Lebih Dari Plester part 18 & Epilog

Minggu, 26 Februari 2017

Lebih Dari Plester part 18 & Epilog


Karena Gabriel sudah pernah merasakan ini dulu. Maka ia bisa membandingkan. Sialnya kali ini entah mengapa jauh lebih sakit. Mungkin karena ia sendiri yang terlebih dahulu menyakiti.

Karma? Ini bukan karma. Ia tidak percaya pada karma. Tapi ini memang resiko yang harus diterimanya. Berani menyakiti berati harus siap tersakiti pula. Ia masih tidak mengerti mengapa ia mengambil jalan ini. Setan mana yang telah merasukinya? Ia sama sekali tidak tahu. Yang jelas setelah peristiwa di dufan itu ia tidak pernah bisa tenang walau hanya sekedar menghela napas. Kalimat yang diucapkan Ify tempo lalu terngiang terus di benaknya.

“Hati Ify sudah patah.”

“…Patah.”

“…Patah.”

“Arghttttt!” Gabriel mengacak rambutnya sendiri. Begitu kacau. Pemuda itu tidak tahu bagaimana akan ia rekatkan kembali hati Ify. Akankah semudah ia memperbaiki kacamata Ify? Hanya dengan plester dinosaurus? Tidak mungkin. Gabriel merasa putus asa.

Di tengah kesendiriannya, Gabriel terus saja menyesali apa yang telah ia perbuat. Mengapa waktu itu ia tidak mengingat betapa Ify membangun semuanya dari titik nol? Betapa kerasnya Ify mendobrak benteng itu. Hingga akhirnya ia berhasil. Gadis itu bukan hanya menyentuh hatinya, tapi juga menciumnya. Tepat di intinya. Dan bagaimana Gabriel bisa lupa bahwa Ify melambungkan harap yang begitu tinggi padanya. Meskipun isinya teramat sederhana. Hanya ingin menjadi ‘mata’. Dan sekarang, bagaimana nasib Ify? Siapa yang akan menjadi matanya kalau bukan dirinya?

Gabriel tidak bisa tinggal diam sekarang. Sudah waktunya ia berlari. Mengejar dan meraih apa yang diinginkannya. Bukan hanya diam dan membusuk bersama segala penyesalan. Pemuda itu menyambar kunci mobilnya. Bergegas.

***

Cakka sesungguhnya kasihan melihat Sivia bersedih. Gadis itu selalu didapati tengah menangis dan nanar menatap langit dari balkon kamarnya. Tapi dia bisa apa? Toh ini kan yang dipilih Sivia?

Cakka tak bisa menyalahkan siapa pun atas semua ini. Tidak ada yang salah. Pun dengan keadaan. Semua resiko ini sudah diprediksi dari awal keputusan itu diambil. Jadi, yang terjadi, biarkanlah! Toh semua sudah terlewati. Sekarang, lanjutkanlah hidup masing-masing. Tidak usah ada yang disesali. Perbaiki diri saja.

Pemuda itu mendesah berat. Sebenarnya enggan melakukan ini. Tapi apa boleh buat. Sepertinya ini penting.

Cakka kemudian menghampiri Sivia. Menyentuh bahu gadis itu.

“ify ingin ketemu kamu. Dia di rumah sakit sekarang.”

Sivia terkesiap. Menatap Cakka tak percaya. Jani? Ingin bertemu dengannya? Untuk apa? Untuk memproklamirkan kemenangan telak atas dirinya? Seperti itu? Dan mengapa gadis –yang menurutnya sok- polos itu di rumah sakit? Pura-pura sakit agar dikasihani Gabriel? Supaya pemuda itu lebih memilihnya? Licik!

Berbagai macam celaan Sivia muntahkan dalam hati. Sumpah serapah diucapkannya. Gadis itu mendengus kesal. Lantas meminta Cakka untuk mengantarnya ke rumah sakit. Gadis itu akan membuat pehitungan dan memberi Ify pelajaran.

