HUJAN, Kita Dan Mimpi part 20A
Lalu pada saat kita menambatkan hati kita pada satu adiksi yang memabukkan, masihkah hati kita dapat tercemari oleh setitik zat yang meracuni?
***
Euporia perayaan pesta ulang tahun Gabriel yang ke-18 semakin membuncah saja. Gabriel dengan dibantu tim suksesnya menyiapkan segalanya dengan semaksimal mungkin. Dari tempat diadakannya acara yang ku dengar akan dilaksanakannya di rumahnya sendiri. Undangan yang telah disebar dari tiga hari yang lalu. Souvenir dan segala macam tetek-bengek pesta telah ia siapkan. Ya, Gabriel terlihat sangat bersemangat sekali dengan pestanya esok hari. Terbukti dari ia yang terjun langsung dari segala persiapan perayaan hari jadinya. Aku juga turut membantu. Ya, walaupun tidak banyak. Hanya menemaninya saja. Tapi Gabriel mengatakan, adanya aku di sampingnya, dia sudah sangat lega. Cukup baginya. Gabriel memang tidak pernah menuntut apa-apa. Dia menerima apa pun yang hendak ku lakukan untuknya, asal aku tidak merasa keberatan. Dan toh, bahkan aku merasa bahagia dapat selalu mendampinginya. Tertawa kala ia melemparkan guyonan cerdasnya. Tersipu saat ia menggodaku. Lantas meronalah pipiku.
Dan malam ini, entah mengapa aku merasa resah. Sedari tadi, aku tak bisa merapatkan mataku dan terlelap dalam nafas satu-satu. Hanya berguling-guling di atas tempat tidur seraya mendekap bantal. Padahal ini sudah lewat larut malam. Insomnia menyebalkan. Aku merutuki diriku sendiri.
Aku mengubah posisiku menjadi duduk berselonjor. Mendesah kentara. Lalu melirik sebuah gaun cantik berwarna putih yang tergantung anggun di dalam lemari berkaca. Aku tersenyum. Gaun dari Gabriel. Dan besok akan ku kenakan di hari istimewanya. Aku terkekeh. Membayangkan ekspresinya beberapa hari silam kala ia menyerahkan gaun itu. Menggemaskan. Resahku agak berkurang.
Deru mesin kini terdengar dari luar. Terdengar pula suara gesekan gerbang yang tengah dibuka. Seseorang baru saja tiba.
Aku turun dari tempat tidur. Berjalan menuju pintu yang menghubungkan kamarku dengan balkon. Dan dari sini, dari balkon ini, aku melihat sebuah mobil mewah berwarna hitam baru saja memasuki garasi. Mama dan Papa baru saja pulang. Selarut ini. Selalu setiap malam. Aku memegangi dadaku. Sesak mencekat paru-paruku.
Aku menatapi setiap gerak-gerik mereka. Mama terlebih dulu keluar dari mobil. Sejurus kemudian disusul Papa. Nampak sekali guratan kelelahan tergambar pada wajah keduanya. Aku merasa iba. Lalu ibakah mereka padaku? Pada anak sematawayang mereka yang secara tak langsung telah mereka buang? Aku mengerutkan hidung.
Lantas aku terkesiap kala ku dapati kedua pelihat Mama menangkap siluetku yang tengah menatapinya dari atas balkon. Aku memalingkan muka dengan berbalik. Mendesah sejenak. Tergesa masuk kembali ke kamar. Layaknya dua pahlawan hidupku yang kini juga tengah bergegas memburu suatu tempat. Kamarku.
Derap langkah itu kian berpacu. Beriringan bersama lajunya waktu. Berhenti di balik pintu jati itu.
Ketukan pertama terdengar bersahaja. Diikuti kelembutan suara yang setelahnya menyapa. Suara itu tetap mempesona. Dan aku tak bisa memungkiri segalanya. Suara itu yang beberapa waktu silam memberikanku ketenangan. Suara itu ikut ambil bagian dalam proses bagaimana hatiku bertahan. Suara bersahaja yang tercipta dari bibir seorang wanita yang sangat luar biasa.
Aku tak menjawab. Hanya menggeleng. Duduk memeluk lutut di atas tempat tidur. Menggigit bibir.
Ketukan selanjutnya, terselip kesan kehkawatiran. Temponya agak dipercepat. Namun suaranya tak sedikit pun berubah, tetap bersahaja. Dia memanggil namaku.
Aku malah menunduk. Untuk apa? Biarkan aku sendirian. Seperti biasanya. Untuk apa mereka kemari? Beristirahatlah saja! Biar! Biar aku mengendap bersama perasaan kecewaku ini. Biarkan!
