Lebih Dari Plester part 17

Minggu, 26 Februari 2017

Lebih Dari Plester part 17


Mereka telah memasuki masa-masa yang mereka tunggu selama beberapa bulan lalu. Libur panjang setelah menyelesaikan semester ganjil. Ify tidak membuat rencana liburan. Ia memutuskan tinggal di rumah, atau hanya berkeliling kota saja. Toh selama ini, belum semua tempat di kota itu ia kunjungi.

Untuk hari pertama liburannya, ia mengajak Gabriel pergi ke Dunia Fantasi. Kemarin Ify mendapatkan dua tiket Dufan dari Papa. Katanya hadiah karena sudah berhasil mendapatkan peringkat pertama di sekolah barunya.

Ify baru saja turun dari taksi, ketika dilihatnya Gabriel keluar dari halaman rumah dengan motornya. Tapi yang membuat Ify sangat terkejut, Gabriel tidak sendiri. Di belakangnya seorang gadis melingkarkan tangan. Ify tahu pasti siapa gadis itu. Ya siapa lagi.

Ify menggigit bibirnya kuat-kuat untuk menahan tangis. Merasakan pedih yang kembali hadir karena ulah Gabriel. Ini bukan kali pertama Gabriel membuatnya sakit. Sudah berulang kali. Bahkan dalam kurun waktu sebulan ini, begitu seringnya pemudanya itu membuat hatinya terluka.

Yang menambah kesakitan Ify adalah bahwa tadi malam Gabriel sudah berjanji akan pergi ke Dufan bersamanya. Tapi sekarang pemuda itu pergi. Bersama gadis lain pula. Apakah pemuda itu lupa kalau dia masih berstatus pemudanya?

Ify tidak mau menangis. Tapi matanya sendiri yang membuatnya perih. Pada akhirnya ia tetap menangis. Masih di tempatnya berdiri. Ia jatuh tersungkur. Lututnya mencium tanah.

Kala Ify masih meratapi kesedihannya, kala itu pula Rio datang. Entah mengapa pemuda itu selalu datang saat Ify sendirian. Seperti janjinya waktu itu. Tidak seperti Gabriel. Banyak janjinya yang justru ia langgar.

“Ify lo kenapa?”

Ify mendongakkan kepala. Mendapati Rio telah berdiri di hadapannya. Tergesa Ify menghapus air matanya. Kemudian tersenyum walau tidak selebar biasanya. “Halo!” Gadis itu malah menyapa Rio.

“Lo ga apa-apa?” tanya Rio. Ngeri juga. Bukankah beberapa detik yang lalu ia jelas-jelas melihat Ify menangis. Mengapa sekarang tiba-tiba gadis itu tersenyum dan mengatakan halo? Gadis itu selalu saja ajaib.

Ify menggeleng cepat. Lalu teringat sesuatu. “Kita ke Dufan yuk!” matanya yang masih menyisakan air melebar.

“Ha?” Rio kaget bukan main. Kenapa sih dengan gadis itu?

“Ayooo! ify tidak ada teman. Ify punya dua tiket. Sayang kalau ga dipakai. Berlaku hari ini saja.”

Rio mengucapkan O tanpa suara. Ia tahu sekarang mengapa gadis itu menangis. Pasti karena…

Ah, mengapa ia tidak bisa menduganya dari awal? Gadis itu jelas-jelas menangis di depan rumah Gabriel. Apa lagi yang telah dilakukan sahabat sialannya itu pada Ify?

“Mau yaaa! Please!” Ify memasang wajah memelas yang malah terlihat lucu.

Rio mengangguk. Apa pun, Fy. Ucapnya dalam hati.

***

Gabriel tak tahu apa yang terjadi dengan dirinya. Mengapa ia ada di sini saat ini. Bersama gadis cantik yang lekat bergelayut manja di lengannya sedari tadi. Ia tahu ia tidak seharusnya melakukan ini. Ada hal penting yang telah ia lupakan. Sialnya ia tidak tahu apa yang ia lupakan itu.

“Aku sayang sama kamu.”

Gabriel hanya diam. Tidak membalas sepatah kata pun ketika gadis bidadarinya melontarkan sebuah kalimat manis itu. Bahkan ia menulikan telinganya sendiri. Demi agar tidak mendengar apa pun. Ia sedang berusaha mengingat apa yang sesungguhnya telah ia lupakan. Ia yakin sesuatu itu lebih penting dari apa pun. Bahkan kehadiran Sivia-gadis di sebelahnya.

