Senin, 23 September 2019

Keterbadmintonan: Badai itu Bernama Anthony Sinisuka Ginting


Siapa yang masih ingat dengan penampilan Anthony Sinisuka Ginting yang gemilang pada gelaran China Open super 1000 tahun lalu? Saat itu, dengan draw yang sangat berat, Anthony bisa menjejak final dan menjadi juara. Bagaimana tidak? Sebelum merengkuh podium tertinggi China Open 2018, Anthony harus menumbangkan 4 juara dunia, yaitu Lin Dan, Viktor Axelsen, Chen Long, serta Kento Momota di final. Sebelum itu di semifinal ia berhasil mengalahkan Chou Tien Chen, pemain yang menjegalnya pada Asian Games 2018. Banyak orang dibuat terpukau dengan penampilan Anthony saat itu, hingga julukan 'Giant Killer' pun disematkan padanya.

Minggu lalu, kembali Anthony mengikuti China Open. Sebagai juara bertahan, tentu saja banyak orang yang berharap bahwa ia bisa mempertahankan gelarnya. Dengan draw yang tidak terlalu berat, mengingat Anthony datang sebagai unggulan ketujuh, tidak sedikit yang menginginkan Anthony untuk kembali berdiri di podium tertinggi. Sayangnya, di turnamen terakhir yang ia ikuti, yaitu Kejuaraan Dunia Bulutangkis 2019 di Basel, ia tidak menunjukan penampilan terbaiknya. Ia kalah di round 3 oleh pemain India, Sai Praneeth. Hasil tersebut membuat beberapa orang ragu. Bisakah Anthony memenuhi harapan orang-orang terhadapnya?

Di babak pertama, Anthony dihadapkan pada pemain Jepang, Kenta Nishimoto. Bermain tiga game, Anthony berhasil melangkah ke babak kedua yang lalu mempertemukannya dengan suami dari Saina Nehwal, Kashyap Parupalli yang juga berhasil ditaklukannya lewat rubber game. Di babak quarter final, Anthony kembali bertemu Sai Praneeth. Sempat kalah di game pertama, Anthony ngebut di game kedua dan ketiga dan akhirnya meloloskannya ke semifinal. Di sana, sudah menunggu peraih medali perak kejuaraan dunia 2019, Anders Antonsen. Anthony lagi-lagi bermain tiga game. Seperti sudah menjadi hobi baginya. Ga rubber, ga seru!

Tibalah babak final yang disambut riuh oleh pecinta badminton seluruh dunia. Anthony akan berhadapan dengan juara dunia 2018 dan 2019, Kento Momota. Meski belum seklasik persaingan antara Lin Dan vs Lee Chong Wei, namun jangan salah. Anthony Ginting vs Kento Momota adalah laga yang paling ditunggu-tunggu banyak orang. Bahkan para BL (Badminton Lovers) sudah memiliki julukan untuk mereka berdua, Momogi alias Momota Ginting.

Sejak awal, masing-masing pemain menunjukan skillnya. Momota dengan keuletannya, serta Anthony dengan gerakan-gerakannya yang bak penari. Game pertama berjalan ketat, hingga akhirnya berhasil diamankan oleh Anthony dengan skor 21-19. Di awal game kedua, pertandingan tidak berubah. Mereka saling jual-beli serangan. Sayangnya, di akhir game kedua, Anthony banyak melakukan kesalahan sendiri yang akhirnya membuat ia harus kehilangan game kedua. Pertandingan berlanjut dengan rubber game. Sebelumnya, Anthony belum pernah mengalahkan Momota lewat rubber game.

