Tidak Butuh Judul [17]

Kamis, 16 Februari 2017

Tidak Butuh Judul [17]


Gabriel tidak pernah tahan mendiamkan Ify lama-lama. Tapi kesalahan gadisnya itu tidak bisa ia terima. Bertahun-tahun bersama, masih kurangkah pembuktiannya bahwa ia tidak pernah main-main dengan hubungan itu?  

Ketika Gabriel menyatakan cinta pada Ify, tidak pernah ada niat dalam benaknya untuk menjalin sebuah hubungan ‘jalani saja dulu’. Karena telah jelas sekali ia melihat gambaran masa depan ia temukan dalam sosok Ify. Meskipun ia masih SMA kala itu, ia bisa melihat bahwa di masa yang akan datang, Ify yang akan berjalan bersamanya mencapai sesuatu bernama pernikahan.

 Pernikahan masih jauh sekali untuk digapainya, namun Ify telah terlebih dahulu berpaling darinya. Telah ia temukan lelaki lain yang mungkin jauh lebih baik darinya. Karena meskipun dalam banyak hal ia berada di atas lelaki itu, untuk sebuah kehadiran ia jauh tertinggal. Gabriel tidak pernah ada di samping Ify. Menemani gadis itu melewati banyak hal, susah atau senang. Jadi mungkin bukan salah Ify jika ia memilih bersama lelaki itu.  

Gabriel melirik sebuah bungkusan yang tergeletak di kursi belakang mobilnya. Bungkusan itu berisi buku sketsa baru yang rencananya akan ia berikan pada Ify. Ia beli setelah mengantar Ify pulang sehabis belanja satu hari sebelum pesta ulang tahun Sivia. Kala itu hubungannya dan Ify masih baik-baik saja. Esoknya, semua berubah. Dan kini hubungannya dengan Ify semakin parah.  

“Fy, anggap aja ini ancaman ya! Kamu awas ya kalau sampai selingkuh. Nanti aku bakalan...”

 “Kamu bakalan apa? Marah sama aku?”

 “Aku ga akan marah sama kamu. Cuma aku ga akan segan ninggalin kamu. Aku tuh ga akan pernah bisa diselingkuhin.”  

Percakapan antara dirinya dan Ify di masa lalu tiba-tiba terlintas di benaknya. Sampai sekarang isi percakapan itu belum berubah. Perselingkuhan adalah sesuatu yang tidak bisa diterimanya.

 Seminggu adalah waktu yang cukup untuknya berpikir akan kelanjutan hubungannya dengan Ify. Seminggu yang telah menghasilkan sebuah keputusan yang sedari dulu tak pernah terlintas dalam benaknya.

 Cintanya untuk Ify begitu besar seperti matahari. Dan Gabriel harus ingat bahwa matahari adalah bola api raksasa yang suatu saat bisa membunuhnya.

Cintanya untuk Ify banyak sekali seperti bintang. Tapi cahaya lampu jalan membuat sinar sang bintang tak lagi kelihatan.

 Malam itu Gabriel katakan pada Ify bahwa mungkin itulah pertemuan mereka yang terakhir. Sekarang ia meralat ucapan itu. Ia harus bertemu Ify, mungkin untuk satu kali lagi.

***  

Tadi sore Gabriel meneleponnya. Tapi tidak ada sapaan hangat seperti biasanya. Ify mengeluh dalam hati. Haruskah ia mulai membiasakan diri? Pemuda itu hanya bilang bahwa ia ingin bertemu.

 Ify belum siap dengan kemungkinan terburuk yang akan diterimanya malam ini. Tapi ia pun tak bisa lagi bersembunyi.

Seraya merapal doa, ia hampiri Gabriel yang sudah menunggunya di sana. Pemuda itu menjadi satu-satunya penghuni balkon, ketika semua orang memilih untuk berada di ruang utama cafe karena kebetulan malam itu seorang penyanyi ibukota yang tengah berada di puncak popularitasnya datang ke sana. Semua orang tidak ingin melewatkan penampilannya. Gabriel duduk sendiri tanpa antusias. Bahkan kalau malam itu yang datang adalah Lea Salonga, penyanyi favoritnya, ia akan tetap berada di tempatnya. Detik ini tidak ada yang lebih penting selain dirinya dan Ify.

 Ify hadir di hadapan Gabriel. Pemuda itu berdiri, menyambut. Ia tarik sebuah kursi, mempersilakan Ify duduk.