Ketukan lagi. kian memburu. Kini suara yang lebih arif yang menembus tebalnya pintu jati.
“Ify, buka pintunya peri kecil!”
Tak usah. Tak apa. Pergilah! Tak perlu. Biar! Aku sudah nyaman seperti ini. Aku menggeleng. Menangis.
Tidak. Bahkan aku berani berbohong pada diriku sendiri pada hatiku. Aku hanya,,, hanya. Ah sudahlah. Aku hanya ingin terlepas dari harapan akan kehadiran mereka. Biarkan aku sendirian. Bukankah itu yang terjadi selama beberapa tahun belakangan? Mereka hanya mengawasiku dari jauh. Mencintaiku? Pasti. Karena aku pun mencintai mereka. Walau sering kami saling mengecewakan satu sama lain.
“Ify…hhh!!!” desahan keputusasaan terhantar begitu kentara. “Bukalah pintunya sayang!”
Aku menyeka air mataku. Jangan menangis Salsa. Aku menguatkan hatiku. Tak ada hujan kini. Pangeran hujan pun tak sedang berada di sampingku. Jadi siapa yang akan menghapus tangisku? Aku menegadahkan kepalaku. Menggerakkan telapak tanganku. Berhentilah.
“Ify, apa kamu ga kangen sama mamamu ini? Papamu?” Tanya mama retoris.
Jangan ucapkan itu. Aku bahkan teramat merindukan kalian. Dekapan kalian. Tapi nanti, di saat yang tepat, aku pasti akan menyerahkan setumpuk rindu yang menyesakkan dada ini pada kalian. Kalian pahlawan sepanjang kehidupanku.
Aku menarik nafas. Merogoh bandul pelangi yang terselubungi piama bergambar domba yang tengah ku kenakan. Aku menggenggam erat bandul itu. Menyimpannya di dada. Kembali menguatkan diri sendiri.
Dan nyatanya, kalung itu masih saja memiliki magisnya yang luar biasa. Bandul itu masih saja dapat mencipta sedikit kekuatan yang mampu menolong keluarnya beberapa kata yang sebelumnya tersangkut di tenggorokkan dan akhirnya kembali tertelan.
“Ify mau tidur Ma, Pa. Ify…” genggamanku semakin kuat. “Ify sayang Mama Papa!”
Lalu setelah itu, aku menelungkupkan wajahku pada bantal. Kembali menangis. Tanganku masih tetap mengepal. Tak ada sedikit pun niat untuk melonggarkan genggamannya. Hanya ini yang dapat ku lakukan untuk menguatkan hatiku sendiri sementara pemuda berhati malaikat itu tengah berada di antah berantah. Walau sebenarnya sangatlah janggal aku melakukannya. Bandul pelangi itu dari Sang penoreh luka menganga, dari pangeran matahari. Tak patut aku melakukannya. Harusnya aku melakukan hal yang lain. Yang lebih terhormat mungkin. Lalu apa? Berlari menemui Gabriel dan mengadu padanya? Setiap sesak terasa? Tak mungkin. Lalu apakah ternyata, diam-diam, tanpa adanya hujan, aku bergantung pada matahari?
Arrghtt!!! Aku melepaskan genggamanku. Menampar pipi tirusku yang masih basah berbekas tangis. Bodoh. Untuk apa aku memikirkan hal yang sangat tidak terpuji itu? Semuanya hanya akan menyakiti hati orang-orang yang aku kasihi. Keke, sahabat manisku. Dan Gabriel, pemuda berhati malaikat yang telah menjelma menjadi Pangeran Hujan yang ajaib bagiku.
Maka kini, baiknya aku memejamkan kedua mata. Semoga terlelapnya aku malam ini, dapat mengenyahkan segala apa pun yang hendak mengusik cinta sederhana ini. Biarkanlah. Biarkan Pelangi bahagia bersama rinai Hujannya. Pelangi sudah cukup bahagia tanpa adanya Matahari. Walau tanpa sadar, Pelangi takkan pernah ada tanpa adanya Matahari yang menyambut undurnya Sang Hujan.
