HUJAN, Kita Dan Mimpi part 14

Minggu, 30 Oktober 2011

HUJAN, Kita Dan Mimpi part 14


Baru ku sadari,
cintaku bertepuk sebelah tangan.
Kau buat remuk seluruh hatiku.

~Dewa 19~

*

Kini, lewat hujan, Tuhan menunjukkan segalanya. Membuka seluruh rahasia dibalik semua kisah ini. Kisah yang pada intinya hanya ingin membuat si pemeran utama menderita. Karena ternyata, pemeran utama tak selalu punya bagian dimana dia merasakan bahagia. Dan kini, jangan salahkan sang sutradara. Dia tak tahu apa-apa. Dia hanya melaksanakan tugasnya. Karena yang memiliki andil terbesar dalam kisah ini adalah dia. Sang Prahara. Si penguasa jalan cerita.

*

Lalu memangnya, apa yang bisa dilakukan hujan sekarang? Mengguyur bumi untuk mencegah bom waktu itu meledak? Tentu tidak. Bahkan, seluruh penghuni bumi pun takkan pernah bisa mencegah hal itu terjadi. Tak peduli mereka berusaha sampai ke ujung pencapaiannya. Tak peduli sekeras apa pun mereka menentangnya. Karena toh, bom waktu itu akan tetap meledak. Menciptakan luka makin menganga, yang sakitnya jutaan kali lipat dari sebelumnya. Membuat seluruh mimpi terbunuh seketika. Menghabiskan setiap inci harap tanpa sisa. Mengonggok cinta makin dalam. Mati. Mengenaskan.

Dan kini, bagai dosa dari seluruh rakyat bumi harus ku tanggung. Bagai sinar matahari langsung menyengat tubuh lemahku. Bagai seluruh benda langit berjatuhan menghujam perasaanku. Bagai bom rakitan Noerdin M Top meledak tepat pada ulu hatiku. Menyesakkan. Menyakitkan. Menghancurkan. Mematikan.

Dan semua perasaan menyedihkan yang merayapi hatiku terjadi saat kini, di jam istirahat yang biasanya dapat ku lewati bersama pangeran matahari, dengan diiringi orkestra rinai hujan, aku harus mendapatkan sebuah fakta. Fakta pahit yang membuktikan sebuah hipotesis yang bahkan sama sekali tak pernah ku cipta. Fakta yang sesungguhnya menyibak fakta-fakta lain yang terabaikan. Fakta tentang siapakah gadis pintar yang telah menerbitkan cinta pada pemuda yang justru adalah pemilik cintaku. Fakta mengenai gadis jahat yang tega menorehkan luka menganga tepat di hatiku. Fakta Aurora.

*

"Jangan buat orang lain khawatir lagi!" ujar seorang pemuda tampan pada gadis di hadapannya. Raut pemuda itu terlihat sangat cemas. Entah apa yang telah dilakukan oleh sang gadis sampai dia seperti itu. Dan raut cemas itu tentu saja menunjukkan bahwa dia sangatlah peduli dan menyayangi sang gadis.

Maka setelah ia melihat gadis-nya yang mengangguk mantap, ia pun berani meninggalkannya sendirian. Lantas bergegas menuruti kemauan mamanya untuk segera pulang.

Dia berlari. Rambutnya menggemaskan menari terhembus desau angin senja. Ransel hitamnya pun ikut melompat mengikuti gerakan cepat pemiliknya. Dalam hatinya kini satu: segera pulang atau kalau tidak, mama akan memarahinya sepanjang malam.

Dan ancaman kemarahan sang mama kini tak cukup kuat untuk mencegah pemuda bermata indah itu untuk berhenti, saat indra penglihatannya menangkap siluet cantik yang tengah duduk di bangku taman dengan jarak 10 meter dari ia kini berada. Seorang gadis cantik dengan rambut ikal hitam yang dikuncir dua. Gadis yang masih mengenakan seragam SMP-nya, namun kemejanya ia tutupi dengan blezer merah mudanya. Gadis berpipi tembem menggemaskan. Gadis yang ternyata lebih mengesankan dari gadis yang ia temui sebelumnya, karena gadis ini mampu membuat hatinya terpesona.

