HUJAN, Kita Dan Mimpi part 17

Minggu, 30 Oktober 2011

HUJAN, Kita Dan Mimpi part 17


Dan ternyata cinta yang menguatkan aku.

~Padi~

*

Sesungguhnya, pada saat kita menganggap bahwa prahara adalah jalan yang ditunjukkan Tuhan menuju kebahagiaan. Saat kita merasa yakin bahwa kita memiliki kekuatan untuk melalui prahara yang kejam menerjang. Pada saat itulah kita tahu, Tuhan sangat amat menyayangi hamba-Nya.

*

Tak pernah sedikit pun terbersit dalam benak, bahwa segalanya menjadi serumit ini. Lebih rumit dari rentetan rumus trigonometri. Karena ternyata, masalah yang ku hadapi bukan hanya sekedar masalah cinta yang ku punya untuk pemuda tampan beraroma bedak bayi itu yang terabaikan. Karena pemuda impianku telah menemukan Gadis penerbit cintanya sendiri. Tapi lebih peliknya lagi, aku harus mendapatkan fakta menyakitkan bahwa Gadis tersebut adalah Keke, sahabat kentalku. Maka kini aku terpaksa harus merasakan betapa memusingkannya dilema.

Dilema. Dihadapkan pada situasi dimana kita harus memilih. Lantas apa yang harus aku pilih? Mengikhlaskan pemuda impianku untuk kebahagiaan mereka berdua dan resikonya, aku harus mengubur dalam-dalam cintaku. Bahkan mungkin, mengenyahkannya dari hatiku. Atau tetap mempertahankan cinta dalam hati yang telah berbentuk abstrak ini. Lalu terus berjuang untuk merebut kembali hati Sang Pemuda. Pada akhirnya, Kekelah yang akan terluka. Pilihan yang sangat sulit. Aku tak bisa memilih salah satunya.

Keke, gadis yang -mendekati- sempurna itu sangatlah hebat. Tanpa terduga, dia menyelinap masuk melalui celah terselubung ke dalam kisah ini. Kisah sederhana yang disusun oleh tiap rinai hujan yang selalu hadir dalam tiap detik peristiwa yang terjadi. Kisah klasik yang dibangun oleh angan-angan mengenai mimpi di masa depan. Kisah yang pada awalnya hanya berlakon tentang Hujan, Pelangi, Matahari dan mimpi-mimpi. Namun kini, Keke juga ikut ambil bagian di dalamnya. Dia menjelma menjadi Aurora. Sang penerbit cinta bagi hati Pangeran Matahari.

Dia tak butuh waktu yang lama untuk merubah segalanya. Hanya dalam sekejap, dia mampu menghapus kebahagiaan yang tercipta lantas memindahkan kebahagiaan itu untuk dirinya sendiri. Hanya dengan pipi kembang kempisnya, dia mampu menciptakan medan magnet yang tarikannya jauh lebih kuat. Dengan segala yang ia punya, ia menawarkan betapa cinta yang ia punya lebih menyenangkan dari cinta lainnya.

Apakah Keke yang harus disalahkan atas semua ini? Tapi Keke juga tak tahu menahu soal perasaanku. Yang Keke tahu, dia juga mencintai pemuda yang sama seperti yang ku cintai. Dia tak pernah melihat Pelangi memberikan salah satu dari warnanya pada Matahari. Maka ia pun mengambil kesempatan untuk menerbitkan cinta pada hati Matahari. Lantas ia satukan dengan cintanya.

Atau, Matahari yang salah? Matahari yang tak pernah peka terhadap Sang Pelangi. Dia tak pernah menyadari, bahwa ketujuh warna Pelangi tercipta untuk dan karenanya. Pelangi takkan pernah ada kalau matahari tak ada. Tapi dia punya dunia sendiri. Dunia yang jauh lebih indah dari dunia lengkung warna-warni Pelangi. Dunia penerbit cinta Sang Aurora.

Atau bahkan akulah yang salah? Aku yang terlalu berharap agar dia membalas cintaku. Aku yang tak pernah bisa mengendalikan perasaanku padanya. Aku yang mengundang Aurora untuk ikut masuk dalam kisah ini. Tapi memangnya, apa aku bisa untuk berhenti berharap? Bukankah berharap adalah sebuah keharusan. Walau hanya sekedar berharap dalam lelap. Lalu aku bisa menyangkal perasaan cinta yang Tuhan selipkan di hatiku? Aku tak bisa. Jangan salahkan aku!

Maka ini bukanlah soal siapa yang salah. Ini soal tiga hati. Dan hatikulah yang paling tersakiti.

