Tidak Butuh Judul [11]

Minggu, 08 Januari 2017

Tidak Butuh Judul [11]


Ify berjalan mendahului Rio sesaat setelah pintu lift terbuka. Ia langkahkan kakinya besar-besar demi memperlebar jaraknya dengan Rio. Berusaha secepat mungkin untuk sampai di kamarnya.

Rio tidak terpancing untuk berjalan lebih cepat. Ia justru membiarkan Ify pergi kemudian menghilang ketika gadis itu masuk ke kamarnya. Ia menyadari betul ada yang aneh dengan gadis itu. Terhitung sejak tadi pagi, Ify mengubah sikapnya yang hangat menjadi sedingin bekuan es. Bahkan sepanjang perjalanan pulang, gadis itu sama sekali tidak bersuara, padahal beberapa kali Rio berusaha mencairkan suasana. Pada akhirnya, ia pun menyerah dan membiarkan dua penyiar radio berkoar memeriahkan atmosfer di mobilnya yang begitu mencekam.


Rio tidak tahu apa yang membuat Ify bersikap seperti itu. Padahal masih begitu jelas dalam ingatannya tentang apa yang terjadi seharian kemarin. Dan semalam, mereka saling berpelukan. Langit adalah saksi kehangatan yang tercipta ketika tubuh mereka saling mendekap. Hangat yang menjadikan nyaman.

Rio menatap pintu kamar Ify nanar. “Jangan giniin gue, Fy!” bisiknya pelan.

Sementara itu, gadis yang ada di balik pintu itu tengah meneguhkan hatinya, bahwa apa yang dilakukannya pagi ini adalah hal yang benar. Bahwa tidak mengacuhkan Rio adalah hal yang seharusnya ia lakukan sejak dulu. Bahwa sesungguhnya, ia tidak boleh membiarkan hatinya disentuh oleh lelaki mana pun kecuali Gabriel, kekasihnya.

Ify mengerjap. Ia kemudian bergegas menyalakan laptop. Setelah tersambung dengan internet, ia membuka tab chating dengan Gabriel.

‘Kalau aku jadi Ariel, aku juga akan menukarkan sirip aku dengan kaki, supaya aku bisa hidup selamanya sama kamu. Tapi aku ga akan rela kehilangan suaraku, karena aku mau setiap saat kamu bisa mendengar aku bilang kalau aku cinta sama kamu, aku sayang sama kamu.’

Ify membaca ulang apa yang telah ia tulis. Meski terkesan berlebihan dan lebih mirip dialog sinetron, tapi tak urung ia menekan tombol enter untuk mengirim tulisan itu. Ia tidak peduli Gabriel akan menertawakan gombalannya itu. Oh please! Ia sedang tidak menggombal. Semua berasal dari hatinya yang kelewat merasa bersalah.

‘Kemarin aku mimpi buruk. Di mimpiku kamu punya sayap. Cantik banget kayak bidadari. Tapi tiba-tiba kamu terbang ninggalin aku sendiri. Kamu terbang ke langit. Di sana, ada seseorang yang lagi nunggu kamu. Itulah alasan aku belum tidur jam segini. Aku takut mimpi itu datang lagi. Tapi sekarang aku lega. Aku tahu ternyata kamu ga ninggalin aku. Fy, kalau nanti kamu punya sayap, tolong jangan pernah pergi dari aku. Tolong ajari aku terbang meskipun tanpa sayap. Aku ga bisa bayangin gimana rasanya kehilangan kamu. Kehilangan kamu di mimpi aja sudah sesakit ini.’

Balasan yang jauh lebih panjang dari Gabriel muncul di layar laptopnya. Ify merasa hatinya mencelos. Tubuhnya bergetar. Mungkinkah semalam langit memberitahukan apa yang telah terjadi pada Gabriel lewat mimpi? Gadis itu memegangi dadanya. Segunung perasaan bersalah tiba-tiba menjejal seluruh pembuluh darahnya.

Ify belum sempat membalas ketika pesan dari Gabriel kembali muncul.

‘Kamu ga usah jadi Ariel. Kamu ga perlu mengorbankan apa pun yang kamu punya. Aku percaya cinta bukan penjahat yang butuh korban. Aku percaya cinta itu melapangkan, membebaskan.’

Setetes air mata jatuh membelah pipinya. Perasaan bersalah semakin menghujami jantungnya ketika Ify menyadari bahwa Gabriel adalah lelaki yang harusnya tidak pernah ia khianati. Lelaki yang tidak pernah menuntut apa pun darinya. Lelaki yang berkali-kali membuatnya menangis karena kebaikannya yang terlalu banyak, terlalu besar. Ify semakin yakin akan janjinya untuk tidak melakukan kesalahan yang sama.

