HUJAN, Kita Dan Mimpi part 12

Minggu, 30 Oktober 2011

HUJAN, Kita Dan Mimpi part 12


Karena sesungguhnya, saat kita memutuskan untuk mencintai seseorang, kita harus siap patah hati dalam waktu yang bersamaan.

*

Dan, prahara itu mulai menunjukkan aksinya. Menggoda jalinan kasih yang tercipta. Merenggut kebahagiaan dari pemiliknya. Menghasilkan luka menganga. Mencabik hati yang kini terluka. Maka, yakinlah Tuhan Maha Pengasih. Dia takkan tega, jikalau prahara menyakiti sang cinta.

*

"Aurora?" aku kembali mengulang perkataannya. Tak percaya sedikit pun akan kalimat yang baru saja terlontar dari bibir mungilnya. Dan ternyata, hatiku ketar-ketir mendengarnya. Gelisah.

"Iya. Dia cantik, indah, dan tak pernah aku temui. Layaknya Aurora. Fenomena dimana langit berwarna kemerah-merahan di ufuk utara, seolah-olah matahari akan terbit dari arah tersebut." dia bercerita dengan wajah berseri. "Dan cintaku sudah terbit darinya, dari Aurora." lanjut Rio.

Aku menunduk. Menutupi semua perasaanku saat ini. Saat dengan tega getaran misterius itu meninggalkan hatiku yang baru saja tertoreh tajamnya prahara. Saat hatiku merasa sangat hancur. Bukan lagi berkeping-keping. Namun lebih dari itu. Hancur tak berbentuk. Remuk.

Mataku mulai memanas. Sudah siap mencipta aliran di pipiku. Tidak. Jangan dulu. Jangan menangis di hadapannya seperti saat itu. Maka aku menggigit bibir. Memegang erat kotak pisang goreng. Dan menunduk makin dalam, ketika semua harapan yang mengembang karena tiap potong pisang goreng itu mulai menyusut. Kala sebuah asa sudah ku terbangkan sampai setinggi langit ke tujuh, terhempas jatuh ke dasar samudera. Tertimbun. Hilang. Mati. Mengenaskan. Saat hatiku yakin bahwa inilah yang namanya cinta dan pada saat yang bersamaan, hatiku harus menelan pil kekecewaan. Saat dia mengatakan dengan mantap, bahwa Auroralah cintanya.

Aku menghela nafas berat. Merasakan wangi khasnya yaitu bedak bayi yang biasanya selalu memenuhi tiap sudut rongga pernafasanku kala aku berada di dekatnya, kini tiba-tiba enyah. Menyusul getaran misterius itu yang sudah terlebih dahulu meninggalkan hatiku dengan torehan luka menganga.

"Fy." Rio menepuk pundakku pelan, membuatku mengerjap dan mengangkat kepalaku lalu menatapnya yang kini sedang duduk, masih dengan wajah berserinya.

"Kamu, bertemu dengan Aurora dimana?" tanyaku dengan suara bergetar.

"Di taman. Kemarin saat aku pulang, aku bertemu dengannya." Rio mendesah lalu melanjutkan rentetan cerita tentang Aurora-nya. "Dia sedang bermain seksopon. Pipinya yang tembem, lucu. Kembang kempis saat meniupnya. Dan aku suka itu!"

Bodoh. Aku merutuki kebodohanku sendiri dalah hati. Pertanyaanku barusan hanya akan memancing Rio untuk terus menerus berceloteh tentang cintanya. Dan benar kan, betapa bersemangatnya dia saat melakukan hal tersebut. Membubuhkan perih yang teramat menyakitkan pada luka hatiku yang menganga karena Auroranya.

"Dan kamu tahu, setiap pulang sekolah aku akan ke taman. Aku yakin dia akan kembali ke taman untuk bermain seksopon. Dan aku akan melihat pipinya yang lucu! Hehe..." ujarnya sambil terkekeh dan mencubiti pipinya sendiri.

Dia terlihat berbeda. Bercerita dengan sangat bahagia. Aku tak pernah melihatnya sebahagia itu. Bahkan lebih dari bahagianya dia saat berhasil memenangkan pertandingan basket.

Aku kembali memegang kuat kotak pisang goreng. Menahan amarah. Saat tanpa peduli terhadap perasaanku, Rio terus saja bercerita tentang keindahan Auroranya. Aku tahu, pemuda ini memang kurang peka. Tapi, untuk kali ini, tak bisakah dia mengetahui betapa teririsnya hatiku. Aku memperlihatkan itu. Lihatlah mataku yang memerah dan berkaca-kaca membendung tangis. Wajahku yang mengguratkan kekecewaan. Deru nafasku yang tak karuan. Keringat dingin yang melumuri seluruh tubuhku. Semuanya kentara. Teramat kentara.

Maka aku menyerah. Menunduk makin dalam. Dan menangis. Sampai akhirnya, air mataku jatuh membasahi kotak pisang goreng. Menyedihkan.

