Gabriel mangangguk.

Bunda terkesima. Lihatlah Ayah. Anakmu telah menjelma menjadi lelaki yang tampan sepertimu. Dia hebat. Baik hati. Dan dia juga mewarisi kesederhanaan yang ada pada dirimu. Kau telah menanamkan kesederhanaan itu bahkan sebelum anakmu ini lancar mengucap sebuah kata. Bunda menyentuh ujung matanya. Basah. Ia terharu.

“Terimakasih sayang! Tapi…” Bunda menggantung kalimatnya. Gabriel mengerenyit.

“Tapi Bunda mau, kamu seperti hujan. Hujan yang bukan hanya hadir untuk seseorang saja, tapi untuk semuanya. Semuanya tanpa pengecualian. Bunda mau, memperlakukan hal yang sama kepada semua wanita. Melindunginya. Menyayanginya. Menghapus tangisnya. Kamu mau melakukan itu? Untuk Bunda? Dan Ayah?” Bunda sedikit memelas.

Gabriel mengembangkan senyumnya. Semakin lebar. Bunda tak perlu memelas padanya. Karena tanpa memelas pun, tentulah dirinya akan menyanggupi permintaan Sang Bunda. Apa pun itu. Dan ini hanya menjadi hal sederhana untuknya. Tentulah. Karena Gabriel pemuda berhati malaikat. Bukankah jauh sebelum Bundanya meminta hal yang sama, ia sudah melakukannya terhadap semua wanita. Terlebih Putri Pelanginya.

Maka Gabriel mengangguk mantap. Ia berjanji. Janjinya yang suci. Pantang ia ingkari. Layaknya janji Sang Hujan yang tak pernah terlambat ditepati. Dan Hujan memang tak pernah mengingkarinya. Ia bersembunyi kala pelangi tersentum menyambut mentari.

Bunda tersenyum makin lebar. Ia merentangkan kedua tangannya. Segeralah Gabriel menghambur ke pelukan Bunda. Lihatlah Ayah, pemuda itu telah menjadi Hujan. Bahkan, Pangeran Hujan.

***

Bersambung.
***

Maaf bermiliyar maaf! Ngaretnya ga ajaib. Terusan, sekarang giliran dipost, hasilnya mengecewakan. Saya terus belajar kok! Makasih buat selama ini yang udah dukung saya. Makasih juga buat para buntel ajaib. Berbanggalah menjadi buntel! *eh Juga buat siapa pun yang ga pernah bosen say Sinta Ajaib buat saya. Makasihmakasih! Buat Lilis juga! haha
Oh ya, saya tunggu komentarnya. Di fb saya: Sinta Banget dan Shinta Nurwahidah. Atau juga ke twitter saya, @sintaSnap. Please! Don't copy this story!

Bubaaaaayyyyy!!!!

Salam Pisang Goreng!

Rabu, 25 Januari 2012

Kesederhanaan Hujan Dan Pengagumnya


Aku hanya ingin mencintaimu dengan sederhana. Karena mencintaimu adalah hal teristimewa bagiku.

***

Hujan masih tetap berhasil membuat segala ingatan tentangnya kembali berkelebat dalam fikiranku. Bayangannya yang ku rasa takkan pernah lekang ditelan zaman. Indahnya yang sampai era kapan pun tak akan tertandingi. Segalanya. Segalanya tentang Pangeran Pengagum Hujan-ku.

Maka hujan sore ini pun sama halnya dengan hujan yang sudah-sudah. Tiap rinainya memutar kembali memori tentang kisah sederhana yang sampai saat ini menjadi kisah favoritku. Kisah yang disusun dari segala yang amat sederhana. Kisah klasik tentang aku, hujan dan dia. Dimana dialah yang menjadi bagian yang terkrusial dari kisah penuh kesederhanaan ini.

***

Apa yang terjadi, sudah diatur oleh Tuhan, jauh sebelum kita terlahir ke bumi ini.