 Tidak ada pelukan hangat, senyuman lebar, bahkan ucapan selama datang. Sebuah firasat buruk menghantui benak Ify.  

“Apa kabar?” tanya Gabriel dengan ekspresi datar.

 Ify menghela napas panjang. “Ga sebaik dulu, Gab!”

 “Kamu mau pesan makan atau minum dulu?”  

Ify menggeleng. Ia sama sekali tidak berselera

 Gabriel berdeham pelan kemudian menggeser sebuah bungkusan yang ada di atas meja ke dekat Ify.

“Janji aku yang terakhir sama kamu. Jangan sampai masuk ke tong sampah lagi ya! Buku ini bukan sampah. Cukup aku aja yang ngerasa jadi sampah.”  

Ucapan Gabriel itu seketika membuat Ify mencelos. Ia membuat lelaki terhebat yang pernah dikenalnya merasa tak berharga layaknya sampah. Gadis itu mengeluh tertahan.  

“Pertama kali aku bilang kalau aku cinta sama kamu, waktu itu aku yakin banget bahwa kita akan selamanya bareng-bareng. Waktu aku pergi ke Paris, yang aku khawatirin cuma kamu. Kekhawatiran aku dulu sekarang kejadian, Fy!” Gabriel menelan ludahnya yang terasa sangat pahit.  

“Maaf ya, Fy! Aku pergi dan ga ada di samping kamu. Aku bikin kamu kesepian. Aku bikin kamu cari orang lain. Jujur aku sakit banget tahu semuanya. Tahu kalau yang kamu cinta bukan lagi cuma aku. Sekarang aku punya saingan.”

 Ify menggeleng samar.  

“Aku ga bisa saingan sama Rio, Fy! Dia udah menang. Dia bikin kamu jatuh cinta waktu kamu masih sama aku. Aku mau nyerah dan mundur. Bukannya aku ga mau berjuang buat kamu. Tapi kamu sendiri yang pilih untuk ga lagi berjuang sama aku. Kita kayaknya emang harus berhenti sampai sini,” ucap Gabriel. Lonceng itu telah dipukulnya. Menimbulkan bebunyian yang mampu menghancurkan hatinya. Gabriel tahu itu.  

“Aku mau ngomong boleh?” Ify mengusap matanya yang mulai basah. “Dulu waktu aku terima kamu jadi pacar aku, ga ada sedikit pun aku ragu. Aku cinta kamu dengan segala keyakinan aku. Waktu kamu pergi, aku ga pernah khawatir tentang apa pun karena aku percaya kita bisa lewatin semuanya. Terus aku ketemu sama Kak Rio. Semuanya terjadi tiba-tiba dan aku ga pernah tahu.” Ify tercekat. Sekarang ia berani jujur pada Gabriel karena menyembunyikan apa yang sudah bukan lagi rahasia adalah percuma.  

“Tapi kemudian aku sadar ga ada yang lebih baik selain kamu buat aku. Aku mau memperbaiki kesalahan aku. Aku minta satu kesempatan lagi dari kamu, Gab!” ujar Ify memohon.  

“Bertahun-tahun aku kasih kamu kesempatan untuk cuma mencintai aku. Apa yang udah kamu lakuin sama aku bikin aku kecewa. Kesempatan itu udah ga ada, Fy,” tukas Gabriel berat.  

“Kamu udah ga cinta lagi sama aku?” tanya Ify. Ia semakin sesenggukan.

 “Cinta aku banyak buat kamu. Yang habis dari aku adalah kesempatan, Fy. Maafin aku.”  

Ucapan terakhir Gabriel akhirnya menamparnya begitu telak bahwa sekeras apa pun ia berusaha, hubungannya dengan Gabriel tidak akan bisa diselamatkan. Semuanya sudah selesai dan berakhir. Sebuah kisah yang belum sempat ia beri judul itu pun terpaksa ditamatkannya.  

“Kamu jangan takut, Fy! Kamu ga akan sendiri. Kan ada Rio,” ucap Gabriel tulus. Ia mulai mengikhlaskan Ify untuk yang lain. “Rio cinta sama kamu.”  

Ify mencibir. Masa bodoh dengan Rio! Ia sama sekali tidak peduli. Si pengacau itu pasti senang telah memisahkan dirinya dari Gabriel.  

