HUJAN, Kita Dan Mimpi part 15
"Menangislah! Hujan selalu punya cara untuk menghapus tangismu."
*
Apa yang kini dapat dilakukan dengan hati yang hancur lebih dari berkeping-keping? Dengan jutaan luka menganga yang kini bukan hanya berdarah, namun bernanah? Menata ulang kepingan-kepingan itu. Mengobati jutaan luka menganga itu. Bersabar dengan segala penderitaan itu. Bertahan dari segala sepak terjang sang prahara. Sangat mustahil. Maka, yang dapat dilakukan kini hanya satu, meyakini bahwa Tuhan Maha Baik. Dia akan menyembuhkan kesakitan itu. Bahkan kalau kita ikhlas, Tuhan akan memberikan kasih-Nya yang lebih dari kasih-kasih yang lain.
*
Jangan menyerah pada prahara. Karena itu berarti sama saja dengan membiarkannya berbahagia di atas kesakitanku. Menyuruhnya menari di atas kehancuranku. Membuatnya merasa menjadi pemenang dalam kancah pertempuran ini. Lalu memangnya, aku sekuat itu? Perlu kalian ketahui, aku sudah sering merasakan berbagai perih dari prahara yang diberikan oleh Tuhan. Dan aku masih bisa bertahan lalu bangkit lantas kembali melanjutkan hidup. Tapi prahara kali ini menyadarkanku, bahwa aku tak sekuat itu. Aku terhempas terlampau dalam. Terpelanting jauh mengenaskan. Sehingga seluruh tulangku patah. Menyebabkan aku tak mampu bertahan. Bahkan, untuk sekedar bangkit dan berdiri pun aku tak sanggup. Lalu sekarang apa yang bisa ku lakukan? Mendesah pasrah. Menunduk putus asa. Menyerah pada prahara.
Dan saat aku benar-benar merasa menjadi seorang pecundang. Saat aku hendak memproklamirkan kekalahanku atas sang prahara. Hujan datang mencegahku melakukan semuanya. Hujan membawa bala bantuan. Ya, dia. Pemuda berhati malaikat. Pemilik senyum lebar nan menenangkan. Empunya tatapan elang yang meneduhkan. Dia yang tanpa sadar selalu hadir dalam tiap lembar jalan hidupku. Dia yang selalu siap menopangku saat aku terjatuh. Dia yang sampai detik ini masih ikhlas membiarkan dadanya tergenang oleh rembesan air mataku. Dia yang -mungkin- sampai nanti akan selalu ada di kala aku membutuhkan seseorang untuk menguatkanku. Dia. Gabriel. Sang Pangeran hujan.
*
"Menangislah! Hujan selalu punya cara untuk menghapus tangismu."
Setelah seuntai kalimat terlontar dari bibirnya yang manis. Telingaku berdesir takjub. Kalimat yang sesungguhnya sangat sederhana. Namun, karena kesederhanaan itulah, kalimat tersebut menjelma menjadi kalimat yang luar biasa. Menggetarkan hati seluruh penghuni bumi. Meruntuhkan niatku untuk menyerah begitu saja dari sang prahara. Meluluhkan kekeras kepalaan sang pembuat jalan cerita agar tidak terus menerus menyiksa sang pemeran utama. Membangun keterpanaan yang begitu hebat. Dahsyat. Karena dalam tiap jengkal tutur kalimat tersebut, ketulusan hati ikut mengiringi.
Maka aku tak segan terus menerus menangis dalam dekapannya. Karena dalam lingkar tangan kokohnya, aku merasakan sebuah rasa asing yang perlahan menyembuhkan, menyelinap masuk di antara jutaan luka menganga. Aku mendengar detak jantungnya yang mengetuk jiwaku dengan begitu tulus. Dan deru nafasnya yang terasa hangat menyapa puncak kepalaku, membuatku merasa tenang dan yakin bahwa masih tersisa harapan. Meski harapan untuk sekedar bertahan.
Kemudian aku mendongak. Dan hatiku merasa lega, mendapati senyuman lebar itu masih menghiasi wajah tampannya. Maka aku mendesah pelan. Sayang. Desahanku tak cukup pelan untuk menyapa indra pendengarannya. Maka dia pun menunduk. Membuat wajah kami berhadapan dengan jarak yang hanya beberapa centi. Dan aku hanya bisa membisu, saat tatapan elangnya menerka tepat kedua manik mataku. Di sana. Di bola mata elangnya yang berwarna coklat, aku menemukan sebuah cahaya yang memancar begitu indah. Aku terpana. Karena nyatanya, dalam tiap kilau cahaya itu, aku kembali menemukan sebuah ketulusan. Ketulusan Gabriel.
"Kalau belum tenang, teruskan saja!" ujarnya lembut sambil menyingkirkan jumputan poni yang basah dan membuat bingkai pada wajahku ke pinggir.
Seperti kalimatnya yang pertama, kalimatnya kali ini pun membuat hatiku berdesir. Gabriel adalah pemuda yang sangat berbeda.
