HUJAN, Kita Dan Mimpi part 7
Hal kecil yang membawa perubahan yang signifikan, membuat semuanya terasa lebih indah.
PISANG GORENG
*
Aku mendesah berat, menghempaskan gas yang menyesakkan dada, berharap gas itu enyah. Namun nyatanya gas beracun itu tak mau pergi, lebih senang memadati ruang dadaku. Aku memejamkan mataku, berharap mimpi indah tadi masih terus berlanjut. Sayang, mimpi itu sudah tertimbun sangat dalam. Maka mulailah aku memberanikan diri melihat pagi ini. Apa masih sama seperti kemarin? Tidak. Kemarin lebih baik. Pagi ini sama muramnya seperti pagi sebelum kemarin.
Aku kembali ke rutinitas biasa, mandi, berpakaian, lalu mematut diri sebentar di depan cermin. Setelahnya, keluar dari kamar, lalu menuruni anak tangga dan meluangkan waktu untuk menengok ruang makan.
Aku hanya mengintip saja. Dan nampak wanita paruh baya yang sedang menyiapkan roti dan selai untuk hanya jadu pajangan di atas meja, karena sesungguhnya roti-roti itu tak pernah aku ata orang lain-mama dan papa- sentuh.
Aku mengedikan kepala, miris melihatnya, lalu melangkah pergi.
"Non" terdengar suara Bi Surti memanggilku, membuat langkah kecilku terhenti.
Aku menunduk. Ah, hari ini aku tak bersemangat.
"Ini non" Bi Surti mengangsurkan sebuah kotak bekal berbentuk kepala kucing. Ya Tuhan, menggemaskan sekali.
Aku mengerutkan kening. Tak mengerti. apa aku di suruh membawa bekal ke sekolah macam anak TK? Entah.
"Sejak kemarin, non kan belum makan, ini bi Surti buatin pisang goreng. Kesukaan non, kan?" ujar wanita sabar itu.
"Ga usah deh bi!" Ujarku sekenanya.
"Ayolah non, bibi ga mau non sakit" Bi surti memasang wajah memelas.
Kalian tahu? Aku paling tidak bisa melihat orang lain memelas. Maka dengan setengah hati, aku menerima kotak bekal itu. "Makasih ya Bi!"
*Aku masih memegangi kotak bekalku. Tak berniat sedikit pun untuk melahap isinya, meski aku tahu di dalam kotak lucu ini, ada makanan kesukaanku. Sambil melihat ke depan, atlet-atlet basket sekolahku sedang berlatih. Ya, karena sebentar lagi mereka akan menghadapi pertandingan persahabatan dengan SMP lain. Terselip di antara mereka seorang tampan. Entah kenapa, sedari tadi aku memfokuskan mataku ke arahnya. Memperhatikan setiap gerak-geriknya dan meresapi keindahannya.
Tanpa sadar, siluet yang ku perhatikan menghampiriku, dan akhirnya duduk di sampingku.
Rio mendesah lalu menepuk pundakku. "Tumben" katanya dengan nafas yang masih terengah-engah.
"Mencoba sesuatu yang baru" ujarku.
"Lalu?" tanyanya lagi sambil mengusap peluh yang bergelayut di ujung dagunya.
"Cukup menyenangkan""Itu apa?" Rio menunjuk kotak bekal yang ku pegang.
Aku menoleh ke arahnya lalu mengasongkan kotak bekal berisi pisang goreng. Dia hanya mengerutkan kening.
"Pisang goreng, buat kamu" kataku ringan.
"Buat aku?" Rio meraih kotak bekalku. "Makasih ya!" Dengan jemarinya dia membuka tutup kotak bekal, menyimpannya di bangku yang kami duduki. Meneliti isinya. Meraihnya. Lalu akhirnya melahapnya.
"Sebentar lagi pertandingan persahabatan, makanya kami rajin latihan." celotehnya sambil terus menggigiti tiap potongan pisang goreng.
Aku hanya tergugu, entah mau mengatakan apa-apa. Bibirku selalu tiba-tiba membeku jikalau berada di sampinya. Hatiku ikut bertalu. Dan getaran misterius itu kembali menjalar ke sekujur tubuhku. Tapi yang jelas, perasaan senang selalu menyergapku saat bersamanya.
"tumben ga di perpus?" dia bertanya sambil terus melakukan prosedur menghancurkan pisang goreng.
"Kalo aku diem terus di perpus, siapa yang bakalan ngehabisin pisang goreng itu? Buku-buku?" Aku menoleh ke arahnya. Dia, rakus juga. Tapi auranya justru makin terpancar saat dia melahap tiap centi pisang goreng. Tentu saja. Dia memang selalu sempurna.