***

“Lo ga asyik banget sih, Fy! Masak pas libur sakit. Jadi kan gue sekarang liburannya di rumah sakit. Tadinya mau ngajakin lo ke Surabaya tahuuuu!” Oik mengulum bibirnya.

“Aduhh maaf deh! Tapi kan dengan Oik liburan di rumah sakit, Kara bisa ketemu sama dokter-dokter ganteng. Kali aja bisa jadi pacar. Jangan jomblo terussss.” Ify jahil menggoda Oik.

“Ify mahhhh!”

Suara ceklikan pintu mengakhiri perbincangan kecil antara Ify dan Oik. Keduanya terfokus pada pintu. Menanti siapa yang akan memasuki ruangan itu. Sosok Sivia diikuti Cakka di belakangnya menyembul dari balik pintu. Sontak membuat Oik membelalak.

Ify hanya menyunggingkan senyum tipis. Sama sekali tidak terkejut. Kedatangan Sivia justru begitu dinantinya.

“Ngapain lo ke sini?”

Pertanyaan Oik itu cepat dijawab oleh Ify. "Ify yang minta. oik sama Cakka boleh keluar dulu? Ify mau bicara berdua sama Sivia.”

Oik melirik Ify. Memastikan bahwa Ify akan baik-baik saja.

Ify mengangguk. Ia tidak akan kenapa-napa. Kan dia bukan ditinggal di kandang harimau.

Maka Oik disusul Cakka pun keluar dari ruangan itu. Menyisakan ify, Sivia, dan suara tetesan cairan infus.

“Makasih ya sudah mau datang!” ucap Ify tulus. Dijawab dengan putaran bola mata saja oleh Sivia. Muak sekali melihat wajah gadis perebut pemudanya itu.

“Ify juga mau minta maaf. Ify sama sekali tidak pernah bermaksud untuk merebut Gabriel dari Sivia. Sungguh Ify tidak tahu. Ketika Ify ke sini, Gabriel sedang sendiri. Mungkin dia kesepian. Jadi dia memilih bersama Ify…” Gadis itu menggigit bibirnya. Mengumpulkan kekuatan untuk mampu menyelesaikan apa yang ingin ia sampaikan.

“Tapi sekarang sudah ada Sivia di sini. Jadi wajar kalau Gabriel lebih memilih untuk bersama Sivia.”

Apa? Gabriel lebih memilih dirinya? Apa ify bercanda? Jelas-jelas Gabriel mencampakannya demi tetap bersama Ify. Dasar sok suci! Umpat Sivia dalam hati.

“Sekarang, Ify kembalikan Gabriel pada Sivia. Maaf Ify meminjam Gabriel tanpa izin. Maaf membuat Sivia sakit. Maaf! Maafkan Ify!”

Sivia dibuat Ify terhenyak. Apalagi ketika mendengar Ify mulai terisak. Dia tidak menyangka bahwa Ify akan melakukan ini. Ia pikir, Ify sama egoisnya dengan dirinya. Ingin tetap memiliki Gabriel. Tapi ternyata tidak. Gadis itu justru ikhlas merelakan Gabriel untuknya, meskipun pemuda itu telah terang-terangan menolaknya.

Ify lalu mengambil kotak yang telah disiapkannya. Kotak pusaka yang berisi benda-benda kesayangannya. Yang sayangnya kini justru harus berpindah tangan darinya. Gadis itu menyerahkannya pada Sivia.

“Ini. ify kembalikan juga benda-benda yang pernah Gabriel kasih untuk Ify. Ify juga tidak berhak atas semua benda ini. Hanya Sivia yang berhak.”

Sivia gemetar memegangi sang kotak pusaka.

“Benda-benda itu mungkin dititipkan Gabriel pada Ify untuk suatu saat Ify berikan pada Sivia. Dan inilah saatnya. Sekarang semuanya benar-benar milik Sivia. Seutuhnya. Tidak ada lagi yang Ify pinjam. Termasuk hati Gabriel.”

