Tidak Butuh Judul [18 & epilog]

Jumat, 17 Februari 2017

Tidak Butuh Judul [18 & epilog]


Setiap kehilangan akan digantikan. Tapi sebelum kehilangannya yang pertama mendapat ganti, ia rasakan kembali sebuah kehilangan untuk yang kedua kali. Sekarang Ify benar-benar merasa bahwa dirinya adalah orang paling menderita seluruh dunia.

Ify membanting kotak beledu pemberian Rio dengan kasar. Isi kotak beledu yang ternyata adalah sebuah buku sketsa itu melayang ke sudut ruangan. Gadis itu meringis. Miris sekali jadi Ify. Sekarang ia punya dua buku sketsa baru, tapi tak punya satu pun orang yang mencintainya. Di sela tangisnya, gadis itu tersenyum miring.

Ify memegangi kepalanya yang sakit. Mungkin batok kepalanya sebentar lagi akan meledak, dan sebelum itu terjadi, ia segera meminum aspirin. Kemudian ia lanjutkan agenda mengasihani diri sendiri di dalam kamarnya. Sebelum akhirnya jatuh tertidur, tangisannya tidak pernah mereda.

***

“Yo, kayaknya kita ga bisa deh balik kayak dulu lagi,” ujar Sivia santai seraya menikmati alunan musik berisik yang menggema menyesaki seisi club.

Rio hampir saja tersedak ketika mendengar ucapan Sivia. Eh maksudnya apa ya? Masak baru dua minggu bersama sudah putus lagi? Jangan main-main ya! “Maksud lo apa?”

“Ya gue rasa, kita udah ga cocok. Hubungan kita ga seasyik dulu. Bosan ah gue sama lo,” ujar Sivia tanpa perasaan bersalah.

Rio tidak terima. Ia menatap Sivia tajam, tapi yang ditatap justru malah menantangnya. Pemuda itu merutuk dalam hati. Harusnya sejak awal dia tidak memercayai perempuan ular di hadapannya. Harusnya ia hapal bahwa Sivia hanya ingin bermain-main dengan cinta. Harusnya tak ia kesampingkan sebuah fakta bahwa Sivia dengan mudahnya meninggalkan Deva kemudian datang padanya. Fakta itu harusnya membuat Rio tahu bahwa Sivia juga akan dengan mudah pergi lagi darinya.

“Ya udah kalau gitu! Pergi aja sana! Lo pikir gue peduli apa?” tanya Rio sarkatis kemudian pergi dari sana.

Yang sesungguhnya tidak peduli ternyata adalah Sivia. Karena sedetik setelah Rio pergi, ia sudah menemukan penggantinya yang baru. Seorang lelaki tampan berwajah oriental yang ia temui kemarin siang di kampus.

Sebaliknya, Rio justru sangat peduli, terlebih pada hatinya sendiri. Ia tak tahu mengapa dirinya bodoh sekali. Bisa-bisanya ia tertipu oleh Sivia. Pemuda itu memukul setir mobilnya dengan kasar.

Rio merasa semakin bodoh karena bayangan Ify tiba-tiba berkelebat melintasi benaknya. Pemuda itu berdecak! Ia sama sekali tidak punya ide lain selain menemui Ify. Gadis itu mungkin tidak akan mau bertemu dengannya. Sial sekali! Rio terkesiap. Tapi kan malam ini ia datang sebagai teman yang sedang patah hati. Yang hanya ingin didengarkan curahan hatinya, yang butuh teman berbagi. Ia datang dengan damai.

Karena ia sudah tahu, datang pada Ify dengan membawa segunung cinta pun takkan mampu membuat gadis itu berpaling dari Gabriel.

Karena Rio sudah malas jadi si bodoh, yang ketika memiliki masalah malah melarikan diri ke alkohol, lebih baik ia mendatangi Ify. Peduli amat perasaannya pada Ify akan membuncah lagi. Daripada ia minum sampai mabuk, kemudian menabrak trotoar lagi. Siapa yang bisa menjamin bahwa kali ini ia akan selamat? Ia tidak mau mati dalam keadaan bodoh.

***

Ketukan tak sabar pada pintu apartemennya membuat Ify terperanjat dan segera bangkit dari tempat tidurnya. Ia berjalan dengan langkah besar menuju pintu. Diraihnya kenop pintu kemudian ia tarik untuk kemudian menampilkan seorang laki-laki dengan wajah lusuh. Matanya yang berwarna merah menatapnya nanar. “Kak Rio,” cicit Ify pelan.

Rio menggeleng samar kemudian melompat memeluk Ify. Ia lilitkan kedua tangannya untuk merengkuh punggung itu. Di bahu gadis itu, ia menumpahkan tangis. Mencurahkan segala kesedihan yang menyesakkan hatinya.

