Tidak Butuh Judul [12]

Rabu, 01 Februari 2017

Tidak Butuh Judul [12]


Sudah dua mini bus melewati gerbang semenjak Ify duduk di lobby sebuah travel yang tak jauh dari apartemennya. Gadis itu memainkan ujung dressnya. Gusar menunggu kedatangan Gabriel.

Beberapa kali Ify mengecek ponselnya dengan gelisah, menanti kabar dari Gabriel. Kegelisahan yang membuatnya bekerja keras untuk menahan dirinya menelepon atau sekedar mengirim pesan. Untuk mengalihkan perhatiannya, ia kemudian membuka galeri ponselnya. Membuka kembali foto-foto lamanya bersama Gabriel.

“Apa kabar, Fy?” Ify terkesiap ketika mendengar suara baritone khas itu menyapanya. Ia mendongak, melihat penampakan seorang lelaki jangkung yang tengah tersenyum padanya.

Ify melonjak. Kedua ujung bibirnya ia tarik, sebuah bentuk luapan kebahagiaan yang sudah tak mampu lagi ditampung oleh hatinya sendiri. “Gab!” seru Ify. Gadis itu lantas menghambur memeluk Gabriel. Menumpahkan segala rindu yang telah ia kumpulkan begitu lama. “Aku kangen banget sama kamu!” cicitnya.

Gabriel balas memeluk Ify. Ia daratkan kecupannya pada puncak kepala kekasihnya itu. Wangi rambutnya masih sama, masih selalu membuatnya terlena. “Aku juga.” Gabriel mengurai pelukannya. Ia meletakkan dua tangannya pada pipi Ify. “Tapi, kamu belum jawab pertanyaan aku. Apa kabar, Fy?”

Ify tertegun sejenak. Menikmati dua pelihat teduh milik Gabriel. Tatapan itu masih sama, masih selalu membuat hatinya tenang sekaligus berdebar dalam waktu yang sama.

“Kalau kangen itu siksaan, aku berarti udah babak belur, dan obatnya cuma kamu. Aku ga pernah merasa sebaik ini,” ujar Ify, ia hampir saja menangis ketika mengucapkan kalimat manis itu.

Air muka Gabriel tiba-tiba berubah. Ia menghela napas panjang. “Maafin aku ya!”

Ify menepuk bahu Gabriel, “Hei! Kok minta maaf? Kangen aku ke kamu emang bikin aku babak belur. Tapi kan aku jadi kuat. Makasih ya!” gadis itu meraih tangan Gabriel yang masih ada di pipinya dan kemudian diciumnya.

Gabriel tersenyum. Betapa beruntungnya ia memiliki kekasih seperti Ify yang tidak pernah menuntutnya apa-apa, yang selalu setia dan memenuhinya dengan cinta.

“I love you!” bisik Ify.

“Mungkin aku lebih dari itu,” tukas Gabriel.

***

Ify mengajak Gabriel ke sebuah restoran di daerah Dago. Sengaja ia pilih tempat itu karena jaraknya tidak terlalu jauh dari shuttle travel dan tempatnya cukup nyaman.

“Aku buat ini untuk kamu,” Ify memberikan kotak berpita merah muda pada Gabriel.

“Manis banget kotaknya,” ucap Gabriel.

“Isinya lebih manis,”

Gabriel terkekeh pelan lantas segera membuka kotak itu. Beberapa potong brownies dengan hiasan strawberry ada di sana. Ia tersenyum lebar. Melirik Ify. “Kamu kenapa sih tahu aja apa yang bikin aku senang!”

“Bikin kamu senang juga kan salah satu kesenangan aku,” tukas Ify seraya terus menyunggingkan senyum.

Gabriel mengambil satu potong brownies kemudian melahapnya habis. Ia tersenyum. “Enak banget tahu!” ujarnya kemudian mengambil satu potong lagi.

Seorang pelayan datang dengan nampan besar di tangannya, membawa dua piring spaghetti dan dua gelas minuman dingin. Dengan sigap, pelayan itu memindahkan piring serta gelas itu ke atas meja, kemudian pamit undur diri.

“Kamu kok mendadak banget ngasih tahu mau pulangnya?” tanya Ify kemudian menyeruput jus alpukatnya.

“Kejutan dong!” ujar Gabriel. Ia masih belum berpaling dari brownies buatan Ify meskipun ada sepiring spaghetti yang nampak begitu lezat di hadapannya.

“Terkejut banget loh aku!” Ify terkekeh. “Oh iya, berapa lama kamu di sini? Terus di Bandung kamu tinggal di mana?”

“Sebulan. Aku ada sodara disini, Fy. Daerah Setiabudi. Aku bakalan tinggal di rumah dia. Jauh ga dari sini?” Gabriel kini membersihkan tangannya dengan tisu. Brownies buatan Ify telah habis disantapnya.

