Tidak Butuh Judul [11]
Ify
berjalan mendahului Rio sesaat setelah pintu lift terbuka. Ia langkahkan
kakinya besar-besar demi memperlebar jaraknya dengan Rio. Berusaha secepat
mungkin untuk sampai di kamarnya.
Rio
tidak terpancing untuk berjalan lebih cepat. Ia justru membiarkan Ify pergi
kemudian menghilang ketika gadis itu masuk ke kamarnya. Ia menyadari betul ada
yang aneh dengan gadis itu. Terhitung sejak tadi pagi, Ify mengubah sikapnya
yang hangat menjadi sedingin bekuan es. Bahkan sepanjang perjalanan pulang,
gadis itu sama sekali tidak bersuara, padahal beberapa kali Rio berusaha
mencairkan suasana. Pada akhirnya, ia pun menyerah dan membiarkan dua penyiar
radio berkoar memeriahkan atmosfer di mobilnya yang begitu mencekam.
Rio
tidak tahu apa yang membuat Ify bersikap seperti itu. Padahal masih begitu
jelas dalam ingatannya tentang apa yang terjadi seharian kemarin. Dan semalam,
mereka saling berpelukan. Langit adalah saksi kehangatan yang tercipta ketika
tubuh mereka saling mendekap. Hangat yang menjadikan nyaman.
Rio
menatap pintu kamar Ify nanar. “Jangan giniin gue, Fy!” bisiknya pelan.
Sementara
itu, gadis yang ada di balik pintu itu tengah meneguhkan hatinya, bahwa apa
yang dilakukannya pagi ini adalah hal yang benar. Bahwa tidak mengacuhkan Rio
adalah hal yang seharusnya ia lakukan sejak dulu. Bahwa sesungguhnya, ia tidak
boleh membiarkan hatinya disentuh oleh lelaki mana pun kecuali Gabriel,
kekasihnya.
Ify
mengerjap. Ia kemudian bergegas menyalakan laptop. Setelah tersambung dengan
internet, ia membuka tab chating dengan Gabriel.
‘Kalau
aku jadi Ariel, aku juga akan menukarkan sirip aku dengan kaki, supaya aku bisa
hidup selamanya sama kamu. Tapi aku ga akan rela kehilangan suaraku, karena aku
mau setiap saat kamu bisa mendengar aku bilang kalau aku cinta sama kamu, aku
sayang sama kamu.’
Ify
membaca ulang apa yang telah ia tulis. Meski terkesan berlebihan dan lebih
mirip dialog sinetron, tapi tak urung ia menekan tombol enter untuk mengirim tulisan itu. Ia tidak peduli Gabriel akan
menertawakan gombalannya itu. Oh please!
Ia sedang tidak menggombal. Semua berasal dari hatinya yang kelewat merasa
bersalah.
‘Kemarin
aku mimpi buruk. Di mimpiku kamu punya sayap. Cantik banget kayak bidadari.
Tapi tiba-tiba kamu terbang ninggalin aku sendiri. Kamu terbang ke langit. Di sana,
ada seseorang yang lagi nunggu kamu. Itulah alasan aku belum tidur jam segini.
Aku takut mimpi itu datang lagi. Tapi sekarang aku lega. Aku tahu ternyata kamu
ga ninggalin aku. Fy, kalau nanti kamu punya sayap, tolong jangan pernah pergi
dari aku. Tolong ajari aku terbang meskipun tanpa sayap. Aku ga bisa bayangin
gimana rasanya kehilangan kamu. Kehilangan kamu di mimpi aja sudah sesakit
ini.’
Balasan
yang jauh lebih panjang dari Gabriel muncul di layar laptopnya. Ify merasa
hatinya mencelos. Tubuhnya bergetar. Mungkinkah semalam langit memberitahukan
apa yang telah terjadi pada Gabriel lewat mimpi? Gadis itu memegangi dadanya.
Segunung perasaan bersalah tiba-tiba menjejal seluruh pembuluh darahnya.
Ify
belum sempat membalas ketika pesan dari Gabriel kembali muncul.
‘Kamu
ga usah jadi Ariel. Kamu ga perlu mengorbankan apa pun yang kamu punya. Aku
percaya cinta bukan penjahat yang butuh korban. Aku percaya cinta itu
melapangkan, membebaskan.’
Setetes
air mata jatuh membelah pipinya. Perasaan bersalah semakin menghujami
jantungnya ketika Ify menyadari bahwa Gabriel adalah lelaki yang harusnya tidak
pernah ia khianati. Lelaki yang tidak pernah menuntut apa pun darinya. Lelaki
yang berkali-kali membuatnya menangis karena kebaikannya yang terlalu banyak,
terlalu besar. Ify semakin yakin akan janjinya untuk tidak melakukan kesalahan
yang sama.
