HUJAN, Kita Dan Mimpi part 18A
Sesungguhnya ku berpura-pura relakan kau pilih cinta yang kau mau.
~Tangga~
*
Hidup itu pilihan. Kita dibebaskan untuk memilih apa yang menurut kita baik. Tapi Tuhan jauh lebih tahu apa yang terbaik. Maka jangan salahkan takdir Tuhan. Karena, pada saat kita mencapai titik dimana kita ikhlas akan takdir yang digariskan Tuhan. Maka takdir itu pun adalah pembuktian cinta kasih Tuhan kepada mahluk-Nya.
*
Apa yang salah dari ini semua? Dari kisah sederhana yang menjelma menjadi kisah sepelik ini. Kisah yang akan tetap baik-baik saja jikalau prahara tak pernah datang dan mengacaukan segalanya. Dan seharusnya, aku tak perlu mencari apa dan siapa yang salah. Sungguh, tak ada yang salah dari ini semua. Semua peristiwa yang terjadi adalah salah satu dari bagian-bagian krusial yang menyusun tiap jejak langkah kisahku ini. Maka sekarang, aku dituntut menjadi dewasa. Ya, tiap detik yang terlewat memang adalah jalan pendewasaan.
Aku merenung. Menyelami lebih dalam makna dari kalimat ajaib yang diucapkan Gabriel tadi sore mengenai takdir. Ya, takdir yang mempertemukanku dengan Rio. Menumbuhkan cinta seiring gelak tawa yang tercipta kala bersamanya. Membuat cinta semakin membuncah tak dapat terbantah. Takdir yang juga mempertemukan Rio dengan gadis penerbit cintanya. Membuatnya merasa bahwa tak ada yang lebih penting di dunia ini selain gadisnya. Tak peduli bahwa akan ada hati lain yang terluka. Dan segalanya memang karena takdir. Lalu aku ditakdirkan untuk menjadi yang paling tersiksa. Karena gadis penerbit cinta di hati Rio adalah Keke, sahabat manisku yang paling tulus. Sedangkan mereka berdua tak pernah tahu itu. Mereka tak tahu kalau dalam hatiku ada sebuah perasaan asing bernama cinta yang sangat luar biasa. Mereka tak tahu bahwa cinta yang ku punya tercipta untuk dan karenanya. Karena pemuda tampan yang ku temui di sore berhujan silam. Pemuda yang selalu mendaratkan kepalanya di bahuku saat tiap rinai hujan menari di balik kaca jendela bis yang kami naiki. Pemuda yang selalu terlihat keren saat rahangnya bergerak untuk mengunyah tiap potong pisang goreng. Pemuda yang justru memilih cinta yang lain daripada seonggok cinta sederhana yang ku tawarkan. Pemuda yang kini telah berbahagia dengan dunia Auroranya.
Maka tak ada yang salah. Ini takdir. Takdir yang telah diputuskan Tuhan jauh sebelum kisah ini tercipta. Maka apakah aku akan menyalahkan takdir? Tidak. Hanya orang picik saja yang melakukannya. Dan aku sama sekali tak sudi termasuk ke dalamnya. Lalu sekarang aku merasa menjadi penjahat terkejam. Teringat akan sikapku pada Keke tadi dan beberapa hari sebelumnya. Membentaknya. Menolak pisang goreng buatannya. Mendakwa bahwa tersangka dari jutaan luka menganga di hati ini adalah perbuatannya. Menghukum atas dosa yang sama sekali tak dilakukannya, dengan menjauhinya. Mengabaikan permintaan tulusnya yang berisikan kalau dia hanya ingin menjadi sahabat kecilku. Menyalahi nada bicaranya yang manja dan tawanya yang renyah. Merutuki pipi kembang kempisnya yang telah membuat Rio terpesona. Dan kini, aku bahkan lebih jahat dari para koruptor.
Maka kini, yang ku lakukan hanyalah menangis di balkon kamar. Menyesali segalanya. Segala yang ku lakukan yang telah membuat hati Keke tertohok. Sebenarnya, setan apa yang membisikku niat busuk itu? Sungguh, ini bukan mauku. Tentu saja. Perbuatanku telah menodai janji suciku. Janji untuk tidak pernah membuat air mata Keke jatuh berlinang lagi, walau barang setetes. Janji untuk terus mengabadikan lengkung senyum manis yang tergambar pada bingkai wajahnya. Dan tadi sore, aku mengingkarinya. Sungguh. Aku menyesal. Teramat menyesal.
