HUJAN, Kita Dan Mimpi part 8B

Minggu, 30 Oktober 2011

HUJAN, Kita Dan Mimpi part 8B


Hanya yang mau mengambil resiko terbesar yang akan menjadi pemenang.
mempertaruhkan semua, termasuk hatinya.
yakinlah, Tuhan Maha kuasa! Dia takkan rela melihat hamba-Nya terluka.
*

Saat mereka menghinaku, kau genggam tanganku. Kau bisikan tulusnya cinta kepadaku

Glenn Fredly
*

"kenapa? Kamu bisa main basket kan?" tanya Rio membuyarkan memori yang baru saja berputar tanpa ku sadar dalam otakku.

"Aku..." terbata-bata "bodoh, yo!"

Rio mengerutkan kening, "maksud kamu?"

"Aku bodoh, aku ga bisa main basket." ucapku lirih, kali ini dengan kepala tertunduk.

"Pelangi." Rio memegang bahu kananku, lalu dengan telunjuknya dia menyentuh ujung dagu runcingku dan mengangkatnya agar kepalaku tidak menunduk lagi. Lalu dengan kedua danau penyulut semangatnya, dia menohok dua pelihatku. "Kamu bisa main basket. Aku, percaya sama kamu!" tuturnya yakin.

Aku menggeleng. Menyangkal tatapan tajamnya. Menyanggah ucapannya. "Ga bisa."

"Ify pelangi bisa lakukan apa saja. Don't give up pelangi!"

Ups. Dan kali ini aku memang tak bisa menghindarkan pelihatku dari tohokan danaunya yang tajam. Menjerat. Mematikan. Memabukan.

"Ayo!" dia menyambar lenganku, menyeretku ke kerumunan tadi.

Ah Rio. Apa tak kentara penolakanku tadi? Kurang jelaskah ketidaksudianku untuk menerima tawaranya? Anak ini memang tak peka ya. Ck, aku berdecak.

Semua yang ada di kerumunan memperhatikanku, dari ujung kaki sampai ke ujung kepala. Hei, kenapa? Ada yang aneh denganku? Baiklah, tak usah dijawab.

Aku mengedarkan pandanganku, nampaknya mereka baik-baik. Kecuali... ow ow, matanya menatap tajam ke arahku, dan sepertinya sudah bersiap untuk menusuk telak kedua mataku. Ya Tuhan, bisakah aku pergi dari keadaan yang tidak menyenangkan ini? Aku serasa, ingin mati saja.

"Ini Ify Alyssa. Dia bakalan gantiin Irva." ujar Rio pada semua yang ada disini.

Aku menggigit bibir, memperhatikan dengan seksama bagaimana ekspresi wajah mereka. Tiga orang anak perempuan yang memakai baju basket nampak tersenyum, menyambut baik keberadaanku. Dan karena itu, aku jadi ikut tersenyum. Tapi, dalam sekejap, senyum yang baru saja terlukis di wajahku luntur, saat mataku menangkap ekspresi tidak bersahabat dari gadis berambut pendek yang sedari tadi menatapku tajam. Dia, Agni Tri Nubuwati. Gadis yang mungkin -dan sepertinya- menyimpan dendam padaku. Dendam akan peristiwa 3 tahun silam itu.

"Kamu yakin yo?" tanya Agni dengan nada meremehkan.

"Aku yakin. Iya kan Fy?" Rio menyenggol tubuhku, membuatku sedikit terkesiap.

"Eh... ah... iya... mungkin.." kataku dengan hembusan nafas putus asa.

"Dia" Agni menunjuk tepat kearah mukaku. "Ga bisa main basket. Sama. Sekali." katanya telak mencambuk hatiku. Membuatku ngeri dan memutuskan menghindari dua bola panasnya dengan menunduk.

"Agni... bener... Aku ga bisa... main basket yo!" suaraku bergetar, menahan tangis yang hampir pecah.

"Aku yakin ko, Ify bisa main basket. Cobalah Ag, kasih kesempatan buat Ify!" Rio berusaha membelaku.

"Ga." jawab Agni ketus.

"Ayolah Ag! Tim kita butuh seorang pemain lagi. Biarin Ify main!" ujar seorang gadis yang sedari tadi menyambut ramah keberadaanku.