*

Meski kini aku sudah duduk manis di kelas dan mengerjakan tugas matematika dari Bu Winda, karena kebetulan beliau sedang berhalangan masuk kelas. Meski Rio sudah berada di kelasnya sendiri dan tidak bercerita tentang Auroranya. Tapi, segala macam keindahan Aurora yang digambarkan oleh Rio terus saja berdenging di dalam gendang telingaku.

Aurora. Fenomena pancaran cahaya yang menyala-nyala pada lapisan ionosfer dari sebuah planet akibat adanya interaksi antara medan magnetik yang dimiliki planet tersebut dengan partikel bermuatan yang dipancarkan matahari. Begitulah Aurora menurut ilmu pengetahuan. Aku akui, Aurora memang sangatlah indah. Tapi, apakah Aurora yang ditemui Rio di taman seindah Aurora yang terjadi di kutub utara? Entahlah. Tapi, menurut penjelasan Rio, Auroranya sangat indah. Cantik. Pipinya tembem. Lucu. Ah, sempurna.

Tunggu. Rio bertemu gadis itu di taman? Bukankah gadis yang ku temui di taman adalah Gadis Senyum Manis? Lagi pula, Gadis Senyum manis juga memiliki pipi yang tembem seperti yang Rio ceritakan. Tapi, Gadis senyum manis tidak bermain seksopon. Ah, mungkin saja Gadis senyum manis menyimpan seksoponnya. Tapi, memangnya Gadis Senyum Manis itu satu-satunya gadis di taman? Tidak, kan? Lalu, kenapa ciri-cirinya sangat mirip dengan Gadis Senyum Manis? Mungkinkah Aurora itu Gadis Senyum Manis? Tidak tahu. Dua hipotesis muncul dalam benakku. Pertama, Aurora adalah Gadis Senyum Manis. Kedua, Aurora berbeda dengan Gadis Senyum Manis.

Aku mendesah. Menggaruk pipi kiriku. Lalu membenamkan wajah di atas meja.

Keke yang mendengar desahanku, juga ikut mendesah. Dia menyimpan pensilnya. Melipat kedua tangannya di atas meja. Mendaratkan kepala di atas lipatan tangannya. Lalu menoleh ke arahku. "Kenapa Fy?" tanya Keke lembut.

Aku mendesah lagi. Mengangkat wajahku. Menoleh pada Keke. Dan tersenyum masam.

"Kamu bisa cerita sama aku." ujar Keke.

"Aku ga kenapa-napa!" ujarku yang tak mau membuat Keke khawatir. Sebagaimana janjiku pada Rio untuk tidak membuat siapa pun khawatir. Ya, meski Rio sudah menghancurkan cinta yang telah Tuhan cipta untukku jaga dengan prahara yang dia bawa, tapi sampai kapan pun janjiku akan selalu ku tepati.

Keke hanya tersenyum.

"Keke" ucap seorang pemuda yang kini sudah berdiri di depan kami.

"Apa?" Keke mendongak.

"Pulang sekolah, ekskul musik kumpul ya!" kata Gabriel -pemuda itu-.

Keke mengerenyit, mengangkat kedua alis tipisnya. "Bukannya, kemarin kita kumpul ya?" tanya Keke.

"Kita mau bicarain soal penggantian ketua dan pengurus ekskul musik. Bentar lagi kan, kita pensiun!" jelas Gabriel.

"Ya udah deh!" ujar Keke lalu mengulum bibir. Sepertinya, dia enggan untuk menuruti perintah Gabriel. Tapi, mengingat Gabriel adalah ketua ekskul musik, jadi mau tak mau, Keke harus menurutinya.

"Oke! Jangan lupa ya!" kata Gabriel lalu kembali lagi ke mejanya.

Sekilas, dia menoleh ke arahku. Memberikan senyuman lebar khas miliknya. Lalu kemudian duduk bersama Debo -teman sebangkunya-. Pemuda itu memang ramah.

Aku menoleh lagi ke arah Keke. Memperhatikannya yang kini sedang melanjutkan tugas matematikanya. Dan kemudian, fikiranku kembali berkutat dengan segala hipotesisku tentang Aurora.

Ah Aurora. Gadis yang telah menerbitkan cinta di hatinya Rio, sekaligus menggoreskan sayatan luka di hatiku, membuatku pusing saja. Huh. Aku kembali mendesah.

*

Aku tak ingin terus menduga-duga. Meyakinkan hati, hanya dengan hipotesis-hipotesis yang kebenarannya belum terbukti. Maka, sepulang sekolah, aku pergi ke taman untuk mencari tahu siapakah Aurora.

Aku berdiri di balik pohon jati. Tanganku menggenggam erat bandul pelangi kecil kalungku. Kalung pemberian Rio, sebelum Aurora datang merusak segalanya. Hanya dengan menggenggam bandul pelangilah, aku berharap hatiku ini akan kuat dan bertahan. Takkan putus asa lantas menyerah, walau torehan luka menganga semakin besar. Menyakitkan.