*

Pemuda itu tengah kerepotan dengan barang-barang bawaannya. Setumpuk buku tebal yang jumlahnya cukup banyak, penggaris kayu berbentuk busur, dan sebuah toples kaca yang diletakan di atas buku-buku tebal itu tentu saja membuatnya kewalahan. Tapi dia tetap berjalan.

Aku menatapinya dengan jengah. Tersenyum saat pemuda itu menghentikan langkahnya tepat di depanku. Dia mendesah lalu memiringkan kepalanya. Memicingkan mata bulatnya, seperti mencari sesuatu. Maka aku terkesiap saat menyadari kedua manik mataku baru saja menangkap kilat tajam yang terpancar dari dua bola matanya.

"Aku mau ke laboratorium biologi. Tapi hujan. Jadi, tolong payungin aku, boleh?" pintanya lantas mengedikkan kepala untuk menunjuk payung yang digamit oleh lengan kirinya.

Aku mengangguk. Mengiyakan untuk menolongnya. Kasihan juga. Aku meraih payung berwarna biru tua tersebut. Membukanya. Sejurus kemudian mengangkat dan meletakannya tepat di atas kepalanya.

Pemuda -yang ku fikir cukup- tampan itu pun menoleh ke arahku. Tersenyum dan memperlihatkan gigi gingsulnya yang menggemaskan. Lantas kami mulai berjalan beriringan. Melaju menerobos guyuran hujan yang lumayan deras. Membelah jalan menuju laboraturium yang terletak di seberang lapangan basket.

Kami membuat langkah yang cukup besar. Sementara tanpa sadar, dalam tiap langkah yang ku cipta, aku terus memaku tatapanku pada wajah pemuda yang bahkan dari samping pun masih terlihat tampan. Rahangnya yang bergerak sejurus dengan hentakan kakinya yang membuat pemuda itu menjadi terlihat lucu. Percikan air yang menggenang sedikit menciprat bagian belakang tubuhku dan tetesan air yang berada di ujung-ujung payung mendarat tepat di puncak kepalaku, sama sekali tak membuatku terganggu untuk terus menatapi wajahnya.

Maka tanpa sadar, kami kini telah menginjakkan kaki tepat di lantai depan ruang laboratorium. Aku menyimpan payung tersebut. Sementara pemuda itu membuka pintu lab dengan cepat. Lantas tergesa masuk dan menyimpan barang bawaannya di atas meja panjang ruangan.

Setelah beberapa menit, dia keluar dan menghampiriku. Tersenyum lebar dengan mata bulat berbinar. Sejenak membuatku terpana pada wajah ramahnya. Lantas aku terkesiap saat tangannya menepuk pundakku. "Makasih ya!" ujarnya.

Aku mengangguk pelan seraya menyunggingkan senyum.

"Coba aja aku tadi ga bawa buku-buku itu, aku ga perlu minta tolong kamu buat pegangin payung aku. Aku bisa hujan-hujanan. Aku suka hujan. Hujan kan baik." celotehnya.

Baik? Jelas-jelas hujan mencegahnya untuk menuju lab ini. Dia masih tetap mengatakan bahwa hujan baik? Dasar aneh. Aku berdecak.

Maka aku hanya bisa mengerutkan kening. Memicingkan mata dan menatapnya heran. Yang ditatap malah tersenyum menyeringai. Sambil mendesah pelan, ia kembali berujar. "Hujan itu baik. Buktinya dia mempertemukan kita."

Aku terperanjat mendengarnya. Kembali terpana pada keindahan bola matanya yang berwarna coklat. Tertegun menatapi tiap lekuk jengkal pahatan sempurna wajahnya. Pemuda ini sangat berbeda.

"Aku Rio. Ayo!" Dia meraih tanganku dan menggenggamnya erat. Menariknya tiba-tiba. Membuatku tak bisa menolak untuk mengekorinya. Dia membawaku ke tengah lapangan basket. Mengajakku untuk bersuka cita menari bersama jutaan berkah yang dihadiahkan Tuhan. Memintaku untuk menikmati tiap tetes rinai hujan yang mendarat di atas tiap jengkal tubuhku. Menunjukkan padaku betapa hujan memang ciptaan-Nya yang sangat menyenangkan. Maka aku tak bisa menahan perasaan yang membuncah di hatiku. Lalu aku pun melompat. Berlari dan ikut berparade bersama sang hujan.