Game ketiga masih berjalan dengan tensi tinggi. Poin Anthony selalu tertinggal oleh Momota, tapi Anthony seperti tidak mau menyerah. Bahkan ketika ia harus meminta perawatan untuk kakinya. Saya tiba-tiba jadi teringat final badminton beregu putra Asian Games 2018, saat Anthony harus kalah oleh Shi Yuqi dari China karena otot pahanya yang terlalu lelah tiba-tiba keram. Syukurlah hal itu tidak terulang kembali. Anthony bisa melanjutkan pertandingan. Sayangnya, meski sempat menyamakan kedudukan hingga 19-19, Anthony sekali lagi harus mengakui keunggulan Momota. Poin terakhir didapat Momota dari pengembalian Anthony yang tersangkut. Anthony refleks melempar raketnya tinggi sekali. Bentuk dari kekecewaannya. Tapi itu tidak berlangsung lama, karena sedetik kemudian Momota berjalan ke arahnya dan memeluknya, lalu memberi kode untuk saling bertukar kaus. What a sportmanship!

Anthony kembali naik podium China Open, kali ini tidak jadi yang tertinggi. Tapi saya bisa pastikan dia mendapat perhatian paling banyak. Di sana, dengan trofi berbentuk piring dan boneka maskot yang menggemaskan, dia tersenyum lebar. Ia bersinar seorang diri karena bahkan di mata saya, sinarnya lebih terang dari sang juara. Dia bahagia sekaligus bangga.

Saat itu, saya menyadari sesuatu, bahwa Anthony Ginting lebih dari sekadar Giant Killer. Dia bukan hanya seorang pembunuh raksasa. Dia menjelma badai yang mampu menelan siapa pun yang ingin ia kalahkan. Dan ia hampir saja menenggelamkan seorang raja. Ya, badai itu telah lahir. Ialah Anthony Sinisuka Ginting.

Minggu, 03 Februari 2019

Lubang Hidung


Aku masih ingat, tahun lalu, saat kali pertama aku bertemu dengannya setelah sekian lama aku mengidolakannya. Siapa dia? Namanya Anthony Sinisuka Ginting. Orang-orang memanggilnya Ginting, kadang Onik. Tapi aku lain. Kupanggil dia Lubang Hidung. Dulu, panggilan itu cuma agar supaya beda saja dari yang lain. Sekarang, Lubang Hidung berarti banyak untukku. Mungkin dia tidak pernah tahu.

Tulisan ini tidak akan ada kalau tahun 2014 aku tidak pernah mendengar namanya. Mengetahui eksistensinya. Dia hadir. Di podium ketiga kejuaraan bulutangkis junior dunia. Remaja tanggung berkumis tipis yang mukanya menyebalkan sekali, tapi entah mengapa aku suka.

Lalu kulihat dia di lapangan. Dari satu lapangan ke lapangan lain. Berlari. Melompat. Terjatuh. Bangkit lagi. Sesuatu yang terus berulang, tapi tidak pernah membuatku melihatnya dengan bosan. Dia, selalu membuatku terkesan.

Butuh waktu 4 tahun untuk aku bisa bertemu dengannya. Tahun lalu, kali pertama aku melihatnya secara langsung. Dari awal, hingga ia berdiri dengan senyum sumringah di podium tertinggi. Membawa seikat bunga dan berkalungkan medali emas. Oh, aku bangga.

Waktu itu, setiap kali selesai ia bermain, aku selalu keluar dan menungguinya selesai diwawancara. Sekadar memberikan ucapan selamat dan doa untuk esok hari ia bisa bermain dengan lebih baik. Saat itu, tidak ada yang datang. Cuma aku dan temanku. Semuanya di dalam. Memberi dukungan untuk si rangking 1. Saat itu, rasanya mudah sekali bertemu dengannya. Cuma tinggal sabar menunggu. Tidak perlu bersaing dengan manusia lain.

Beberapa bulan kemudian, aku kembali bertemu dengannya. Aku sudah menyadari bahwa ada hal yang berubah. Sudah banyak orang yang ingin bertemu dengannya. Aku cemburu? Sedikit. Tapi tidak apa. Dengan prestasinya, dia pantas mendapatkan itu. Tapi saat itu, rasanya aku punya ambisi tersendiri. Pokoknya, aku harus bertemu dia. Sudah kubawakan ia setangkai bunga flanel. Bunga yang tidak sudi untuk kubawa pulang lagi.