“Ini bagus ga?” tanya Sivia ketika mencoba sebuah bando yang ada di toko souvenir yang disambanginya.

Lagi-lagi Gabriel hanya diam. Masih mencoba mengingat. Rasanya ia ingin membenturkan kepalanya sendiri pada tembok. Mengapa ia susah sekali mengingatnya?

Akhirnya saat matanya fokus pada sebuah titik, ia mendapatkan kembali ingatannya. Apa yang ia lupakan adalah apa yang jatuh di retinanya. Gadisnya.

Gabriel tidak bisa berkata-kata ketika dilihatnya Ify tengah berkejaran bersama Rio. Apa ini? Mereka berselingkuh di belakangnya?

Pemuda itu diliputi cemburu yang sama sekali tidak masuk akal. Ia berlari dan meraih tangan Ify, sehingga gadis itu berhenti mengejar Rio.

Ify pun tidak kalah terkejut mendapati siapa yang memegang pergelangan tangannya. Gadis itu kemudian membatu. Merasakan bahwa kebahagiaan bermain bersama Rio akan segera lenyap.

“Ify ngapain kamu di sini? Sama Rio? Kalian… Kalian… Kamu selingkuh?” ujar Gabriel dengan nada yang kelewat tinggi.

Sekonyong-konyong tersambar petir di siang bolong, Ify mencelat dan hampir saja terjengkang. Gadis itu menggeleng samar. Entah mengapa pita suaranya tidak berfungsi. Padahal banyak kata yang ingin diluncurkannya.

Menyadari bahwa Ify sudah tidak mengejarnya lagi,Rio pun berbalik. Lalu matanya mendapati Gabriel di sana. Pantas saja. Pemuda itu mendesah berat. Lalu tiba-tiba merasakan aura ketegangan yang terkuar dari sepasang kekasih itu. Dia memutuskan untuk menghampiri mereka.

“Pantas aja kamu selalu bangga-banggain Rio. Kamu suka kan sama Rio?” entah iblis mana yang sedang merasuki tubuh dan meracuni otak Gabriel, hingga berani berprasangka seperti itu pada gadis polosnya.

Rio mendengar kalimat terakhir Gabriel. Pemuda itu tidak terima –meskipun ia mengharapkan hal itu-. Kalau Ify menyukainya, gadis itu tidak mungkin menerima Gabriel menjadi pacarnya. Sudah jelas Jani hanya menyukai Gabriel. Setiap air mata berharganya selalu tercipta untuk dan karena Gabriel.

Gabriel kini mengalihkan pandangannya pada Rio. Sahabatnya itu selalu saja jadi rivalnya. Entah itu masalah bola, juga masalah hati seperti saat ini.

“Gue ga ngerti sama lo, Yo! Lo sahabat gue, tapi kenapa lo nusuk gue dari belakang. Gue tahu lo suka sama Ify. Tapi lo harusnya tahu diri. Ify sekarang pacar gue.”

Rio mengerutkan kening. Mengapa jadi dirinya yang disalahkan?

Sementara Ify menunduk dalam. Menatapi buliran air matanya berjatuhan ke bumi. Tepat di ujung sepatunya. Membuat genangan di sana. Ia sudah tidak dapat menahan semuanya. Gabriel terlalu jahat padanya. Atau mungkin memang Ify yang salah? Atau siapa? Ify merasa tidak salah. Ia hanya ingin bahagia. Itu sebuah kesalahankah?

“Lo ga usah ngerasa yang paling sakit deh di sini. Tusukan gue ga sebanding sama apa yang lo udah lakuin sama Ify. Lo ga tahu apa, lo udah terlalu sering nyakitin Ify…

“Lo tahu kenapa gue ada di sini sama dia sekarang? Tadi gue nemuin dia di depan rumah lo. Nangis. Itu karena lo. Dan sekarang, lo malah ada di sini. Bersenang-senang sama cewek plester lo itu.” Rio menunjuk Sivia yang tengah berjalan ke arah ketiganya. “Lo lupa apa yang udah dia lakuin sama lo? Dia pergi tanpa kabar. Buat lo jadi monster yang mati rasa. Lalu Ify datang. Dia bikin rasa lo hidup lagi. Sekarang, lo ninggalin Ify cuma buat cewek ini?”Rio mendelik tajam pada Sivia yang kini sudah ada di samping Gabriel.