"Tapi, kenapa harus dia sih?" Agni kekeh pada pendirianya. Dari dulu, dia memang tak pernah berubah. Tetap keras kepala.

"Ga ada lagi yang bisa main basket selain dia Ag!" ujar gadis itu lagi. Apa? Dia percaya padaku? Pada gadis bodoh yang belum ia kenal sama sekali?

"Udahlah Ag, jangan egois!" kata Rio.

"Terserahlah.." pertahanan Agni runtuh.

Gadis ramah tadi menghampiriku. Mengangkat daguku yang sedari tadi tertunduk, lalu tersenyum sangat tulus. Senyum percaya. "Ganti baju dulu yuk!" ajaknya.

Aku mengangguk lalu mengekorinya menuju ruang ganti.
*

"Gimana? Bajunya pas?" tanya gadis itu sambil memperhatikanku yang baru keluar dari ruang ganti.

"Agak longgar sih!" kataku sambil merapikan baju basket yang ku kenakan.

"Hehe, itu baju Irva" gadis itu mengulurkan tanganya, "aku Sofia."

Aku menjabat tanganya, tersenyum lalu berkata "Aku Ify Alyssa."

Entah kenapa, melihat gadis ramah ini, aku merasa senang. Mungkin karena dia orang ke-dua yang percaya pada gadis bodoh sepertiku, atau mungkin hal yang lain? Tak tahu. Tapi, gadis ini memang sangat baik dan bersahabat. Dibalik penampilannya yang agak tomboy seperti Agni, dia menyimpan kelembutan. Kelembutan hati yang mampu menggugah kepercayaan diriku. Dan agaknya hal itu mampu menghapus goresan traumaku akan basket.
*


Kami berkumpul. Aku, Agni, Sofia, Dea, Aren, Rio, dan Pak Duta -pelatih tim basket-. Pak Duta memberikan arahan mengenai strategi di dalam permainan basket. Dengan sangat berwibawa, beliau menjelaskan taktik yang akan dipakai. Bagai seorang jenderal yang mengarahkan prajuritnya untuk berlaga di medan perang. "Menyerang, adalah pertahanan yang paling baik", kira-kira seperti itulah strategi tim basket putri sekolah kami.

"Kamu" Pak Duta menunjukku. "jaga lini belakang, hadang setiap lawan yang datang, rebut bolanya, dan lempar ke pemain lain."

Aku mengangguk menyanggupi. Sepertinya tugas yang tidak terlalu berat.

"Aku ga yakin dia bisa." ujar Agni sambil memutar bola mantanya, membuat aku tertunduk dan kepercayaan diri yang sempat melambung kembali terhempas. Mengenaskan.

"Lakukan semua dengan semangat!" kata Pak Duta dengan bersemangat, agar membuat anak asuhnya juga ikut bersemangat. Tapi tidak denganku. Bukan karena aku bukan anak asuhnya, tapi karena aku memang sudah kehilangan kembali rasa percaya diri.

Agni, dan dua orang lainnya memasuki lapangan, sedangkan Pak Duta pergi entah kemana, menyisakan aku yang masih terus menunduk di antara dua sosok yang begitu luar biasa.

"Kamu bisa Fy!" Sofia kembali menyemangatiku dengan tuturnya yang lembut, membuatku aku sedikit berani melesakkan tiap centi kepercayaan diri.

"Hei, pelangi pasti bisa!" Rio menepuk pundakku, melecut semangat pada diriku agar dengan segera kepercayan diriku melambung lagi.

Sofia meraih tanganku lalu menariknya memasuki lapangan. Arena unjuk kemampuanku. Arena pembuktian pada semuanya yang hanya bisa meremehkanku selama ini. Atau sebaliknya. Justru lapangan ini adalah arena unjuk kebodohanku. Menunjukan dengan kentara betapa bodohnya gadis jelek sepertiku. Dan mereka takkan pernah merasa menyesal telah meremehkanku.

Pak Joe kembali dipercaya menjadi wasit. Beliau melempar bola lalu meniup peluit, tanda pertandingan dimulai. Agni, Sofia, dan pemain yang lain melompat, memperebutkab bola yang dilempar oleh pak Joe tadi. Sedangkan aku hanya termangu melihat mereka. Kakiku kaku, dan sulit untuk melompat. Ah, sudah sangat lama aku tidak bermain basket.