Hari itu kamis, akan ada Meet and Greetnya. Sejak pagi aku sudah kacau sekali. Bunga yang akan kuberikan padanya tertinggal di penginapan. Aku harus kembali lagi untuk mengambilnya. Mengapa aku begitu percaya aku bisa bertemu dengannya hari itu? Karena aku sudah belajar banyak dari hari-hari sebelumnya bagaimana agar aku bisa menjadi peserta MnG terpilih. Selepas dia bertanding, aku langsung keluar dan mengambil tempat terdepan di lokasi MnG. Sebelumnya, aku sudah membeli produk blibli. Syarat agar aku bisa berfoto dengannya.

Kamis itu, dia kalah. Oh, aku bingung harus mengucapkan apa. Padahal rangkaian kata selamat sudah aku persiapkan. Tapi kebingungan itu luruh saat MnG tidak kunjung dimulai. Aku sudah menungguinya lebih dari satu jam. Berdua saja dengan seseorang yang tidak dikenal. Oh, lagi-lagi semua orang di dalam. Nonton si world no 1.

Mungkin dua jam. Di bawah terik siang. Waktu yang kubutuhkan untuk akhirnya aku bisa bertemu dengannya. Waktu itu cuma ada sekitar 15 orang di sana. Mungkin lebih sedikit. Dan MC, yang sudah membuat kesepakatan denganku, akhirnya memilihku untuk maju.

"Kamu kan tadi habis kalah, biasanya kalau kalah sedih ga? Terus sedihnya berapa lama? Soalnya aku kalau habis lihat kamu kalah, sedihnya suka lama."

Dia, dengan jerawat hampir meletus di jidat, menjawab dengan enteng, "Yaa, dibawa tidur juga, besoknya sedihnya udah ilang."

Baik.

Kuberikan dia setangkai bunga flanel berwarna merah. Lalu kutunjukan sebuah kipas bergambar wajahnya yang menyebalkan. Dia tertawa melihatnya. Tapi tak urung dia membubuhkan tanda tangan di sana.

Sebulan berlalu, dia menyedot perhatian banyak manusia. Semua orang meneriaki namanya. Banyak yang membully, tapi lebih banyak yang mencintainya. Aku, di bangku penonton, bersama ribuan penonton lainnya, tersenyum. Rasanya luar biasa ketika semua orang meneriaki namanya. Sebelumnya tidak sekeras dan sebanyak ini.

Dan minggu lalu, dunia seperti mengubah pusatnya menjadi dia. Bahkan sejak hari pertama, dia sudah jadi yang teristimewa. Aku masih tetap di sana. Di bangku penonton sebelah pojok. Cuma posisi itu yang bisa kuusahakan. Dan aku diam. Saat semua orang meneriaki namanya. Temanku melihatnya dengan heran. Aku juga tidak mengerti. Rasanya menikmati permainannya dalam diam adalah cara yang akan ku tempuh sekarang. Suaraku sudah cukup meneriaki namanya dulu. Mungkin kini tinggal hati. Di dalam sana, ku selalu mendoakan dia. Aku tahu, dia sudah mendapatkan banyak sekali doa. Dan doaku rasanya tidak terlalu penting. Tapi aku selalu ingin berdoa. Entah itu penting atau tidak.

Lubang Hidung. Apa artinya? Dia adalah jalan napas. Untuk apa? Untuk siapa? Untuk banyak hal. Untuk banyak orang. Termasuk aku. Terima kasih untuk selalu jadi Lubang Hidung. Berjalanlah terus. Bertumbuhlah selalu. Semakin besar dan bersinar. Semakin gemilang dan cemerlang.

Jumat, 18 Januari 2019

Pasar


Pagi itu, ibu minta aku pergi ke pasar. Beli telur dan sayur mayur. Ini kali pertama aku ke pasar sendirian. Aku tidak tahu bahwa aku akan sebingung itu. Semua orang berjualan telur dan sayur. Aku harus beli di mana? Di pasar. Ya. Tapi di toko yang mana? Yang telurnya paling bagus dan tidak busuk. Yang sayurnya segar dan tidak berulat.