Akhirnya semua pisang goreng pun berhasil dia habiskan, tak tersisa walau hanya secuil. Dia memasukkan jarinya ke mulut lalu mencomotnya satu persatu. Seperti anak kecil. Lucu sekali.
"Makasih ya, pisang gorengnya enak banget! Main basket bikin aku laper!" ujarnya polos sambil memegangi perutnya yang terlihat sedikit buncit. Mungkin karena efek memakan pisang goreng itu.
Aku menyunggingkan senyum, melihat begitu polosnya tingkah laku sang pangeran matahari. Tingkah yang tak pernah dia tunjukan pada orang selain aku.
Dia berbalik, berlari menuju lapangan basket dan bergabung kembali dengan teman-temannya. Berlatih lagi penuh tenaga. Dia selalu saja seperti itu. Bersemangat.
"Alysaaa..." teriak seseorang dari kejauhan. Suara cemprengnya memekikan telinga. Suara yang sudah sangat ku hafal. Bagaimana tidak, setiap hari aku mendengarnya berceloteh ria di sampingku. Dia Keke, Gabriel Angeline Thalita Pangemanan, teman sebangkuku.
"Aduh, ternyata kamu disini toh!" katanya sambil menstabilkan pernafasannya.
"kenapa Ke?" tanyaku keheranan, melihat tingkah aneh sahabat karibku ini.
"Aku cariin kamu ke perpus, tenyata kamu di sini. Bu Angel, pulang sekolah nanti kamu di suruh nemuin dia" cerocosnya.
"Mau apa?" tanyaku yang hanya di jawab dengan gelengan kepala dan bahu terangkat.
Mau apa sebenarnya pembina teaterku yang satu itu? Tidak tahulah.
*
"Saya, ga bisa melakukan seutuhnys bu." ujarku dengan mata tertunduk. Tak berani menatap mata lawan bicaraku. Karena aku tahu, tatapanya pasti runcing, bak tusuk sate.
"Kenapa?" Bu Angel-lawan bicaraku-menghela nafas. "Ibu tidak habis fikir, kenapa kamu selalu menolak untuk sepenuhnya ikut dalam rencana-rencana besar yang saya buat, bahkan rencana yang kelewat besar seperti ini."
"Saya...tidak layak bu!" aku masih tertunduk. Sama sekali belum berani menatap Bu Angel.
"Alysaa.."
Aku masih teru menunduk, menatapi ujung-ujung rok biruku. Bahkan kali ini makin dalam.
"Alyssa.." Suara Bu Angel mengeras. Dan itu tandanya mau tak mau aku harus berhenti menunduk dan kemudian menatapnya.
Aku mendongak. Dan tepat saat mata bulatnya menyambar telak kedua bola mataku. Benar saja, matanya amat tajam, lebih tajam dari paruh elang. Mematikan.
"Kamu, lebih dari layak Alyssa. Setiap kalimat yang kamu buat itu terlalu rapi dan indah. Bagaimana bisa kamu menganggap bahwa kamu tidak layak?" Bu Angel menggelengkan kepala. "Percaya sama ibu, kamu mampu Alyssa"
"Tidak tahu lah bu, izinkan saya untuk berfikir, untuk memutuskan apa yang akan saya lakukan, melakukan seutuhnya atau tidak sama sekali." kataku dengan hembusan nafas putus asa.
"saya berharap, pilihan pertama yang akan kamu ambil" Bu Angel menepuk pundaku, seakan ingin menjejaliku dengan semangat. Percuma saja, karena toh aku pasti akan menolaknya. Aku merasa putus asa.
*
Segalanya tentangnya adalah hal terindah.
Semua ucapannya adalah pelecut semangat.
Tiap inci lebar senyumnya adalah kebahagiaan.
Dan kehadirannya, membawa perubahan.
*
Aku berjalan dengan gontai sendirian. Pikiranku menerawang. Bingung. Apa yang harus aku lakukan. Mengikuti kata-kata Bu Angel, atau tetap pada pendirianku. Tapi sepertinya, aku akan tetap pada pendirianku. Takkan tergoyahkan oleh badai yang tiap saat bisa menerjang.
"Hai!" sapa seseorang dengan tepukan di pundakku.
Aku menoleh. dia lagi. Tak pernah bosan aku bertemu dengannya. Dan aku berterimakasih kepada Tuhan, telah membuat aku di temukan olehnya di halte di tengah-tengah hujan.