Dan kalian boleh membenciku atas semua yang telah ku lakukan. Kalian berhak. Tuhan pun juga sepertinya harus memberikan hukuman yang berat atas pengingkaran janjiku. Aku berhak menerimanya. Seluruh penghuni bumi boleh mengutukku. Tapi satu. Jangan melarangku untuk memperbaiki hubunganku dengan Keke. Jangan memintaku untuk pergi dari kehidupan Keke, karena kalian fikir aku akan melukainya lagi. Biarkan aku menebus segalanya. Menggantikan tangisannya dengan tawa renyah seperti dulu. Meski resikonya hatikulah yang akan jadi korban. Tapi paling tidak, bukan hati Keke yang terluka. Karena hatiku pun akan merasakan luka yang sama seperti luka yang dirasakan Keke. Maka inilah yang terbaik. Membiarkan Keke bahagia bersama Rio. Tanpa yakin, apakah aku juga akan ikut bahagia. Atau bahkan sebaliknya. Semakin terluka. Akhirnya mati saja.
*
Gadis itu tengah duduk sendirian sambil menekuri buku catatannya. Sesekali ia menjumputkan rambutnya yang terurai ke belakang telinga. Ia duduk sendirian. Rasanya aneh. Bukankah biasanya, setiap pagi dia selalu ditemani pemudanya yang gemar menjawil pipinya. Tapi pagi ini, pemuda itu sama sekali tak nampak. Dan aku mendesah lega. Karena hatiku tak akan mendapatkan hadiah luka sepagi ini. Aku melangkah menghampirinya.
"K-Keke." ucapku pelan, tak lebih nyaring dari desauan angin. Sehingga Keke tak bisa mendengarnya, lantas terus menekuri bukunya. Ini karena aku agak ragu mengucap namanya. Aku takut dia akan langsung menolakku. Aku takut dia tak mau berteman dengan gadis jahat sepertiku lagi. Tuhan, hilangkan ketakutanku. Pintaku dalam hati.
Maka pintaku pun terkabul saat kalimat ajaib pemuda berhati malaikat yang berada di antah berantah itu terngiang di benakku. "Dia tetap sahabatmu. Tak ada yang berubah." Ah ya, dia benar. Apa pun yang ku perbuat, seburuk apa pun itu, Keke akan tetap menjadi sahabatku. Bukankah itu yang Keke mau? Menjadi sahabatku. Harapan yang sederhana nan mulia, bukan? Dan aku yakin, hati Keke seluas samudera. Dia akan tetap menerima permintaan maaf yang akan ku lontarkan. Dia akan menerimaku lagi untuk menjadi sahabatnya. Aku sangat yakin itu. Maka aku menghela nafas lalu mulai membuka mulut untuk mengucapkan sesuatu.
Dan sebelum satu kata pun berhasil ku ucapkan, tiba-tiba Keke mendongak. Dan hatiku seketika mencelos saat mendapati kantung mata yang cukup besar di bawah kelopak mata indah Keke. Tuhan, Keke pasti menangis. Maka dari itu, matanya berkantung. Aku meneguk ludah. Menatapnya nanar. Yang ditatap malah tersenyum. Balas menatapku dengan ekspresi tak terduga. Dan akhirnya menyambutku dengan sangat ramah. Ketakutanku musnah semua.
"Ifyyyy!" pekiknya. Aku menarik ujung-ujung bibirku. Membuat seulas senyum untuk sahabatku.
"Aku mau..."
Belum selesai ucapanku, Keke tiba-tiba memotongnya. "Kamu duduk sama aku lagi ya! Duduk sama Debo ga seru tauuuu!" Keke berkata dengan nada khasnya yang manja. Matanya mengerjap-ngerjap seraya menganggukan kepala cepat. Wajahnya nampak polos dan menggemaskan.
Lihat. Keke masih bersikap ramah dan menyenangkan padaku. Seakan aku tak pernah melakukan kesalahan. Seakan antara kami tak pernah ada apa-apa. Sungguh, penyesalanku semakin membesar.