Kemudian, seakan angin senja membekukan waktu, pemuda itu pun tak berkedip saat menatapi tiap gerak sang Gadis. Apalagi kini, gadis itu meraih sebuah seksopon lalu memainkannya. Mengeluarkan alunan indah bak tercipta dari surga. Melantunkan untaian nada yang membuat semua orang terbuai jatuh cinta. Dan inilah faktor terpenting dari terbitnya sebuah rasa di hati si pemuda. Pipi sang gadis. Kembang kempis. Manis. Mempesona.

Untung saja teror mama yang digencarkan lewat guratan pesan singkat yang ponselnya terima menyadarkan keterpesonaannya. Kalau tidak, dia bisa mematung sepanjang waktu disana sambil memandangi sang Gadis. Maka dengan amat sangat terpaksa ia pergi dan harus melewatkan gadis itu menyelesaikan kegiatan mengembang kempiskan pipinya. Tapi satu yang pasti, gadis itu adalah Aurora. Sang penerbit cinta. Dan itulah fakta pertama yang terabaikan. Namun sesungguhnya jembatan penghubung menuju keberadaan prahara.

*

Kedua gadis belia itu tengah membicarakan sebuah hal penting. Gadis yang berkuncir dua menjadi sang pembicara, dan gadis berambut pendek di sampingnya menjadi pendengar setia.

"Sumpah ya Ag, aku udah beneran jatuh cinta sama Rio!" ujarnya dengan wajah berseri.

"Hah? Kok bisa? Bukannya dulu kamu biasa aja sama dia? Sejak kapan?" tanya beruntun dilontarkan oleh gadis pendengar.

"Ahaha, aku juga ga tahu. Tapi kemarin, saat aku lihat dia keluar dari perpustakaan, dia sedang memakan sepotong pisang goreng. Bibir mungilnya belepotan kena minyak. Keren tauuuu!"

"Hah? Keren karena pisang goreng?"

Lalu gadis empunya cerita mengangguk cepat. Matanya berbinar dan mengerjap-ngerjap menggemaskan. Dua kuncirannya ikut bergoyang bahagia.

Dan inilah fakta kedua. Fakta yang tak pernah tersentuh. Bahkan tak berusaha untuk ku sentuh. Fakta yang sesungguhnya -tanpa sadar- disuguhkan olehku sendiri. Oleh sepotong pisang goreng kebanggaanku. Oleh lelehan minyak di sudut bibir mungilnya yang selalu membuatku ingin terus menatapinya lekat-lekat. Itu semua karena aku. Jadi kini, aku menjadi penjahat untuk diriku sendiri.

*

Semua siswa-siswi telah berhamburan keluar selepas mengikuti rapat mengenai pergantian ketua serta pengurus ekskul musik. Sudah sore sekali. Maka semuanya pun terburu-buru pulang ke rumahnya masing-masing. Dan hanya meninggalkan seorang gadis berkuncir dua dan pemuda yang tengah menunggu jemputannya di depan gerbang sekolah.

"Mau pulang bareng aku?" tawar si pemuda saat jemputannya datang.

"Ga usah deh Yel, aku mau ke taman dulu!" tolaknya dengan sopan. Lalu melangkahkan kaki menuju tempat tujuannya tadi.

Sesampainya di taman, seperti biasa ia duduk di bangku taman. Memainkan seksoponnya. Dan lima detik kemudian, dua bocah laki-laki imut menghampirinya.

"Hai Kakak tembem!" sapa kedua bocah tersebut.

"Hai juga! Wah, jagoan-jagoan kakak semangat banget!" kata gadis itu sambil mengusap kepala kedua jagoan-nya.