“Sebulan? Asyik!” Ify berseru senang. “Ga terlalu jauh kok. Paling macetnya aja yang nyebelin.”

“Macet ga ada apa-apanya lah Fy kalau Cuma buat ketemu kamu,” ujar Gabriel seraya tersenyum jahil.

“Kamu nih gombal terus! Sebelnya, aku malah seneng.”

Dan kehangatan itu terus berlanjut bahkan ketika mereka sedang berada di dalam taksi, membuat supir taksi yang mereka tumpangi beberapa kali berdeham iri.

***

Ify dan Gabriel telah sampai di pelataran sebuah rumah. Gabriel menekan bel, dan tak berapa lama seorang pemuda berkulit gelap menyembul dari balik pintu. Ia langsung memekik dan memeluk Gabriel.

Ify yang berada di samping Gabriel mengerutkan kening, merasa pernah bertemu dengan pemuda itu sebelumnya.

“Lo kok ga bilang sih udah nyampe? Kan bisa gue jemput,” ujar pemuda itu seraya menepuk bahu Gabriel.

“Malas banget dijemput sama lo! Mendingan dijemput sama dia!” Gabriel melirik Ify dan menyikut gadis itu pelan.

Ify tersenyum kemudian mengulurkan tangannya. “Ify.”

Pemuda itu mengambil tangan Ify, “Deva.” Ia kemudian mendekatkan wajahnya pada Ify, hendak memeluk gadis itu.

Seketika Gabriel mendorong tubuh Deva, dan menarik Ify ke dalam rangkulannya. “Eh jangan sama cewek gue!”

“Hahaha, bercanda kali gue! Masak gue nikung sepupu sendiri.” Deva menggaruk tengkuknya. “Eh ayo masuk!”

Gabriel menggamit lengan Ify dan menuntun gadis itu masuk.

Deva ternyata membawa Gabriel dan Ify ke dalam sebuah kamar. Pemuda itu tersenyum. “Kamar lo selama di sini. Lo istirahat aja dulu. Gue tahu lo pasti capek. Gue tinggal dulu ya!”

Gabriel menghempaskan tubuhnya ke atas tempat tidur. Ia mendesah kentara. Akhirnya bisa ia rebahkan tubuhnya yang sangat lelah itu. Pemuda itu melirik Ify yang tengah termenung di dekat pintu.

“Kamu kenapa?” Gabriel berdiri kemudian menarik lengan Ify dan mengisyaratkan Ify untuk duduk di kursi.

“Ga pa-pa. Kayak pernah ketemu sama Deva, tapi ga tahu di mana,” ujar Ify.

Gabriel membulatkan mulutnya. “Aku pikir kamu takut sama dia gara-gara kejadian tadi.”

“Takut juga sih aku. Hehe.”

“Deva baik, kok! Cuma ya gitu, ga bisa lihat cewek cantik.”

“Emangnya aku cantik?” tanya Ify retoris.

“Cantik! Princess Aurora doang mah lewat!” ujar Gabriel.

“Ih masak Princess Aurora sih? Kerjaannya tidur doang dong!” ujar Ify seraya menggembungkan pipinya sebal.

Gabriel mencubit pipi Ify gemas.

“Tapi aku senang kamu takut dipeluk sama Deva. Kamu jangan mau ya dipeluk sama cowok selain aku!” pinta Gabriel.

Ify merasa hatinya tertohok ketika mendengar pinta Gabriel. Ia menatap mata Gabriel yang berbinar, seperti permintaan itu memang benar-benar keluar dari lubuk hatinya terdalam.

Dan ia ingat pernah suatu malam ia biarkan dirinya jatuh ke pelukan lelaki lain. Bahkan permintaan yang tak seberapa itu telah gagal untuk Ify kabulkan.

Ify mengerjap, kemudian bergerak mendekat pada Gabriel. Ia tersenyum kemudian memeluk Gabriel. Erat sekali seperti takut kehilangan. Hangat sekali dipenuhi sayang.

***

Gabriel meminjam mobil Deva untuk mengantarkan Ify pulang. Mereka kini sudah sampai di apartemen Ify. Gadis itu merogoh tasnya, mencari-cari kunci kamarnya. Saat seorang pemuda tiba-tiba menyapanya. Ify sontak berbalik dan melihat Rio di sana, berdiri sedikit di belakang Gabriel. “Kak Rio,” cicit Ify pelan.

Gabriel mengikuti kemana arah mata Ify pergi. Ia memutar tubuhnya, dan mendapati seorang pemuda di sana.