Maka aku langsung mengangguk yakin. Tak sedikit pun ragu dan berniat menolak permintaannya yang sangat sederhana itu. Lantas aku pun duduk di tempatku dulu. Tempat yang sempat ku tinggalkan lebih dari sepekan. Sejurus kemudian meletakan tas di atas meja.
"Makasih ya Ifyku sayaaang!" ujar Keke seraya tertawa menyeringai.
Ah. Ternyata melihat Keke tertawa lebih menyenangkan dari apa pun. Ya, tawa Keke memang renyah dan lucu. Aku suka itu. Dan wajar saja kalau Rio menyukai tawa Keke yang seperti itu. Sudahlah, aku belum mau membahas mengenai pemuda itu. Yang harus aku lakukan kini, meluruskan segalanya. Membenahi rajutan persahabatan yang sebelumnya kusut dan terbengkalai.
"Maafin aku ya Ke!" kataku seraya menundukkan kepala. Tak berani menatap wajah Keke. Apalagi dengan kantung matanya yang selalu saja membuat hatiku mencelos.
Keke menempelkan telunjuknya pada ujung daguku. Mengangkatnya lalu menatapku tajam. "Maaf untuk apa?" tanya Keke.
Apa? Dia masih bertanya? Apa Keke lupa apa yang telah aku lakukan kemarin? Aku membuatnya menangis. Dia masih bertanya? Aku sungguh tak habis fikir. Lantas aku mendesah.
"Keke yang salah. Ify ngelakuin itu karena Keke yang salah. Ify ga suka ya Keke pacaran sama Rio?"
Sekarang, apa yang harus aku lakukan? Mengangguk dan menceritakan bahwa aku sama sekali tidak menyukai hubungan Keke dengan Rio? Tapi apakah aku akan tega? Tentu saja tidak. Melihat sikapnya yang tak pernah berubah sedikit pun padaku, apalagi dia malah menyalahkan dirinya sendiri atas sikapku, aku takkan sanggup melakukannya. Maka kini, aku menggeleng. Memutuskan untuk berpura-pura bahagia dengan hubungan mereka. Tak peduli rasa sakit yang pasti akan ku dapat nanti.
Keke tersenyum dan mendesah lega. Kemudian kembali berujar. "Syukurlah kalau kamu suka. Abisan, Rio kan cinta pertama aku. Eh tapi, kalau kamu beneran ga suka, aku ga apa kok putus sama Rio. Asal kamunya seneng dan tetap jadi sahabat aku."
Maka sungguh, cakrawala keegoisanku luluh lantak seketika mendengar ucapan penuh ketulusan yang terlontar dari bibir manisnya. Ah mulia sekali hatinya. Hanya ingin aku merasa senang dan tetap jadi sahabatnya. Oh Tuhan, terbuat dari apa hatinya? Putih. Tak ada prasangka buruk di dalamnya. Lalu aku semakin saja merasa bersalah. Bagaimana bisa aku menorehkan luka di hati mulianya itu? Sedangkan di dalamnya hanya ada kebaikan dan ketulusan. Maka aku meloncat menghambur ke pelukannya. Merengkuh tubuh Keke. Menghadiahinya setumpuk maaf atas kesalahanku. Membersihkan hatiku dari niat untuk membiarkannya merasakan sakit yang pernah menguasai hatiku lantas membuangnya jauh. Memejamkan mata seraya berharap takkan ada lagi yang mengganggu jalinan persahabatanku ini. Apa pun itu. Sekalipun hatiku yang tersakiti lalu akhirnya teronggok mati.
Dan sepertinya, ini memang yang terbaik dari segalanya. Aku yakin aku kuat menjalaninya. Ya, kekuatan ajaib selalu disediakan Tuhan melalui senyum lebar dari pemuda berhati malaikat yang baru saja lewat. Gabriel. Dia tersenyum dan mengangguk. Meyakinkan bahwa apa yang ku lakukan adalah benar. Maka kini aku percaya dengan kalimat ajaibnya. Aku kuat dan akan selalu kuat.
*
Aku mengaku bisa. Walau hati tak bisa. Tapi Tuhan tahu aku bisa. Maka aku pun bisa.