Sivia tahu apa yang tengah terjadi. Ini sudah diduganya sejak awal. Tapi toh ia tak mau menyerah. Ia masih mau memperjuangkan perasaannya. Tidak peduli akan ada perasaan lain yang tersakiti, hingga mungkin teronggok mati.

Ify kemudian memberanikan diri mengangkat kepalanya. Lalu tidak sengaja matanya bertumbuk dengan mata Sivia yang menatapnya tajam. Kalau saja itu belati, mungkin saja Ify sudah terbunuh dan mati. Hatinya mencelos melihat Sivia. Pantas saja Gabriel  lebih memilih Sivia ketimbang dirinya. Gadis itu cantik, putih, tinggi, wajahnya mulus  dan yang pasti dia memiliki sepasang ‘mata’, hingga Gabriel tidak perlu repot-repot menjadi mata. Ah iya. Mungkin selama ini Ify merepotkan Gabriel.

Gadis itu kini menatapi ekspresi wajah Gabriel yang begitu kaku. Pemuda itu tengah mencongkeli kebenaran yang selama ini ia timbun dalam-dalam. Bahwa benar kata Rio. Tidak ada yang lebih tersakiti di sini selain Ify. Bahwa kesalahan terbesar dalam prahara ini adalah dirinya sendiri. Pemuda itu merasa dadanya sesak. Terkena hantaman peluru yang begitu telak.

Di sisi lain, Sivia melirik Gabriel dari ekor matanya. Mengapa pemuda itu diam saja? Harusnya pemuda itu memberikan pernyataan bahwa hanya dirinyalah yang pantas mendampingi pemuda itu. Bukan gadis mungil yang hanya bisa menangis itu. Maka demi dirinya dan perasaanya, gadis itu angkat bicara.

“Aku ga kenal sama kamu ya, Fy! Tapi aku kaget banget saat aku pulang, kamu udah ada di sini, sama Gabriel. Kamu rebut Gabriel dari aku. Kamu buat dia bingung hatinya untuk siapa. Kamu buat dia bimbang harus memilih siapa. Padahal hanya aku satu-satunya pilihan dia. Aku yang udah ada di hatinya jauh sebelum kamu hadir di kehidupan dia. Kamu penjahat Ify!” ujar Sivia dengan aksen membentak yang tertahan. “Bahkan kamu bukan hanya mencuri Gabriel dari aku. Kamu mencuri kalung aku.”

Begitu menyakitkan apa yang dikatakan Siviaa. Karena dari situlah Ify tahu posisinya apa. Ia penjahat. Untuk hatinya terutama.

Rio tahu rasanya jadi Ify seperti apa. Tidak tahu apa-apa, tapi harus menanggung akibat dari kesalahan yang tidak dilakukannya. Rio berubah mejadi pengacara. Rela membela Ify tanpa imbalan apa-apa.

“Lo ga tahu diri banget sih. Yang jahat itu Ify atau lo? Lo lupa lo udah bikin Gabriel sakit? Lo ga tahu tiga tahun itu bukan waktu yang sebentar. Dan sekarang lo balik, seenak udel lo minta Gabriel buat nerima lo dan ninggalin Ify. See? Siapa yang paling jahat?

“Dan lo, Gab!” Rio kini menyerang Gabriel yang hanya bisa membisu. Tidak berguna, seperti patung. “Lo pengecut! Lo buat Ify sama Sivia jatuh cinta, tapi lo ga bisa tanggung jawab. Lo penakut. Lo ga pernah bisa tegas. Oh iya, gue mau menekankan satu hal. Lo hanya boleh matahin kacamata Ify, bukan hatinya.”

Gabriel terkesiap. Ucapan Rio mengingatkannya pada peristiwa beberapa bulan silam, ketika dirinya mematahkan kacamata Ify. Tapi pada akhirnya, Gabriel bisa memperbaikinya. Membalut kacamata itu dengan plester dinosaurus. Lalu kalau hati Ify yang ia patahkan, harus dengan plester apa ia merekatkannya?