‘Fy,
kamu kangen ga sama aku?’
Ify
tersenyum, kemudian tanpa berpikir ia menggerakan jemarinya di atas keyboard.
‘Kamu
masih harus tanya itu? Jelas aku kangen sama kamu. Kangen banget!’
‘Untung
kamu bilang kangen. Kalau enggak, tiketku melayang. Soalnya kalau kamu ga
kangen aku, buat apa juga aku balik.’
Ify
cuma bisa melongo sekian detik membaca balasan dari Gabriel. Butuh berulang
kali ia membaca pesan itu untuk dapat mengerti. Gadis itu membekap mulutnya. Ya
Tuhan! Gabriel pulang?
‘Kamu
ga lagi bercanda, kan? Jangan ngerjan aku! Kamu serius mau pulang?’
‘Kamu
paling tahu aku orangnya serius. Bahkan bercanda aja aku serius. Hehe.’
Ify
menggigit telunjuknya gemas. Apa yang ditulis Gabriel tidak menjawab
pertanyaannya dengan lugas. Gadis itu bertanya sekali lagi. Pertanyaan yang ia
akhiri dengan ancaman.
‘Gab,
kamu serius mau pulang? Jawab ya! Karena kalau jawabannya bukan ya, aku ga mau
balas chat kamu selama seminggu!’
‘Aku
pulang besok. Jawabannya bukan ya nih Fy. Gimana dong? Awas ya kalau balas chat
ini!’
Gabriel
balas mengancam tapi hal itu malah membuat Ify terkikik geli.
‘KAMU
IH NGESELIN! NANTI KETEMU SAMA AKU, KAMU ABIS LOH YA!’
‘Cinta
aku ke kamu ga akan ada habisnya.’
‘TUH
KAN NGESELIN! AKU JADI GA BISA KESEL NIH! GIMANA SIH KAMU? MALAH BIKIN AKU
MAKIN CINTA!’
Dan
perbincangan itu pun berhasil membuat Ify yakin bahwa hatinya tidak pernah
terbagi. Bahwa bara yang membakar hatinya semalam hanyalah secuil dibandingkan
dengan setumpuk hangat yang menjaga cintanya untuk Gabriel. Bahwa Rio atau
siapa pun sama sekali tidak memiliki tempat di hatinya. Semua telah penuh oleh
Gabriel. Gabriel seorang.
***
Ify
menyiapkan banyak hal untuk menyambut kedatangan Gabriel. Setelah mandi, ia
bergegas pergi ke supermarket, membeli bahan-bahan untuk membuat kue. Gabriel
suka sekali brownies. Makanya, Ify berniat untuk membuatkan kekasihnya itu
brownies.
Setelah
mengantongi bahan-bahan kue yang ia butuhkan, Ify melanjutkan perjalanannya ke
sebuah pusat perbelanjaan. Di sana, ia membeli beberapa potong pakaian dan
sepasang sepatu. Ify ingin menyambut Gabriel dengan penampilan terbaiknya.
Meskipun ia tahu bahwa apa pun yang dikenakannya, Gabriel selalu menerima.
Ify
bersikap seperti tidak pernah terjadi apa pun kemarin. Seperti tidak ada
pergolakan apa pun dalam dirinya. Kabar kepulangan Gabriel membuatnya merasa
semua baik-baik saja. Namun ternyata tidak.
Ada
seorang pemuda yang tengah terpekur sendirian di apartemennya yang luas.
Berteman sunyi, ia mengeluh dalam hati. Bagaimana mungkin semuanya terjadi
begitu cepat? Bagaimana bisa kebahagiaan seharian kemarin berbalik menjadi sepi
hanya dalam sekilat? Ia menghembuskan napas berat.
Rio
–pemuda itu- memandang sinis pada makanan cepat saji yang ada di meja, yang
lima menit lalu baru datang setelah harus menunggu hampir satu jam sesudah ia
memesan. Ia tersenyum miring. Kalau saja Ify tidak mendiamkannya, mungkin detik
ini ia tidak harus makan ayam goreng dan nasi serta saus sambal seperti ini.
Mungkin ia bisa datang dan meminta Ify untuk memasak makanan yang jauh lebih
bergizi untuknya, seperti yang biasa ia lakukan di hari-hari kemarin, sebelum
semuanya berubah.
