Puisi Kala Itu (part 2)

Rabu, 22 Maret 2017

Puisi Kala Itu (part 2)


“Kala, nanti malam jalan yuk!” ujar seorang gadis, tanpa canggung bergelayut manja di lengan Kala. Tak ia hiraukan tatapan teman-teman Kala.  

Kala tersenyum miring. “Jane, lo ajak yang lain aja deh! Noh si Gery!” pemuda itu mengedikkan bahu.

 Pemuda bernama Gery tersenyum dan langsung bergerak menarik gadis berlipstik merah itu dari Kala. “Iya, Jane! Lo pergi sama gue aja!” ucapnya seraya memainkan kedua alis.

 Jane mengulum bibir, “ogah!” gadis itu kemudian melengos pergi. Rambut panjangnya berkibar menyapu wajah Gery.

 Gery menggeleng samar. Ia terkekeh pelan, kemudian menepuk bahu Kala. “Tumben lo nolak Jane. Punya cewek baru ya?” tebak Gery. Meskipun tidak pernah memiliki hubungan spesial dengan perempuan mana pun, tapi Kala jarang sekali menolak ajakan dari banyak perempuan-perempuan cantik itu. Apalagi Jane, perempuan paling cantik dan populer sefakultas ilmu sosial dan politik. Anak pejabat pula. Kala memang gila.  

Rasa penasaran Gery diangguki oleh Danny dan Gilang. Andai mereka jadi Kala, takkan mereka sia-siakan kesempatan emas untuk jalan berdua Jane.  

Kala hanya tersenyum seraya menyesap sebatang rokok. Karena ia bukan Tarzan yang tergila-gila pada perempuan seperti Jane. Karena sejak malam itu, yang mengisi ruang imajinya hanya perempuan itu. Yang memulas bibir mungilnya dengan lipstik berwarna nude. Yang senyumnya sehangat balutan selimut. Karena Kala sudah tidak lagi mencari emas. Gadis itu serupa berlian untuknya.  

Kala ingin kembali bertemu dengan perempuan itu. Ia tahu bisa menemukannya di mana. Di sebrang gedung fakultasnya, terpisah oleh jalan dan sebuah fakultas lain. Tapi ia terlalu malu untuk datang tanpa alasan. Apalagi perempuan itu tidak menjawab apa pun saat Kala bertanya apakah ia boleh bertemu dengannya lagi atau tidak. Kala berpikir sangat keras. Terlalu keras dan kemudian ia menyadari bahwa ia tidak pernah mencari. Selama ini, ia yang selalu dicari. Dipuja-puja bak Cassanova. Ternyata bagi perempuan itu, Kala tidak ada apa-apanya. Bahkan mungkin ia sudah lupa.  

Dugaan Kala salah. Syifa tidak pernah melupakannya. Bagaimana ia bisa lupa jika setiap kali ia bertemu dengan teman-temannya, mereka selalu bertanya tentang Kala. Serius deh! Syifa muak sekali dibuatnya.  

“Gue ga ada hubungan apa-apa sama Kala, Lin! Gue kenal dia aja pas malam itu doang,” ujar Syifa gusar seraya menyeruput es jeruk. Cukup tugas kuliah saja yang membuat pusing. Jangan ditambah hal-hal yang tidak penting, kenapa?  

“Baru kenal kok udah mau diajak pergi?” Alin ternyata belum puas dengan jawaban Syifa. Bukan apa-apa, ia hanya khawatir saja pada Syifa. Berteman sejak SMP dengan Kala membuat Alin tahu sifat pemuda itu. Kala suka memermainkan perempuan. Entah sudah berapa banyak korban yang berjatuhan karenanya. Alin tidak mau Syifa jadi salah satunya.

 “Gue ga ke mana-mana, Lin sama dia,” ucap Syifa gemas.  

“Pokoknya lo harus hati-hati sama Kala. Dia tuh playboy tahu! Jangan gampang baper sama dia! Dia ga pernah serius sama perempuan.”  

Syifa mendesah. “Tenang aja! Mungkin gue ga akan pernah ketemu sama dia lagi. Tapi makasih ya udah khawatirin gue!”  

Alin akhirnya berhenti mewanti-wanti Syifa tentang Kala. Membuat Syifa bisa bernapas lega dan menikmati makan siangnya dengan tenang. Demi apa pun ia tidak peduli pada pemuda itu. Playboy atau bukan, sama sekali tidak ada urusan dengannya. Dan jangan samakan Syifa dengan perempuan lain. Ia tidak akan mudah terbawa perasaan hanya karena diberikan senyum atau rayuan gombal Kala. Karena perasaanya telah terbawa sejak lama. Hanyut dalam arus yang tidak seharusnya ia ikuti.