“Tapi hati Ify sudah patah. Ify tidak tahu bagaimana menjadikannya utuh kembali. Ify tidak punya plester yang bisa mengobati hati. Ify tidak tahu!” ujar Ify dengan sesenggukan. Lalu memutuskan untuk pergi. Entah ke mana. Yang pasti berlari. Menghindar dari sana. Tempat pejagalan hatinya.

“IFYYY!” Rio berlari mengejar Ify. Meninggalkan Gabriel dan Sivia yang berkutat dengan pikiran masing-masing. Gabriel tenggelam dari perasaan bersalah yang teramat memilukan. Sementara Sivia terus melapalkan pembenaran pada dirinya sendiri. Dia bukan penjahat di sini. Dia justru dijahati. Mereka saja yang tidak pernah mengerti.

***

Rio akhirnya bisa menggapai tangan Ify dan membuat gadis itu berhenti berlari. “Please jangan lari lagi!”

Ify menatap Rio dengan matanya yang masih saja berair. Melihat wajah Rio yang menyerupa malaikat saat itu. Teringat betapa tadi pemuda itu mati-matian melindungi hatinya, meskipun nyatanya terlambat dan sia-sia.

Rio menggigit bibir. Mengapa ia tidak mencintai Julio kecenya saja? Andai ia bisa mengemudikan hatinya untuk jatuh cinta pada siapa. Bukan pada Gabriel yang selalu membuat mata kesayangannya menangis. Membuat hatinya baret hingga kini patah menjadi dua.

Ify semakin terisak. Kini menangkupkan kedua telapak tangan pada wajah manisnya. Lalu sejurus kemudian menjatuhkan tubuhnya pada dada kokoh pemuda di hadapannya. Melanjutkan tangis yang tak kunjung reda.

Rio mengusap punggung Ify yang naik turun. Menenangkan. “Lo boleh nangis, Fy! Tapi jangan lupa buat senyum lagi.”

“Bagaimana kalau Ify lupa caranya tersenyum?” tanya Ify retoris.

“Ga akan. Lo selalu buat orang di sekitar lo senyum. Karena itu lo ga akan lupa,” ujar Rio mantap. Erat mendekap gadis yang masih belum mau berhenti menangis.

Tak berapa lama, alam juga menumpahkan tangisnya. Seakan ingin berlomba dengan Ify untuk menjadi yang paling deras.

Mereka masih di sana. Tidak beranjak sejengkal pun. Menikmati setiap tetesan hujan yang menghujam tubuh.

“Lihat! Langit aja ampe nangis lihat lo nangis. Banyak banget kan yang sayang sama lo. So, jangan sedih lagi!” bisik Rio tepat di telinga Ify.

Gadis itu keluar dari tubuh Julio. Mendongakkan kepalanya menatap langit. Meresapi setiap rintik yang menimpanya. Membiarkan air matanya tersapu dan terkamuflase sang hujan. Ia merasa agak lebih baik. Setidaknya detik ini dia bisa berhenti menangis. Ia menarik ujung-ujung bibirnya ke atas. Aroma hujan yang khas membantunya begitu banyak.

Rio benar. Dirinya tidak akan lupa bagaimana caranya tersenyum. Senelangsa apa pun nasibnya. Gadis itu menatap Rio yang juga kuyup sepertinya. Gurat wajahnya nampak tegas dengan hiasan bulir hujan yang bergelayut di sana. Kemudian menghambur kembali ke pelukan Rio. Ini pelukan terimakasih. Terimakasih untuk tidak pernah meminta pamrih apa pun dari Ify, meski telah begitu banyak kebaikan yang telah ia beri.

***

Efek hujan tadi ternyata tidak cukup baik untuk tubuh Ify yang mudah sekali terserang penyakit. Malam ini gadis itu demam tinggi. Menggigil kedinginan. Dua selimut tebal tidak cukup menghangatkannya.

Karena suhu tubuh Ify yang tidak kunjung normal, Mama dan Papa memutuskan untuk membawanya ke rumah sakit. Di luar masih hujan. Mereka menerobos derasnya hujan, membelah jalanan yang tergenang.

***

“Kita harus menyelesaikan semuanya malam ini juga,” ucap Gabriel. Dia baru saja dilemparkan pada akal sehatnya. Harusnya ia melakukan ini sejak lama. Tidak menunggu gadisnya sakit terlebih dahulu.

“Apa?” tanya Siva. Berpura-pura tidak tahu.