*
Aku menceritakan segalanya pada Gabriel. Tentang penyesalanku. Sikap ramah Keke yang memukul hatiku telak. Keputusan terbaik yang ku ambil. Dan cinta yang diam-diam masih terus ku pertahankan. Cinta yang mungkin tak akan terbalaskan. Gabriel mengacungi jempol atas segalanya. Tak terkecuali kepingan cinta yang masih tersisa. Ia betul-betul memahami hatiku. Memahami bahwa cinta yang ku punya bukan cinta biasa dan terlalu tangguh untuk digoyahkan oleh apa pun. Termasuk prahara yang kejam mendera. Maka ia terus mendukungku. Senyum lebarnya menciptakan kekuatan untukku. Kalimat-kalimat ajaibnya menuntun langkahku. Dan tanpa sadar, ketulusan hatinya membuka celah istimewa di hatiku.
"Kamu hebat Ify!" ujar Gabriel seraya menepuk puncak kepalaku.
Aku tersenyum. Tersanjung atas pujiannya. Lalu menimpalnya dengan pujian juga. "Kamu ajaib Gabriel!"
"Ahahaha!" kami pun akhirnya tertawa. Tak peduli orang-orang yang ada disekitar kami. Inilah salah satu keajaiban Gabriel. Dia selalu mampu membuatku melupakan sejenak kesakitanku. Lalu yang keluar adalah gelak tawa, senyum menyeringai, candaan yang hangat, dan tentunya keyakinan yang menguatkan.
Kemudian tawaku seketika lenyap. Tersapu oleh angin yang menuntun tatapanku menuju siluet tampan di ujung kantin sana. Dia tak sendiri. Di sampingnya berdiri seorang gadis yang nampak berbeda dengan kacamatanya. Mataku pun akhirnya tertuju pada tangan mereka yang saling bertautan. Maka aku hanya bisa terdiam. Merasakan getaran hebat yang telah lama terlelap kembali hadir. Lantas getaran tersebut seakan mengaum. Mengamuk dan memaksa untuk keluar dari ragaku saat sepasang kekasih itu berjalan menghampiri tempat aku dan Gabriel berada.
Getaran itu pun seakan berubah menjadi monster menyeramkan dengan tubuh besar dan kuku panjang nan tajam saat kini mereka berdua telah berdiri di hadapanku. Lantas sang monster tajam mencakar hatiku saat aku menatap sang pemuda, dan yang ditatap enggan membalasanya, malah tega memalingkan muka. Hatiku mencelos kembali. Ditambah perih bekas cakaran sang monster.
"Kita boleh duduk di sini ga?" tanya Keke.
Sang pemuda yang kini terlihat angkuh itu pun menoleh pada Keke. Mengerenyit dan mengisyaratkan bahwa dia enggan berada di sini. Secara langsung dia menolak kehadiranku. Pemuda yang dulu begitu membuat hatiku buncah oleh perasaan bahagia kini telah berubah secepat kilat.
Keke tersenyum. Mengedikan kepala. Meminta pemudanya untuk duduk dan bergabung bersama kami. Kemudian sang pemuda menuruti permintaan Keke -walau dengan raut wajah keterpaksaan-. Dan ternyata, Keke memang memiliki kekuatan magis. Dan dengan magisnya, ia mengikat sang pemuda untuk terus menerus terpesona padanya. Bahkan bersedia melakukan sesuatu yang tidak dikehendakinya.
Aku menoleh ke arah Gabriel. Untung saja pemuda berhati malaikat ini ada di sampingku. Kalau tidak, aku yakin monster di tubuhku akan keluar dan memakan hidup-hidup dua mahluk di depanku. Tapi senyum lebarnya, anggukan kepalanya, kedipan matanya, menahan monster itu. Membelainya lantas sang monster pun terlelap. Aku mendesah lega. Kembali menghadapkan kepala pada dua siluet yang kini telah duduk manis di depanku. Terhalang meja putih panjang yang berada di antara kami.
"Keke bawa pisang goreng lho! Bukan buatan Keke sih, tapi ga pa-pa kan? Makan yuk!" ujar Keke seraya meletakan kotak berwarna biru di atas meja. Kemudian membuka tutupnya.
"Ga pa-pa deh! Meski bukan buatan kamu, aku yakin pasti enak. Kan Auroraku yang bawa!" ujar Rio. Dia meraih pipi Keke, lantas mencubitnya gemas.