Dan akhirnya kesakitan hatiku inilah yang meyakinkanku bahwa aku akan mengambil sebuah pilihan. Aku akan mempertahankan cintaku. Menata ulang kepingan-kepingan hatiku. Merebut cinta Rio. Dan membiarkan Keke merasakan apa yang ku rasakan kini.

Mungkin, keputusan yang ku ambil terkesan jahat. Tapi, bukankah Keke jauh lebih jahat? Sang sutradara juga. Si pembuat jalan cerita apalagi. Kalau mereka semua diperbolehkan untuk berbuat jahat, kenapa aku tidak?

Aku tak pernah bermain-main dengan apa yang telah ku pilih. Aku membuktikan semuanya, saat selepas bel istirahat berbunyi Keke menghampiri meja baruku.

"Ifyyy!" Keke memekik. Pekikan yang sama seperti dulu. Pekikan bersahabat. Pekikan yang setiap harinya selalu setia menyapa telingaku.

Keke meraih tanganku. Lantas dengan antusias berucap, "Ikut aku yuk! Aku mau ngenalin seseorang sama kamu. Tapi, kayanya kamu udah kenal deh! Eh tapi, kamu belum tahu kan hubungan dia sama aku? Yuk yuk!" dia mengangguk-anggukan kepalanya. Rambutnya yang dikuncir dua ikut bergoyang. Dia mengerjapkan mata. Berharap aku akan menerima ajakkannya.

Aku masih diam tak bergeming. Menatapi bulatan matanya yang cukup besar. Tatapannya sangat tulus. Dia kemudian tersenyum. Dan senyuman itu selalu menyenangkan hatiku. Lantas sekarang, masihkah senyuman itu berkhasiat yang sama? Tidak. Nyatanya, aku muak dengan senyuman itu. Aku benci sikap Keke yang ramah. Aku mengepalkan tanganku yang tak dipegang Keke.

"Ayo Fy! Dia pasti udah nungguin!" ujar Keke seraya menggoyang-goyangkan tanganku. Alisnya saling bertaut. Menatapku dengan tatapan memohon. Dia memelas. Sial. Aku tak pernah bisa melihat siapa pun memelas, apalagi Keke.

Hatiku terus berkecamuk. Sungguh, aku tak tega melihat Keke memelas, menungguku untuk mengiyakan permintaannya. Tapi, Keke memintaku untuk ikut bersamanya dan menemui Rio. Lantas memproklamirkan bahwa Rio adalah pemudanya. Aku takkan sanggup melihat itu. Tapi kalau aku menolaknya, dia pasti akan sangat kecewa. Bukankah aku telah berjanji tak akan pernah membuatnya kecewa? Tapi, setelah dia menghancurkan seluruh mimpiku, apakah aku masih tetap memegang janjiku?

Tidak. Sudah terlalu lama aku pasrah dari segala apa pun yang menyakiti hatiku. Maka sekarang, aku harus mengumpulkan kekuatan dan keberanian untuk menolak mentah-mentah permintaan Keke.

Aku melepaskan tanganku dari genggamannya dengan kasar. Menatapnya tajam tanpa belas kasihan. Menghela nafas lalu berkata "Ga mau!" dengan ketus. Aku memalingkan muka.

Keke terkesiap mendapatkan perlakuan yang tidak bersahabat dariku. Lalu senyumnya seketika hilang. Matanya menatap nanar. "Kenapa? Kamu marah ya?" Keke bertanya dengan suara bergetar.

Aku menggigit bibir. Kepalanku semakin menguat. Menggeleng perlahan. Sikap terjahat yang ku berikan untuk sahabatku yang manis. Aku merasa bersalah. Tapi, ini pilihanku. Membuat Keke juga merasakan sakit seperti apa yang ku rasakan. Walau aku tersiksa melakukan semuanya.

"Aku..." ucapanku tertahan saat melihat betapa berkaca-kaca kedua mata bulat Keke. Dia mau menangis. Aku tak rela ini terjadi. Keke harus tetap tersenyum. Tapi... lagi-lagi aku terjebak dalam pilihanku. Maka aku mengerjap, lalu melanjutkan ucapanku. "Aku ga mau, karena aku ga mau liat kamu. Aku ga suka sama kamu!"

Sungguh, kebohongan besar baru saja terlontar. Ah ya, mana mungkin aku tak menyukai Keke? Dia sahabatku, meski kini dia berubah menjadi penjahat. Dan aku harus mempertebal tembok egoku hanya untuk melanjutkan misi pengejaran mimpi.

Maka Keke hanya bisa melongo. Lalu sejurus kemudian, sebuah kristal bening mengalir melalui pipi tembemnya, diikuti kristal lain yang jumlahnya sudah tak terhitung. Keke menangis untuk yang kedua kalinya. Dan semuanya disebabkan olehku. Aku berusaha menutupi perasaan memilukan di hatiku saat tiap buliran air matanya seakan menusuk-nusuk ulu hatiku. Aku penjahat terkejam.