"Harus dong kak! Kan Ozy mau ketemu sama kakak tembem yang cantik!" ujar bocah lelaki yang mengenakan kaos merah.

"Ih, Ozy genit! Masa godain kakak tembem! Kakak tembem kan pacarnya Deva." ujar bocah lelaki lainnya yang memakai kaos kuning bergambar Spongebob sambil bergelayut manja pada tangan mulus 'Kakak Tembem'.

"Enak aja, kakak tembem itu pacarnya Ozy tauuu!" ujar Ozy tak mau kalah dan menggamit tangan yang lain milik Kaka Tembem.

"Pacarnya Deva!" Deva menarik tangan Kakak Tembem untuk lebih merapatkan diri dengannya.

"Pokoknya pacar Ozy!" Ozy mengikuti Deva, menarik tangan kakak Tembem.

"Deva."

"Ozy."

"Deva."

"Ozy."

Sementara si Kakak tembem mengerenyit. Mendapati kini dirinya harus tertarik ke kiri dan kanan. Menjadi rebutan dua bocah imut itu. Lalu akhirnya menghentikan perselisihan kecil yang terjadi.

"Kakak pacarnya Ozy sama Deva dong!" ujarnya sambil merangkul penuh kasih sayang dua bocah yang sudah ia anggap sebagai adiknya sendiri.

"Hahaha..." mereka pun tertawa menyeringai.

Dan tanpa disadari oleh mereka, seorang pemuda yang sama seperti yang kemarin tengah mengintainya sedari tadi. Pemuda itu terkekeh sendiri. Lucu melihat tingkah gadis yang telah ia jadikan sebagai Auroranya. Senang mendengar ucapannya yang terkesan manja nan menggemaskan. Tergelitik menangkap tawanya yang sangat renyah dan menyenangkan. Membuat sang pemuda semakin terpesona pada Aurora. Menghipnotisnya agar melupakan gadis lain yang berada entah dimana yang selalu berharap lebih padanya.

Dan inilah fakta selanjutnya. Fakta yang sama sekali tak pernah teraba. Fakta tentang begitu berkuasanya pesona Aurora dalam arena pertempuran cinta ini. Menekuk telak pemujanya. Menyingkirkan pesaingnya.

*

Lalu fakta berikutnya yang ku dapat dari Sivia dan Ray adalah bahwa Aurora bersekolah di sekolah yang sama denganku. Kalau begitu, tentulah aku pernah -bahkan mungkin sering- bertemunya di sekolah. Tapi siapa Aurora? Entah. Aku sama sekali tak mengetahuinya. Rio saja yang begitu tergila-gila padanya tidak tahu. Apalagi aku.

Lalu setelah kemarin sore, aku seakan dibutakan untuk membuat hipotesis-hipotesis baru. Aku tak dapat mencerna seluruh petunjuk yang ku dapatkan. Gadis tembem. Berkuncir dua. Pintar bermain seksopon. Satu sekolah denganku. Lihat. Begitu banyak petunjuk-petunjuk itu, tapi tak satu pun dari semua petunjuk itu menghasilkan hipotesis. Semua petunjuk itu seakan tak memiliki keterkaitan. Berdiri sendiri tanpa adanya sebuah hubungan. Dan hal ini sangat menyulitkan untukku.

Semalaman aku berfikir keras. Namun hasilnya nol besar. Tak ada yang ku dapat. Lalu aku pun menyerah. Menghempaskan tubuh ke atas tempat tidur. Menenggelamkan wajah di bawah bantal. Lalu memejamkan mata.