Aku mengerjap. Melingkarkan dua tanganku untuk merengkuh tubuhnya. Kembali menenggelamkan wajah pada dada lapangnya. Memejamkan mata. Dan menangis lagi.
Sesungguhnya, menangis bukan menunjukkan kalau orang itu lemah atau cengeng. Namun menangis adalah cara untuk mencapai ketenangan hati. Dan itulah yang ku lakukan sekarang. Karena sejujurnya, dengan menangis dalam dekapan pemuda berhati malaikat ini, aku menemukan sebuah ketenangan. Apalagi kini, dia mempererat pelukan hangatnya. Mengelus lembut punggungku. Membuat aku kuat dan semakin yakin bahwa aku akan bertahan, bahkan terbang lantas mengembalikan semuanya seperti semula.
Setelah beberapa lama aku menangis dalam dekapan tulusnya, aku merasakan kini hujan lambat laun mulai undur diri, hanya menyisakan rintikan kecil menggemaskan. Maka aku pun bertanya, "Mereka udah pergi?"
"Dari tadi."
Lantas aku mengurai tanganku. Diikuti Gabriel yang juga membiarkan aku keluar dari dekapannya. Dia kembali tersenyum.
"Maaf!" ujarku sambil menghapus sisa air mata yang bercampur dengan air hujan. Namun Gabriel menahannya dengan tangan kiri. Menggerakkan tangan yang sebelah kanan. Menggantikan tugas hujan untuk menghapus air mataku.
Setelahnya, dia menurunkan kembali tangannya. Mengusap tetesan hujan yang bergelayut lucu pada wajah tampannya.
"Kamu baik, seperti hujan!" aku bergetar mengucapnya. Sungguh. Demi apa pun. Itulah kalimat yang paling tulus, yang tercipta dari hati yang paling dalam. Hati yang kini lukanya telah bersih dari nanah. Dan rasa asing yang diselipkan Gabriel melalui kebaikannyalah yang membersihkannya.
Seperti biasa. Dia hanya tersenyum. Senyum dari seorang pemuda berhati malaikat. Senyum yang menambahkan kekuatan di hatiku untuk kembali merangkai mimpi. Merajut harap.
Gabriel mengulurkan telapak tangannya yang terbuka. Menantiku untuk segera meraihnya. Seperti sang pangeran mengajak seorang putri untuk berdansa.
Aku mengerenyit tak mengerti. Apa? Dia benar-benar tidak mengajakku berdansa di tengah lapangan basket, kan?
Gabriel menghela nafas. "Guru-guru ada rapat. Kita pulang lebih cepat. Ayo pergi! Kita main hujan-hujanannya di tempat lain." ujarnya sambil tersenyum menyeringai.
Dan, setelah hantaman menyakitkan dari prahara beberapa saat yang lalu, untuk yang pertama kalinya aku dapat tersenyum. Senyum tulus untuk dan karena pemuda berjiwa tulus. Lantas aku meraih tangannya. Lalu sejurus kemudian, Gabriel menggenggam tanganku. Membawaku menuju dunianya. Dunia yang sederhana namun penuh ketulusan.
*
Sederhana itu dekat sekali dengan ketulusan.
Dan ketulusan itu kunci utama untuk membuka pintu hati.
~Darwis Tere-Liye~
*
Aku membenahi posisi dudukku. Berpegangan pada jaket hitamnya. Lalu mengangguk setelah Gabriel bertanya, "Udah siap?" Sejurus kemudian, dia mengayuh sepedanya. Melaju di antara gerimis yang masih asyik menari.
Ah, aku masih tak percaya dapat melakukan ini. Pergi meninggalkan tempat yang menyebalkan sekaligus menyakitkan tadi. Aku fikir, setelah kehancuran hatiku, selepas tertimbunnya cintaku, aku akan mematung di sana. Jatuh tersungkur. Lalu pada akhirnya mati mengenaskan. Tapi sekarang, pemuda berhati malaikat di depanku mematahkan segalanya. Dia yang ikhlas untuk menjadi yang terakhir -sebelum Tuhan- untuk menjadi tempat pengaduanku. Dia yang sukarela mengelus pundakku, untuk menciptakan jutaan amunisi semangat baru, agar aku kuat. Supaya aku yakin, bahwa harapan takkan pernah habis. Selalu tersisa walau hanya setitik. Selalu tersedia meski tak sebesar harapan yang semestinya. Dia yang tulus mendekapku agar aku percaya, bahwa aku akan mampu bertahan dalam segala keadaan. Sekalipun menyakitkan.
"Aku sengaja bawa sepeda. Biar aku bisa hujan-hujanan. Hehe... Kalau dijemput kan, ga bisa main sama hujan." celoteh Gabriel sambil terus mengayuh sepedanya.
Aku tersenyum mendengarnya. Gabriel sama sepertiku. Menyukai hujan. Aku mendesah.
"Kamu suka hujan, kan?" tanya Gabriel.