Ify menahan napasnya untuk sekian detik untuk merasakan kehangatan dari setiap gestur tubuh Rio. Ia mengangkat kedua tangannya untuk kemudian ia simpan di punggung Rio. Perlahan, ia usapi punggung itu. Diam-diam ia menarik ujung-ujung bibirnya ke atas. Untuk kali pertama ia berada dalam dekapan Rio tanpa perasaan bersalah. Ia pejamkan kedua matanya.

“Fy...” ucap Rio seraya tersedu. “Sivia lagi-lagi ninggalin gue. Gue ga tahu salah gue apa, sampai dia tega ngelakuin ini semua sama gue. Rasanya sakiiitt banget!”

Sontak rintihan Rio itu membuat Ify membelalak. Eskpresinya berubah mengeras. Gadis itu mendorong tubuh Rio menjauh darinya. Dorongan terlalu keras yang membuat Rio terpelanting dan punggungnya menghantam pintu.

Rio mengurut punggungnya yang berdenyut sakit. Ia menatap Ify bingung. Apa yang salah dari seseorang yang sedang patah hati?

“Berhenti ngerasa jadi orang paling sakit! Berhenti berlaga jadi yang paling sengsara!” tukas Ify tajam.

Rio mengerenyit. Sama sekali tidak mengerti apa yang diucapkan gadis itu. “Maksud lo apa sih, Fy?”

Ify berdecak sebal. Ia menghentakkan kakinya ke lantai. Sampai kapan sih Rio akan mempermainkan hatinya? Gadis itu mengeluh tertahan. Ia menunduk dalam. Merasa tak mampu untuk menjelaskan ketidak jelasan perasaannya saat ini.

“Gue salah apa sih, Fy?” tanya Rio retoris. Sama sekali tidak menyadari bahwa kemarahan Ify saat ini berhubungan dengan apa yang tadi ia katakan, tentang Sivia. Mungkin ia tidak ingat bahwa Ify pernah memberikan tatapan kecewa ketika melihat ia tengah bersama Sivia.

“Kak Rio masih tanya salah Kak Rio apa? Sadar dong!” ucap Ify gemas. “Gabriel pergi ninggalin aku gara-gara Kak Rio! Karena apa yang udah Kak Rio lakuin sama aku waktu itu!”

Rio merasa hatinya mencelos ketika mengetahui bahwa Ify sudah tidak lagi bersama Gabriel. Namun ia tidak bisa memungkiri bahwa separuh hatinya yang lain bahagia menyambut kabar itu.

“Bertahun-tahun aku sama Gabriel, tapi kurang dari sebulan untuk dia pergi ninggalin aku cuma karena dia kira Kak Rio cinta sama aku. Dia salah!” Ify menahan dirinya untuk tidak menangis. Bibirnya bergetar saat melanjutkan ucapannya. “Kak Rio ga pernah cinta sama aku. Yang ada di hati Kak Rio cuma Kak Sivia!” tandasnya. Ia kemudian bergerak mundur dan menjatuhkan tubuhnya ke atas sofa. Di sana ia tak lagi bisa menahan air matanya. Ia pun menangis. Untuk semua kenyataan pahit yang harus ditelannya.

Yang dilihat Ify selama ini mungkin Rio yang hadir sebagai temannya, seperti apa yang pernah Ify katakan. Ia mungkin tidak pernah melihat segala bentuk perhatian yang Rio berikan. Yang Ify tahu selama ini mungkin adalah Rio selalu patah hati karena Sivia. Ia mungkin tidak pernah mengetahui bahwa hatinya bukan hanya patah, tapi hancur saat melihat Ify bersama Gabriel. Ify mungkin tidak merasakan apa pun di setiap momen mereka bersama, namun Rio merasakan cinta itu terlalu nyata ada di hatinya.

Rio berjalan tersaruk mendekati Ify. Ia kemudian berlutut di hadapan gadis itu. Diambilnya kedua tangan Ify yang lembut yang kemudian ia genggam erat.

“Gabriel ga salah, Fy!” gumam Rio pelan. Terlalu pelan hingga Ify tak bisa mendengar apa pun. Ia mengangkat genggamannya untuk kemudian ia cium apa yang ia bawa.

Ify melihat dan merasakan Rio mencium punggung tangannya. Gadis itu meringis kemudian terkesiap. Segera ia tarik tangannya.

“Aku ngerasa bodoh banget! Aku udah punya Gabriel yang luar biasa baik dan dia cinta sama aku. Tapi aku bikin dia pergi. Pernah aku coba percaya kalau Kak Rio emang beneran cinta sama aku. Tapi kemudian aku lihat Kak Rio sama Kak Sivia. Dan sekarang Kak Rio datang ke aku karena Kak Sivia. Lagi-lagi aku dibodohi sama cinta.”