***

Setiap hari minggu Om Tian, Tante Viona dan Bian melakukan ibadah di gereja. Sementara itu, Syifa akan menunggu di toko buku. Di sana, ia menumpang membaca apa saja yang menurutnya menarik. Tak jarang, ia pun membeli buku-buku yang ia yakin tak cukup untuk ia baca satu kali saja.

 Kebiasaan itu telah berlangsung selama sepuluh tahun semenjak Syifa tinggal di rumah Om Tian, satu hari setelah kepergian ayah dan bundanya. Sejak saat itu Syifa harus beradaptasi dengan lingkungan keluarga yang berbeda dengan apa yang selama ini ia jalani. Keluarga Om Tian adalah keluarga nasrani yang taat. Ibadah minggu tidak pernah terlewat.  

Syifa sendiri lahir dari keluarga muslim. Saat pertama kali menjejakkan kaki di rumah Om Tian, Syifa merasa sangat asing. Banyak lukisan dan patung-patung yang tidak ia kenal. Kata Bian, itu adalah Yesus.  Syifa hanya mengangguk, berpura-pura mengerti. Gadis itu kemudian bertanya arah kiblat di mana. Bian kebingungan kiblat itu apa. Ia kemudian bertanya pada Om Tian dan Tante Viona. Namun mereka juga tidak memiliki jawabannya.  

“Kiblat itu arah buat shalat, Om!” ujar Syifa.  

Esoknya, Om Tian mendatangkan Bu Aisyah, seorang guru yang mengajar mengaji di madrasah dekat rumah. Bu Aisyah tunjukkan di mana arah kiblat. Akhirnya, Syifa bisa shalat dan berdoa supaya Ayah dan Bunda ditempatkan di surga.  

Meskipun Om Tian beragama Nasrani, tapi ia tidak memaksakan keyakinannya pada Syifa. Ia membiarkan Syifa tumbuh dengan ajaran-ajaran islam dari ayah dan bundanya dengan mendaftarkan Syifa ke madrasah. Setiap sore, diantar Bi Yati, Syifa pergi mengaji. Mengenakan kerudung biru telor asin favoritnya.  

Umur Syifa sekarang dua puluh. Itu berarti sudah setengah dari hidupnya ia habiskan di rumah itu. Sebuah bangunan dengan atap toleransi yang kokoh. Menaunginya dengan kasih dan kebebasan untuk mengasihi. Om Tian, Tante Viona atau Bian tidak akan mengganggu kalau Syifa sedang shalat, bahkan mereka terkadang mengingatkan Syifa agar tidak melalaikannya. Ketika bulan ramadhan tiba, mereka akan ikut bangun dan menemani Syifa makan sahur. Di hari lebaran, mereka akan ikut bersuka cita. Memasak ketupat, opor ayam, dan mengantar Syifa berziarah ke makam orangtuanya. Begitu juga dengan Syifa. Ia tidak keberatan jika setiap hari minggu harus menunggu berjam-jam sementara keluarga Om Tian sedang beribadah di gereja. Ia juga senang saat membantu Tante Viona menghias pohon natal. Berlomba dengan Bian untuk meletakan sebuah hiasan bintang ke puncak pohon. Syifa begitu menikmati semua perbedaan itu. Baginya, perbedaan adalah kantung yang membungkus dirinya dan keluarga Om Tian menjadi satu. Selama ia berada di sana, ia akan merasa aman.

Kedua matanya membeliak saat mendapati sebuah buku dengan cover berwarna perak bertengger di rak. Hujan Bulan Juni. Ia tiba-tiba teringat Kala dan puisi di restoran itu. Gadis itu tersenyum. Mengulurkan tangan untuk mengambil sang buku yang ternyata hanya tersisa satu.

Syifa baru menyadari bahwa ada orang lain yang juga mengincar buku itu saat ia melihat ada tangan lain yang menyentuh bagian lain buku. Ia merengut. Menoleh pada si pemilik tangan.

“Kala?!” seru Syifa. Ia menarik kembali tangannya. Buku itu kini dikuasai Kala.