"Aku... aku..." Keke terbata-bata bicara. "Aku gagal jadi sahabat buat kamu!" Dan setelah pengakuan termenyedihkan dari Keke, ia melengos pergi. Meninggalkan aku yang masih terpaku. Merutuk dalam hati mengenai kejahatan yang ku lakukan.

Maka akhirnya, aku menghempaskan tubuhku ke atas kursi. Memukul meja sekeras mungkin. Lalu menangis. Menangis untuk membalas perbuatan kejamku pada Keke. Menangis dan berharap tangisanku akan menghapus luka yang baru saja ku toreh tepat di hati sahabat terbaikku. Keke tak boleh menangis lagi.

"Dia tak akan berubah. Dia tetap sahabatmu! Sahabat terbaikmu!" ujar Gabriel sambil menyusupkan jumputan rambutku ke belakang telinga.

Aku menoleh ke arahnya. Dengan mata yang basah, aku menatapnya heran. Sahabat terbaikku? Apa orang yang telah menciptakan jutaan luka menganga di hatiku pantas dikatakan sahabat sejati? Dan yang ditatap hanya tersenyum. Mengangguk pelan. Lalu mengusap sisa-sisa air mata yang masih menggenangi pipiku.

*

Cintamu menguatkan cintaku padanya.

*

Gabriel membuktikan ucapannya. Ucapan bahwa Keke akan tetap jadi sahabat terbaikku.

Sore setelah seminggu insiden kejahatan yang ku lakukan pada Keke, sepulang sekolah, aku bersama Gabriel pergi ke taman. Meski sebelumnya aku enggan untuk pergi -mengingat taman adalah tempat Rio bertemu Keke-, namun Gabriel memastikan bahwa aku akan baik-baik saja. Maka aku bersedia.

Dan aku dikejutkan oleh sebuah teriakan seseorang yang menghentikan langkah kami berdua.

"Ifyyy! Gabriel!"

Suara manja itu mengucap nama kami berdua. Lantas kami pun menoleh ke arah sumber suara. Aku terperanjat mendapati seorang gadis manis tengah duduk beralaskan rumput taman bersama pemuda yang sedang asyik menggigiti sepotong pisang goreng. Gadis itu tersenyum dan melambaikan tangannya. Meminta kami bergabung bersamanya.

Aku hendak melarikan diri, tapi tangan kokoh Gabriel sigap menahannya. Maka aku pun tertahan.

"Kamu kuat dan akan selalu kuat!" ujar Gabriel lantas menarik tanganku.

Nyatanya, kalimat itu memang memiliki kekuatan magis. Karena setelah mendengarnya, aku memang tak bisa menolak tarikan tangan Gabriel yang membawaku menghampiri mereka.

"Hai Ke! Hai Yo!" sapa Gabriel lalu duduk di samping Rio.

Sementara aku, tanpa sadar juga ikut duduk bersama mereka. Mataku terfokus pada pemuda yang masih sibuk mencomoti pisang gorengnya. Dia tak menyadari keberadaanku. Bahkan mungkin, kini ia tak peduli padaku. Dan sungguh, se-menyakitkannya sikapnya padaku, aku masih tetap menyukai bibir mungilnya yang berlumuran minyak. Aku masih terbuai untuk tetap memperhatikan rahangnya yang bergerak saat mengunyah pisang goreng. Dan pada saat aku menghirup udara, aroma bedak bayinya masih tetap berkhasiat untuk mengundang getaran misterius yang telah terlelap kembali terbangun. Tentu saja, cinta untuknya, masih ku jaga.

"Ini!" Keke menyimpan sekotak pisang goreng pada kedua telapak tanganku.

Aku terkesiap. Berhenti menatapi Rio yang nyatanya tak menggubris sedikit pun kehadiranku. Lalu mendelik tajam pada Keke.

"Aku tahu kamu suka banget sama pisang goreng, makanya aku belajar buat pisang goreng sama mama. Khusus buat kamu, sahabat ter-istimewa yang aku punya." Keke mendesah. Mengambil tanganku untuk ia genggam. "Fy..." Keke menatapku tajam. "Aku ga tahu apa yang buat kamu marah sama aku. Tapi, aku cuma mau bilang, kalau aku mau jadi sahabat kamu. Sahabat kecil untuk gadis hebat seperti kamu. Aku mau jadi sahabat kamu Ify!"