Dan satu fakta yang mendukung hipotesisku yang pertama telah ku dapatkan. Saat aku melihat Gadis Senyum Manis yang kini memakai baju terusan berwarna biru muda dan rambut yang selalu diikat menjadi dua, sedang berlari sambil membawa balon bersama Ray, pemuda gondrong yang selalu menemani Sang Gadis.

"Raaayy! Jangan cepet-cepet larinya! Kan aku capek!" rengek Gadis Senyum Manis dengan suara yang manja.

Aku menunduk. Menangis sambil terus menggenggam erat bandul pelangi. Hatiku semakin mencelos. Lukaku semakin perih. Meski suara renyah Ray juga mengiringi rengekan sang Gadis, tapi hanya rengekan Sang Gadislah yang bersahutan masuk ke telingaku. Mengacaukan seluruh fungsi otakku. Menusuk tepat di luka hatiku. Menghantam secuil asa agar tertimbun makin dalam. Membunuh cinta yang susah payah ku pertahankan.

"Hahaha, kau bodoh Ray!" gelak tawa sang Gadis menggema dalam telingaku.

Aku menutup kedua telingaku. Menggeleng-gelengkan kepala. Dan terus menangis.

Hatiku semakin sakit mendengar suara manja gadis senyum manis. Maka, setelah aku menyeka air mata, aku berlari. Pergi meninggalkan taman dengan satu kesimpulan. Kesimpulan yang teramat menyakitkan. Kesimpulan bahwa Aurora adalah Gadis Senyum Manis.

*

Ketika seluruh penghuni bumi bersekutu untuk tidak mendengarkan pengaduan kita, yakinlah, Tuhan akan selalu ada. Dia senantiasa mau menjadi tempat kita untuk mengadu.

*

Sejak kepulanganku dari taman, sejak aku dapat menarik kesimpulan bahwa Gadis Senyum Manislah Aurora, aku terus saja menangis. Bahkan, saat sembahyang maghrib sepuluh menit yang lalu, aku terus menitikan air mata.

Seharusnya, setelah dia memberikan bunga matahari yang sekarang diam manis di dalam vas di atas meja kecil itu adalah awal dari cinta yang terus ku pelihara. Namun sebaliknya. Justru hal itulah yang mengundang prahara yang tak dikehendaki kehadirannya mengacaukan segalanya. Membunuh telak Sang Cinta.

Aku baru tahu, betapa patah hati itu sangat menyakitkan. Lebih menyakitkan dari ribuan peluru menghujam jantungku.

Dan, aku hanya terus diam. Duduk sambil memandangi langit kelam. Tanpa bintang. Tanpa bulan.

Lalu tanpa ku duga, seorang wanita paruh baya menghampiriku. Ikut duduk di sampingku. Membelai lembut kepalaku. Lalu tersenyum.

"Ify ga apa-apa!" kataku.

"Kalau kamu ga mau cerita sama mama, berceritalah pada Tuhan!" ucap mama dengan sangat bijaksana.

Bercerita pada Tuhan? Aku mengerutkan kening.

"Ify sudah sholat maghrib?" tanya mama.

Aku mengangguk pelan.

"Tapi, Ify masih resah." Mama sedikit berfikir. "Mungkin, sholat Ify hanya sekedar sholat. Seharusnya, Ify berserah diri pada-Nya saat sholat!"

Aku menunduk. Malu pada mama, juga pada Tuhan. Ah, benarkah sholatku hanya sekedar sholat? Kalau benar, maafkan aku Tuhan.

"Lekaslah mengadu pada-Nya!" ujar mama lalu bergegas meninggalkanku sendirian.

Mama, selalu hadir dengan segala petuahnya yang bijaksana. Tak peduli aku sering tak menggubris kasihnya. Terimakasih mama.

Aku mendongak. Melihat ke arah langit. Lalu memejamkan mata.

Dalam keheningan malam, kini aku mengadu padamu Tuhan. Mengadu bahwa cinta yang kau anugerahkan padaku adalah hal terindah. Mengadu tentang prahara yang kejam menyingkirkan sang cinta.

Maka, hanya satu yang ku pinta. Tetaplah kuatkan aku untuk mengusir prahara, agar cinta tetap berjalan semestinya.

Memang yang dikatakan mama benar. Mengadu pada Tuhan membuat segalanya menjadi lebih baik. Luka yang menganga di hatiku sedikit membaik. Tak sesakit sebelumnya. Jiwaku juga sudah agak tenang dalam menghadapi prahara yang tega menyakiti cintaku.

Aku membuka mata. Lalu tersenyum lega saat kini langit menumpahkan berkah Maha Kuasa. Hujan. Ah, kau memang selalu datang disaat yang tepat. Saat aku begitu membutuhkanmu untuk membasuh luka hatiku. Dan sekarang kau datang. Aku sangat berterimakasih pada Tuhan. Karena kedatanganmu atas perintah-Nya, kan?

Maka, aku berharap tiap rinai hujan yang menerpa bumi saat ini, adalah kekuatan untuk tetap bertahan dengan hati yang terluka dari tiap terjangan prahara.

*

Hujan, jagalah cinta.
musnahkan prahara.

*

bersambung.

0 Komentar :

Posting Komentar

Komentari