HUJAN, Kita Dan Mimpi part 8A

Minggu, 30 Oktober 2011

HUJAN, Kita Dan Mimpi part 8A


BASKET.
*

Dia, terlihat mondar-mandir bagai setrika diantara teman-temanya. Wajahnya teramat kalut, membuat peluh bercucuran di mukanya. Dia mengacak rambutnya kesal. Menendang kerikil kecil, dan menghentak bumi. Hei, kenapa pangeran matahari?

Aku bergegas menghampirinya, takut dia tidak bisa berkonsentrasi bermain basket, apalagi ini pertandingan yang penting, bukan hanya untukku, tapi juga untuk sekolah kami.

"Rio" aku menepuk pundaknya pelan.

Dia yang sedang menunduk, langsung mendongak dan menatapku tajam, menerkam dua manik mataku. Ow ow, nampaknya dia marah.

Aku menggigit bibir bagian bawah, menggaruk pipi yang sama sekali tak gatal. Dan begitu terkejutnya aku saat dia melonjak memelukku. Pelukanya teramat erat, membuaku kesusahan untuk bernafas.

"A..ku..ga bi..sa...nafas" kataku kepayahan.

Dia akhirnya melepaskan pelukanya, menggaruk kepala bagian belakang lalu terkekeh. "maaf"

Aku hanya tersenyum.

"Abis, kamu. kirain ga bakalan kesini. Aku ga tau deh, kalau kamu ga kesini, pasti permainan aku kacau banget." Rio mendesah "untung kamu datang!" Rio meletakkan kedua tanganya dipundaku. Memfokuskan kedua danau penyulut semangat itu pada kedua mataku. Menyengat tepat di manik mataku. Mematikan.

Aku menelusuri lekat-lekat danau itu, dan nafasku hampir tercekat saat desauan nafasnya terasa hangat sampai di wajahku, menciptakan getaran misterius itu kembali menyambar tubuhku, entah untuk yang ke berapa kali.

"Doain aku ya pelangi!" katanya tanpa memindahkan fokus matanya yang menjerat mataku kuat untuk tidak berkedip.

Aku hanya mengangguk dengan nafas tertahan, karena saat ini getaran menyebalkan itu sudah menyumbat rongga pernafasanku dan berhasil membuatku menahan nafas untuk beberapa waktu.

"Yo, cepetan! Pertandingannya udah mau mulai nih!" teriak seseorang dari tengah lapangan.

Aku mengerjap, dan tersadar dari buaian mempesona dua danau milik pangeran matahari.

Rio melepaskan tangannya dari pundaku dan menoleh ke arah sumber suara, "iya Yel!" teriak Rio lalu menoleh lagi ke arahku, "aku main dulu ya!" dia menepuk puncak kepalaku lalu mengacak-acak rambutku dan akhirnya berlari ke tengah lapangan, menghampiri teman-temannya yang sudah bersiap.

Akhirnya, aku bisa juga bernafas lega setelah beberapa saat tercekat. Ya Tuhan, tadi itu seperti saat menaiki wahana histeria. Harus menahan nafas dan merasakan euphoria yang begitu dahsyat membuncah di hatiku. Dan euphoria itu langsung memudar saat dia menjauh. Apa mungkin penyebab euphoria itu adalah....dia?
*

Pertandingan pun dimulai, antara SMPN 1 -sekolahku- dan SMPN 3 dengan dipimpin oleh Pak Joe.

Rio, dengan kaos merah dan sepatu putih yang dia kenakan tampak begitu tampan, ditambah permainannya yang sangat indah, begitu gesit bergerak diantara yang lainnya. Dan seharusnya kalian tahu, sedari tadi yang aku perhatikan bukanlah kemana bola itu bergulir, tapi segala gerakanyalah yang aku lihat. Dia berlari, mengoper bola pada Gabriel, Debo, atau dua rekannya yang lain, merebut bola dari rivalnya yang mengenakan kaos biru, berlari lagi, melompat, lalu melempar bola, dan pada akhirnya point pun di raihnya. Segalanya sangat sempurna.

Bruuk. Aww. Rio tersungkur. Tertabrak rivalnya yang berambut gondrong. Terlihat dia meringis kesakitan, memegangi lututnya yang terluka lalu meniupinya. Ya Tuhan, Rio kenapa? Jangan sakiti dia! Tunggu, ada apa dengan hatiku? Kenapa aku secemas ini?

Aku bernafas lega saat melihat pangeran matahari itu kembali bangkit, meraih bola, lalu melakukan lemparan. Dan yap, point untuk tim sekolah kami.

Begitu pun seterusnya. Rio beserta ke empat temanya meraih point. Meski harus bersusah payah karena nyatanya tim lawan tak ingin pulang dengan membawa kekalahan.

