HUJAN, Kita Dan Mimpi part 16
Saat kita merasa lelah untuk terus melanjutkan perjalanan mengejar mimpi. Saat tubuh kita merasa lemah tak berdaya untuk tetap bertahan atas segala macam gempuran prahara. Saat kita yakin bahwa kekuatan yang kita miliki telah terkuras habis tanpa sisa. Maka tenanglah, sesungguhnya tanpa kita sadari kekuatan yang jutaan kali lipat lebih hebat selalu tersedia. Kekuatan yang disuguhkan oleh Sang Pemilik Alam bagi hamba-nya yang ikhlas. Kekuatan cinta.
*
"Kamu kuat dan akan selalu kuat."
Siapa yang menyangka bahwa seutas kalimat biasa tersebut ternyata menyimpan kekuatan magis yang sangat luar biasa? Adakah yang mengira bahwa ternyata kalimat yang hanya terdiri dari enam kata sederhana itu mampu menggetarkan seluruh penghuni langit dan bumi? Maka pantaslah, jikalau pemuda yang menuturkan kalimat 'ajaib' itu pun begitu dielu-elukan oleh tiap jiwa penghuni bumi. Dan para warga langit berdecak kagum. Lalu kemudian mereka serempak bersorak mengucap satu nama. Nama seorang pemuda berhati malaikat yang sederhana. Pemuda yang sampai saat ini masih terus menyelipkan ketulusan dalam tiap hela nafasnya yang hangat. Pemuda yang selalu memamerkan senyum dengan lengkung yang mempesona. Dialah Gabriel.
Lalu memangnya, hatiku saja yang bergetar? Tentu bukan hanya itu. Aku bahkan begitu takjub padanya. Tanpa sadar, aku membangun tembok keterpanaan dalam hati. Terpana padanya. Pada senyum mempesonanya. Pada tutur ajaibnya. Pada kesederhanaan sikapnya. Dan pada ketulusan hatinya yang sesungguhnya perlahan menyembuhkan torehan luka menganga di hatiku. Lambat-laun menyusun jutaan kepingan hatiku hingga kini tidak terlalu menyedihkan dari sebelumnya. Dan yang terpenting adalah ketulusannya mengandung kekuatan. Kekuatan yang ia salurkan melalui tiap belaian lembut tangannya. Kekuatan bernama cinta.
Cinta memang selalu menguatkan. Maka cinta yang Gabriel sisipkan bersama ketulusannya jugalah yang menguatkanku. Dia mengulurkan tangannya untuk menarikku bangkit. Dia menuntunku untuk berjalan lantas melanjutkan petualangan memenangkan cinta. Dan kekuatan cinta itu lamat-lamat menggali lagi tumpukkan perih yang menimbun cintaku. Cinta untuk pemuda lain di sana.
Masih dalam rengkuhannya, aku menghela nafas. Rasa lega kini menggelayuti hatiku, kala harum maskulin alaminya yang bercampur dengan aroma khas hujan ikut masuk memenuhi kuota udara pada tiap sudut rongga pernafasanku. Maka aku membuka mata sebentar dan sejurus kemudian memejamkannya kembali. Merasakan betapa kekuatan itu telah mampu menciptakan mimpi yang baru. Mengembangkan sebongkah asa yang tersisa. Mengeluarkan rasa cintaku dari dasar kesakitan.
Selanjutnya, aku mendesah tak kentara. Membuka mata. Mengurai tanganku. Keluar dari dekapan penuh cinta Gabriel. Dan saat bola mataku hendak menatap kedua mata elangnya, terlebih dulu kilat yang terpancar dari dua manik matanya menyambar mataku. Aku terperanjat. Mendapati ombak yang berkejaran pada bulatan coklat indah miliknya. Ombak yang seakan menghentakku untuk tetap bertahan dalam keadaan yang sangat menyiksa ini. Maka aku kembali dirundung ragu. Mampukah aku untuk bertahan? Kuatkah aku untuk melanjutkan tiap episode drama kehidupan yang kadang selalu menghabiskan jatah kebahagiaan untukku? Sanggupkah aku tetap menjaga cinta yang keadaannya lebih mengenaskan dari jutaan rakyat indonesia yang mengalami kekeringan? Aku tak yakin itu. Aku mendesah putus asa. Mataku nanar menatapinya.
"Kamu kuat Ify!" ujarnya mantap diiringi senyuman lebar khasnya.
Benar. Aku kuat kini. Tapi nanti? Aku menggelengkan kepala seraya menggigit bibir.
"Lalu bagaimana nanti?" tanyaku retoris disertai kegelisahan yang amat kentara.
Gabriel tersenyum menyeringai. Dia meletakkan kedua tangannya pada bahuku. Menatapku tajam dan tegas. Melesakkan tiap jengkal kekuatan lewat tuturnya.