“Besok aku balik ke Paris. Lebih cepat beberapa hari dari rencana.”  

Ify menatap Gabriel nanar. “Kita bisa ketemu lagi ga ya?” tanyanya retoris.  

Gabriel bangkit dari kursinya kemudian memeluk Ify. Menyediakan tempat untuknya menangis. Ia dekap gadis itu erat. Dekapannya yang terakhir. Pemuda itu mengeluh. Ia menyadari bahwa melepas Ify adalah hal terberat yang pernah dilakukannya.  

“Kalau kita emang harus ketemu, kita bakalan ketemu, Fy. Ga tahu kapan dan di mana,” bisik Gabriel.  

Pelukan itu adalah pertanda bahwa Gabriel masih menyisakan banyak sekali cinta untuk Ify, yang berharap dapat ia jejalkan habis padanya detik itu juga. Pelukan itu adalah gerbang untuk sebuah kisah baru dalam hidupnya tanpa Ify.

 Sementara bagi Ify, pelukan itu serasa godam yang menghancurkan seluruh cakrawala yang ia bentangkan atas nama cinta. Cakrawala itu runtuh bersama dengan hatinya yang patah. Ia kemudian tahu, bahwa setelah pelukan ini berakhir, ia harus melangkah seorang diri tanpa Gabriel.

***

 Ify merasa sudah tak memiliki siapa-siapa lagi. Gabriel sudah bukan lagi kekasihnya, Rio takkan mungkin diharapkannya, dan Papa jauh di Jayapura sana. Ia tak tahu harus ke mana lagi sekarang.

 Kemudian ia teringat seseorang. Sahabatnya satu-satunya, Alvin. Gadis itu bergegas pergi ke tempat kost Alvin. Hendak mengadu.  

Alvin langsung disergap Ify pada detik pertama ia membuka pintu. Gadis itu datang dalam keadaan menangis. Tangisannya kian kencang di bahu Alvin.  

Alvin tahu apa yang sudah terjadi. Sejak lama ia sudah bisa memprediksi. Kedekatan Ify dengan Rio memang tidak wajar. Jadi, ia tidak bisa menyalahkan Gabriel atas keputusannya. Hal itu mungkin pantas untuk Ify.

Tapi sebagai sahabat yang baik, ia tidak akan mungkin mengatakan hal sekejam itu pada sahabatnya yang tengah patah hati. Bisa-bisa Ify mengamuk atau lebih parah lagi memutuskan untuk bunuh diri.  

Masih dengan derai tangis, Ify masuk ke dalam kamar kost Alvin. Gadis itu kemudian menjatuhkan dirinya di lantai, duduk memeluk lutut.

 “Kamu pernah bilang kalau Gabriel serupa organ buat kamu, di mana tanpa dia kamu ga bisa hidup. Ify, kamu masih bisa hidup tahu. Kamu kan bisa cari donor,” ujar Alvin. Pemuda itu duduk bersila di hadapan Ify.

 Ify menatap Alvin penuh tanya. “Maksud kamu apa?”

 “Putus sama Gabriel bukan akhir dari segalanya, kan?”

 “Dia tahu aku cinta sama dia dan aku ga mau kehilangan dia, Vin! Tapi dia tetap pergi ninggalin aku!” ujar Ify terisak.  

“Ya udahlah!” ujar Alvin santai.  

“Kok ya udahlah?”

 “Ya, ya udah. Semuanya udah kejadian. Nikmatin aja!”

 “Ini sama sekali ga nikmat, Alvin!” ujar Ify gemas.

 “Ya udahlah!”

 “Kok ya udahlah lagi?” Ify mendesah frustasi. Sepertinya ia datang pada orang yang salah.

 “Kamu tuh butuh waktu sendiri, Fy! Supaya pikiran kamu lebih jernih, supaya kamu lebih tenang. Orang lagi patah hati emang susah dinasihatin. Mending sekarang kamu pulang karena ini udah malam dan aku ga mau diusir sama ibu kost karena ketahuan ada cewek di sini malam-malam.”

 Ify merengut. Sekarang Alvin malah mengusirnya? Sahabat macam apa coba?!!! Gadis itu berjingkat pergi dari sana.

 “Fy…”  

Ify menghentikan langkahnya tepat di ambang pintu ketika tiba-tiba Alvin memanggilnya. Gadis itu menoleh. Apa? Mau bilang ya udahlah lagi? Awas saja!