Rio mengubah posisinya hingga membungkuk. Ia rengkuh tubuh Ify masuk tenggelam dalam dadanya. Disana, ia bisikan kalimat yang dari dulu sudah membayangi otaknya. Alasan mengapa ia ada disana.

“Gue cinta sama lo, Fy!”

Ify telah belajar untuk tidak mudah percaya pada apa yang dikatakan orang lain padanya. Bahkan Gabriel saja yang baginya adalah malaikat tega menghianatinya. Gadis itu menggeleng. Meronta meminta Rio membebaskan dirinya.

“Jangan bilang gitu! Gabriel juga bilang kalau dia cinta sama aku, tapi dia tetap ninggalin aku!” gadis itu sesenggukan, memukuli dada Rio kuat-kuat.

Tenaga Ify tak cukup kuat untuk membuat Rio melepaskan pelukannya. Pemuda itu masih bertahan. Berusaha untuk membuat Ify percaya bahwa sekarang dan jauh sebelum detik ini, telah ia tambatkan hatinya hanya untuk Ify.

“Gue ga percaya sama yang namanya cinta. Gue merasa gue bisa dapatin semua cewek. Sampai akhirnya gue ketemu Sivia. Gue pikir gue cinta sama dia karena saat dia pergi, rasanya sakit banget. Tapi semua itu ga ada apa-apanya ketika gue ketemu sama lo. Karena lo, gue belajar bagaimana mencintai. Untuk lo, gue berusaha memercayai cinta. Tapi tiba-tiba Gabriel datang. Gue ngerasa bego banget tahu ga! Gue ga tahu lagi harus ngapain. Terus Sivia datang saat gue yakin gue ga akan pernah bisa milikin lo. Gue percaya sama satu-satunya orang yang harusnya ga gue percayai. Bego banget, kan?” tenggorokkan Rio tercekat. Ia menarik napas panjang kemudian mengurai pelukannya. Pemuda itu kembali berlutut, lalu menatap mata Ify dalam-dalam, lembut.

“Tapi kalau semuanya ga terjadi, gue ga mungkin ada disini. Kita sama, Fy! Sama-sama udah dibegoin sama cinta. Tapi untuk lo, gue ga pa-pa jadi orang bego. Sama lo, gue mau bego terus,” tandasnya dengan suara bergetar. Kedua matanya basah.

Ify terkesima dengan apa yang baru saja diucapkan Rio. Rio yang ia kenal selama ini adalah Rio yang pongah, yang tidak akan mungkin mau merendahkan dirinya untuk orang lain. Tapi di hadapan Ify kali ini adalah Rio yang berbeda, yang mau berlutut untuknya, yang hampir menangis karenanya.

“Gue emang ga sesempurna Gabriel, gue ga sebaik dia, gue ga bisa kayak dia. Tapi buat lo, gue usaha keras untuk mengeluarkan yang terbaik yang gue punya.” Rio menghela napas panjang. “Gue cinta sama lo, Lifyana Rossa. Mau lo bantah mati-matian pun, ga akan mengubah apa-apa. Hati gue udah ga bisa ke mana-mana lagi.”

Ucapan itu mungkin tanpa sadar sudah Ify tunggu sejak lama. Sejak malam bertabur gemintang di Puncak kala itu. Tanpa seorang pun tahu termasuk dirinya sendiri, ia terus menunggu. Dalam ruang paling gelap di hatinya tersimpan seutas harap yang tak pernah berani ia ungkap. Kini, ia pun telah menyadari bahwa telah lama hatinya berpaling.

“Aku cinta sama Gabriel, setengah mati,” tukas Ify.

Rio merasa hatinya mencelos saat itu juga. Pelatuk itu telah ditariknya. Dan seberapa pun menyedihkannya ia meminta, panah itu tidak pernah tertuju padanya. Ia menunduk dalam. Menyembunyikan tangis disana.

Ify menyeka air mata di pipinya. “Setengahnya lagi aku hidup. Setengah hidup ini aku mau kasih ke Kak Rio, supaya Kak Rio tahu kalau sampai Kak Rio pergi juga, aku udah ga punya lagi hidup.”

Seketika Rio terkesiap. Ia mendongakkan kepala. Meminta penjelasan Ify.

“Aku cinta sama Kak Rio. Bahkan untuk mencintai Kak Rio, aku pertaruhkan setengah hidup yang masih aku punya,” Ify berdecak samar kemudian menjatuhkan tubuhnya ke dalam pelukan Rio. Ia dekap erat hidupnya kini, yang takkan sanggup untuk ia kehilangan nanti.

Rio tersenyum di sela tangis haru. Karena sudah begitu lama ia tidak pernah sebahagia ini. Kebahagiaan ketika seseorang yang ia cintai memercayakan hidup padanya. “Lo akan hidup selamanya, Fy! Sumpah!”