"Tak ada yang berubah. Kamu akan tetap jadi Ify. Ify yang kuat dan akan selalu kuat!"
Entah bagaimana caranya, tiba-tiba kini rasa takut kehilangan menyelubungi hatiku. Kini aku kuat karena ada cinta dan ketulusan Gabriel yang menguatkanku. Selanjutnya? Akankah Gabriel terus menyuplai kekuatan cintanya untukku? Maka aku pun bertanya, "Lalu kamu?"
"Aku pun akan sama seperti kamu. Aku tetap jadi Gabriel. Sang Hujan untuk pelangi cantik seperti kamu!"
Kalimat-kalimat yang Gabriel ucapkan memang adalah kalimat-kalimat yang 'ajaib'. Dan keajaibannya itulah yang menyingkirkan rasa ragu dan takut yang merayapi hatiku. Digantikan kekuatan untuk bertahan dan keyakinan mewujudkan harapan. Pada akhirnya aku pun tersenyum. Bersemangat meloncat memeluk tubuhnya. Erat. Tanpa sekat. Berharap pelukanku akan mengikatnya untuk tetap berada di sampingku. Karena aku membutuhkan kesederhanaan, ketulusan dan kekuatan cinta Gabriel.
*
Keke tengah mengulum bibirnya. Kedua tangannya yang terlipat di depan dada menunjukkan bahwa ia tengah merasa sebal. Bagaimana tidak? Pemuda tampan di sebelahnya sedari tadi memainkan rambut ikalnya yang dikuncir dua. Lalu mencubit gemas pipi tembemnya. Kedua kegiatan 'nakal' itu ia lakukan bergantian. Begitu seterusnya. Sampai akhirnya Keke mendengus dan menggeleng-gelengkan kepala. Menyebabkan rambutnya menyisir wajah pemuda-nya. Membuat pemuda itu geli dan terkekeh sendiri.
"Rio nyebelin tauuuu!" Keke merengek dengan suara khasnya yang manja.
Sementara Rio menyeringai. Ini yang dia sukai. Rengekan gadis-nya yang manja. Dan rengekan itulah yang membuatnya bisa jatuh cinta pada gadis manis di sebelahnya. Lalu dengan nakal, menjawil pipi Keke. Habis, Keke lucu sih. Rio jadi tidak bisa menahan tangannya untuk tidak menjawil pipinya yang kini merona dibuatnya. Rio tertawa melihatnya.
"Riooooo!" Keke kembali merengek. Sekarang, makin manja. Membuat cinta di hati pemuda yang masih terus tertawa itu semakin bertambah.
"Ih merah! Malu ya? Ahaha!" goda Rio sambil menunjuk-nunjuk area pipi Keke yang terlukis semburat merah. Menggemaskan.
"Hah?" Keke terburu-buru menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Rio itu bisa-bisanya membuat pipinya merona. Padahal sebelumnya tak pernah ada yang bisa membuatnya seperti itu. Tersipu malu. Tentu saja. Ini kali pertamanya merasakan yang namanya jatuh cinta. Riolah pemuda pertama yang membuatnya seperti menari di atas kerajaan awan, bersama ribuan kupu-kupu cantik yang berkejaran memburunya. Lelehan minyak di sudut bibir mungil Riolah yang mampu membuatnya merasakan euphoria yang sangat dahsyat. Rio itu cinta pertamanya.
Dan Rio pun sama. Pipi kembang kempis Kekelah yang melesakkan angan-angannya ke angkasa. Rengekkan manja Kekelah yang selalu mampu membuatnya tersenyum dan meluluhkan egonya. Hanya tawa renyah Kekelah yang bisa menggelitik hatinya. Keke itu cinta pertamanya.
Maka tawa Rio makin lepas melihat tingkah Keke. Gadisnya memang beda dari gadis lain yang sebelumnya ia temui. Keke begitu ceria. Dia pintar menghidupkan suasana. Maka Rio tak menyesal cintanya diterbitkan oleh Keke.
Rio mengacak poni Keke yang sangat lucu. Lantas menggenggam pergelangan tangan Keke. Memaksa telapak tangannya agar terlepas dari wajahnya, sehingga Rio dapat dengan leluasa melihat ekspresi wajah Keke yang -pasti- sangat lucu. Terlebih dihiasi oleh warna merah. Pasti akan sangat cantik di mata Rio.
Tapi Keke tak mau wajahnya yang aneh terlihat. Maka sekuat tenaga ia menahan tangannya untuk tetap menutup seluruh wajahnya. Ia menggeleng saat tarikan Rio yang semakin kencang. Rio juga tak ingin menyerah. Kapan lagi ia dapat melihat wajah Keke yang malu-malu. Jadi ia pun mendekatkan wajahnya pada wajah Keke yan tertutup. Menarik tangan Keke dengan lebih keras.