 “Setiap kehilangan pasti akan digantikan kok!” ucap Alvin.  

Ify mengangkat bahu. Ia tidak yakin Gabriel akan tergantikan. Gadis itu kemudian pergi.

***  

Meskipun tidak percaya dengan apa yang diucapkan Alvin, tapi sepanjang perjalanan pulang ucapan sahabatnya itu justru terus terngiang dalam otaknya. Setiap kehilangan pasti akan digantikan. Mungkinkah Rio yang akan menjadi pengganti Gabriel? Nama itu tiba-tiba muncul di langit-langit pikirannya.  

Ify menatap ke luar jendela dengan nanar. Melihat hujan rintik-rintik itu menari di sana. Gadis itu memejamkan mata beberapa detik kemudian kembali membukanya. Ternyata begini rasanya patah hati. Inilah patah hatinya yang pertama dan rasanya sakit sekali.  

Jika setiap kehilangan akan digantikan, apakah hati yang patah bisa disembuhkan? Dan kalau bisa, siapakah yang akan menjadi penawar lukanya? Mungkinkah Rio? Sosok pemuda itu kembali terlintas dalam pikirannya.  

Gabriel bilang Ify takkan sendiri karena akan ada Rio. Tapi sekarang ia tidak tahu keberadaan pemuda itu. Bahkan ia tidak yakin bahwa Rio serius dengan ucapannya kala itu. Pernyataan cinta darinya mungkin hanya sebuah senjata untuk menghancurkan Ify. Sekarang, bisa jadi Rio tengah bersenang-senang, merayakan kemenangannya.

 Tapi bisa jadi Rio memang benar-benar mencintainya. Karena ketika pertama kali ia mengenalkan Gabriel pada Rio, ia kembali melihat Rio yang dulu. Rio yang patah hati dan menyedihkan. Rio yang seringkih anak kucing. Karena saat Rio menyatakan cinta, kedua matanya juga ikut berbicara.

 Ify mengurut pelipisnya yang berdenyut. Mungkin sesampainya di apartemen, ia harus meminum aspirin untuk menghilangkan sakit kepalanya. Semoga saja, sakit di hatinya juga turut hilang.

***  

Ternyata hari itu masih menyisakan satu lagi kemalangan untuk Ify. Sebuah kenyataan pahit yang ia temukan di lobby apartemennya. Saat ia berjalan masuk dengan langkah tersaruk, gadis itu bertemu dengan Rio dan ia tidak sendiri. Sivia bergelayut manja menggamit lengannya. Mereka bercengkrama dengan ceria.  

“Kak Rio…” cicit Ify pelan. Namun tak cukup pelan untuk akhirnya membuat Rio beserta Sivia menghentikan gerakan kakinya. Mereka menoleh pada Ify.  

Rio menatap Ify  canggung. Ia tak membalas sapaan Ify karena tiba-tiba tenggorokkannya tercekat.  

Sedangkan Ify dibuat linglung. Entah apa yang harus dilakukannya sekarang. Untuk marah pun ia tidak berhak. Gadis itu mengeluh tertahan.

 “Halo, Ify! Baru pulang ya? Eh kita baru mau pergi,” ujar Sivia dengan nada mengejek. Gadis itu tidak melepaskan tangan Rio sedetik pun.  

Ify menggeleng. Tanpa sepatah kata pun, ia melengos pergi.  

Dan Rio masih jadi patung bodoh di sana, yang hanya bisa berkutat dalam alam pikirannya sendiri. Apa itu tadi? Mengapa Ify menatapnya seperti itu? Apa seperti itu ekspresi orang yang cemburu? Ia sama sekali tidak tahu. Kemarin-kemarin ia tidak sempat berkaca.

 Sial! Rio mengumpat dalam hati. Mustahil sekali Ify cemburu melihat dirinya bersama Sivia. Jelas-jelas gadis itu tidak mencintainya. Ia telah menolaknya mentah-mentah. Lebih memilih untuk tetap bersama Gabriel dan potongan rambutnya yang aneh itu. Rio mengerjap kemudian mengikuti langkah Sivia. Ia berjanji dalam hati untuk tidak lagi memikirkan Ify. Sekarang ia hanya ingin fokus pada Sivia seorang saja yang jelas-jelas ada di sampingnya.

***

0 Komentar :

Posting Komentar

Komentari