Dan untuk pertama kalinya, aku merasakan betapa tiap rinai hujan yang mendarat di tubuhku adalah sebuah kebahagiaan yang tak terperikan. Dan pemuda tampan bermata bulat yang jemarinya masih terus bertautan dengan jemariku inilah yang menciptakan kebahagiaan itu. Pemuda aneh namun menyenangkan. Pemuda ramah pengagum hujan. Maka setelah itu, ku rafalkan terus namanya dalam benak. R-I-O.

Hujan pertamaku bersamanya, adalah hujan terindah.

***

Rasa sukaku sangat sederhana. Layaknya aku menyukai hujan.

*

Aku memejamkan kedua mataku, saat perlahan gerimis mulai membisiki sore. Lantas aku tersenyum kala aku menengadahkan telapak tanganku dan membiarkan buliran rahmat Tuhan itu mendarat di atasnya. Kegiatan tersebut menyenangkan bagiku. Ya, setelah dua hari yang lalu seorang pemuda tampan bermata bulat mengenalkanku pada hujan. Pada kesederhanaan hujan. Dan selepasnya, aku mulai menyukai hujan.

"Lagi menikmati hujan ya?" seseorang -yang aku yakin sudah berada di sampingku- bertanya dengan suara baritone yang khas. Dan aku mengenal jelas suara itu.

"Aku lagi curhat sama hujan. Aku cerita kalau aku sukaaaa banget sama hujan." jelasku tanpa membuka mata.

"Terus, apa kamu suka sama aku?" tanyanya ringan.

Maka aku mengerjap seketika. Membuka mata lantas menoleh padanya yang tengah duduk di samping kiriku. Aku terperanjat, mendapati dia tengah menatapiku. Terkagum saat menangkap betapa pemuda itu terlihat keren dengan buliran air hujan yang bergelayut di ujung-ujung rambutnya. Maka aku terpesona padanya. Terbuai akan ketampanan sederhana yang terpatri pada wajahnya. Takjub pada dua bola matanya yang selalu menciptakan kilauan cahaya yang sangat indah. Maka tanpa sadar, aku berujar.

"Aku suka sama kamu. Karena kamu yang udah buat aku suka sama hujan."

Dan sampai ucapan penuh kejujuranku pun usai, kami masih terus saling bertatapan. Saling beradu pandangan. Tanpa tahu, sebuah rasa asing baru saja ditiupkan oleh Sang Amor tepat di hatiku.

Hujan berikutnya, adalah hujan penuh kebahagiaan.

***

Aku ingin kamu percaya, bahwa aku mampu menjaga hatimu.

*

Siang ini hujan lagi. Sebenarnya hanya gerimis. Namun apa pun itu, hujan tetaplah menyenangkan. Dan berdiri di depan pintu jati pun menjadi kegiatan yang menyenangkan, seperti saat ini.

"Masuk Fy!" suara pemuda itu terdengar dari dalam lab yang berada di hadapanku. Rio memintaku untuk menemuinya saat jam istirahat. Dan inilah waktunya. Aku melangkah maju mendekati pintu. Sampai akhirnya masuk ke dalam ruangan yang menjadi ruangan favoritnya.

Aku mengedarkan pandangan. Mencari dimana keberadaan pemuda yang -entah mengapa- selalu membuat hatiku buncah oleh perasaan asing yang sebelumnya tak pernah menghinggapi hatiku. Dan dia tak ada. Kemana pula dia? Harusnya dia ada disini. Bukannya menghilang seperti ini. Dasar aneh! Aku berdecak.

Pandanganku pun tertuju pada sebuah benda yang berada di atas meja yang terletak di dekat jendela. Sebuah toples kaca dengan tutup berwarna merah. Toples yang menjadi salah satu dari bawaannya yang membuatnya kerepotan tempo lalu. Entah apa isi toples tersebut. Aku tak tahu. Yang jelas, toples itu seakan melambai-lambai memintaku untuk menghampirinya. Dan setelah mendesah pelan, aku pun melangkah.