“Syifa? Ngapain?” tanya Kala. Matanya berbinar saat melihat sosok Syifa tak sengaja ditemukannya. Satu minggu ia berpikir bagaimana caranya untuk dapat berjumpa dengan gadis itu, dan kemudian ia ingat Hujan Bulan Juni. Buku puisi itu akhirnya membawa Kala ke toko buku. Tak dinyana, ia bersua dengan Syifa di sana.

“Cari buku yang waktu itu lo bilang keren. Buku itu kan yang lo maksud?” Syifa menunjuk buku yang ada di genggaman Kala.

“Iya. Gue ke sini mau beli buku ini buat lo. Karena lo udah di sini, ya udah nih!” Kala menyerahkan buku itu pada Syifa.

“Makasih ya!”

Setelah membayar buku kumpulan puisi itu di kasir, Syifa dan Kala memutuskan untuk pindah ke restoran cepat saji yang ada di sebrang toko buku. Mengobrol banyak hal dengan es krim di tangan mereka.

Di mata Syifa, Kala adalah pemuda yang penuh kejutan. Siapa yang sangka pemuda dengan jaket ala Justin Bieber dan brewok ala Oka Antara itu justru menggilai puisi. Syifa pikir Kala lebih cocok jadi pemain film saja. Tapi kalau tidak suka puisi, Syifa tidak akan mungkin bisa mengobrol panjang lebar dengan Kala. Puisi selalu jadi topik menarik sekalipun ia awam soal itu. Cara Kala ketika berbicara juga membuat Syifa nyaman saat mendengarkan, tidak terkesan angkuh meskipun kadang ia menyombongkan diri.

“Gue pikir selain Rangga, ga ada lagi anak muda yang suka puisi,” ujar Syifa dengan nada sarkatis.

Anehnya, Kala tidak tersinggung dengan ucapan Syifa. Ia justru tertawa dan mengusap rambut-rambut pendek yang masih tersisa di wajahnya.

“Rangga terinspirasi dari gue tuh!”

“Apa sih,” cibir Syifa, kemudian ikut tertawa.

Bagi Kala, Syifa adalah anomali. Ia bisa menyentuh bagian lain dari hidupnya yang selama ini tak ia biarkan siapa pun untuk mengetahuinya. Syifa bahkan sudah di sana. Masuk dan meruntuhkan tembok-tembok yang ia buat untuk melindungi rahasianya. Keinginannya yang terpendam, menjadi seorang pujangga.

Waktu berlalu secepat percikan bara. Syifa baru menyadari hal itu ketika Bian meneleponnya. Menanyakan keberadaannya.

“Gue harus balik nih! Keluarga gue udah di depan!” ujar Syifa seraya menyelempangkan tasnya. Buku puisi itu ia dekap di dada.

“Syifa sebentar!” Kala menahan langkah Syifa. Gadis itu mengerenyit. Ada apa?

“Gue boleh minta nomor lo?” Kala akhirnya memberanikan diri setelah  berkutat dengan pikirannya sendiri. Karena ia tahu setelah ini, ia tidak punya alasan lagi untuk bertemu dengan Syifa. Ia tidak mau kehilangan gadis itu begitu saja.

“Lo tulis nomor lo aja,” ujar Syifa seraya menyerahkan ponselnya pada Kala.

Kala menuliskan dua belas digit angka yang kemudian ia simpan dengan namanya sendiri. Ia memberikan kembali sang ponsel pada si empunya.

Setelah itu, Syifa pun pergi. Masuk ke dalam mobil jaguar hitam yang sudah menantinya.

Kala hanya bisa memandangi dari jauh. Ia terkekeh. Bisa-bisanya ia dibuat berdebar sekaligus berbunga dalam waktu yang sama oleh gadis itu. Gila! Kala tidak pernah seperti ini.

Sementara Syifa kembali pulang tanpa membawa apa-apa selain buku puisi dan kontak baru di ponselnya. Buku puisi itu ia habiskan dalam semalam, sementara barisan nomor itu tak ia hiraukan sedikit pun. Ia biarkan kontak itu ada di ponselnya. Tak berniat untuk menghubungi pemiliknya.

Syifa sama sekali tidak tahu bahwa setiap hari Kala menanti ponselnya berdering bukan oleh telepon atau SMS dari perempuan-perempuan dengan tipikal sama yang tak pernah berhenti mengejarnya. Yang ia tunggu hanyalah perempuan itu. Pemilik tatapan teduh yang membuat perasaannya terus bertumbuh.

0 Komentar :

Posting Komentar

Komentari