"Rio centiiil! Kan malu tauuu!" Keke memegangi pipinya. Menoleh ke arah Rio. Lantas mengulum bibir.
Maka Rio terkekeh lucu. Sejurus kemudian mengambil sepotong pisang goreng dari kotak yang ada di atas meja. Mendekatkannya pada bibir Keke yang tengah mengerucut. Hendak menyuapi Keke.
Keke mendelik ke arah Rio. Tersenyum lantas menerka pisang goreng yang tepat berada di depan mulutnya. Seketika Rio terkekeh. Lalu memasukkan sisa potongan pisang ke dalam mulutnya. Mereka tertawa menyeringai bersama. Adegan yang sangat amat sempurna. Sempurna keromantisannya. Sempurna membuat hatiku mencelos, nafasku tercekat di rongga tenggorokkan.
Dan menjalani ini semua ternyata sangat sulit dan menyakitkan untukku. Melihat mereka menikmati pisang goreng saja, jutaan luka di hatiku semakin menganga. Apalagi harus membiarkan mereka bahagia. Apa jadinya nanti? Maka aku meraih tangan Gabriel. Menggemgamnya erat. Mencoba meminta pertolongan. Dan Gabriel adalah pemuda yang sangat peka terhadap apa yang ku rasakan. Dia menggenggam balik tanganku. Lebih erat dari apa yang ku berikan. Menyalurkan tiap inci kekuatan lewat kehangatan jemarinya. Menyusupkan keyakinan bahwa aku bisa melewati masa-masa tersulitku ini.
"Makan dong pisang gorengnya!" pinta Keke dengan sisipan nada memelas.
Gabriel menggerakan genggamannya. Seakan mendukungku untuk memenuhi pinta Keke. Dan aku bagai seorang zombi. Aku mengangguk kaku. Lalu meraih satu potong pisang goreng. Lantas melahapnya.
Dan ternyata, pisang goreng memang benar-benar berguna saat ini untukku. Karena tiap kunyahannya menciptakan secercah ketenangan yang perlahan membasuh lembut lukaku. Ah, pisang goreng selalu menjadi sesuatu yang sederhana dengan kelebihan yang berbeda. Maka aku menikmati pisang goreng dengan tangan yang masih merasakan kelembutan genggaman Gabriel. Sementara tanpa sadar, fokusku tetap tertuju pada salah satu dari siluet yang masih asyik bercengkrama. Pemuda yang masih mempesona dengan rahang yang bergerak ke atas ke bawah. Pemuda yang aromanya menjadi zat adiksi bagi udara yang ada di sekitarku. Pemuda yang tatapan teduhnya menjadi alasan untuk hatiku tetap menyimpan segores harapan. Harapan yang selalu luput dari perhatian.
Lalu aku terkesiap saat tiba-tiba Gabriel melepaskan tautan tangannya. Ia bangkit dari duduknya lalu berkata, "Kayaknya kita butuh minum deh! Aku beli minum dulu ya!"
Aku menoleh ke arah Gabriel. Mengerenyit dan menatapnya dengan tatapan kamu-mau-biarin-aku-pingsan. Yang ditatap malah terseyum dan menepuk pundakku. Sejurus kemudian pergi meninggalkanku. Memaksaku untuk bertahan tanpa kehangatan jemarinya. Tanpa senyuman lebarnya. Tanpa keajaibannya. Walau hanya beberapa waktu saja, tapi aku tak yakin bisa.
Dan ini semua memang terjadi karena takdir. Lalu takdir pulalah yang mengatur ini semua. Keke bangkit dari duduknya. Meminta izin pada Rio untuk bergegas ke toilet. Lantas setelah Rio mengangguk, ia pergi ke tempat tujuannya. Dan kini aku terjebak bersama Rio. Pencipta monster besar dalam hatiku.
Maka kini aku hanya bisa mendesah pasrah. Menanti jalannya takdir yang cepat akan bergulir. Membuktikan pada semua, apakah aku benar-benar bisa melewati ini semua. Atau lagi-lagi aku harus jatuh dan menyadari bahwa aku memang gadis bodoh lemah yang selalu kala dalam berbagai kancah.
*
bersambung.
*
0 Komentar :
Posting Komentar
Komentari