Agni mendapatkan bolanya, lalu dengan sangat lincah dia mendrible bola sampai area pertahanan lawan, mengecoh lawan dengan memutar badan, lalu melompat dan menshooting bola. Point pertama untuk tim kami.

Seorang dari tim lawan yang berambut pendek mengambil bola, lalu melemparnya pada sang rekan yang sudah berlari. Sang gdis yang menerima bola langsung mendrible bola dengan sangat lincah, melewati Dea dan Aren. Dan sekarang aku berhadapan langsung dengannya. Ow..ow... Dea dan Aren saja yang jago basket bisa ia lewati dengan mudah, apalagi aku. Matilah aku.

Gadis berambut panjang hitam itu masih menepuk-nepuk bola, menatapku tajam dan tersenyum. Senyum? Ya, dia tersenyum, manis sekali. Membuatku terbuai dan lengah, hingga dengan mudah dia melewatiku lalu menshoot bola. Point kami sama.

Agni, Dea, aren dan Sofia menghampiriku yang masih terpaku. Agni dengan matanya yang tajam menatapku. Dan sambil mengeluarkan jurus andalannya yaitu memutar bola mata, dia berkata "Udah aku bilang kan, dia GA BISA!" Agni menekan dua kata terakhir lalu berlari lagi ke depan di susul Dea dan Aren.

"Masih banyak waktu kok!" Sofia menyemangatiku lagi. Ah, gadis ini belum tahu saja, bahwa setelah kesalahan yang baru saja ku buat adalah awal dari kesalahan-kesalahan lain yang lebih besar.

"Ambil bolanya, lempar ke aku!" ujarnya dengan nada bersahabat yang jauh sekali dari nada memerintah.

Aku segera mengambil bola, lalu melemparnya pada Sofia seperti perintahnya tadi. Setelah Sofia menerima bolanya, dia berlari melewati semua pemain lawan, sampai akhirnya dia berhadapan dengan gadis pemilik senyum manis tadi. Uh, bisakah Sofia melewati gadis itu? Sedikit keraguan mulai terbersit di benakku. Tapi hanya dengan satu gerakam, sofia melewati gadis senyum manis, mematahkan keraguan dalam diriku. Sofia berlari lagi, melakukan lay up shoot. Point lagi untuk tim kami.
*

Seterusnya. Permainan berjalan menyenangkan dan menegangka tentu saja. Saling menyerang dan mengumpulkan point. Saat Agni, Sofia, Dea atau pun aren menciptakan point, semuanya bersorak, termasuk aku. Ya, walaupun aku hanya bersorak di dalam hati. Sehingga yang dapat mendengarnya hanya aku, hatiku dan tuhan pasti.

Saat Si Senyum manis berhasil memasukkan bola ke ring tim kami, semua mencaci kebodohanku. Kecuali Sofia yang dengan lembut mau memaafkan setiap kesalahan yang ku buat, dan Rio yang selalu menyalurkan energi positifnya dari tepi lapangan.

Aku, sama sekali tak mempunyai kesempatan untuk memasukkan bola. Bukan. Bukan karena itu. Tapi karena aku memang sama sekali tak bisa memasukkan bola. Maka, setiap aku berhasil mendapatkan bola, aku lebih memilih mengopernya pada Sofia atau yang lainnya.
*

Dua menit terakhir, di kuarter terakhir. Point sementara 51-50 untuk keunggulan satu point tim kami. Bagi kami -lebih tepatnya aku_- dua menit itu serasa dua abad. Bagaimana tidak. Aku harus bisa mempertahankan keunggulan satu poin ini. Kalau sampai aku gagal, maka tim kami akan kalah. dan aku adalah tersangka dalam peristiwa kekalahan tim kami.

Maka dengan sekuat tenaga, aku menghalau setiap serangan yang datang. Aren dan Sofia membantuku di belakang, sedangkan Agni dan Dea menunggu di depan.

Satu menit terakhir. Gadis senyum manis itu kembali mendapat bola. Dia berlari, melewati Aren lalu berhadapan dengan Sofia. Aku yakin, Sofia bisa merebut bola. Ups. sofia lengah. Dan gadis senyum manis itu berhasil memanfaatkannya. dia melewati Sofia, lalu kini berhadapan denganku.