Pada akhirnya, entah karena apa, Sivia ikut menitikan air mata. Ia sungguh tidak pernah bisa membayangkan bagaimana rasanya menjadi Ify. Sivia tahu Ify hanya berpura-pura merelakan Gabriel untuknya. Sivia tahu ini tidak semudah kelihatannya. Tapi Ify berusaha keras menekan egonya. Ia mencoba melapangkan hatinya seluas mungkin. Karena tidak seperti dirinya yang justru selalu mengorek pembenaran atas kesalahan yang dilakukannya.

Sivia merasakan hatinya mencelos. Ternyata melihat musuh menyerah itu tidak membuatnya merasa menang. Justru menampar dirinya bahwa ia telah kalah telak. Karena di sini, pepatah mengalah bukan berarti kalah pun berlaku.

Dalam tangisnya yang menyedihkan, Ify mengucapkan banyak sekali doa. Semoga ia masih bisa bertahan walau dengan hatinya yang patah. Semoga dengan ini, tidak akan ada lagi luka. Semoga ia segera berhenti berpura-pura bahwa ia merelakan Gabriel pergi darinya. Semoga ia bisa melupakan Gabriel meski ia tahu itu tidak akan mudah. Dan banyak lagi semoga lain yang Jani bisikkan dalam hati.

***

Gabriel memukul setir mobilnya dengan keras. Sial! Mengapa tidak ada yang memberitahu dirinya bahwa Ify sedang sakit? Setidak pentingkah sekarang ia untuk Ify? Oke! Ia tahu ia sudah begitu menyakiti Ify. Tapi paling tidak, statusnya masih belum berubah. Ia tetap pacar Ify.

Pemuda itu kini menginjak gas kuat-kuat. Membelah jalanan menuju rumah sakit.

Tak butuh waktu lama, Gabriel kini sudah berdiri di depan ruangan di mana Ify dirawat. Beberapa menit setelah Sivia, Caka, dan Oik  pergi.

Ify kini sendiri di dalam ruangan itu. Menguras habis air matanya yang masih tersisa.

Ify tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya ketika melihat Gabriel masuk dan melangkah mendekatinya. Gadis itu terburu-buru memasang topengnya. Mengkamuflase rasa cinta yang tak bisa ia tampik masih tersisa di hatinya.

“Ify aku minta maaf. Aku tahu aku salah. Tapi aku… aku… aku cinta sama kamu,” ujar Gabriel seraya menggenggam tangan Ify. Nada bicaranya terdengar memilukan.

Tak dinyata, Ify kasar membebaskan tangannya. Ia memalingkan wajahnya. Tidak ingin melihat wajah Gabriel yang menggoda untuk ia sentuh. Tidak ingin luluh oleh dua bola mata coklat yang selama ini dikaguminya.

Tapi Gabriel belum mau menyerah. “Aku mau memperbaiki semuanya. Tolong!”

“Tapi yang patah hati Ify. Kalau sudah patah, mau diapakan lagi? Diperbaiki bagaimana pun tidak akan utuh. Dibalut oleh plester apa pun tidak akan sembuh. Patah, ya patah!” cicit Ify lebih memilukan.

Gabriel merasa dihantam sebuah martil raksasa. Sakit. Menghancurkan. Sebegitu jahatkahnya dirinya pada Ify? Sampai-sampai Ify tidak mau memberinya satu lagi kesempatan.

“Gabriel pergi saja. Ify tak apa tidak mempunyai mata. Karena sekarang Ify tahu, dengan apa Ify melihat. Dengan hati. Ya. Hati yang sudah Gabriel patahkan…” Gadis itu kembali menangis. Kali ini berkali lipat lebih memilukan.

“Jangan kembali lagi pada Ify! Ify bukan dunia Gabriel lagi.”

Dari sekian kalimat yang bagai belati untuk Gabriel, kalimat itulah yang paling mematikan. Kalimat eksekusi yang menjagal hatinya hingga bersimbah darah. Ia tak bisa apa-apa lagi. Kali ini ia terpaksa menyerah. Dan tentunya kalah.