Tapi tiga detik kemudian aku membuka mata. Melempar bantal. Bangun. Dan melirik sebuah benda yang tengah diam manis di atas meja kecil di samping tempat tidur. Sebuah pigura yang menghiasi tiga siluet di dalam secarik foto. Tiga gadis yang -diantaranya adalah aku- tengah bergaya di taman belakang rumah. Dan mataku tertuju pada satu gadis yang berfose paling menonjol. Dia mengerucutkan bibirnya. Memegangi ujung dari kedua kunciran rambutnya. Dan dagunya yang sedikit terangkat. Aku mengerenyit. Diakah Aurora?

Tidak. Kenapa aku sampai berani menuduhnya? Dia baik. Dia takkan tega merebut pangeran matahari dariku. Dia bukan penjahat. Dia tak mungkin tersangka dari torehan luka menganga di hatiku ini. Dia sahabatku. Aku menyayanginya. Mana mungkin aku telah melakukan hal jahat dengan menudingnya sebagai pelaku utama dari terciptanya prahara. Ya Tuhan, maafkan aku.

Maka kemudian, aku mengusir hipotesis yang sangat konyol itu dari benakku. Tanpa tahu, bahwa sesungguhnya hipotesis itu lebih kuat dari hipotesisku sebelum-sebelumnya.

*

Dan, pada akhirnya, Tuhan bukan hanya memaafkan kesalahanku. Tapi dia menunjukkan kasihnya dengan cara-Nya sendiri. Cara yang -sesungguhnya- teramat menyakitkan.

Kini, bagai tersundut panasnya bola api, aku merasakan sakit yang begitu luar biasa. Saat aku sampai pada fakta terakhir dan sekaligus fakta utama yang akan menguraikan segalanya.

Sekitar 12 meter di depanku, tepat di tengah lapangan basket, di bawah tiap rintikan hujan, drama itu terjadi. Drama yang dilakukan oleh dua pelaku penting dalam kisah ini. Dengan arahan sutradara dan tuntutan sang pembuat jalan cerita. Drama akhir dari rentetan drama kehidupan yang tak pernah menyisakan jatah kebahagiaan untuk si pemeran utama.

Lalu, drama pun bermulai dari seorang pemuda tampan yang berlari menerobos hujan. Menyongsong gadis tujuan yang juga tengah berlari kecil ke arahnya. Seperti adegan romantis, di film-film India yang sering Mang Ujang tonton.

Rio -pemuda itu- menahan sang gadis dengan kedua tangannya yang ia rentangkan. Lalu sejurus kemudian menjulurkan tangannya untuk memeluk gadis di hadapannya, sambil antusias berkata, "Aurora!"

Nyatanya, gadis itu pun tak menolak tubuhnya didekap oleh Rio. Dengan mengerutkan kening, dia malah tersenyum. Bahagia.

Dan masih terus membisu di tepi lapangan basket, aku menyaksikan segalanya. Segalanya yang bahkan lebih menyakitkan dari hujaman seluruh samurai di dunia. Dan sakit itu harus di rasakan oleh hati yang masih memiliki luka menganga. Lalu, apa jadinya hatiku sekarang? Hancur tercabik-cabik. Patah menjadi jutaan keping. Lalu, apa aku masih bertahan dengan keadaan ini? Aku hanya gadis jelek, bodoh, dan lemah. Hujan, aku menangis lagi. Aku sudah tak bisa membendungnya. Tanggul air mataku hancur. Maka, hujan pun kian menderas.

Sementara disana, mereka masih asyik melanjutkan dramanya, tak peduli dengan guyuran hujan yang kian membesar.

Rio melepaskan dekapannya. Mengguncang tubuh gadis yang masih terus mengerenyit tak mengerti.

"Kamu Aurora. Auroraku. Aurora penerbit cinta." ujar Rio dengan mata berbinar walau tetesan hujan bergelayut lucu di ujung bulu matanya.

"Aku Keke, bukan Aurora."

