HUJAN, Kita Dan Mimpi part 9

Minggu, 30 Oktober 2011

HUJAN, Kita Dan Mimpi part 9


Mungkinkah ini pertanda,
aku jatuh cinta,
cintaku yang pertama.

~Mikha Tambayong~
*

Bagai anak kecil yang dibelikan sebuah balon besar. Bagai seorang penyerang yang mampu membuat gol di gawang lawan. Bagai Cinderella yang berdansa dengan sang pangeran. Tersenyum dan bahagia. Itu aku saat ini. Sahabat karibku kembali, setelah tiga tahun dia mencoba lari.

"Selamat ya Fy!" ucap Rio dengan mata berbinar.

Belum sempat aku berucap, Rio memeluku. Pelukannya kembali memanggil getaran misterius itu hadir untuk mengacaukan fikiranku. Desauan nafasnya terasa hangat menyentuh belakang telingaku, membuat tubuhku merinding. Dan jantungku berloncatan kegirangan, membuat sang getaran kembali menambah frekuensinya. Bahkan seismograf pun tak mampu mengukur besarnya getaran misterius itu.

"Ehm... makasih yo!" ujarku dengan susah payah.

Dia melepas pelukanya, membuat aku bisa bernafas -sedikit- lega, untuk menenangkan jantungku dan menjinakkan getaran liar itu.

"Yuk!" ajaknya dengan tarikan tangan tiba-tiba yang selalu dia berikan, membiarkan jemari kami saling bertaut untuk beberapa waktu.

Baru saja tiga langkah kami berjalan, seseorang menghentikanya dengan suara yang renyah. "Hei!"

Kami membalikan badan, nampak seorang dengan memakai kaos basket biru tengah berlari memburu kami.

Saat ini, dia sudah berdiri di depan kami. Dia anak tadi. Yang tak sengaja menabrak Rio saat bermain basket. Dia nampak sedang mengatur nafasnya, lalu menyingkirkan deretan rambut gondrongnya yang hampir menutupi mata ke pinggir. Dia menatap Rio, lalu menatapku, dan akhirnya menatap Rio lagi. "Kamu Rio ya?" tanya anak lelaki yang berwajah menyenangkan itu dengan suara khasnya yang renyah.

"Iya, kamu anak SMP 3 ya?" tanya Rio

"Aku Ray." Ray mengulurkan tanganya yang disambut baik oleh tangan kanan Rio, sementara tangan kirinya, masih menggenggam erat tangan kananku, tak sebentar pun ia lepaskan.

"Maaf ya, tadi ga sengaja nabrak kamu!" ujar Ray dengan sangat polos. "Aku cuma mau ngucapin selamat buat sekolah kamu!" kata Ray lagi.

"Terimakasih ya!" kata Rio dengan senyum yang menawan.

"Rayyy! Cepetan! Anak-anak udah mau pulang!" teriak seorang gadis dari kejauhan. Gadis itu? Pemilik senyum manis yang melelehkan. Senyum yang membuat aku terhipnotis tadi, sampai aku tak bisa berkutik di hadapannya.

"Iya bawel!" jawab Ray dengan nada -sedikit- kesal. "Aku pulang ya, semoga kita bisa ketemu lagi!" Ray menepuk pundak Rio, lalu sejurus kemudian berlari menuju sumber suara.

Sang gadis senyum manis yang ia hampiri nampaknya sedang menggerutu, memarahi Ray yang terlihat mengulum bibir. Haha, lucu sekali Ray dan gadis senyum manis itu. Bagai sepasang. Kekasih.

"Hei" Rio menepuk pelan lenganku. Seketika aku mengerjap dan terkesiap, membuyarkan keterpesonaanku pada senyum manis sang gadis yang kini sudah memasuki bis. Pulang.

"Mau ikut aku ke suatu tempat?" tanya Rio

"Kemana?"

"Udah, ikut aja! Yuk!" dia kembali menarik tanganku untuk ikut ke tempat yang ia tuju.
*

Dipuja oleh seluruh penyair.
Diagungkan oleh seluruh mahluk.
Karena kekuatannya yang mahadahsyat.
Cinta.