“Kita…” Gabriel menghela napas berat. “Aku cinta sama Ify. Hanya Ify,” ujar Gabriel dengan mantap.

Sivia menggeleng tidak percaya. Dia merasakan kedua matanya memanas. Kalimat itu adalah kalimat yang tidak mau ia dengar seumur hidupnya.

“Maaf! Kadang, plester aja ga cukup buat nyembuhin luka. Kamu tahu, Ify punya sesuatu yang lebih dari plester. Dia sempurna nyembuhin luka yang udah kamu buat di hati aku. Bahkan dia nawarin potongan hati yang baru. Yang utuh. Yang sempurna, tanpa lebam sedikit pun.”

Setetes air mata jatuh dan lancar meluncur membelah pipi pualam Sivia. Mengapa eksekusi ini berjalan lebih cepat dari yang ia kira? Gadis itu menggigit bibir. Entah harus melakukan apa.

Jujur saja. Gabriel kasihan melihat Sivia. Tidak pernah terbayangkan olehnya, bahwa ia akan membuat gadis plesternya menangis di hadapannya. Rasanya ia ingin memotong rantai air mata itu. Tapi ia cegah kuat-kuat tangannya untuk tidak bergerak. Sekarang bukan tugasnya lagi Pemuda itu akhirnya berjingkat dari kursinya. Pergi meninggalkan Sivia dalam runtuhan pesakitan. Ia tidak memedulikan apa pun. Termasuk derasnya hujan yang sejak sore membungkus kota. Ia menerjang sang hujan.

Satu masalah akhirnya terselesaikan, meski terhitung begitu terlambat. Gadisnya terlanjur jatuh. Terjatuh dalam palung kesedihan.

Sekitar sepuluh meter dari eksekusi itu terjadi, dari balik tembok, Cakka menyaksikan segalanya. Bahwa meski pahit, pada akhirnya itu harus tetap terjadi. Layaknya obat. Mungkin efeknya bisa menyembuhkan. Meski ia tak tahu akan bereaksi dalam jangka waktu berapa lama. Semoga saja Sivia bisa cukup lapang menerima .

***

Karena penyesalan selalu saja hadir tidak tepat waktu. Terlambat sudah Gabriel menjaga hati Ify untuk tidak tersakiti. Ia dengan segala kesadarannya menyayat hati gadis itu dengan begitu keji. Lebam di sana-sini. Lalu patah dan menjadi tak berarti.

Selama ini Gabriel selalu merapalkan pembenaran atas segala apa yang ia lakukan. Menjadikan otaknya tumpul dan tidak dapat lagi membedakan, mana cinta mana euphoria. Dia hanya mencintai Ify. Tidak ada gadis lain. Sedangkan Sivia hanya euphoria yang datang sejeenak lantas berlalu dalam sekejap. Dia hanya wujud atas segala rindu yang toh kini sudah menguap di langit-langit masa lalu. Tidak dapat kembali menjadi tetesan rasa yang dulu selalu menggenangi hatinya.

Malam ini, diiringi orkestra rintikan hujan, Gabriel menyesali segalanya. Pemuda itu menangis. Karena dalam penyesalannya, ia tak tahu harus berbuat apa selain menangis. Bahkan untuk meminta sepucuk maaf pun, ia merasa tidak pantas.

Hingga malam itu berakhir, pemuda itu masih saja menangis. Kini tanpa air mata. Namun dengar! Hatinya menangis jauh lebih kencang. Sungguh menyedihkan.

***

Ify benci rumah sakit. Harusnya tidak ada yang namanya rumah sakit di muka bumi ini. Itu adalah bentuk diksriminasi bagi orang sakit. Harusnya rumah sakit diganti dengan rumah sehat. Supaya orang-orang yang sakit menjadi sehat.

Sialnya, sejak kecil Ify harus selalu berhubungan dengan rumah sakit. Tubuhnya yang mungil sangat rentan terkena penyakit. Bahkan hanya karena guyuran air hujan. Ify tahu penyebab ia tumbang kali ini. Bukan hanya karena hujan. Tapi juga karena kondisi hatinya yang patah. Ingin rasanya ia meminta pada dokter untuk memeriksa hatinya. Bagaimana keadaannya sekarang? Hanya lebam atau seperti yang ia katakan? Patah? Seperti itu? Gadis itu mendesah berat. Tidak menyangka bahwa ia bisa sebegitu cintanya pada Gabriel. Bahkan ia mencintai pemuda itu bukan hanya dengan hatinya, tapi juga sepenuh jiwanya.