‘Fy, kamu kangen ga sama aku?’

Ify tersenyum, kemudian tanpa berpikir ia menggerakan jemarinya di atas keyboard.

‘Kamu masih harus tanya itu? Jelas aku kangen sama kamu. Kangen banget!’

‘Untung kamu bilang kangen. Kalau enggak, tiketku melayang. Soalnya kalau kamu ga kangen aku, buat apa juga aku balik.’

Ify cuma bisa melongo sekian detik membaca balasan dari Gabriel. Butuh berulang kali ia membaca pesan itu untuk dapat mengerti. Gadis itu membekap mulutnya. Ya Tuhan! Gabriel pulang?

‘Kamu ga lagi bercanda, kan? Jangan ngerjan aku! Kamu serius mau pulang?’

‘Kamu paling tahu aku orangnya serius. Bahkan bercanda aja aku serius. Hehe.’

Ify menggigit telunjuknya gemas. Apa yang ditulis Gabriel tidak menjawab pertanyaannya dengan lugas. Gadis itu bertanya sekali lagi. Pertanyaan yang ia akhiri dengan ancaman.

‘Gab, kamu serius mau pulang? Jawab ya! Karena kalau jawabannya bukan ya, aku ga mau balas chat kamu selama seminggu!’

‘Aku pulang besok. Jawabannya bukan ya nih Fy. Gimana dong? Awas ya kalau balas chat ini!’

Gabriel balas mengancam tapi hal itu malah membuat Ify terkikik geli.

‘KAMU IH NGESELIN! NANTI KETEMU SAMA AKU, KAMU ABIS LOH YA!’

‘Cinta aku ke kamu ga akan ada habisnya.’

‘TUH KAN NGESELIN! AKU JADI GA BISA KESEL NIH! GIMANA SIH KAMU? MALAH BIKIN AKU MAKIN CINTA!’

Dan perbincangan itu pun berhasil membuat Ify yakin bahwa hatinya tidak pernah terbagi. Bahwa bara yang membakar hatinya semalam hanyalah secuil dibandingkan dengan setumpuk hangat yang menjaga cintanya untuk Gabriel. Bahwa Rio atau siapa pun sama sekali tidak memiliki tempat di hatinya. Semua telah penuh oleh Gabriel. Gabriel seorang.

***

Ify menyiapkan banyak hal untuk menyambut kedatangan Gabriel. Setelah mandi, ia bergegas pergi ke supermarket, membeli bahan-bahan untuk membuat kue. Gabriel suka sekali brownies. Makanya, Ify berniat untuk membuatkan kekasihnya itu brownies.

Setelah mengantongi bahan-bahan kue yang ia butuhkan, Ify melanjutkan perjalanannya ke sebuah pusat perbelanjaan. Di sana, ia membeli beberapa potong pakaian dan sepasang sepatu. Ify ingin menyambut Gabriel dengan penampilan terbaiknya. Meskipun ia tahu bahwa apa pun yang dikenakannya, Gabriel selalu menerima.

Ify bersikap seperti tidak pernah terjadi apa pun kemarin. Seperti tidak ada pergolakan apa pun dalam dirinya. Kabar kepulangan Gabriel membuatnya merasa semua baik-baik saja. Namun ternyata tidak.

Ada seorang pemuda yang tengah terpekur sendirian di apartemennya yang luas. Berteman sunyi, ia mengeluh dalam hati. Bagaimana mungkin semuanya terjadi begitu cepat? Bagaimana bisa kebahagiaan seharian kemarin berbalik menjadi sepi hanya dalam sekilat? Ia menghembuskan napas berat.

Rio –pemuda itu- memandang sinis pada makanan cepat saji yang ada di meja, yang lima menit lalu baru datang setelah harus menunggu hampir satu jam sesudah ia memesan. Ia tersenyum miring. Kalau saja Ify tidak mendiamkannya, mungkin detik ini ia tidak harus makan ayam goreng dan nasi serta saus sambal seperti ini. Mungkin ia bisa datang dan meminta Ify untuk memasak makanan yang jauh lebih bergizi untuknya, seperti yang biasa ia lakukan di hari-hari kemarin, sebelum semuanya berubah.