***
Cahaya itu datang terlalu tiba-tiba. Menikam tajam tak terelakkan. Menyilaukan. Aku mengkerut. Sudah pagi rupanya. Dan cahaya menyilaukan barusan menembus kaca jendela dan masuk melalui celah tirai yang agak terbuka. Agak? Tidak. Tirai itu hampir sempurna dan terbuka. Aku mengerutkan kening. Mengucek kedua mataku. Menggeliat sejenak. Terkesiap kala mendapatkan sapaan selamat pagi yang menyenangkan dari seseorang yang baru saja ku sadari tengah duduk di tepi tempat tidurku. Dia tak mengenakan jas putih kebanggaannya. Dia Nampak cantik dan sederhana dengan pakaian rumah yang biasa dipakai ibu-ibu lainnya. Aku mengubah posisiku menjadi duduk. Masih dengan rasa tak percaya. Terus mengucek mata. meyakinkan. Mencari kebenaran. Mungkin saja ini khayalan. Fantasi belaka.
“Ma-mama??” berkata tanpa suara. Menggelengkan kepala.
Mama tersenyum. Senyum yang sangat cantik. Ya, Mama memang cantik. Wanita tercantik seluruh dunia.
“Mama kenapa bisa ada di sini?” Tanya yang bukan hanya berarti kenapa wanita hebat itu biasa masuk ke kamarku, padahal seingatku, sudah ku kunci rapat-rapat pintu jati itu. Tapi juga memiliki makna lain yang lebih krusial dari makna denotasinya. Kenapa? Kenapa mama ada disini? Bukankah seharusnya, sedari tadi Mama –dan juga Papa- telah bergegas menuju dunia mereka? Meninggalkan aku yang selalu tertinggal bersama duniaku sendiri. Sepi. Lalu pagi ini, ada apa? Langit cerah. Tak ada hujan yang menggagalkan rutinitas ‘menyenangkan’ mereka. Hey, Hujan? Hujan? Kemana Kau? Sudah beberapa pekan kau tak mengunjungiku. Aku rindu padamu. Bukankah akan lebih lengkap jika Pangeran Hujan ditemani Hujan-nya?
Helaan nafasnya terdengar bersahaja. Mama mengucap kalimat berikutnya setelah sapaan hangat tadi.
“Kenapa Mama tidak bisa berada di kamar anak Mama sendiri?” Mama tersenyum menyeringai.
Aku tersenyum. Sedikit mencibir. Sejak kapan Mama menyambut pagiku? Pagi-pagi yang telah berlalu, dia tak pernah melakukannya. Sudah semiliyar pagi ia lewatkan untuk membangunkanku. Dan pagi ini, dia memotong rekor yang telah beberapa tahun terakhir ia cipta.
“Umm…” aku berfikir sejenak. “Tumben, belum pergi ke rumah sakit?” aku memutar kedua bola mata. Memalingkan muka. Kurang nyaman mendapatkan tatapan lembut yang ditujukan Mama padaku. Tertarik menatap keluar jendela. Seekor burung tengah melenguh dengan riangnya
“Ga akan. Papa juga di rumah. Hari ini, kami milikmu.” Mama mengusap rambutku. Lembut.
Hampir saja aku mencelat. Terperanjat. Bukan karena mendapatkan gesture hangat yang terhantar lewat usapan tangan Mama. Tapi lebih kepada kalimat di penghujung ucapannya. Hari ini, kami milikmu. Masih ingat dengan kalimat ‘Besok, kami milikmu’. Semuanya sama –kecuali kata awalnya yang diganti-. Caranya mengucapkannya. Sangat menyenangkan. Seraya tersenyum. Senyum mempesona. Dengan aksen suara yang menggetarkan. Tatapan mata teduh meyakinkan. Dan apa? Semuanya memang sama. Sama pula dengan apa yang hati ini rasakan kala mendengarnya. Terpana. Kalimat itu, meluluhkan tebalnya tembok kemunafikkan yang ku bangun dengan pondasi keegoisan. Seketika. Sekejap mata.
Aku mengerjap. Kalau semuanya sama, lalu apakah bagian akhir dari kelanjutan sepenggal kisah ini pun akan sama? Kembali berujung sesak. Akhir yang memilukan. Aku menggeleng. Mendorong lengan Mama dengan –agak- kasar agar menjauh dari rambutku.
Aku menyibak selimutku. Bangkit berdiri. Menyambar handuk yang tergantung di pinggir lemari. Bergegas ke kamar mandi.
Mama tersentak mendapat perlakuanku yang terkesan menghindarinya. Ia menatapi punggungku yang akhirnya menghilang di balik pintu kamar mandi. Menunduk dalam.
Lalu beberapa saat kemudian, derap adu antara alas kaki dan lantai terdengar mendekat kea rah kamar mandi. Mama mengetuk pelan pintu yang ada di belakangku. “Mama sama Papa tunggu di taman belakang rumah, sayang!”