Badanku sedikit membungkuk. Mengambil posisi untuk memperhatikan dengan seksama apa yang berada dalam toples tersebut. Seekor ulat kecil berwarna hijau tengah menggigiti selembar daun.

Aku masih terus memperhatikan sang ulat, sampai aku tak menyadari, pemuda yang ku cari telah berdiri di sampingku.

"Kamu ambil ya ulat itu!" ujarnya.

Dan aku terkesiap seketika. Mendengar suara baritone yang khas itu kembali menggelitik lembut gendang telingaku. Aku mendesah. Kembali berdiri tegak. Lantas menoleh ke arahnya. Ya Tuhan. Dia sangat tampan dengan lengkungan menawan yang menghiasi wajahnya. Dia mempesona dengan mata bulatnya yang bercahaya. Aku menyukainya. Hatiku sangat menyukainya. Dan aku hanya bisa menahan nafas saat tanganya meraih tanganku, dan tangannya yang lain meraih toples kaca tadi lantas menyimpannya di tanganku.

Aku mengerenyit tak mengerti. Apa maksudnya ini? Dia memberikan toples ini beserta isinya? Kah?

"Ulat ini untuk kamu." Rio mengambil jeda sejenak. "Aku mau kamu jagain ulat ini sampai nanti dia jadi kupu-kupu. Aku percaya kamu bisa menjaganya dengan baik."

Maka perasaan asing itu pulalah yang kini berkuasa. Mengambil alih kendali sang logika. Maka tanpa sadar, ku letakkan jemariku untuk menyentuh pipi pahatan sempurna miliknya. Lalu masuk menjelajahi cahaya indah di mata bulatnya.

"Dan apakah kamu juga mempercayaiku untuk menjaga hatimu?" tanyaku dengan nada penuh harap yang terdengar menjadi sebuah tuntutan.

Dan Rio tak bersuara. Dia hanya tersenyum. Lantas meraih kepalaku untuk didorongnya agar tenggelam pada dadanya yang lapang. Dan setelah ia mengacak rambutku pelan, ia mendekapku hangat. Membiarkan aku terhanyut dalam jengkal kelembutan yang tercipta dari dekapannya.

Maka perasaan asing itu pun kembali membuncah saat tiap detak jantungnya seakan mengetuk lembut sukmaku. Dan aku tersipu saat menyadari bahwa sang Ulat tengah menyaksikan adegan romantis antara aku dan dia.

Hujan selanjutnya, adalah hujan terhangat.

***

Aku tak takut pada hantu. Aku tak takut pada kematian. Yang aku takut adalah kepergianmu.

*

"Kamu sakit?" tanyaku dengan nada khawatir saat mendapati Rio baru saja meminum beberapa pil obat.

"Aku baik-baik aja!" ujarnya santai seraya memamerkan senyum khasnya seperti biasa.

"Obat-obat itu?" tanyaku sarkatis.

"Hanya kanker." ujarnya ringan. Tanpa ada beban sedikit pun.

Apa? Kanker? Dia bilang hanya? Apa dia sudah gila? Itu penyakit yang sungguh berbahaya. Lalu Rio mengatakan hanya. Aku menggelengkan kepala.

Maka seketika hatiku mencelos. Seakan sebuah samurai panjang nan tajam baru saja menusuk tepat di ulu hatiku. Lantas mencincangnya sampai halus. Menyesakkan.

Seluruh tubuhku seakan melemas tiba-tiba. Ketika perasaan takut menyelimuti hatiku. Aku takut kehilangannya. Kehilangan cahaya indah yang selalu tertera di bola matanya. Kehilangan lengkung senyum mempesonanya. Kehilangan tawa riangnya saat berjingkrak-jingkrak di bawah rintikan hujan. Kehilangan keramahan sikapnya yang menyenangkan. Dan kehilangan seluruh kesederhanaan yang ia miliki seperti Sang Hujan. Ya, aku tak mau. Sungguh tak mau kehilangan Pangeran Pengagum Hujanku.