"Oh ya, tadi aku lupa, aku mau ngomong sesuatu sama kamu" ucapnya ceria seperyi biasanya, lalu berjalan beriringan denganku.
"ngomong apa?" tanyaku.
"pisang gorengnya enak, besok bawa lagi ya. Boleh, kan?" pintanya.
"Tentu, kalau kamu mau, tiap hari aku bawain deh!" kataku. Oh Tuhan, kau begitu baik. Ini pertanda setiap hari akau akan bertemu dengannya dan menghabiskan waktu istirahat dengannya di temani tiap potongan pisang goreng.
"Thanks ya!" Dia menepuk puncak kepalaku, membuat getaran misterius itu datang lalu menjalar ke seluruh tubuhku.
"Hari ini kamu dijemput?" tanyanya.
"Ga, kalaupun dijemput, aku ga bakalan mau pulang." aku menggigit bibir bagian bawah.
"Kalau gitu, aku bisa tidur lagi di bahumu dong! Yuk!" dia menarik tanganku tiba-tiba menuju bis yang baru datang. Ini tarikan tangannya yang ke...entahlah, sudah sangat sering. Dan aku bahagia.
Sampailah kami di dalam bis, lalu kini duduk di paling belakang, karena baris ke-3, tempat favorit kami-tepatnya aku-sudah ada yang menempati. Tapi, dimanapun itu, aku selalu senang jika bersamanya.
Dua menit setelah bis melaju, kepalanya mendarat di bahuku. Dan saat itu pula, getaran yang menjalar di rubuhku semakin mebuncah. Apa ini Tuhan? Bahkan getaran ini lebih besar dari gempa di Aceh tahu 2004 dulu. Ah aku tak tahu apa ini. Semuanya remang. Dan aku belum bisa menguraikan apa sebenarnya penyebab getaran misterius itu.
*
Kehadirannya adalah kesempurnaan.
Dia adalah zat kimia yang mampu merubah kekecewaan menjadi kebahagiaan.
Karena dia di ciptakan untuk menjadi sang pangeran.
*
Pagi ini cerah. Ya, setidaknya itu yang ku rasakan. Meski mendung menyelubung langit, tapi bagiku cerah saja. tumben kau datang sepagi ini, rajin benar.
"Pagi bi!" sapaku pada Bi Surti yang sedang menyiapkan sarapan.
"Loh loh loh, kenapa ini? Non Ify kok kelihatannya seneng banget!" Ujar Bi Surti sambil menuangkan air panas ke dalam gelas berisi susu.
"Emang bi! Bi, pisang gorengnya enak, bikinin lagi ya!" kataku kemudian mangambil segelas susu yang baru saja di seduholeh Bi Surti.
"Siap non!" Bi Surti mengacungkan jempol. Menyanggupi.
*
Menunggu. Adalah hal yang teramat membosankan bagi semua orang. Kecuali aku. Aku selalu menikmati saat-saat menantinya di pojok perpustakaan. Dengan memegangi kotak bekal berisi pisang goreng, aku merasa bahagia. Aku yakin, dia akan selalu datang untuk menemuiku, lalu melahap habis pisang gorengku.
*
Ketiadaanya membuatku gelisah.
Keterlambatannya membuatku cemas.
Tapi hanya dengan sebuah senyuman manisnya, kegelisahan dan kecemasan itu sirna.
*
Duduk takzim di kursi pojok perpustakaan menjadi rutinitas yang selalu aku lakukan. Begitu juga hari ini. Sambil sesekali melirik gelisah ke jam tangan yang ku kenakan. Berharap dia segera datang untuk mengambil pisang goreng yang selalu aku bawa untuknya. Aku yakin, meski sudah lewat lima belas menit, dia akan datang.
"Maaf ya, tadi porsi latihannya di tambah, besok kan pertandingannya," katanya mengusap keringat yang bercampur dengan tetesan hujan.
Aku menyodorkan kotak bekal. Dia membuka, meraih isinya, lalu melahapnya. Seperti biasa.
"Besok, kamu nonton aku ya!" katanya sambil mengunyah potongan pisang goreng.
"gimana besok aja deh!" kataku ringan sambil membuka halamn ensiklopedia yang akan ku baca.
"Yah, ko gitu sih, ayolah! kamu kan selalu ngasih aku energi lewat pisang goreng ini tiap selesai latihan, masa di pertandingan nanti kamu ga nonton. Ayolah! Buat nyemangatin aku!" dia memelas sambil mengangkat kedua alisnya.
"iya deh!" kataku sambil terkekeh.
Hujan, dia gambar senyuman
dia lukis keindahan
*
bersambung.
0 Komentar :
Posting Komentar
Komentari