Terduduk. Lemah tak berdaya. Menggigiti bibir sangat kuat. Apa yang baru saja ku lakukan? Menghindar? Kadang, saat kita bersusah payah menggapai mimpi namun mimpi itu terasa semakin jauh berlari. Meninggalkan raga yang tak lagi berarti. Menyerah dan mengubur dalam-dalam sang mimpi. Lalu apa? Saat sang mimpi datang menghampiri, mengulurkan kebahagian yang selama ini diingini, raga itu menampiknya. Menganggap mimpi itu tak lagi perlu untuk dimiliki. Menghindar. Namun, saat sang raga munafik itu sadar bahwa apa yang selama ini menjadi bagian dari hidupnya itu adalah mimpi, sesungguhnya ia akan merasakan sesal yang tak terperikan. Menyesakkan. Kini, biarkan. Kita lihat, apa yang akan dilakukan raga itu selanjutnya. Semoga rasa menyesakkan dari sebuah sesal tak kan pernah menyentuh hati rapuhnya.
***
Gabriel sedang memperhatikan setiap lekuk dasi kupu-kupu berwarna putih yang beberapa hari lalu baru dia ambil dari butik Tante Zevana, bersamaan dengan jas dan juga gaun cantik –calon- gadisnya. Ia tertawa. Menutupi mulutnya dengan telapak tangan. Nanti malam akan menjadi malam istimewanya. Perayaan hari jadinya yang ke-15 juga mungkin peresmian hubungannya dengan Putri Pelanginya. Untuk yang kedua, mungkin hanya angan-angannya saja. Ya, karena toh dia tak ingin memaksakan keadaan. Ia tak mau gadisnya itu tertekan. Biarkan saja. Seperti air. Siklusnya takkan ada habisnya. Berawal dari menguapnya air di bumi. Membentuk gumpalan awan mempesona di langit. Lalu mengembun dan akhirnya diturunkan lagi ke bumi melalui hujan. Hujannya yang baik dan menyenangkan. Begitu seterusnya. Siklus itu terus berputar tak ada hentinya. Tepat sekali. Seperti hatinya. Hati malaikatnya yang tak pernah berhenti mencintai Putri Pelanginya dengan tulus barang sedetik. Bahkan itu sudah hatinya lakukan sejak lama. Sejak ia dan gadisnya masih gemar bermain pistol-pistolan yang terbuat dari bambu. Bermain perang-perangan dengan tawa riang. Berakting dokter-dokteran di atas rumah pohon. Bermain basket dengan gembira. Walau pada awalnya, tak ada satu pun hati yang menyadarinya. Namun percayalah, Hujan sudah tahu sejak rasa itu masih berwujud kecambah. Dan sampai sekarang, sampai rasa itu telah mengakar dengan kuat, Hujan pun tahu. Hujan tahu semuanya.
Seorang wanita yang masih mengenakan celemek di tubuhnya melangkah perlahan mendekati putra tampannya yang tengah duduk dengan wajah berseri di balkon kamarnya. Ia ikut duduk di kursi lain di balkon itu. Tersenyum menatap putranya.
Gabriel menoleh ke arah Bunda –sekaligus Ayah- nya. Ikut tersenyum.
“Yel, Bunda ga sabar buat nanti malam. Bunda ingin bertemu dengan Putri Pelangimu. Pasti cantik.” Mama mengerlingkan matanya jahil.
Sang putra mencubit lengan Bundanya pelan. Ia mengulum bibir. Memalingkan wajahnya. Sedikit curi-curi pandang kea rah Mamanya.
Bunda tersenyum menyeringai. Ia menggerakkan tangannya untuk menyentuh bahu putranya. Putranya yang tampan. Ketampanan yang diwarisi dari Ayahnya yang dua tahun silam telah tiada. Gabriel menoleh. Menatapi wajah Bundanya yang teduh. Ia megulurkan tangan untuk mengusap cemong di pipi Bundanya. Sekarang, sempurnalah cantiknya. Bunda mengedipkan mata. Berterimakasih.
“Kamu sudah besar. Kamu tumbuh jadi apa yang Ayah dan Bunda harapkan. Tampan dan baik hati. Hebat dan sederhana.”
Gabriel tersenyum. Senyum lebarnya yang khas. Ia menyentuh lembut tangan Bunda yang masih berada di bahunya. Ia membawanya ke depan bibirnya. Mengecupnya beberapa detik. “Itu semua karena doa Bunda. Juga Ayah yang sedang menuntun kita dari surga.” Gabriel bergumam pelan.
