Tidak Butuh Judul [15]

Kamis, 16 Februari 2017

Tidak Butuh Judul [15]


Minimal satu kali dalam sehari Gabriel menyapanya lewat ponsel, entah itu telepon atau hanya sekadar pesan singkat. Satu sapaan yang selalu mengingatkannya ia punya seseorang yang selalu setia padanya.  

Sudah dua hari sapaan itu tak hadir. Rasanya aneh sekali. Seperti sebagian dari dirinya juga hilang. Bertahun-tahun bersama, dan inilah perasaan kehilangannya yang pertama.

 Ify menghempaskan tubuhnya ke atas sofa. Yang dibutuhkannya bukanlah waktu untuk berpikir. Seribu waktu yang diberikannya tidak akan mampu memberikan jawaban akan pertanyaan besar di hatinya. Sebenarnya, sekarang ia mencintai siapa?  

Yang ia butuhkan sekarang adalah duduk berdua dengan Gabriel. Supaya ia yakin bahwa Rio sama sekali tidak pantas untuk dipilih. Gabriel tidak boleh pergi begitu saja. Mana janjinya yang akan selalu ada di segala situasi? Ify menghembuskan napas berat. Sialnya, situasi kacau ini telah ia buat sendiri. Jadi ia yang harus bertanggung jawab.  

Di balik tembok itu, Rio berdiri. Malam itu ia tahu bahwa hubungan Ify dan Gabriel terguncang. Dua hari ia mengamati, tidak didapatinya eksistensi Gabriel di samping Ify. Baguslah! Ini kesempatannya.  

Rio belum pernah berjuang sebegini susahnya. Bahkan pada Sivia, setelah hari di mana gadis itu meminta berpisah, tak sekalipun ia mendatangi gadis itu untuk meminta kembali. Sekarang untuk Ify ia mau berjuang lebih keras. Ia datang lagi. Meyakinkan Ify untuk dapat menerimanya.

 Rio mengetuk pintu apartemen Ify dengan tidak sabar, bahkan terkesan menggedor.  Usaha itu berhasil membuat si empunya kamar membuka pintu dengan cepat.  

Kalau senjata berupa kata-kata tidak mempan, mungkin Rio harus mencoba senjata yang lain. Kali ini tanpa memberikan kesempatan untuk Ify bertanya tujuannya ke sana, Rio sudah terlebih dahulu meraih bahunya. Mendorongnya menjauhi pintu, kemudian memeluknya erat.  

Ify meronta-ronta minta dilepaskan. Ia pukul punggung Rio keras-keras. Tapi bagi Rio itu tidak ada apa-apanya. Ia hanya ingin mendekap gadis itu. Membaui aroma tubuhnya yang menenangkan. Merasakan kehangatan yang begitu ia rindukan.  

“Tolong lepasin aku, Kak!” Ify bercicit. Memohon dengan sangat agar ia dibebaskan.  

Rio akhirnya melepaskan Ify. Tidak tega karena ia mulai mendengar Ify menangis sesenggukan.  

“Shit!” Rio berdecak kesal. Sungguh ia tidak bermaksud menyakiti Ify. Pelukannya tadi adalah pelukan sayang yang harusnya membuat Ify nyaman, bukan malah menangis ketakutan.  

“Gue tuh cuma sayang sama lo, cinta sama lo. Gue salah?” tanya Rio retoris.  

“Gue tuh ga rela lo sama cowok lain. Gue sakit hati. Gue salah?” Rio semakin frustasi.

 “Gue peluk lo supaya lo tahu cinta gue banyak buat lo. Terus sekarang lo malah nangis. Gila ya! Segitu serba salahnya jadi gue!” pemuda itu mengacak rambutnya sendiri.  

Ify masih di sana. Menangis tersedu. Coba kalau bukan sekarang ia bertemu Rio. Coba kalau bertahun-tahun yang lalu, sebelum ia bertemu dengan Gabriel. Coba saja! Mungkin akan lain hasilnya. Ify tidak bisa apa-apa. Cintanya masih lebih banyak untuk Gabriel.  

“Gue harus apa supaya lo terima gue? Gue bisa usahain semuanya buat lo. Jangan nangis! Gue ga bisa lihat orang yang gue sayang nangis!” Rio mengeluh tertahan.  

Tapi tiba-tiba Ify bergerak menghampirinya. Gadis itu menjatuhkan tubuhnya pada bahu Rio. Ia dekap pemuda itu erat. Tangisnya semakin meleleh di sana.  

Rio tidak tahu apa yang terjadi. Ia bahkan masih tidak percaya Ify memeluknya. Demi menyakinkan diri bahwa ia sedang tidak bermimpi, ia usap kepala Ify. Saat itulah ia yakin bahwa Ify yang ada di sana. Mendekapnya. Pemuda itu tersenyum. Kebahagiaan baru saja membuncah di sana.  