Rasanya, aku ingin menusukkan pisau belati pada perutku sendiri. Supaya aku dapat membayar atas perbuatan buruk yang telah ku lakukan pada Keke. Aku ingin menghambur memeluk Keke. Meminta maaf karena kebodohanku. Aku ingin kembali bersama Keke.

Dan pada saat aku hendak mengeluarkan jutaan penyesalanku, aku kembali di hantui perasaan perih yang telah Keke bubuhkan di hatiku. Aku kembali diingatkan, bahwa apa yang Keke lakukan padaku jauh lebih kejam dari apa yang ku lakukan padanya. Maka yang ku ucapkan, sesungguhnya hanyalah luapan emosi. Bukan ketulusan dari dalam hati.

"Kamu ga pantas jadi sahabat aku. Kamu PENJAHAT!"

Dan semua yang mendengar ucapanku yang kasar tersentak. Termasuk Rio yang langsung menatapku dengan tatapan membunuh.

"JANGAN BENTAK KEKE!" dan itulah bentakkan kedua yang ku dapatkan dari Rio setelah insiden di perpustakaan silam.

Entah mendapat keberanian dari mana, aku pun kembali membalasnya.

"KENAPA? KARENA KEKE AURORA KAMU? AURORA YANG UDAH BUAT KAMU LUPA SAMA AKU, SAMA PELANGI KAMU! AKU BENCI KALIAN BERDUA!" lantas aku segera berlari meninggalkan Keke yang terisak. Membiarkan Rio menelan ludah. Sementara Gabriel mengejarku.

Akhirnya, setelah berapa saat Gabriel mengejarku, dia berhasil meraih tanganku. Menghentikan langkahku. Lantas ia membalikan tubuhku agar menghadapnya.

"Kenapa kamu bersikap seperti itu sama Keke?" tanya Gabriel

"Dia penjahat Yel!" ujarku. Tanpa sadar, kembali menangis.

"Kamu lupa sesuatu. Kamu lupa siapa orang yang selalu ada bagaimana pun keadaan kamu? Saat Agni membencimu, siapa yang selalu ada untuk melapangkan hatimu? Saat aku menghilang dari kehidupanmu, siapa yang selalu setia menemanimu? Dia Keke. Sahabat kamu!"

"Tapi kenapa harus Keke?" tanyaku retoris.

"Semuanya karena takdir yang telah disusun jauh sebelum kita ada di dunia ini."

Lalu aku tertohok. Ya, takdir. Aku tak bisa melawan takdir. Siapa pun takkan bisa melawannya. Maka kini, yang dapat ku lakukan adalah menyalahi Gabriel.

"Lalu, apa maksud kamu bawa aku ke sana? Kamu mau buat aku mati?"

"Dan sekarang, kamu ga mati, kan?"

Aku menggelengkan kepala. Tak habis fikir dengan pemuda ini? Apa dia tak mengerti, bahwa keadaanku sudah benar-benar menyedihkan? Aku mendesah lantas berkata pelan, "Cinta aku udah mati."

Maka Gabriel menyentuh dagu runcingku. Memberikan tatapan elangnya. Lantas berujar yang kembali membuat hati bergetar.

"Cinta kamu hanya tersakiti. Dan kamu tak usah khawatir. Karena cintaku yang akan menyembuhkannya."

Pada akhirnya, aku kembali terpana pada segala yang ada pada pemuda berhati malaikat di hadapanku ini. Lantas aku kembali menghambur dalam pelukannya. Dan tanpa segan, dia pun kembali meminjamkan hangat tubuhnya untuk menguatkan aku.

Dan Gabriel memang bukanlah pemuda yang biasa. Karena disela kesederhanaannya, dia menunjukkan betapa aku jauh lebih kuat dari apa yang ku bayangkan. Kebijakkannyalah yang telah meyakinkan hatiku agar aku tetap mempertahankan cinta yang telah diambang kematian. Ketulusannya dalam menuntunku secara perlahan untuk melewati kejamnya prahara, menumbuhkan keyakinan bahwa prahara bukanlah hal yang mengerikan. Tapi prahara adalah jalan terbaik yang diberikan Tuhan untuk mencapai zona kebahagiaan. Maka aku sangat bersyukur karena Tuhan menunjukkan kasih-Nya lewat pemuda tampan berhati malaikat ini. Pemuda yang memberikan cinta tulusnya untuk menguatkanku agar tetap mencintai pemuda impianku dengan sederhana. Bukankah keinginanku hanya satu hal itu saja? Mencintai dengan sederhana. Dan meski dia tak menjadi milikku, aku masih tetap bisa mencintainya. Cinta yang sederhana.

Dan sambil membelai rambut ikalku, dia berbisik. "Kamu kuat tanpa harus jadi penjahat."

*

bersambung

*

0 Komentar :

Posting Komentar

Komentari