Bunda menunduk. Ayah? Lelaki itu telah beristirahat dengan tenang. Mempercayakan Ksatria kecil di hadapannya ini padanya. Untuk ia jaga. Untuk ia didik. Untuk menjadi tempat terlapang penampungan kasihnya. Menitipkannya agar Kesatria kecilnya itu tumbuh menjadi lelaki yang tampan dan baik hati. Lelaki yang hebat. Lelaki yang sederhana. Duplikat siluetnya.
Gabriel tahu benar apa yang dirasakan oleh Bundanya. Wanita hebat itu pasti tengah menabung rindu di hatinya. Rindu yang entah kapan dapat terbayarkan. Karena ia pun sama. Ia rindu Ayahnya. Lelaki tampan yang pertama mengenalkannya pada musik dan basket. Sosok yang jauh lebih super dari manusia super lainnya. Dia lelaki tangguh. Tegas. Baik hati. Dan tidak pernah menyakiti hati siapa pun, terutama Bunda. Maka ia kembali teringat akan segores pesan yang disampaikan Ayah sebelum menjemput keabadian. Jadilah pengganti Ayah untuk Bunda. Sayangi Bunda. Lindungi Bunda. Hapuslah air mata Bunda. Jadilah lelaki yang tampan, baik hati, hebat dan juga sederhana. Sederhana, anakku!
Gabriel meletakkan telunjuknya pada ujung dagu Bunda. Mengangkatnya pelan. Ia menohok pelihat sang Bunda. Ya Tuhan, lihatlah Bundanya! Bundanya yang cantik, namun wajahnya terlihat sendu. Gabriel menggeleng.
“Bunda, jangan sedih! Gabriel janji, Gabriel akan lakuin apa yang dikatakan Ayah. Menyayangi Bunda. Melindungi Bunda. Menghapus tangis Bunda.” Gabriel mangangguk.
Bunda terkesima. Lihatlah Ayah. Anakmu telah menjelma menjadi lelaki yang tampan sepertimu. Dia hebat. Baik hati. Dan dia juga mewarisi kesederhanaan yang ada pada dirimu. Kau telah menanamkan kesederhanaan itu bahkan sebelum anakmu ini lancar mengucap sebuah kata. Bunda menyentuh ujung matanya. Basah. Ia terharu.
“Terimakasih sayang! Tapi…” Bunda menggantung kalimatnya. Gabriel mengerenyit.
“Tapi Bunda mau, kamu seperti hujan. Hujan yang bukan hanya hadir untuk seseorang saja, tapi untuk semuanya. Semuanya tanpa pengecualian. Bunda mau, memperlakukan hal yang sama kepada semua wanita. Melindunginya. Menyayanginya. Menghapus tangisnya. Kamu mau melakukan itu? Untuk Bunda? Dan Ayah?” Bunda sedikit memelas.
Gabriel mengembangkan senyumnya. Semakin lebar. Bunda tak perlu memelas padanya. Karena tanpa memelas pun, tentulah dirinya akan menyanggupi permintaan Sang Bunda. Apa pun itu. Dan ini hanya menjadi hal sederhana untuknya. Tentulah. Karena Gabriel pemuda berhati malaikat. Bukankah jauh sebelum Bundanya meminta hal yang sama, ia sudah melakukannya terhadap semua wanita. Terlebih Putri Pelanginya.
Maka Gabriel mengangguk mantap. Ia berjanji. Janjinya yang suci. Pantang ia ingkari. Layaknya janji Sang Hujan yang tak pernah terlambat ditepati. Dan Hujan memang tak pernah mengingkarinya. Ia bersembunyi kala pelangi tersentum menyambut mentari.
Bunda tersenyum makin lebar. Ia merentangkan kedua tangannya. Segeralah Gabriel menghambur ke pelukan Bunda. Lihatlah Ayah, pemuda itu telah menjadi Hujan. Bahkan, Pangeran Hujan.
***
Bersambung.
***
Maaf bermiliyar maaf! Ngaretnya ga ajaib. Terusan, sekarang giliran dipost, hasilnya mengecewakan. Saya terus belajar kok! Makasih buat selama ini yang udah dukung saya. Makasih juga buat para buntel ajaib. Berbanggalah menjadi buntel! *eh Juga buat siapa pun yang ga pernah bosen say Sinta Ajaib buat saya. Makasihmakasih! Buat Lilis juga! haha
Oh ya, saya tunggu komentarnya. Di fb saya: Sinta Banget dan Shinta Nurwahidah. Atau juga ke twitter saya, @sintaSnap. Please! Don't copy this story!
Bubaaaaayyyyy!!!!
Salam Pisang Goreng!