Ify tahu apa yang dilakukannya salah. Tapi biarkan ini menjadi kesalahannya yang terakhir, sebelum ia pergi. Karena ia harus melarikan diri sejauh mungkin dari Rio supaya perasaannya bisa lenyap. Maka izinkanlah detik ini ia dekap pemuda itu. Supaya ia bisa mengenangnya suatu hari nanti bahwa pernah suatu kali ia begitu dekat dengan Rio. Wangi parfumnya bisa ia baui dengan leluasa. Deru napasnya bisa ia dengar dengan seksama. Detak jantungnya bisa ia rasakan berima.  

Setelah ini, tidak akan ada lagi Rio dan kebimbangan. Ify sudah tahu akan dibawa ke mana kisahnya.  

“Gue cinta sama lo, Fy!” ungkap Rio.  

Ify mengangguk di bahu Rio. Ia sudah tahu. Jangan lagi diucapkan! Karena akan semakin berat untuk dirinya pergi. Gadis itu mendekap Rio lebih erat.  

Ify dan Rio menikmati pelukan itu. Mereka sama-sama tidak tahu bahwa seseorang berjalan menuju tempat mereka berdua. Pintu apartemen Ify terbuka dan membuat orang itu masuk tanpa permisi. Kemudian ia hanya bisa berdiri kaku di sana. Melihat pemandangan paling menyakitkan hatinya. Setetes air mata jatuh dari pelupuknya. Tetes yang lain turut mengikutinya.  

Kedua matanya masih tergenang, tapi kemampuan Ify untuk melihat tidak lantas menghilang. Kabur ia melihat seorang pemuda berdiri tak jauh dari sana. Ify membuka mulutnya tanpa suara. Gadis itu segera menjauhkan tubuhnya dari Rio.  

Rio bingung mengapa Ify tiba-tiba melepaskan pelukannya. Tapi kemudian ia menyadari sesuatu saat ia menangkap fokus Ify kini tak lagi padanya, tapi pada pemandangan di belakangnya. Sontak Rio berbalik dan hampir terjengkang karena kaget setelah mendapati ada Gabriel di sana. Menatap Ify dengan mata yang basah.  

Gabriel tiba-tiba bergerak ke arah Rio. Tanpa aba-aba, ia daratkan sebuah tinju di wajah Rio. Membuat pemuda itu terpelanting jatuh ke lantai. Ini adalah akumulasi dari emosinya sejak malam itu. Orang dewasa juga berhak marah kalau apa yang menjadi miliknya direbut oleh orang lain.  

Ify menjerit. Seumur-umur ia mengenal Gabriel, tak pernah sekalipun ia memergoki pemuda itu marah bahkan hingga memukul seseorang. Gabriel yang ia tahu adalah pemuda paling sabar seluruh dunia. Tapi ternyata sabar juga ada batasnya. Dan Ify tahu batas itu adalah dirinya.  

“Lo pergi! Gue ga mau lihat lo di sini,” ujar Gabriel dingin.

 Rio meringkuk di lantai, tapi ia masih bisa membuat pembelaan. “Gue cinta sama Ify, dan Ify juga.”  

Gabriel tidak mau mendengar kalimat yang menyerupai kutukan itu. Ia membuang pandangannya jauh-jauh. “Gue bilang lo pergi.”

 Rio cukup tahu diri dengan tidak memberikan perlawanan. Tinjuan yang mencium wajahnya telah cukup untuk membuatnya tahu bahwa Gabriel bukan tandingannya dalam hal berkelahi. Meskipun untuk urusan Ify, ia yakin dirinya yang akan menang. Sembari memegangi pipinya yang berdenyut sakit, ia kemudian melipir pergi.  

Di ruangan itu hanya tertinggal Gabriel dan Ify. Keduanya kini saling berhadapan.  

“Dua hari kita ga ketemu. Aku cuma mau ngasih kita waktu untuk sama-sama berpikir. Tapi nyatanya, kita berdua ga mikir sama sekali. Aku yakin, waktu kamu ngelakuin hal itu tadi, kamu ga mikirin aku. Dan aku ke sini juga ga pakai mikir kalau aku bakalan lihat adegan kayak tadi,” ujar Gabriel dengan suara yang berat.  

“Kamu bisa jelasin sama aku soal yang tadi? Bisa ga? Atau semuanya emang udah jelas?” Gabriel melanjutkan.

   Ify menggeleng samar.  

“Aku sombong, Fy!  Yakin banget kalau kamu segitu cintanya sama aku. Yakin banget kalau kamu ga bakalan khianatin aku. Kenyataannya, sekarang hati kamu udah ga buat aku lagi,” pemuda itu mengeluh.

 Ify masih membisu.