Sebuah kotak berpita yang ada di atas laci mengalihkan perhatian Rio. Pemuda itu berdecak samar. Ingat bahwa kotak itu rencananya akan ia berikan pada Ify sepulangnya dari puncak sebagai ucapan terimakasih dan sebagai pertanda bahwa Rio ingin memulai sebuah hubungan yang lebih dari sekadar teman dengan gadis itu. Namun rencana tinggal rencana. Bagaimana bisa ia menjalankan rencananya ketika telepon darinya saja ditolak oleh Ify. Ingin sekali Rio berbaik sangka. Mungkin Ify sedang tidur, jadi tidak bisa mengangkat teleponnya. Namun tadi ketika ia membuka pintu apartemennya untuk menerima makanan cepat saji yang ia pesan, ia melihat Ify keluar. Bahkan mata mereka sempat beradu beberapa detik sebelum akhirnya Ify melengos dan menghilang masuk ke dalam lift.

Rio tidak pernah merasakan hal ini sebelumnya. Masa pendekatannya dengan seorang perempuan selalu berjalan mulus dan berlangsung hanya sebentar. Setelah itu voila, gadis-gadis itu bertekuk lutut untuknya. Setelah ia bosan, ia tidak akan segan untuk meninggalkan gadisnya. Meskipun pacar terakhirnya, Sivia, meninggalkannya terlebih dahulu.

Tapi untuk Ify, Rio merasa pendekatannya berlangsung terlalu lama. Bahkan untuk Sivia, perempuan paling cantik dan populer di kampusnya, ia hanya butuh waktu dua minggu untuk dapat membuatnya tergila-gila (walaupun pada akhirnya, ia yang hampir gila ditinggal Sivia). Harusnya sekarang Ify sudah ada dalam pelukannya. Namun menyentuhnya saja, Rio tidak bisa.

***

Dua tahun lalu Gabriel mendapat kabar bahwa orangtuanya akan pindah ke Paris, yang itu berarti ia akan ikut bersama mereka, berkuliah di sana. Gabriel tidak munafik bahwa dirinya gembira ketika mengetahui bahwa cita-citanya kuliah di luar negeri bisa terwujud, namun hatinya mencelos ketika menyadari bahwa berarti ia harus meninggalkan Ify, pacarnya.

Salah satu keberuntungan yang Gabriel miliki dalam hidup adalah Ify. Ia tidak menyangka bahwa ia berhasil mendapatkan hati gadis itu, seseorang yang tidak pernah terlihat menggilainya seperti beberapa gadis di sekolahnya. Namun justru karena itulah Gabriel tertarik pada Ify. Karena Gabriel yang amat tergila-gila pada Ify.

Ketika diberitahu mengenai rencana kepergiannya ke Paris, tanpa dinyana, Ify justru terlihat bahagia. Bola matanya yang berwarna coklat bersinar cerah. Ia menghambur memeluk Gabriel, memberikan selamat.

“Kamu ga sedih aku pergi?” tanya Gabriel seraya mengulum bibirnya.

“Yang buat aku bahagia, yang aku kasih selamat, bukan kepergian kamu, Gab! Aku bahagia karena mimpi kamu kuliah di Paris terwujud. Apa yang lebih membahagiakan dari mimpi yang akhirnya bisa jadi kenyataan?” ujar Ify yang diakhiri dengan senyuman lebar.

“Fy, kamu juga mimpi aku. Kalau aku pergi, aku berarti ninggalin mimpi aku,” keluh Gabriel.

Ify mengusap bahu Gabriel. “Hei! Aku bukan lagi mimpi kamu. Aku sekarang kenyataan, realita. Kamu harusnya kejar mimpi kamu yang masih jauh. Jangan lagi kejar aku. Kamu udah berhasil mendapatkan hati aku, semuanya.”

Ucapan-ucapan Ifylah yang akhirnya membuat hati Gabriel lapang untuk dapat meninggalkannya. Bukan. Hanya membentangkan jarak. Demi langit dan bumi, Gabriel tidak akan pernah meninggalkan Ify, kecuali jika gadis itu yang meminta yang ia harap hal itu takkan pernah terjadi.

“Kita harus jauh-jauhan, supaya tahu rasanya kangen. Kamu harus pergi, supaya kamu tahu kalau kamu punya rumah dan suatu hari nanti harus pulang.”

Kini, giliran Gabriel yang menghambur memeluk Ify. Ia baui harum gadisnya. Ia tenggelam dalam perasaan cinta.

Meski Ify melepasnya dengan begitu dewasa, tapi ketika di Bandara, tak urung jua gadis itu menangis. Pada detik-detik menuju perpisahan, Ify akhirnya mengutarakan kesedihannya.

“Aku masih belum bisa bayangin ga ketemu sama kamu dalam waktu yang lama. Pasti rasanya aneh dan sepi,” ujar Ify seraya menyeka air matanya.