Maka dia merengkuh tubuhku. Membiarkan aku terjatuh dalam pelukan hangatnya. Dan dalam posisi inilah aku dapat dengan leluasa menikmati tiap dentuman beraturan dari perasaan asing itu. Mendengarkan jantungnya yang berdetak seirama dengan ketukan tetesan hujan di jendela. Lantas tanpa sadar, aku melingkarkan tanganku untuk mendekap tubuhnya. Berharap selamanya tak akan terlepas. Meski mungkin, harapan tersebut takkan kuat bertahan. Secepatnya terabaikan lantas teronggok mati. Mengenaskan.

Kemudian pemuda yang masih memeluk hangat tubuhku ini pun mendesah tak kentara. Lalu sejurus kemudian membisikkan sesuatu padaku. Sesuatu yang ku fikir akan memberikan aku kekuatan untuk tetap berharap. Walau berharap, hanya dalam lelap.

"Aku akan baik-baik saja. Itu janji Tuhan."

Hujan lainnya, adalah hujan penuh harapan.

***

Jangan memintaku untuk berhenti mencintai. Karena Tuhan pun tak pernah melakukan itu.

*

Hujan sore ini menelisik relung jiwaku. Membisiki sang hati agar segera melakukan eksekusi sebelum waktu menyerbu. Waktu yang tak pernah dapat dihentikan walau barang sedetik. Maka secepatnya, aku harus segera melakukannya. Melakukan eksekusi terpenting dalam sejarah kehidupanku. Tentu saja. Ini yang pertama. Dan Tuhan menciptakan ini untuknya. Untuk Pangeran pengagum Hujan-ku.

Dan dengan disaksikan oleh rinai hujan yang gemericiknya seakan tengah bersorak mendukungku, aku melakukannya. Ini dia saatnya. Saat dimana sebuah pengakuan yang berisi ketulusan akan terlahir. Saat aku yakin, bahwa buncahan perasaan asing itu akan merajai akal sehatku. Saat jantungku seakan berdentum hebat lantas memukul-mukul perutku, meminta untuk keluar. Saat dua bola matanya menghipnotisku untuk terus menjelajahi kilauan cahaya indah. Saat aku duduk bersamanya di ruang yang menyeruakkan aroma obat-obatan. Saat ini.

Aku menggigiti bibirku. Memainkan ujung-ujung rambut ikalku. Lantas mendesah tak kentara. Hei, kenapa aku segugup ini? Bukankah tadi aku begitu antusias untuk melakukannya? Lalu sekarang aku takut? Nyaliku ciut saat melihat betapa pemuda di hadapanku terlihat lebih tampan dari sebelumnya. Apalagi dengan kemeja putih bergaris yang ia kenakan.

Lantas, aku akan kalah dan mengurungkan niatku untuk mengungkapkannya? Tidak. Aku sudah menyusun rencana ini jauh-jauh hari. Dan aku akan melempem hanya dengan ketampanannya? Memalukan.

Aku menutup mata. Menghirup udara untuk memenuhi tiap rongga pernafasanku. Mengumpulkan jutaan amunisi untuk membangun tembok keberanian. Dan saat mataku tak lagi terpejam, aku melihat lengkungan senyumnya yang masih jauh lebih indah dari lengkung bulan sabit. Senyuman itu pun justru adalah pelecut semangatku. Dan dengan semangat, keberanianku mengembang kembali.

Maka setelah helaan nafas yang teramat pelan, aku memulai segalanya.

"Aku mencintaimu Rio." kataku seraya menatapi bulatan matanya.

Rio terlihat sangat terkejut. Mata bulatnya membelalak. Ia langsung bangkit dari duduknya. Menggeleng-gelengkan kepalanya. Dan berdecak.

"Kenapa?" tanyanya retoris.

Hatiku terperanjat saat pertanyaan yang terdengar seperti sebuah penolakan itu terlontar. Aku ikut berdiri. Menatapnya nanar. Lantas pelan berkata "aku ga tau" seraya menggelengkan kepala tak kalah pelan. Kemudian menghela nafas dan berkata dengan suara yang lebih nyaring. "Aku mencintaimu, seperti hujan mencintai alam. Sesederhana itu."