Dan Dewi Fortuna sedang tak berpihak padaku. Aku datang di saat yang sangat tidak tepat. Memaksaku untuk melihat adegan yang sangat mesra itu. Adegan dari drama sialan yang lagi-lagi membuat hatiku mencelos. Menghancurkan hatiku yang sebelumnya telah susah payah ku tata. Menyusutkan harap yang sempat meluap. Dan adegan 'menjijikan' itu telah menghujam luka -yang aku tak tahu kapan sembuhnya- dengan tanpa perasaan. Lukaku semakin menyakitkan.
Cinta yang masih ku jaga hanya untuk pemuda yang menjadi salah satu pemeran dalam adegan itu pun kembali teronggok. Kini hanya tinggal menunggu kematian, ketika gadisnya tetap berkeras kepala untuk tidak menjauhkan telapak tangan dari wajahnya membuat sang pemuda menyerah, lantas mendorong kepala gadisnya untuk masuk dalam dekapan hangatnya. Dekapan penuh cinta untuk gadis penerbit cintanya yang pertama.
Aku tak akan sanggup melihat kelanjutan dari adegan memilukan hati itu. Maka dari itu aku mundur dua langkah. Berjalan ke samping kanan. Membalikkan badan dan menyandarkan tubuh pada tembok di belakangku.
Aku tak dapat berpura-pura kuat. Saat ini, kekuatanku tak ada. Maka aku membuat kekuatan sendiri dengan menggenggam bandul pelangi kalungku. Bodoh. Ternyata hal itu membuatku semakin rapuh. Aku melupakan sesuatu. Kalung itu adalah pemberian dari pemuda penoreh luka. Maka aku membiarkan setetes bening bergulir melewati pipiku. Diikuti tetesan lain yang jumlahnya tak dapat lagi terhitung.
Perasaan perih pun membubuhi hatiku, kala rengekkan manja Keke diselingi tawa lepas Rio terdengar menusuk-nusuk gendang telingaku. Aku begitu mengenaskan.
Aku tak menyadari bahwa aku telah menghabiskan banyak waktu hanya untuk berdiri di balik tembok sambil menangis. Dan aku juga tak menyadari bahwa tangan seseorang kini menggenggam tanganku lantas menariknya masuk ke kelas.
Saat aku membuka mata, ternyata tangan pemuda berhati malaikatlah yang tengah menuntunku. Kembali menguatkan aku. Maka aku pun menghapus sisa air mataku dan sejurus kemudian berjalan mengekorinya. Tanpa memikirkan apa yang nanti akan ku lakukan. Aku tak khawatir. Ada Gabriel. Pangeran hujan.
Ternyata, Gabriel membawaku mendekati meja Keke sekaligus mejaku juga. Aku tak tahu, sanggupkah aku berada di dekatnya? Penghancur seluruh harapku.
"Ke, Alyssa duduk sama aku ya! Dia mau ngerasain suasana baru. Kamu duduk sama Debo dulu." ujar Gabriel.
Keke mengerutkan kening. Mungkin dia heran mengapa tiba-tiba aku mau duduk dengan Gabriel. Tapi aku juga tidak tahu rencana Gabriel. Yang jelas, dia memang pemuda yang selalu mengerti aku. Dia tahu bahwa aku akan merasa tersiksa kalau aku berada di dekat Keke.
Keke menatapku tajam. Aku hanya bisa menunduk. Tak kuasa melihat tatapan bersahabat yang terpancar dari matanya yang indah. Tatapan itu pasti akan meluluhkanku dan akan membuatku menyerah. Maka aku menghindarinya.
"Oh, ya udah! Jagain Ify Alyssaku tersayang ya!" Keke mewanti-wanti dengan gaya bicaranya yang khas. Ceria dan ramah.
Gabriel mengangguk mantap lalu menarik tangangku yang masih bertaut dengan tangannya. Melangkah menuju tempat duduknya dan tempat dudukku yang baru. Aku sempat melirik ke arah Keke. Dan dia selalu seperti itu. Tersenyum. Sanggupkah aku membencinya? Mampukah aku menghindarinya? Tegakah aku menjadikannya penjahat? Dia sahabatku. Satu-satunya sahabat yang tak pernah pergi meninggalkanku kapan pun itu, entah saat aku terpuruk atau saat aku bersinar. Tapi, apalah artinya sahabat kalau dia ternyata pelaku dari tersakitinya hatiku. Itu yang namanya sahabat? Bukankah itu adalah penjahat?
Maka setelah aku berhenti tepat di depan meja di ujung ruangan, aku kembali mengeluarkan pertanyaan retoris. "Kenapa Keke bersikap seperti itu?"
Gabriel tersenyum dan menoleh ke arahku. Aku yakin, dia pasti akan menjawab pertanyaanku dengan bijak.
Benar. Setelah mendesah, ia pun menjawabnya. "Dia sahabatmu. Tak akan ada yang berubah."
*
bersambung
*
0 Komentar :
Posting Komentar
Komentari