Sebuah
kotak berpita yang ada di atas laci mengalihkan perhatian Rio. Pemuda itu berdecak
samar. Ingat bahwa kotak itu rencananya akan ia berikan pada Ify sepulangnya
dari puncak sebagai ucapan terimakasih dan sebagai pertanda bahwa Rio ingin
memulai sebuah hubungan yang lebih dari sekadar teman dengan gadis itu. Namun
rencana tinggal rencana. Bagaimana bisa ia menjalankan rencananya ketika
telepon darinya saja ditolak oleh Ify. Ingin sekali Rio berbaik sangka. Mungkin
Ify sedang tidur, jadi tidak bisa mengangkat teleponnya. Namun tadi ketika ia
membuka pintu apartemennya untuk menerima makanan cepat saji yang ia pesan, ia
melihat Ify keluar. Bahkan mata mereka sempat beradu beberapa detik sebelum
akhirnya Ify melengos dan menghilang masuk ke dalam lift.
Rio
tidak pernah merasakan hal ini sebelumnya. Masa pendekatannya dengan seorang
perempuan selalu berjalan mulus dan berlangsung hanya sebentar. Setelah itu
voila, gadis-gadis itu bertekuk lutut untuknya. Setelah ia bosan, ia tidak akan
segan untuk meninggalkan gadisnya. Meskipun pacar terakhirnya, Sivia,
meninggalkannya terlebih dahulu.
Tapi
untuk Ify, Rio merasa pendekatannya berlangsung terlalu lama. Bahkan untuk
Sivia, perempuan paling cantik dan populer di kampusnya, ia hanya butuh waktu
dua minggu untuk dapat membuatnya tergila-gila (walaupun pada akhirnya, ia yang
hampir gila ditinggal Sivia). Harusnya sekarang Ify sudah ada dalam pelukannya.
Namun menyentuhnya saja, Rio tidak bisa.
***
Dua
tahun lalu Gabriel mendapat kabar bahwa orangtuanya akan pindah ke Paris, yang
itu berarti ia akan ikut bersama mereka, berkuliah di sana. Gabriel tidak
munafik bahwa dirinya gembira ketika mengetahui bahwa cita-citanya kuliah di
luar negeri bisa terwujud, namun hatinya mencelos ketika menyadari bahwa
berarti ia harus meninggalkan Ify, pacarnya.
Salah
satu keberuntungan yang Gabriel miliki dalam hidup adalah Ify. Ia tidak
menyangka bahwa ia berhasil mendapatkan hati gadis itu, seseorang yang tidak
pernah terlihat menggilainya seperti beberapa gadis di sekolahnya. Namun justru
karena itulah Gabriel tertarik pada Ify. Karena Gabriel yang amat tergila-gila
pada Ify.
Ketika
diberitahu mengenai rencana kepergiannya ke Paris, tanpa dinyana, Ify justru
terlihat bahagia. Bola matanya yang berwarna coklat bersinar cerah. Ia
menghambur memeluk Gabriel, memberikan selamat.
“Kamu
ga sedih aku pergi?” tanya Gabriel seraya mengulum bibirnya.
“Yang
buat aku bahagia, yang aku kasih selamat, bukan kepergian kamu, Gab! Aku
bahagia karena mimpi kamu kuliah di Paris terwujud. Apa yang lebih
membahagiakan dari mimpi yang akhirnya bisa jadi kenyataan?” ujar Ify yang
diakhiri dengan senyuman lebar.
“Fy,
kamu juga mimpi aku. Kalau aku pergi, aku berarti ninggalin mimpi aku,” keluh
Gabriel.
Ify
mengusap bahu Gabriel. “Hei! Aku bukan lagi mimpi kamu. Aku sekarang kenyataan,
realita. Kamu harusnya kejar mimpi kamu yang masih jauh. Jangan lagi kejar aku.
Kamu udah berhasil mendapatkan hati aku, semuanya.”
Ucapan-ucapan
Ifylah yang akhirnya membuat hati Gabriel lapang untuk dapat meninggalkannya.
Bukan. Hanya membentangkan jarak. Demi langit dan bumi, Gabriel tidak akan
pernah meninggalkan Ify, kecuali jika gadis itu yang meminta yang ia harap hal
itu takkan pernah terjadi.
“Kita
harus jauh-jauhan, supaya tahu rasanya kangen. Kamu harus pergi, supaya kamu
tahu kalau kamu punya rumah dan suatu hari nanti harus pulang.”
Kini,
giliran Gabriel yang menghambur memeluk Ify. Ia baui harum gadisnya. Ia
tenggelam dalam perasaan cinta.
Meski
Ify melepasnya dengan begitu dewasa, tapi ketika di Bandara, tak urung jua
gadis itu menangis. Pada detik-detik menuju perpisahan, Ify akhirnya mengutarakan
kesedihannya.
“Aku
masih belum bisa bayangin ga ketemu sama kamu dalam waktu yang lama. Pasti
rasanya aneh dan sepi,” ujar Ify seraya menyeka air matanya.