Ya, dialah Aurora. Hipotesis konyolku terbukti. Hatiku semakin mencelos. Lalu jutaan keping itu pun mencipta luka yang lebih lebar menganga pada masing-masing permukaanya. Aku merasakan betapa kenyataan ini sangat menghantamku telak. Bukan hanya kenyataan bahwa Rio jatuh cinta pada Aurora dan kini dia -hampir- mendapatkannya. Tapi kenyataan yang lebih menampar jutaan pengharapanku. Kenyataan bahwa Aurora adalah Keke. Sahabat baikku.

"Jadi nama kamu Keke? Nama yang lucu, kaya pipi kamu!"

Keke belum mengurai kerutan di keningnya. Apalagi hujan yang menimpa rambut dan wajahnya, membuat sketsa kebingungan yang sangat kentara tertera di sana.

"Aurora..." Rio meraih kedua tangan Keke. Menggenggamnya erat penuh kesungguhan. Menatapnya tajam diiringi binar ketulusan. Berujar dengan sangat mantap. "Aku jatuh cinta sama pipi kamu yang kembang kempis. Aku jatuh cinta sama rengekkan kamu yang manja. Aku jatuh cinta sama tawa kamu yang renyah. Aku jatuh cinta sama kamu, Keke. Auroraku."

Dan dari tiap kata yang dituturkan olehnya, itu adalah serpihan luka yang kini langsung ia bubuhkan pada jutaan luka menganga pada kepingan hatiku. Sakit. Sakit sekali. Perih. Sangat perih. Hujan pun tak mampu membasuh luka itu, walau kini guyurannya kian menderas.

Aku menggigit bibir. Meraih bandul pelangiku. Lantas menggenggamnya erat. Meluapkan emosi yang sudah membuncah hingga ke ubun-ubun kepala. Menatap penuh kebencian pada dua lakon yang masih terus melanjutkan dramanya.

"Aku...aku..." Keke terbata-bata berbicara. Entah. Aku tak tahu apa yang akan ia ucapkan. Semoga takkan kembali menorehkan sakit yang tak terperikan. Ya, karena kalau sampai hal itu terjadi. Entah apa yang nanti akan terjadi. Mungkin aku akan mati. Atau lebih buruk lagi.

"Aku juga jatuh cinta sama lelehan minyak yang melumuri bibir mungilmu. Aku juga jatuh cinta sama kamu, Rio!" ujar Keke pada akhirnya, jauh dari harap yang ku panjatkan.

Dan kemungkinan yang lebih buruk dari kematian pun terjadi. Yaitu kematian dari cinta yang telah lama ku pertahankan. Kini, aku menyerah atas segalanya. Penderitaan telah cukup kejam menghantam diriku. Dan kini, ucapan Keke semakin menamparku dan menyadarkanku, bahwa aku masih tetap seorang itik buruk rupa. Dan selamanya akan tetap seperti itu.

Maka aku tak kuasa lagi melihat mereka yang kini mempertontonkan adegan berpelukan. Pelukan penuh cinta. Lalu aku pun berbalik. Mendapati seorang pemuda dengan senyum lebar khas miliknya sedang berdiri di bawah hujan. Menantiku untuk segera menghambur ke pelukannya. Sayang, kakiku terlalu kaku. Tak bisa melangkah sama sekali. Lalu akhirnya, dia yang datang menghampiriku. Menawarkan dadanya untuk menjadi sandaran tangisku yang seakan terus berlomba dengan tangisan alam untuk menjadi yang paling deras. Lalu aku tersungkur di dadanya. Mengikuti kemauan hujan. Dan pemuda berhati malaikat itu mendekapku erat. Hangat.

Kini, di bawah hujan, dua pelukan tercipta. Pelukan penuh cinta. Pelukan menyedihkan.

Dan sang pemuda yang kini masih terus ikhlas membiarkan dadanya kuyup oleh air mataku, berucap penuh ketulusan. "Menangislah! Hujan selalu punya cara untuk menghapus tangismu."

*
bersambung
*

0 Komentar :

Posting Komentar

Komentari