Lamunan Ify akhirnya buyar ketika seseorang tiba-tiba memasuki kamar di mana ia dirawat. Mama. Wanita itu tadi pagi izin untuk pulang sebentar. Mengambil beberapa barang. Tadi Ify sempat meminta Mama untuk membawakannya sebuah kotak di kamarnya. Kini, lihatlah! Mama begitu kerepotan membawa barang-barang itu. Dengan napas tersengal, wanita itu menaruh semuanya di meja kecil di sana.

“Ify sudah lebih baik?” tanya Mama.

Ify mengangguk. “Ma, pesanan Ify mana?”

“Ini!” Mama mengangkat sebuah kotak, lantas memberikannya pada Ify.

“Mama ketemu dokter dulu ya! Muahh!” mengecup kening Ify, lalu kembali meninggalkan ruangan itu. Membuat Ify kembali sendiri. Tidak. Kali ini ia ditemani kotak pusakanya.

Ify menghela napas berat. Menyusuri setiap sudut kotak. Lalu patah-patah mulai membukanya. Beberapa detik kemudian, bayangan benda-benda kesayangannya pun jatuh di retinanya. Gadis itu mengeluarkannya satu persatu. Sebuah boneka dinosaurus berbalut kaus merah muda. Mahluk tak bersuara yang selalu menemani malamnya. Mengantarkannya menggapai mimpi tiap kali terlelap. Tempat ia menumpahkan segala curahan hatinya. Ify menyentuh pipi Dino dengan lembut dan penuh kasih sayang. Dengan tatapan nanar, gadis itu berucap setengah berbisik. “Dino, sebentar lagi kita berpisah. Aku ga mau itu terjadi. Tapi aku ga berhak lagi atas kamu. Dari awal, kamu emang seharusnya bukan dengan aku.”

Gadis itu menggigit bibir. Sekelebat bayangan Gabriel meracaukan otaknya. Membuat hatinya semakin sakit, dadanya semakin sesak.

“Aku sayang kamu, Dino!” ucap Ify dengan terbata-bata, lalu membawa Dino ke dalam pelukannya. Menciumi wajah Dino yang baginya selalu terlihat manis dan menggemaskan.

Setelah Dino, Ify kini beralih pada sebuah buku jumbo yang pernah ia khatamkan dulu. Buku yang membuatnya jatuh cinta pada hewan menyeramkan yang kini telah punah. Dinosaurus. Yang juga memberinya pemahaman bahwa tidak ada yang perlu ditakutkan dalam hidup ini. Tapi sekarang Ify mencoba menyangkalnya. Ia takut. Takut menerima kenyataan bahwa ia akan berpisah dengan semua yang berbau dinosaurus yang dulu begitu akrab dengannya. Tanpa sadar, gadis itu menitikan air mata. Setelah sekian lama ia berusaha menahannya.

Benda ketiga yang Ify keluarkan dari kotak adalah sebuah kalung cantik yang berkilau terkena sinar matahari yang menembus kaca jendela. Kalung ini. Meski telah tinggal bersamanya dalam waktu yang cukup lama, meski pernah dikenakannya beberapa waktu, tapi sesungguhnya tidak pernah menjadi miliknya. Gadis itu kemudian mencelos. Mengingat bahwa Gabriel pun seperti itu statusnya. Meski telah melewati berbagai hal bersamanya, meski telah mengucap kata cinta padanya, tapi sebenarnya pemuda itu pun tak pernah dimilikinya. Setidaknya hatinya.

Gadis itu mendesah kentara, lantas meletakkan kembali kalung itu ke dalam kotak.

Benda terakhir yang belum dijamahnya adalah sebuah kacamata yang sudah dibebat oleh plester dinosaurus. Kacamata itu memang miliknya. Mutlak miliknya. Tapi perekatnya bukan. Perlahan Ify melepas plester itu dari batang kacamatanya. Kacamatanya kembali terbagi menjadi dua.

Gadis itu memegangi dadanya yang semakin sesak. Kacamata itu mungkin replika dari hatinya yang kini juga patah. Meski ia tak tahu entah menjadi berapa bagian.

Plester itu pun Ify kembalikan ke dalam kotak.