"Waktuku untuk berada di dunia ini tak lama lagi. Sebentar lagi aku akan pergi meninggalkan semuanya. Meninggalkan hujan dan juga kamu, Ify! Dan kamu tahu apa artinya? Artinya, aku tidak akan bisa membalas cinta kamu." ujarnya lalu mengacak rambutnya.

Ah, aku benci sikapnya yang menunjukkan bahwa dia tak selapang apa yang ku bayangkan. Aku benci argumennya yang ia ucapkan dengan nada pasrah yang terdengar lemah. Aku benci dia yang putus asa. Bukankah saat itu dia mengatakan baik-baik saja? Jadi, sekarang pun dia harusnya tetap baik-baik saja. Bukan berkata seperti tadi. Perkataan yang tersirat seperti pengutukkan terhadap takdir Tuhan.

"Lalu memangnya, aku akan meminta kamu membalas cintaku? Tidak. Bagiku, balasan cinta dari kamu adalah sebuah harapan. Bukanlah permintaan. Dan aku akan terus berharap sampai Tuhan tak mengizinkanku untuk berharap, meski mata tengah terlelap."

Rio menunduk. Menyesali kebodohannya. Ya, aku berharap seperti itu.

"Maaf Ify! Maaf untuk cinta kamu!" ujarnya seraya mengelus lembut pipiku.

"Dan permintaanku hanya satu, biarkanlah aku tetap mencintaimu. Menjaga hati ini untuk tetap mencintaimu. Sampai Tuhan melarangnya nanti!"

Aku menggenggam tangannya yang masih menari di pipiku. Saling menautkan jemari kami dengan penuh kasih sayang. Selanjutnya, menghamburlah aku untuk memeluk tubuhnya. Pertanda, cinta ini terlalu besar untuk ia atau siapa pun cegah -kecuali Tuhan-. Dan aku memeluknya erat. Ini karena aku benar-benar tak pernah mau kehilangannya. Juga karena kehangatan pelukannya selalu membuat perasaan asing itu semakin mengembang tak terkendali.

Dan Rio juga membalas pelukanku lantas membelai puncak kepalaku. Entah apa maknanya. Yang pasti, dalam setiap belaiannya, aku mendengar dia menggumamkan sesuatu.

"Aku juga mencintaimu. Maka jangan berhenti mencintaiku, sebelum Tuhan menjemputku."

Hujan lagi. Itulah hujan penuh cinta dan kasih sayang.

***

Tuhan menyayangiku. Dia mengizinkanku untuk mengukir namaku di lembar-lembar terakhir bab jalan hidupmu.

*

Hujan selalu menjadi saksi betapa cinta yang ku punya untuk Pangeran Pengagum hujan itu sangatlah sederhana. Ya, memang seharusnya seperti itu. Aku mencintainya tanpa meminta balasan. Catat. Tanpa meminta. Tuhan melarangku untuk memintanya membalas cintaku. Tapi Tuhan berjanji, bahwa aku masih bisa berharap. Dan sebenarnya, menyimpan harap itu jauh lebih terhormat daripada meminta. Maka dalam tiap helaan nafas adalah beribu pengharapanku.

Apakah aku tersiksa dengan cara mencintai yang mungkin akan membuat banyak orang frustasi? Sungguh tidak. Tahukah kalian, mencintai dengan cara ini tidak membebaniku. Tentu saja. Karena aku tak perlu memikirkan bagaimana agar cintaku terbalas. Aku tak harus bersusah payah memaksanya membalas cintaku. Aku percaya, Tuhan yang akan membalasnya dengan cinta agung-Nya.