“Aku
bahkan ga berani bayangin, Fy! Tapi kamu harus percaya, meskipun aku pergi, aku
selalu milik kamu,” Gabriel menyentuh pipi Ify yang basah, kemudian bergerak
mencium kepala gadisnya.
Siang
itu ia berpisah dengan Ify. Saat terakhir kalinya Gabriel merasakan halus dan
lembutnya pipi itu, menghirup wangi tubuh itu. Setelahnya, ia hanya bisa
mendengar suara renyahnya lewat telepon, memandangi wajah cantiknya lewat video call. Tapi semua berjalan
baik-baik saja. Hampir tidak pernah ada pertengkaran di antara mereka. Ify
kadang melewatkan panggilan dari Gabriel atau sebaliknya, tapi keduanya saling
memahami karena perbedaan waktu yang cukup jauh.
Akhir-akhir
ini, Gabriel tidak pernah tidur nyenyak. Mimpi buruk selalu hadir mengusik
tidurnya. Sialnya, mimpi itu selalu datang dalam wujud Ify. Gabriel tahu mimpi
hanyalah bunga tidur, namun terkadang bisa pula menjadi sebuah firasat atau
mungkin saja karena rindu yang terlampau dalam.
Itulah
mengapa sekarang Gabriel ada di sana. Menginjakan kakinya kembali ke Indonesia,
demi bertemu Ify. Akan ia habiskan libur musim dinginnya bersama Ify dan
merelakan diri untuk tidak ikut dengan rencana kedua orangtuanya berlibur ke
USA.
‘Fy,
aku udah di Jakarta. Mungkin tiga jam lagi aku udah sampai Bandung. Bisa ga sih
jadi tiga menit aja? Aku benar-benar ga sabar buat ketemu kamu!’
Gabriel
tersenyum setelah mengirimkan pesan itu pada Ify. Ia menatap keluar jendela.
Membayangkan Ify ada di sana. Berlari menerobos hujan seperti yang sering ia
lakukan dulu karena seringkali lupa untuk membawa payung dan terlalu malas
untuk menunggu reda.
***
Pesan
yang ia tunggu sejak kemarin akhirnya datang, kabar bahwa Gabriel sudah sampai
di Jakarta. Ify tersenyum cerah. Pesan itu ia terima bertepatan dengan suara
ovennya yang berdenting menandakan browniesnya telah matang. Segera ia
keluarkan brownies itu. Asap mengepul dari loyang. Perasaan bahagia mengepul
dari hatinya.
Setelah
brownies itu dingin, Ify memotongnya menjadi beberapa bagian dan memasukkannya
ke dalam sebuah kotak yang kemudian ia beri pita merah muda. Gadis itu terkikik
geli. Rasanya sudah lama sekali ia tidak seantusias ini.
Ify
lantas bergegas mempersiapkan diri. Setelah mandi, ia mengenakan pakaian yang
dibelinya kemarin, sebuah terusan berwarna putih dengan renda di bagian
bawahnya. Gadis itu kemudian mematut dirinya di depan cermin, mengulaskan
selapis tipis bedak serta mewarnai bibirnya dengan lipstik. Ify juga
memasangkan bandana merah muda untuk mempercantik rambutnya. Flat shoes berwarna hitam dengan aksen
mutiara di bagian depan menyempurnakan penampilannya.
Ify
menyelempangkan tasnya, lalu mengambil kotak brownies untuk kemudian segera
pergi, menjemput Gabriel.
Pintu
apartemen Ify terbuka hampir bersamaan dengan terbukanya pintu di sebrang sana
yang langsung memperlihatkan sosok lelaki yang sudah dua hari berusaha untuk
tak ia temukan, Rio. Ify meneguk ludah. Berdoa dalam hati agar Rio tidak
menegurnya dan membiarkannya pergi.
Doa
Ify tidak terkabul saat Rio bergerak ke arahnya lalu bertanya. “Lo mau ke
mana?”
“Travel,
jemput Gabriel.” tukas Ify pelan.
Rio
menatap Ify dengan kening terlipat.
Ify
sepertinya tahu pertanyaan tak terucap yang diisyaratkan Rio dengan ekspresi
bingung itu. Ia berdeham samar, “Pacar aku. Baru pulang dari Paris.”
Terlihat
sekali perubahan air muka Rio ketika Ify mengatakan bahwa Gabriel adalah
pacarnya. Keterkejutan yang bercampur dengan rasa kecewa serta marah. Tapi Ify
merasa itu bukan urusannya. Ia memutar bola mata. “Aku pergi dulu, Kak!” dan ia
pun berlalu.
Ify
tidak tahu bahwa ketika ia pergi menjemput kebahagiaannya, Rio justru jatuh ke
dalam jurang kehancuran yang telah ia gali untuknya.
***
0 Komentar :
Posting Komentar
Komentari