Oh Tuhan, tolong matikan aku saat ini juga. agar nanti kalau timku kalah, aku tak bisa mendengarkan cemoohan dan dakwaan mereka. Dia kembali tersenyum. Memabukkan. Membuatku terpana akan kesempurnaan lengkung bibirnya. Bulan sabit pun kalah indahnya.

"Pelangi...rebut bolanya!" suara menggelegar dari sang matahari membuat aku tersadar, menghapus keterlenaanku pada senyum beracun milik sang gadis.

Hei gadis, berhenti tersenyum. Jangan membuat aku masuk kedalam dunia memabukkan yang di buat senyum manismu itu. Dengan berani aku mulai mendekati sang gadis senyum manis. Melihat kelemahannya lalu dengan kecepatan persekian detik aku merebut bolanya.

Dan kawan, aku berhasil merebut bolanya. Aku bisa mengalahkan pesona senyum manis beracun milik gadis itu. Aku melempar bolanya jauh ke depan, memburu Agni yang sedang berlari. Dengan sebuah lompatan keci, agni meraih bola lalu melakukan dribble sebentar lalu melempar bola ke ring. Sang bola masih menari di atas ring. Ya Tuhan, tolong masukkan bolanya. Pintaku dalam hati.

Dan Tuhan memang Maha Mendengar. Bola itu bergulir masuk ke dalam ring, meciptakan dua poin penting untuk tim kami.

Pritt...Pak Joe meniup peluit panjang tanda pertandingan usai, dengan kemenangan tim kami. 53-50. Kami melonjak bahagia, terutama aku. tahukah kalian saat ini aku merasa sangat bahagia. Hei, masih ingatkah pernyataanku dulu, bahwa kebahagiaan dapat di raih dengan pengorbanan? Ya, sekarang aku meraih kebahagiaanku melalui pengorbanan yang sangat berat. Dan sekarang tersenyum sangat lebar. Dan akhirnya tertawa sangat lepas.

Mereka semua memburuku. Agni, dea, sofia, Aren, Rio, Pak duta dan semua siswa yang menyaksikan pertandingan barusan. Mereka tersenyum, memelukku, menjabat tanganku, mengucapkan selamat padaku. Semuanya. Termasuk Agni.

"Maaf ya Fy!" Agni menunduk, lalu Aren mengelus bahunya. "Permainan kamu bagus. Kamu berhasil rebut bolanya. Dan tim kita menang." Agni mengangkat wajah lalu memegang kedua bahuku. "Karena kamu" lanjutnya lagi dan sejurus kemudian memeluk tubuh mungilku.

Rindu. Ya, aku merindukan pelukan ini. Pelukan dari seorang sahabat. Ya, Agni sahabatku. Dulu, tiga tahun silam sebelum peristiwa basket itu terjadi, aku, Agni dan Keke adalah sahabat karib. Kami selalu menghabiskan waktu bersama. Dan sungguh, aku teramat merindukan saat-saat dulu kami selalu bersama.

"Aku kangen sama kamu Fy!" katanya masih memelukku.

"Apalagi aku Ag, kangen....banget!" ujarku.

Saaat ini Tuhan, Kau kembal menunjukkan betapa hebatnya engkau. hanya dalam hitungan menit saja Kau mampu meluluhkan kerasnya hati Agni. sedangkan aku, tiga tahun bukan waktu yang singkat, dan selama itu pulalah aku tak pernah berhasil meruntuhkan ego hatinya Agni.

Agni melepas pelukannya. "Kita sahabatan lagi, kan?" tanya Agni mengacungkan kelingkingnya.

"Tentu!" aku mengaitkan kelingkingku pada kelingkingnya. Dan dengan di saksikan banyak pasang mata, kami mengeratkan kembali ikatan persahabatan kami yang sempat jauh berjarak. Aku berjanji, ikatan ini tak akan putus lagi. Karena akan ku jaga, sampai kapan pun juga.

Hujan, kepercayaan merubah segalanya
kebahagiaan kecil telah ku ambil
*

bersambung

0 Komentar :

Posting Komentar

Komentari