Kanker yang diderita Rio sudah mencapai stadium akhir. Hal itu mengharuskan dia untuk tinggal di rumah sakit dan menjalani perawatan. Pemuda jenius itu terpaksa meninggalkan dunia luarnya. Sekolahnya. Laboratorium biologi favoritnya. Tapi Rio hebat. Bahkan dalam keadaannya yang sudah sangat menyedihkan ini, dia tak sedikit pun berubah. Ya, dia tetap Rio. Pemuda bermata indah dengan jiwa yang kuat. Pemuda empunya senyuman indah yang tak sedikitpun menyerah. Pemuda pengagum hujan yang menyenangkan. Maka meski ia berada di ruangan serba putih dengan aroma obat-obatan yang -menurutku- tidak mengenakkan, ia masih tetap bisa menikmati hujan yang setiap hari tak pernah absen menyerbu bumi. Ya, hujan yang sangat ia sukai.

Setiap hari, selepas pulang sekolah aku selalu mengunjungi rumah barunya -rumah sakit-. Berada dalam tiap detik kehidupannya adalah harapanku. Kalau saja, aku tak diwajibkan untuk berangkat sekolah, pasti dari pagi hingga larut malam aku akan melewati detik-detik berharga itu bersamanya. Ya, detik yang terus berjalan itu layaknya butiran mutiara yang sayang untuk dilewatkan. Maka sebisa mungkin, mutiara itu harus aku dapatkan.

Dan di minggu pagi berhujan ini, aku berhasil mendapatkan mutiara yang paling utama. Mutiara yang bahkan lebih indah dari kerlap-kerlip bintang malam hari. Mutiara itu aku dapatkan, saat ia menghembus nafas terakhirnya di dunia fana.

"Aku mau keluar. Aku mau main sama hujan Ify. Tolong temani aku!" pintanya.

Aku terperanjat. Yang benar saja. Apa dia sudah kehilangan warasnya? Dengan tubuh yang ringkih, wajah yang pucat, dan keadaan yang amat menyedihkan ini, dia mau hujan-hujanan? Dimana otak jeniusnya? Hujan bisa memperburuk kesehatannya. Dia seharusnya beristirahat saja di ranjangnya. Toh, dia masih tetap bisa menikmati hujan dari kamarnya ini. Secepatnya aku menggeleng. Tegas menolak permintaannya.

"Ga. Kamu harus tetap ada di sini. Kamu ga boleh keluar."

"Ayolah Ify! Setiap hari hujan selalu setia mengunjungiku. Apakah aku akan tega, kalau aku terus menerus mengacuhkannya? Aku akan menjadi orang terjahat di dunia ini." Dia menatap penuh harap. Memelas.

"Hujan tidak baik buat kamu saat ini."

"Hujan baik." sanggahnya cepat. "Hujan selalu baik." Rio segera turun dari tempat tidurnya. Dengan langkah payah, ia berjalan menuju pintu. Meraih kenop pintu lantas memutarnya.

Rio. Pemuda yang sangat keras kepala. Hanya untuk mencapai ambang pintu saja, sudah sepayah itu. Lalu sekarang, ia berniat untuk tetap keluar dan bermain dengan hujan. Benar-benar gila.

Pintu sudah terbuka. Rio benar-benar tak dapat dicegah lagi. Rasa sukanya terhadap memang sangatlah hebat. Maka dalam kesehatannya yang buruk itu pun, dia masih mempunyai semangat untuk bermain bersama idolanya.

Sebelum ia benar-benar keluar dari kamar yang telah lebih dari sepuluh hari ia huni ini, dia mendelik ke arahku tajam.

"Kalau kamu ga mau nemenin aku main sama hujan, aku sendiri aja." desisnya tajam lantas melangkah dengan perlahan.

Tidak. Aku bukan tak mau menemaninya. Penolakkanku adalah bukti bahwa aku benar-benar mencintainya. Aku tak mau hal buruk terjadi padanya. Dan keinginannya untuk menari di bawah hujan, kemungkinan besar akan membahayakan kesehatannya. Aku yakin dia pemuda yang kuat. Tapi, dia tetap manusia biasa, kan? Aku berdecak. Secepatnya keluar dan mengejar Rio. Aku yakin dia belum jauh.

Dan aku benar. Rio masih berada di koridor. Belum jauh dari kamarnya. Ia berjalan dengan susah payah. Kedua kakinya ia seret seperti koper. Tangannya meraba-raba tembok. Seakan tembok itulah yang menuntunnya. Itu sangat menyedihkan. Hatiku tertohok melihatnya. Maka aku bergegas menghampirinya.