 “Aku bisa maafin apa pun kesalahan kamu. Tapi untuk yang satu ini, aku ga bisa kompromi. Aku ga tahu lagi mau ngapain. Bisa jadi ini terakhir kalinya kita ketemu.”  

Gabriel mungkin tidak sepenuhnya menyadari apa yang baru saja meluncur dari mulutnya. Mungkin saja saat itu ia tengah ditunggangi emosi dan cemburu yang luar biasa. Tapi mungkin bisa jadi benar. Karena baginya perselingkuhan adalah kesalahan besar yang takkan bisa dimaafkannya. Berjuta kebaikan yang diberikan Ify untuknya, takkan cukup untuk menebus satu perselingkuhan yang dilakukannya.  

Gabriel memutar tubuhnya, saat Ify akhirnya berani berbicara. Satu kalimat bernada penyesalan. Kalimat yang tak seberapa panjang pula.  

“Tapi aku cinta sama kamu, Gab!” ujarnya patah-patah. Air matanya masih mengalir deras membelah pipi.  

“Mungkin kamu lupa kalau aku jauh lebih cinta sama kamu,” ujar Gabriel sebelum akhirnya pergi. Menghilang di balik pintu apartemen Ify.  

Saat itu Ify menyadari bahwa ia akan kehilangan seseorang terbaik dalam hidupnya, yang justru ia sia-siakan begitu saja. Ia akan menyesal seumur hidup.

***  

Rio pulang dengan babak belur. Wajahnya, dan hatinya. Malang sekali nasibnya. Tidak cukup ditolak Ify, harus pula ia dapatkan tinjuan di pipi.  

Pemuda itu kemudian mengerjap. Tunggu dulu. Tadi Ify tidak menolaknya. Justru gadis itu yang datang padanya dan memeluknya. Andai saja Gabriel tidak datang, apa coba yang bakalan dilakukan Ify selanjutnya? Sial sekali itu yang namanya Gabriel! Merusak momennya saja.  

Tapi bagaimana kalau pelukan itu ternyata pelukan perpisahan? Yang takkan Ify berikan untuk kedua kalinya karena mungkin setelah ini ia tidak akan pernah mau bertemu dengannya lagi. Kalau bisa, mungkin ia ingin melarikan diri ke luar angkasa.

 “Aww!” pemuda itu mengurut pipinya yang masih terus berdenyut. Kemudian teringat suatu kali pernah Ify mengobati lukanya. Suatu malam ketika ia pulang sehabis kecelakaan karena menyetir dalam keadaan mabuk. Andai Ify sekarang juga ada di sini. Mengompres pipinya yang bengkak.  Lagi-lagi berharap. Rio mengumpat dalam hati.  

Dering ponsel yang menyalak dari atas meja membuat Rio terperanjat. Dengan gerakan yang tak secepat biasanya, ia meraih ponsel itu. Kemudian membelalak ketika sebuah nama muncul di layar ponselnya. Sivia? Ragu ia menerima panggilan itu.

 “Halo,” ucap Rio pelan.  

Dari sebrang sana, terdengar sebuah isakan. Sivia menangis? Sivia menangis dan meneleponnya?  

“Yo, kita bisa ketemu ga?” tanya Sivia.  

Rio tertegun sejenak. Ada apa tiba-tiba Sivia ingin bertemu dengannya? Aneh sekali. Setelah beberapa hari yang lalu Sivia mengundangnya ke pesta ulang tahunnya, sekarang dia menangis dan minta bertemu. Maksudnya apa? Kode-kode ia ingin balikan dengannya? Maaf-maaf saja ya! Rio tidak mudah digoda.  

“Yo, please! Gue mau ketemu sama lo. Di club biasa ya! Gue pingin senang-senang. Cuma lo yang gue tahu bisa menyenangkan gue,” pinta Sivia.

 Rio mencibir. Apa coba pakai gombal segala. Kemarin ke mana saja? Kalau cuma Rio yang bisa menyenangkan, mengapa dulu dia meninggalkannya dan memilih bersama si Deva itu? Rio yakin saat ini Sivia sedang bermasalah dengan Deva, makanya gadis itu mencarinya.  

“Halo, Yo! Lo dengar gue, kan?”  

Kegalauan akhirnya membuat Rio tergoda juga untuk menuruti permintaan Sivia. Dipikir-pikir, buat apa juga dia menggalau sendiri di apartemennya. Memikirkan Ify yang jelas-jelas tidak peduli padanya. Sivia mungkin telah sadar bahwa Rio adalah yang terbaik untuknya. Mungkin dia menyesal telah meninggalkannya. Jadi, mari kita coba.

 “On the way ya,” ujar Rio sebelum memutus panggilannya.

 Rio tidak tahu bahwa ia baru saja masuk ke kandang ular paling berbisa.

***

0 Komentar :

Posting Komentar

Komentari