Empat kuarter berlalu. Dan priitt...priitt... Pak Joe meniup peluit panjang tanda pertandingan yang sangat menegangkan itu telah usai. Rio dan ke empat temannya melompat, bersorak, bahagia. Begitu juga seluruh siswa yang menyaksikan pertandingan barusan. Sementara ke lima pemain lain yang juga berada di lapangan tersebut terlihat sedih. Mereka menunduk kecewa menerima kekalahan yang cukup menyakitkan. Tapi pada akhirnya ini hanya sebuah pertandingan. Harus ada yang menang dan kalah, kan? Dan itu memang sudah mutlak. Meraka pun saling berjabat tangan, menunjukan sportifitas.

Rio mulai mendekat ke arahku dengan senyum yang merekah di bibirnya. Dia berhenti tepat di hadapanku. Memegang pundaku. Dan sejurus kemudian memeluk tubuhku. Dan tepat saat dia menyambarku, jantungku mulai bertalu. Getaran misterius itu muncul lagi, bahkan lebih keras dan tak terkendali.

Rio akhirnya melepas pelukan itu, memudahkanku untuk mengendalikan getaran misterius itu. Dan aw, kenapa aku merasa gugup saat kilat hebat menyambar tepat bola mataku. Kilat yang seakan memompa jantungku untuk menciptakan getaran yang lebih menggila.

"Aku menang Fy!" ujarnya.

Aku mengerjap, menarik nafas lalu berkata, "Selamat ya Yo!"

Rio mengangguk semangat lalu mengambil botol air mineral yang tergeletak di sampigku, membuka tutupnya, lalu meneguk isinya kemudian duduk di sampingku. Rio mengambil handuk yang juga tergeletak disampingku bersama air mineral tadi, mengelap peluh-peluh yang membasahi sekujur tubuhnya.

"Setelah ini, apa?" tanyaku sambil memainkan ujung rok.

"Basket putri" jawabnya lalu kembali menyimpan handuk di dekat botol air mineral tadi.

Aku menggigit bibir, bertanya dengan ragu, "Agni ikut?"

Dia menoleh ke arahku, menatapku, lalu kembali menoleh ke depan. "Ya iyalah, Agni kan atlit basket putri andalan sekolah kita" Rio menghela nafas. "Kenapa emang?" tanyanya lagi.

Aku menggeleng, menyadari bahwa itu adalah pertanyaan yang bodoh, dan kenapa pula bibirku melontarkannya? Seharusnya aku tahu, Agni memang pantas dan seharusnya masuk tim inti basket putri sekolahku.

"Yo, sini!" teriak seseorang dari sebuah kerumunan.

Rio menoleh ke arah kerumunan itu, menatapku lalu bangkit dari duduknya. "Aku kesana dulu ya!" izinnya lalu berlari menuju sumber suara tadi.
*

Sepuluh menit berlalu. Dia kembali menghampiriku dengan wajah yang begitu kalut. Nampaknya ada yang tidak beres.

"Kenapa?" tanyaku sembari bangkit.

"Irva sakit, dia ga bisa main." katanya sambil mengatur nafasnya yang terengah-engah.

"Ganti aja sama pemain cadangan" ujarku sekenanya.

"Nah, itu dia masalahnya, kita ga punya pemain cadangan." Dia mulai mondar-mandir membuatku ikut cemas.

Aku mengerutkan kening, menggigit bibir sambil menggaruk pipi. Ups. Kenapa aku jadi seperti ini?

"Ahaaa!" katanya tiba-tiba, membuatku kaget dan harus mengelus dada.

"Apa?"

"Kamu aja yang gantiin Irva." celetuknya membuatku terlonjak dan geleng-geleng kepala.

Hei, apa-apaan Rio ini? menyuruhku untuk bermain basket, bukankah tiga tahun terakhir ini aku sudah tidak bermain basket. Aku trauma bermain basket, kejadian waktu itu...
*

3 tahun yang lalu.

Sore itu begitu terik. Matahari sungguh superior memancarkan sinarnya. Begitu bersemangatnya sang mentari, sama seperti bersemangatnya Agni untuk mencaci maki seorang itik buruk rupa.

"Kamu bodoh! Kalau aja tadi kamu oper bola itu ke aku dan ga egois untuk ngelempar bola itu sendiri, sekolah kita ga bakal kalah!" teriaknya di tepi lapangan, disaksikan banyak pasang mata.

Gadis buruk rupa itu hanya tertunduk. Menatapi beton yang dia injak. Merutuki kebodohannya dalam hati.

"Dasar bodoh! Kamu, ga bisa main basket!" suaranya makin menggelegar membuat gendang telinga yang mendengar pecah.

Dan, gadis itu mulai berkaca-kaca, hingga akhirnya sebuah tetesan bening mengalir di pipinya lalu bergelayut di ujung dagu runcingnya. Dan sebelum butiran itu mengenai tanah, tetesan alam mendahuluinya. Seakan mengiringi tangisan gadis yang -katanya- bodoh itu. Bahkan matahari yang awalnya begitu berkobar, tak tega melihat gadis itu menangis, hingga membiarkan hujan menemani tangisnya
*

bersambung

0 Komentar :

Posting Komentar

Komentari