*

Awan masih terlihat menggumpal. Matahari sudah mulah bergerak ke arah barat. Burung-burung sore juga sudah mulai berkicau. Sebuah kolam kecil dengan beberapa tonjolan batu di tengah-tengah. Dan pohon jati raksasa yang sudah berumur sangat tua. Hamparan rumput hijau dan deretan bunga matahari cantik di tepi kolam. Tempat ini, tempat tujuan Rio. Tempat kami berada sekarang.

Kami berdua duduk di atas akar besar pohon jati, berteduh di bawah rindangnya pohon perrkasa ini, menghirup udara sore yang menyehatkan rongga pernafasan. Menyegarkan.

Disini tenang, jauh dari keramaian dan bisingnya knalpot kendaraan. Hanya terlihat beberapa pasangan orangtua dan anak, juga muda-mudi yang sedang berjalan-jalan menikmati sore ini.

"Kamu suka tempat ini?" tanya Rio.

"Suka. Indah banget!" jawabku dengan pandangan ke arah deretan bunga matahari itu, dimana kupu-kupu sedang asyik hinggap di atasnya.

"Dulu, aku sering banget ke sini sama mama papa" celotehnya

"Sekarang?"

"Sekarang..." dia sedikit berfikir. "Aku kesini sama kamu"

Aku terkejut. Dan lantas perkataanya kembali mengundang getaran misterius itu datang lagi. Mengacaukan fikiranku lagi. Aku menoleh ke arahnya. Bahkan, dari samping pun, kesempurnaanya selalu terlihat. Tak ada cela sedikit pun.

Rio menoleh, menatapi mataku yang tertangkap sedang menatapinya. Aku mengerjap, menggaruk pipi yang aku yakin sekarang sudah berwarna merah. Aduh, kenapa aku malu?

"Hehe.." Rio terkekeh. "Mukamu lucu!" ujarnya.

Mati aku. Sepertinya dia melihat semburat merah di pipi tirusku. Aduh, konyol sekali aku. Ya ampun, pipiku ini tak bisa diajak kompromi. Malah sekarang, jantung, hati dan getaran sialan itu bersekongkol untuk menabuh genderang makin keras. Mereka membentuk kelompok pencipta kebisingan seperti kelompok marching band, dan getaran misterius itu yang jadi mayoretnya. Ya ampun, kalau terdengar pangeran matahari bagaimana? Bisa tambah merah pipiku.

"Aku salut sama permainan basketmu. Keren!" pujinya.

"Ma...makasih! Tapi biasa aja ah!" sanggahku.

"Kamu, selalu aja ngerendah."

Aku menghela nafas, lalu menghembusnya. Seiring dengan hembusan nafasku, aku berharap getaran itu enyah, hatiku berhenti bertalu, dan jantungku berhenti meloncat.

"Tapi, kayaknya setiap kamu berhadapan sama cewe yang rambutnya panjang di ikat, yang tadi manggil Ray, kamu ga lakuin apa-apa. Pas terakhir aja kamu bisa rebut bolanya dari dia" katanya sambil melempar kerikil kecil ke kolam.

"Soalnya... dia cantik. Senyumnya manis." jawabku.

"Oh ya?"

"iya, senyumnya sangat manis. Aku belum pernah melihat senyum semanis itu. Bahkan, senyum itu mampu buat aku terpesona." ujarku sambil kembali membayangkan lengkungan senyum sang gadis.

"Manisan juga senyum kamu!" celetuknya lagi yang sangat ampuh membangunkan getaran misterius itu yang sesaat sempat terlelap.

Kacau. Kalau getaran itu datang, maka jantungku akan kembali berloncatan, hatiku akan ikut bertalu, dan akhirnya menorehkan semburat merah di pipiku.

Benar saja kan. Sekarang aku merasa pipiku panas. Dan itu tandanya pipiku sudah positif merah. Dan aku yakin, warnanya lebih merah dari apel beracun yang di makan oleh putri salju.

Rio, pangeran matahari, kamu padandai sekali mengundang getaran itu. Hanya sekejap, dengan beberapa kata, satu kalimat, maka dengan segera getaran itu tiba.

Apa? Rio yang mengundang getaran itu? Apakah benar semua itu? Aku buta, aku tak tahu apa ini. Aku bodoh, aku tak dapat menyibak tabir misterius di balik getaran yang selalu muncul tanpa terduga.