Lalu tak sengaja, mata Ify tertumbuk pada apa yang melingkar di pergelangan tangan kanannya. Gadis itu tertegun sejenak. Haruskah gelang itu juga ia lepas dan ia masukkan ke dalam kotak? Gelang yang sejak pertama dipasangkan tidak pernah lagi ia lepas untuk alasan apa pun. Dan apakah kali ini alasannya cukup kuat? ify mengingat percakapannya dengan Mama tadi pagi.

***

“Mama pernah patah hati?” celetukan Ify tiba-tiba mengejutkan Mama yang tengah membuatkan segelas susu untuk anak sematawayangnya itu.

Mama masih melanjutkan prosedur pembuatan susu. Belum mau menjawab.

“Apa Mama pernah patah hati oleh Papa? Apa Mama akan menerima kembali Papa kalau Papa membuat Mama patah hati? Atau Mama akan menyembuhkan hati Mama sendiri tanpa Papa?” pertanyaan-pertanyaan itu Ify ucapkan dalam satu helaan napas. Membuat Mama tidak bisa berpura-pura tuli. Ia tahu apa yang tengah terjadi dengan putrinya itu. Tapi selama ini ia membutakan penglihatannya demi alasan tidak mau ikut campur. Mungkin sudah saatnya Mama terjun langsung untuk menyelamatkan putrinya.

Mama tersenyum menyeringai, menyerahkan segelas susu yang sudah dibuatnya pada Ify. Gadis itu menggeleng. Tidak mau minum susu sebelum Mama menjawab semua pertanyaan Ify.

Lagi-lagi Mama tersenyum. “Papa tidak pernah membuat hati Mama patah. Sesekali, Papa mungkin menyakiti hati Mama. Tapi tidak pernah sampai patah. Hanya lebam sedikit, kemudian Papa sembuhkan lagi.”

Ify hendak menyela ucapan Mama. Namun terlambat sepersekian detik oleh Leni yang melanjutkan perkataannya. “Tapi dulu, seorang lelaki pernah mematahkan hati Mama. Ketika itu kami berpacaran. Namun tiba-tiba, dia meninggalkan Mama dan menikah dengan perempuan lain. Bisa dibayangkan seperti apa hati Mama saat itu?” Mama bertanya retoris.

“Tapi pernikahan itu tidak berlangsung lama. Mereka kemudian berpisah. Lelaki itu kembali dan meminta hati Mama lagi. Hati yang sudah dan masih patah itu. Dengan tegas Mama menolaknya. Meskipun waktu itu jujur Mama masih sangat mencintainya.”

“Kenapa?” tanya Ify.

“Karena cinta adalah kehormatan. Bukan melulu tentang perasaan. Dan bagi Mama, hati yang patah tidah bisa direkatkan kembali. Jalan satu-satunya ya diganti. Dan meskipun butuh waktu yang lama, Mama akhirnya menemukan kepingan hati yang baru. Yang dikasih Papa kamu.”

Ify menatap takjub pada Mama. Begitu arif dan bijaksana dalam ketegasannya. Harusnya Ify pun seperti itu. Tidak lagi dilema. Tidak lagi mengabaikan kehormatannya. Lihatlah Mama kini! Telah berbahagia dengan kepingan hatinya yang baru. Hati yang patah dulu telah disemayamkan. Ditinggalkan hanya untuk menjadi kenangan yang tak pernah lagi dikenang.

“Ayo sekarang minum susu dulu!” ujar Mama. Membuyarkan lamunan Ify. Gadis itu terkekeh. Lalu menuruti titah sang mama.

***

Ify terkesiap. Menyangkal hatinya yang kembali meragu. Tidak boleh. Tidak ada lagi kebimbangan yang dipersilakan Ify untuk menguasainya. Ia sudah memantapkan diri. Biarkan hatinya patah. Tak akan ia apa-apakan lagi.

Ify kini melepaskan gelangnya. Memasukannya ke dalam kotak untuk tinggal bersama benda-benda yang sebentar lagi akan ia serahkan kepada seseorang yang berhak. Lalu menutup rapat kotak itu. Ify kemudian meraih ponselnya. Mengetik sebuah pesan yang hanya terdiri dari satu kalimat. Pendek pula. Lalu ia kirim ke salah satu kontak di ponselnya.

***

0 Komentar :

Posting Komentar

Komentari