HUJAN, Kita Dan Mimpi part 5

Selasa, 04 Oktober 2011

HUJAN, Kita Dan Mimpi part 5


Mimpi-mimpiku

Membosankan sekali, harus duduk dan memperhatikan mereka mempraktekan hal yang konyol. Berakting. Ah, dasar penipu. Sebenarnya aku tak suka melakukan hal ini, tapi sesering apa pun aku mencaci hal ini, aku tetap saja mengkutinya. Ah, munafiknya aku! Selama 2 tahun 2 bulan aku mengikuti kegiatan bodoh ini. Ah, sudahlah, tinggal beberapa bulan lagi kok, dan setelahnya aku tak mau berhubungan lagi dengan kegiatan ini. Ekskul teater.

"Hei men, ayo semangat!" teriakan itu membuyarkan ejekanku. Ah, suara indahnya.

Untung saja letak dudukku dekat jendela, jadi aku dapat curi-curi pandang ke lapangan tempatnya berlatihan. Bermain basket dengan sangat ceria. Permainannya lincah. Dia berlari, menggiring bola, lalu meloncat dan melempar bolanya ke ring. Sesekali dia tertawa dan tak jarang dia berteriak menyuarakan kekesalannya saat dia gagal memasukkan bola.

Menatapnya sedari tadi membuatku tak menyadari waktu. Akhirnya ekskul pun berakhir. Yes, hari berat ini sudah ku lalui.
*

Aku melangkah menuju halte, mudahmudahan saja hari ini aku tak di jemput. Ku lihat ke arah atas, mendung mulai menaungi, tandanya sore ini kau mau datang lagi. Perlahan kau pun mulai turun, lalu mulai mengerahkan semua pasukanmu untuk menyerbuku. Baiklah, mari kita bermain.

"Ayo pelangi, hujannya udah mulai turun!" Dia mengambil tanganku dan menariku untuk ikut berlari besamanya.

Aku terpaksa mengikutinya walau aku tahu, langkahku kalah epat dengannya. Hingga akhirnya, sampailah kami di halte.

"ya ampun, kamu ini, ko paling hobby sama hujan-hujanan sih?" katanya sambil mengibaskan rambutnya yang basah karena hujan.

Aku hanya tersenyum lalu duduk berdampingan dengannya. Aku sudah tak merasa canggung lagi berada di dekatnya.

"Tumben pulang sore?" Tanyanya.

"Aku ada ekskul, teater" Jawabku.

"Sejak kapan kamu ikut teater?"

"sejak awal aku masuk sekolah ini." Aku mengeluarkan botol air mineral lalu meminumnya.

"Loh, aku tak pernah melihatmu di setiap pertunjukkan teatr sekolah kita." Ujar Rio sambil mengambil botol air mineral yang ku pegang lalu ikut meminumnya.

"Aku memang tak pernah menjadi pemain dalam semua pertunjukkan sekolah kita, tugasku hanyalah di belakang panggung senagai si pembuat naskah skenario."

"Jadi, semua pertunjukkan itu, skenarionya kamu yang buat?" tanyanya

"ya, begitulah" ucapku seadanya.

"Waw!" Rio berdecak lalu mengguncang bahuku "luar biasa! setiap aku menonton pertunjukkan teater sekolah kita, aku selalu kagum dengan kata-kata indah yang di ucapkan para pemain teater itu. Aku pernah berfikir, pasti yang buat skenario itu penulis yang baik. Dan ternyata itu kamu. Aku yakin, kamu akan menjadi penulis yang baik dan terkenal" celotehnya panjang lebar.

Tentu saja, mendengar tutur katanya aku merasa terharu. Bagaimana tidak, di setiap katanya terkandung sebuah harapan dan semangat. Dan dia memberikan itu semua padaku. Aku menerimanya dengan senang, tpi apakah mungkin kata-katanya akan terjadi? Entahlah, sulit sekali. Harapan itu terlalu besar, melebihi bumi ini mungkin, dan itu tak sebanding dengan semangat yang ku punya. Aku tahu dia juga memberikanku semangat, tapi semangatku, semangatmu dan semangatnya kalau di akumulasikan hanya sebesar bola bekel saja. Sedangkan bola bekel jauh lebih kecil dari bumi ini. Ya iyalah, anak kecil juga tahu akan hal itu. Dan mestinya aku sadar harapan itu takaan pernah dapat ku raih.

"Percaya sama aku, kamu bakalan jadi penulis terkenal." Katanya dengan wsangat yakin.

Sudahlah, jangan terus-terusan mencekokiku dengan harapan-harapan itu, aku tak mampu.

"Semangat Ify pelangi! jangan putus asa!" dia mengepalkan tangannya.

Ya, aku harus semangat! masa aku kalah, ya, pelangi kan kuat. Terimakasih matahari. Semangat ini akan ku pupuki hingga sampai semangat itu lebih besar dari bumi ini dan akhirnya aku akan mewujudkan mimpi besarku ini.

"Aku semangat!" Ucapku sambil tersenyum.

"Nah, gitu dong!" dia menepuk pundakku, menancapkan harapan itu padaku semakin dalam "Bisnya udah datang, yuk!" dia menarik tanganku.

Aku pun bangkit lalu melangkahkan kakiku. Dan langkah ketigaku terhenti saat sebuah mobil hitam yang sangat familiar menghampiriku.

"Ayo!" Ajaknya lagi.

"Aku di jemput"Rio melirik pada mobil hitam itu, lalu melepas tanganku "pulang saja, aku berani. hehe" katanya sambil terkekeh.

Dengan berat, aku lalu masuk ke mobil dan duduk di depan disamping mang Ujang.

"Dadah Ify pelangi" teriaknya sambil melambaikan tangan.

Aku hanya tersenyum lalu membalas lambaiannya lewat jendela mobil. Kini dia mulai menaiki bis itu, bis yang biasanya selalu mengantarku, tapi tidak untuk hari ini. Kini, bis itu membawa pangeran, pangeran tampan yang mengandung keindahan.

Hujan, dia tanamkan harapan
dia berikan semangat.
*

0 Komentar :

Posting Komentar

Komentari