Mereka sudah resmi berpisah. Tak bisa lagi dibantah. Gabriel pergi. Membawa hatinya yang kini juga sudah patah. Sama seperti Ify, ia tidak tahu bagaimana menyembuhkannya. Semua karena kebodohannya.

Berteman kesendirian, Ify merapalkan kata-kata motivasi yang tidak akan membuatnya menarik kembali semua keputusan yang telah diambilnya lima menit yang lalu. Dan agar tahu saja, Ify bukan tidak mau memberikan Gabriel satu kesempatan lagi. Ia hanya merasa tidak adil saja. Berkali-kali Gabriel mendapatkan kesempatan darinya, tapi selalu disia-siakan. Sementara ada seseorang yang tak pernah sekalipun mendapat sebuah kesempatan, tapi selalu menjadikan Ify satu-satunya pilihan.

Gadis itu melirik tangan kirinya. Sebuah karet gelang kumal melingkar di sana. Tanpa sadar gadis itu tersenyum. Walau ia tahu semua tidak akan mudah, tapi paling tidak ia mau berusaha. Ia tahu, pemuda itu pasti akan memberikannya kepingan hati yang baru yang akan menggantikan hatinya yang telah patah. Ia yakin, pemuda itu mempunyai sesuatu yang lebih dari plester.

Gadis itu melanjutkan hidupnya dengan terus berusaha. Bertemankan penyakit matanya, ia terus berjalan. Memenangkan kepingan hati baru yang sempurna.

***

Epilog

Harusnya, gadis yang tengah tertidur dalam dekapannya itu menari di bawah hujan. Bukan malah menangis dan berlomba dengan hujan untuk menjadi yang paling deras. Tapi toh, baik ketika menari ataupun menangis, ia tetap rela menemani gadis itu. Apa pun itu, momen bersama gadis itu terlalu berharga untuk tidak dinikmatinya.

Ia tahu dirinya bukan siapa-siapa untuk gadis itu. Namun ia tak mau mundur begitu saja. Gadis itu telah mengubah banyak hal dalam dirinya yang membuatnya lebih baik. Maka ia akan terus berjuang hingga akhirnya gadis itu berhasil ia dapatkan. Meski ia tak tahu kapan.

Ia menyentuh wajah gadis itu yang dirasanya begitu dingin. Andai tangannya adalah sebuah cairan, mungkin saat itu juga akan berhasil dibekukan. Ia tersenyum miring. Dalam keadaan sekacau ini pun, baginya gadis itu selalu terlihat cantik.

Ia merasa bahwa anak-anak rambut yang menempel di wajah sang gadis mengganggu kecantikannya. Ia memutuskan untuk mengambil sebuah karet gelang yang ada didalam saku celananya, lalu menggunakan karet itu untuk mengumpulkan rambut sang gadis dalam satu ikatan. Voila. Gadis itu semakin terlihat cantik.

*tamat*

***

Setelah bertahun-tahun, akhirnya aku punya keberanian untuk memposting ending dari tulisan ini, tulisan yang aku mulai sejak SMA. Gila! Laptopku aja udah ganti 3 kali. Hahahahhahaha.
Alasan aku baru ngepost sekarang adalah karena aku selalu merasa bahwa ini adalah ending yang (kayaknya) mengecewakan. Meskipun aku sangat puas, jujur. Hahaha.
Aku ga akan memaksa kalian untuk tidak kecewa. Silakan kecewa sepuasnya. Tapi yang jelas, aku mau mengucapkan terimakasih yang sudah menemani perjalanan Ify, Gabriel, Rio Kece, Sivia, Cakka, Oik, dan Dino. Terimakasih. Dan maaf sudah menunggu terlalu lama (itu pun kalau masih ada yang nunggu).

wehehehe. Love you all!

0 Komentar :

Posting Komentar

Komentari