“Aku bahkan ga berani bayangin, Fy! Tapi kamu harus percaya, meskipun aku pergi, aku selalu milik kamu,” Gabriel menyentuh pipi Ify yang basah, kemudian bergerak mencium kepala gadisnya.

Siang itu ia berpisah dengan Ify. Saat terakhir kalinya Gabriel merasakan halus dan lembutnya pipi itu, menghirup wangi tubuh itu. Setelahnya, ia hanya bisa mendengar suara renyahnya lewat telepon, memandangi wajah cantiknya lewat video call. Tapi semua berjalan baik-baik saja. Hampir tidak pernah ada pertengkaran di antara mereka. Ify kadang melewatkan panggilan dari Gabriel atau sebaliknya, tapi keduanya saling memahami karena perbedaan waktu yang cukup jauh.

Akhir-akhir ini, Gabriel tidak pernah tidur nyenyak. Mimpi buruk selalu hadir mengusik tidurnya. Sialnya, mimpi itu selalu datang dalam wujud Ify. Gabriel tahu mimpi hanyalah bunga tidur, namun terkadang bisa pula menjadi sebuah firasat atau mungkin saja karena rindu yang terlampau dalam.

Itulah mengapa sekarang Gabriel ada di sana. Menginjakan kakinya kembali ke Indonesia, demi bertemu Ify. Akan ia habiskan libur musim dinginnya bersama Ify dan merelakan diri untuk tidak ikut dengan rencana kedua orangtuanya berlibur ke USA.

‘Fy, aku udah di Jakarta. Mungkin tiga jam lagi aku udah sampai Bandung. Bisa ga sih jadi tiga menit aja? Aku benar-benar ga sabar buat ketemu kamu!’

Gabriel tersenyum setelah mengirimkan pesan itu pada Ify. Ia menatap keluar jendela. Membayangkan Ify ada di sana. Berlari menerobos hujan seperti yang sering ia lakukan dulu karena seringkali lupa untuk membawa payung dan terlalu malas untuk menunggu reda.

***

Pesan yang ia tunggu sejak kemarin akhirnya datang, kabar bahwa Gabriel sudah sampai di Jakarta. Ify tersenyum cerah. Pesan itu ia terima bertepatan dengan suara ovennya yang berdenting menandakan browniesnya telah matang. Segera ia keluarkan brownies itu. Asap mengepul dari loyang. Perasaan bahagia mengepul dari hatinya.

Setelah brownies itu dingin, Ify memotongnya menjadi beberapa bagian dan memasukkannya ke dalam sebuah kotak yang kemudian ia beri pita merah muda. Gadis itu terkikik geli. Rasanya sudah lama sekali ia tidak seantusias ini.

Ify lantas bergegas mempersiapkan diri. Setelah mandi, ia mengenakan pakaian yang dibelinya kemarin, sebuah terusan berwarna putih dengan renda di bagian bawahnya. Gadis itu kemudian mematut dirinya di depan cermin, mengulaskan selapis tipis bedak serta mewarnai bibirnya dengan lipstik. Ify juga memasangkan bandana merah muda untuk mempercantik rambutnya. Flat shoes berwarna hitam dengan aksen mutiara di bagian depan menyempurnakan penampilannya.

Ify menyelempangkan tasnya, lalu mengambil kotak brownies untuk kemudian segera pergi, menjemput Gabriel.

Pintu apartemen Ify terbuka hampir bersamaan dengan terbukanya pintu di sebrang sana yang langsung memperlihatkan sosok lelaki yang sudah dua hari berusaha untuk tak ia temukan, Rio. Ify meneguk ludah. Berdoa dalam hati agar Rio tidak menegurnya dan membiarkannya pergi.

Doa Ify tidak terkabul saat Rio bergerak ke arahnya lalu bertanya. “Lo mau ke mana?”

“Travel, jemput Gabriel.” tukas Ify pelan.

Rio menatap Ify dengan kening terlipat.

Ify sepertinya tahu pertanyaan tak terucap yang diisyaratkan Rio dengan ekspresi bingung itu. Ia berdeham samar, “Pacar aku. Baru pulang dari Paris.”

Terlihat sekali perubahan air muka Rio ketika Ify mengatakan bahwa Gabriel adalah pacarnya. Keterkejutan yang bercampur dengan rasa kecewa serta marah. Tapi Ify merasa itu bukan urusannya. Ia memutar bola mata. “Aku pergi dulu, Kak!” dan ia pun berlalu.

Ify tidak tahu bahwa ketika ia pergi menjemput kebahagiaannya, Rio justru jatuh ke dalam jurang kehancuran yang telah ia gali untuknya.

*** 

0 Komentar :

Posting Komentar

Komentari