“Gab, ini kenalin tetangga sekaligus teman aku, Kak Rio,” ujar Ify cepat, takut sekali hubungan tak wajarnya dengan Rio akan terendus oleh Gabriel. “Kak Rio ini Gabriel, pacar aku.”

Gabriel dan Rio saling bersalaman. Gabriel menatap Rio seakan ia baru memiliki teman baru, sementara Rio membalas tatapan Gabriel dengan penuh kebencian.

Ify menemukan kunci kamarnya di waktu yang tepat. Segera ia membuka pintu kamarnya dan menarik Gabriel masuk. Diam-diam gadis itu menghembuskan napas lega.

Namun Rio tidak. Napasnya memburu penuh emosi. Rasanya ingin sekali ia mendobrak pintu di depannya kemudian menghadiahi Gabriel dengan tinjunya. Ingin sekali ia tarik Ify ke dalam pelukannya dan berteriak tepat di depan wajah Gabriel bahwa yang berhak memiliki Ify adalah dirinya.

Tapi keinginan itu ia urungkan dan ia memilih meluapkan emosinya di kamarnya sendiri. Melempar beberapa barang dan meninjui lantai. Jadi itu yang namanya Gabriel? Yang potongan rambutnya norak? Yang wangi parfumnya aneh? Yang senyumnya menyebalkan? Jadi seperti itu sosok lelaki yang tiba-tiba datang mengacaukan segalanya? Membuat ia dan Ify yang sudah sedekat nadi jadi sejauh matahari? Rio membanting sebuah gelas dari atas meja. Bersama pecahan gelas yang berserakan di sudut ruang tamunya, ia pun menyadari bahwa dirinyalah yang tiba-tiba datang di hidup Ify dan ia sama sekali tidak tahu apa-apa, termasuk fakta bahwa gadis itu telah menjadi milik orang lain.

Rio meringis kesakitan. Ia memegangi dadanya. Menyadari bahwa lelaki dengan gaya rambut norak, bau parfum aneh dan senyum menyebalkan itu jauh lebih beruntung darinya. Dan dirinya, dengan gaya rambut paling kekinian, aroma tubuh yang wangi, dan senyum yang menyenangkan hanyalah sebutir debu. Pengecut dan sama sekali tidak penting.

Lagi-lagi Rio ditinggalkan. Karma ternyata bisa datang berkali-kali.

***

Gabriel telah meninggalkan apartemennya sekitar satu jam yang lalu. Kini, Ify telah mengenakan piama dan bersiap untuk tidur. Setelah mengoleskan lotion anti nyamuk ke seluruh tubuhnya, gadis itu berbaring. Menatap langit-langit kamarnya. Tiba-tiba Ify teringat dengan ucapan Gabriel tadi. ‘Kamu jangan mau ya dipeluk sama cowok selain aku.’ Ia menggigit bibirnya. Merasa bersalah karena ia telah mengecewakan Gabriel meskipun pemuda itu tidak tahu (belum tahu lebih tepatnya). Ify pernah dipeluk lelaki lain. Pelukan yang bukan hanya sekadar pelukan seorang teman, tapi jauh lebih dari itu. Pelukan yang diberikan oleh lelaki yang ia temui di depan tadi, yang menatapnya nanar, yang tidak bisa mengucapkan apa pun selain namanya, yang memendam kecewa karenanya. Dan betapa ia semakin merasa bersalah karena ternyata diam-diam Ify merindukan lelaki itu. Celetukannya yang menyebalkan, lawakannya yang sering meleset, tawanya yang mengganggu, dan semuanya. Gadis itu meremas selimut yang membalut tubuhnya.

Ify tidak bisa tidur. Hatinya yang kacau membuat otaknya sulit beristirahat. Gadis itu mencoba memejamkan mata sekali lagi. Kemudian ia ingat pada ucapan Gabriel pada suatu malam yang telah lama berlalu kala ia insomnia juga.

“Kalau kamu ga bisa tidur, jangan hitung domba! Hitung aja seberapa banyak cinta aku ke kamu. Aku jamin kamu bakalan tidur karena capek berhitung. Saking banyaknya.”

Malam ini, Ify melakukannya. Menghitung cinta Gabriel untuknya. Cinta memang tak dapat dihitung dan diukur, tapi segala kebaikan Gabriel bisa ia ingat semuanya. Terlalu banyak, sampai ia kepusingan dan lupa sudah sampai hitungan berapa. Hal itu sepatutnya membuat ia sadar bahwa tidak ada lelaki yang patut menempati hatinya selain Gabriel.

Mungkin memang tidak akan pernah ada tempat dan waktu yang tepat baginya untuk bersama Rio. Tapi mungkin Ify tidak harus kecewa karena selalu ada Gabriel untuknya.

0 Komentar :

Posting Komentar

Komentari