Senang. Selain mengacaukan, tapi aku tak bisa memungkiri, aku selalu menikmati euphoria tiap getaran yang menjalar tanpa kendali. Dan tanpa sadar, aku juga berharap getaran itu tetap hadir di kala detik-detik terlewat bersamanya. Bersama sang pangeran Matahari.
*

Tuhan menciptakannya untukku.
Membiarkan waktuku terlewat bersamanya.
Mengubah semua kemalanganku.
Karena Tuhan maha sempurna, maka Dia juga menciptakannya dengan sempurna.
*

"Aku punya sesuatu deh buat kamu!" Rio kembali membuyarkan lamunanku.

Dia merogoh tas ranselnya, lalu mengeluarkan sebuah kalung cantik dengan bandul lengkungan pelangi kecil menggemaskan. Menambah cantiknya kalung itu.

"Aku udah lama punya kalung ini, tapi aku bingung mau kasih ini ke siapa." Rio menghela nafas. "Dan kayaknya, kamu deh yang pantes milikin kalung ini."

Aku membuka tanganku, lalu Rio meletakkan kalung di telapak tanganku. "Ada pelanginya, cocok buat kamu pelangi." ujarnya.

"Bagus banget! Boleh aku pakai?" tanyaku.

"Jangan!" Rio mengambil kembali kalung itu, membuatku heran dan sedikit kecewa.

"Biar aku aja yang pakein!" ujarnya lalu melepaskan kaitan kalungnya dan memakaikannya padaku.

Saat ini, kedua tangan kokoh Rio mengurungku dari belakang, membuatku harus menahan nafas. Aku mengangkat kuciran rambutku, lalu Rio mengaitkan lagi sang kalung.

Menggetarkan. Nafasnya berhembus ke tengkukku, membuat tubuhku kembali merinding dan petaran liar itu kembali menjadi-jadi. Bahkan sekarang dia mencoba mengambil alih seluruh fungsi organ tubuhku.

"Kamu cantik banget!" pujinya yang selalu berhasil membuatku tersipu.
*

Berbahagialah orang yang pernah merasakannya.
Menyesalah orang yang menyia-nyiakannya.
Dan bodohlah orang yang membencinya.
Karena cinta, terlalu sempurna.

*

Kami kembali melihat ke depan. Kupu-kupu itu tersenyum melihat kami. Burung juga ikut bersorak. Dan sang matahari yang sebentar lagi sembunyi, bahagia melihat kami.

Rio mendaratkan kepalanya di bahuku. Meski tidak sedang berada di bis, tapi kebiasaannya untuk bersandar dibahuku tak berubah. Tanpa sadar pula, aku selalu menanti saat ini. Saat kami begitu dekat. Saat aku bisa merasakan desauan nafas teraturnya. Saat aku mencium aroma khasnya, yaitu aroma minyak telon dan bedak bayi. Saat aku melihat tiap lekuk sempurna wajahnya. Saat aku bertarung dengan buncahan getaran itu. Saat aku merasa bahagia.

"Mataharinya udah mau pergi." ujarnya

Memang. Sekarang hanya tinggal 3/4 dari bulatan bola kuning itu yang masih nampak. Menyeruakkan semburat merah kekuningan di langit.

"Tapi, aku ga akan pernah pergi dari kamu!" ujarnya lagi.

Mimpi. Aku seperti berada di dunia mimpi. Kebahagiaan ini, aku tak pernah rasa sebelumnya.

Cinta. Orang mungkin sering merasakannya. Tapi aku baru pertama kali. Mungkinkah apa yang aku rasakan sama seperti yang orang-orang itu rasakan? Entah. Tapi yang jelas, aku hanya berharap rasa ini tak kan hilang seketika. Tak kan terhapus masa. Tak kan tergerus keadaan. Karena, dengan segala ketidaksempurnaanku, aku akan menjaga rasa ini agar tetap berada di hati. Dan aku berharap, aku benar-benar bisa menguraikannya, meski aku tak tahu, kapan tiba saat itu.

Hujan, keremangan ini mencipta bimbang.
Ketidakpastian ini membuatku ragu.
Tapi aku akan menjaganya.
*

0 Komentar :

Posting Komentar

Komentari