Lalu aku pun pulang dengan tangan kosong. Ibu terheran-heran. Aku tidak mengatakan apa pun. Dia tidak pernah tahu bahwa aku pulang membawa banyak sekali kebingungan. Tentang bagaimana menemukan, memutuskan, dan memilih mana yang terbaik. Ibu, aku selalu gagal soal itu.

***

Dari dan untuk @_Rdarma

Jumat, 14 Desember 2018

Hilang


Aku telah kalah sejak hari itu. Tatkala kamu bilang bawa kamu mencintaiku tanpa tetapi. Aku berjudi untuk sesuatu yang tak pasti. Hanya dengan rasa percaya, aku berani mempertaruhkan diriku sendiri.

Lalu suatu pagi, tetapi itu datang dan semua yang kumiliki hilang. Aku telah kalah, namun belum jadi pecundang. Setelah ini, akulah manusia bodoh itu. Kamu hilang, aku tenggelam.

***

Dari dan untuk @zhraya_

Selasa, 11 Desember 2018

Putih


Aku seperti bayi yang baru lahir. Lemah tak berdaya. Amnesia tidak tahu apa-apa. Aku kembali jadi putih. Padahal sebelumnya, aku penuh gradasi warna.

Aku belum pernah mati, tapi mengapa aku merasa seperti lahir kembali? Sialnya, sekarang aku sendiri. Tidak ada kamu lagi. Atau mungkin sekarang aku sedang mati?

***

Dari dan untuk @desimitrac

Kangkung


Katanya kangkung bisa bikin orang mengantuk. Kalau begitu, aku mau makan kangkung sebanyak-banyaknya, supaya aku bisa mengantuk sengantuk-ngantuknya, supaya aku bisa tidur selelap-lelapnya. Karena mungkin hanya saat aku tidurlah, aku bisa menemukanmu lagi. Dalam mimpi.

Atau mungkin tidak sama sekali? Lalu, aku harus makan apa? Bagaimana kalau aku tetap makan kangkung? Tapi nanti aku tambahkan racun. Supaya aku dan perasaanku mati. Atau mungkin cuma aku yang mati? Perasaan itu abadi?

***

Dari dan untuk @auliaafitri

Hujan


Hujan selalu berhasil membangkitkan memori yang selama ini kubiarkan terlelap. Tentang bagaimana mendung selalu hadir paling pertama, menyisakan basah yang membuatku tidak ingin berpindah.

Saut-sautan derai rintik hujan itu jatuh ke bumi. Terlalu banyak sampai-sampai jumlahnya sudah tidak ku ketahui. Kusimpan dengan aman, namun justru hujan membuatku tenggelam.

Kali ini, bersama hujan yang kembali datang, aku luruhkan segala perasaan yang mengendap dalam hatiku. Aku ingin menjadi utuh. Meski memang harus tanpa kamu.

***

Dari dan untuk @purnama__s

Dede


Aku sama sekali tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi kala itu. Saat usiaku masih terlalu dini untuk bisa memahami tentang mengapa kau tiba-tiba ada. Apakah kau berniat merebut semua yang kumiliki? Oh, aku tidak siap untuk sengsara.

Aku tidak pernah berharap kamu ada. Memangnya apa yang bisa kuharapkan dari ketiadaan? Lalu shubuh itu ku dengar jeritan pertamamu, seiring dengan napas lega dari mulut ibu. Aku masih tidak tahu harus melakukan apa. Namun saat ku lihat wujudmu yang mungil berwarna kemerahan, aku seperti melihat diriku dulu, entah kapan dan di mana. Aku tiba-tiba saja jatuh cinta. Padahal, dulu aku tidak tahu cinta itu apa. Mungkin hingga sekarang. Namun, cuma satu yang bisa kukatakan padamu saat itu, untuk menunjukkan betapa aku merasa diberkati oleh kehadiranmu: "Hai, Dede!"

***

Dari dan untuk Teteh aku yang cinta banget sama aku, @salmakamila