Aku mensejajarkan langkahku dengan langkahnya. Lantas berkata pelan. "Aku mau main sama kamu dan hujan."

Rio menoleh dan tersenyum.
*

Rio sangat menikmati hujan yang membisiki pagi ini. Dia tertawa sangat lepas. Melompat menyerbu ribuan rinai berkah Tuhan. Ya, aku rasa hujan memang tak akan membahayakan kondisinya. Justru sebaliknya. Hujan membuatnya bahagia. Hujan yang luar biasa. Maka aku pun ikut menari bersamanya. Melepaskan beban hidupku. Membaur menikmati aroma hujan yang semerbak. Berjingkrak gembira. Bersama-sama.
Tiba-tiba, ketika kami asyik menari, Rio jatuh tersungkur. Aku terperanjat. Hal yang tidak ku inginkan pun terjadi.

Aku segera duduk. Mengangkat kepala Rio dan membiarkannya bersandar pada lenganku. Hatiku mencelos seketika. Darah mengalir dari kedua lubang hidungnya. Tawanya seketika lenyap bagai tersapu deburan ombak. Wajahnya pucat sekali. Bibirnya bergetar. Oh Tuhan, jangan biarkan dia kesakitan. Aku mulai menangis.

Rio mengangkat tangan dan menempelkannya di pipiku. Tersennyum tipis lalu mendesah berat. "A-aku pergi ya! Ingat, hujan itu baik dan... me... nyenangkan." ujarnya terbata.

Aku menggeleng cepat. Jangan. Baru sebentar aku berada dalam hidupnya. Rio tak boleh meninggalkanku. Aku menggigit bibir. Membiarkan tangisku menjadi yang lebih deras dari tangisan alam. Lantas memeluknya erat.

Dan dalam pelukanku, Rio pergi. Menyerahkan seluruh kehidupannya pada Sang Esa. Nafas yang terakhir ia hembus dalam dekapku. Dan aku tak akan mengutuk siapa pun atas perihal ini. Aku tak akan merutuki hujan lalu setelah itu membencinya. Tidak akan. Karena aku percaya, Rio pergi karena Tuhan yang ingini.


Hujan pagi itu, hujan penghujung kisah ini.
***

Tuhan selalu menyuruhku untuk berharap. Membuat harapan sebesar mungkin. Mempertahankan harapan sekecil apa pun. Itu perintah-Nya. Tuhan berjanji, harapan-harapan itu akan terjawab. Sekarang. Besok. Nanti. Kapan saja. Ya, itu janji-Nya.

Dan hujan pagi inilah yang menyadarkanku, bahwa harapan yang dulu ku rajut telah terjawab. Dengan Rio mengizinkanku untuk hadir dan mengisi catatan indah hidupnya, secara tak langsung ia telah membalas cintaku. Ya, aku merasakan hal itu.

Maka meski kini Rio tak lagi di sisiku, cintanya selalu ada dalam tiap desau nafasku. Semangatnya selalu hadir dalam tiap lantun doaku. Dan hujannya selalu setia melapangkan hatiku saat rindu melanda relung jiwaku.
Pada akhirnya, harap yang ku cipta kini adalah harap terbesarku. Harapan agar kisah cinta sederhanaku ini akan tetap terkenang. Sampai waktu yang tak terbatas. Dan semoga hujan tetap mencintai alam dengan sederhana.
Dan kini aku tahu, apa yang membuatku mencintai Rio. Karena dengan mencintainya, aku merasa menjadi seseorang yang istimewa.


Hujan kali ini, aku mencintainya.
Hujan berikutnya, aku mencintainya.
Aku akan tetap mencintainya, walau tak ada lagi hujan.

***


Cerpen lama sebenarnya. Tapi baru dipost di blog ajaib saya! Semoga suka! Oh iya, jangan copy cerita saya ke manapun! Tolong, hargai saya! Oke, prenSINTAlicious? *eh

Salam Pisang Goreng!