Ify menarik tubuhnya. Ia kemudian duduk bersila. Menatap langit-langit apartemennya. Ia tersenyum. Mengingat segala yang pernah terjadi. Mengingat perjalanannya untuk sampai pada titik ini, berpindah dari satu hati ke hati yang lain. Sebuah perjalanan yang tidak pernah ia rencanakan namun tidak akan pula ia sesalkan. Semuanya terlalu indah.

“Perempuan bodoh, dan laki-laki bego. Kalau kisah kita dijadiin novel, kira-kira judul yang tepat apa ya, Kak?” tanya Ify retoris.

Rio terkekeh pelan. “Kisah kita ga butuh judul, Fy. Cinta ga pernah butuh apa-apa, selain lo dan gue.”

Ify menoleh ke arah Rio. Sekali lagi ia menghambur ke dalam pelukan pemuda itu, yang sudah jadi miliknya, yang sudah jadi hidupnya.

Malam itu, di apartemennya yang luas, Ify tahu bahwa tidak pernah ada kata yang mampu menjuduli kisahnya bersama Rio. Tidak akan pernah ada waktu yang tepat untuk menamatkan kisahnya.

Malam itu, dengan Ify dalam pelukannya, Rio belajar banyak. Bahwa cinta tidak butuh judul karena cinta adalah judul itu sendiri. Bahwa cinta hanya butuh ada dan selamanya ia akan tetap ada.

**

Epilog

Sepotong roti berlumur selai nanas menjadi menu wajibnya setiap pagi. Lelaki itu tak habis pikir mengapa bisa selai nanas yang dulu tidak pernah berani ia coba karena baunya itu menjadi selai favoritnya kini. Semuanya karena kejadian tiga tahun silam saat dirinya tidak sengaja memakan roti yang ternyata bukan miliknya. Bekal makannya tertukar dengan orang lain. Roti berisi selai nanas itu pun kemudian menjadi awal perkenalannya dengan seorang wanita keturunan Jawa-Paris yang ia temui di taman. Perempuan yang kini membuatkan roti selai nanas untuknya setiap pagi.

Selagi lelaki itu menyantap roti selai nanasnya, di sampingnya seorang bayi laki-laki berusia satu tahun tengah heboh di kursi makannya. Kedua tangannya menggenggam wortel rebus. Bergantian ia masukkan ke dalam mulutnya yang mungil.

Lelaki dengan roti selai nanas itu menoleh ke arah sang bayi. Ia terkikik pelan melihat sang bayi semangat memakan wortelnya. “Owen makan yang banyak ya! Biar cepat gede dan nanti bisa main bola sama Papa.”

“Owen makan yang banyak, tapi jangan cepat gede ah kalau cuma buat main bola. Nanti Mama dicuekin,” ujar seorang wanita.

Lelaki itu tertawa menyeringai. “Kamu nih, masih aja cemburu sama bola.”

Wanita itu tersenyum. Kemudian menyerahkan sebuah undangan berwarna emas pada lelaki itu. Lelaki itu segera membaca undangan tersebut. Ia tersenyum. Undangan pernikahan. Dua nama yang dikenalnya tertulis di sana. Akhirnya.

*Selesai*

GUYS! FINALLY! Dua tahun (atau lebih) aku tulis cerita ini. Cerita yang endingnya aku tulis duluan! Wk. Sebulan kemaren adalah sebulan terberat karena aku sakit dan skripsiku stuck. Saat itu, entah kenapa tiba-tiba aku jadi semangat banget buat menyelesaikan cerita ini. Ya, dan skripsi sama sekali tak ku sentuh._.
Terimakasih untuk semua yang sudah, sempat, atau berniat baca cerita yang karena aku pusing judulnya apa, ya udah aku kasih judul Tidak Butuh Judul aja._. Yang ngikutin dari aku post di facebook, blog, hingga wahana bermain yang baru aku coba ini, wattpad. Meskipun jumlahnya ga banyak, aku sangat senang bisa membagi dongeng-dongeng aku sama kalian. Terimakasih untuk selalu percaya pada tulisan aku.
Dan maafkan kalau tanpa aba-aba, cerita ini selesai. Dari awal, emang cuma sampai situ ceritanya. Kalau dilanjut, aku bakalan butuh judul dan itu memusingkan (ga jago kasih judul aku :()
Di bagian terakhir ini, aku mau meminta sesuatu sama siapa pun yang baca untuk memberikan aku komentar, unek-unek, dan kritiknya. Hinaan dan cacian juga boleh.
Sekali lagi, terimakasih dan banyak cinta dari Snap, juru dongeng dari Neverland.

0 Komentar :

Posting Komentar

Komentari