Apa? Darimana dia tahu bahwa aku menyukai hujan? Aku mengerutkan kening. Heran.
Gabriel mendesah. Berhenti mengayuh. Mengerem sepedanya hingga berhenti. Menoleh ke arahku. Menatapiku tajam. Lalu bertanya, "Kamu lupa siapa aku?"
Lupa? Aku ingat. Aku kan tidak sedang amnesia. Aku ingat. Dia Gabriel. Teman sekelasku. Ketua ekskul musik. Atlit basket. Aku ingat. Tak ada yang aku lupakan. Aku terus mengerenyit.
Gabriel mendesah. Mendekatkan wajahnya padaku. Menatapku beberapa detik. Lalu mengedipkan mata kirinya sambil tersenyum. Ya, aku ingat. Kedipan 'nakal' itu. Kedipan yang kini mengingatkan pada kenangan masa kecilku yang sempat terabaikan.
Aku mengerjap. Mengangguk. Lalu berkata, "Siapa bilang aku lupa? Aku ingat kok! Kamu Gabriel. Emm..." Aku menggigit bibir lantas melanjutkan ucapanku, "Sepupunya Agni yang paling centil!"
"Tapi ganteng! Wlee..." ujar Gabriel sambil menjulurkan lidahnya. Menampakkan ekspresi yang sangat lucu.
Aku mendengus. Menggerakkan tangan untuk meraih perut Gabriel. Lalu akhirnya mencubitnya gemas.
"Aww..." dia meringis kesakitan sambil memegangi perutnya yang kena cubit. Mukanya lucu sekali.
Aku terkekeh sendiri. Lantas dia mengulum bibir. Lalu kembali mengayuh sepedanya. Meneruskan perjalanan.
"Aku kangen sama kamu Fy! Kangen masa kecil kita." celoteh Gabriel seakan membuka kembali memori masa kecilku. Hmm... maksudku masa kecil kami.
Ya. Aku ingat semuanya. Betapa masa kecil kami begitu menyenangkan. Meski dulu kami tidak bersekolah di sekolah yang sama, tapi karena Gabriel sepupu Agni, dan Agni adalah sahabatku, maka tak jarang Agni mengajak Gabriel untuk bermain bersama. Dan insiden basket tempo dulu itu yang membuat hubunganku dengan Agni menjadi kurang baik, sehingga hubunganku dengan Gabriel pun merenggang. Dan akhirnya menjauh.
"Dulu kan kita sering hujan-hujanan bareng. Seru tauuu! Ahaha..." kata Gabriel seraya terkekeh.
"Iya. Kita berempat selalu bersama-sama. Aku, kamu, Agni, dan Ke..." aku berhenti berkata saat menyadari siapa nama berikutnya yang akan mengisi kalimatku yang terpotong. Nama itu. Nama yang kembali menebarkan perih di atas luka yang sempat -sedikit- membaik. Membuat hatiku semakin mencelos. Memupus kembali harapan-harapan yang sempat tercipta. Aku menggigit bibir. Menunduk. Mendesah berat.
"Dan hujan." kata Gabriel cepat mengetahui aku mulai di dera keresahan. Ah, Gabriel memang peka. Selalu mengerti perasaanku. Dia berbeda. Dia tak seperti pemuda yang mungkin sekarang sedang bersenang-senang bersama penerbit cintanya. Sudahlah. Apa lagi yang bisa diharapkan dari pemuda tidak peka itu? Kenapa pula aku harus repot memikirkannya? Aku berdecak.
"Kamu masih ingat rumah pohon yang ada di belakang rumahku?" tanya Gabriel.
Aku terkesiap. Mengerenyit. Lalu baru ingat mengenai rumah pohon yang Gabriel tanyakan. "Iya. Masih ada, kan? Aku mau ke sana!"
"Tentu." ujar Gabriel dengan senang hati.
Gabriel tidak pernah berubah. Dari dulu dia selalu seperti itu. Selalu melakukan apa saja dengan ikhlas dan senang hati. Dan satu lagi, dia menyenangkan, seperti hujan.
*
Mataku membelalak. Melihat rumah pohon yang masih tetap seperti dulu. Tak ada perubahan mencolok. Hanya satu mungkin, rumah pohon ini terlihat lebih rapi. Tentu saja. Dulu kan, kami sering bermain disini dan membuat tempat ini seperti kapal pecah. Lantas sekarang, siapa yang akan menciptakan suasana tersebut.
"Cuma aku yang sampai sekarang masih tetap main di sini. Agni udah ga mau. Katanya, ini tempat anak kecil. Ah, andai aja kamu sama Agni ga pernah bermasalah. Pasti tempat ini, akan seramai dan seberantakan dulu. Sayang banget!" Gabriel berdecak.
Aku menunduk. Menggigit bibir. Merasa sangat bersalah. Kalau saja aku tidak bertindak bodoh, dan dapat menghindar dari insiden basket itu, semuanya tak akan seperti ini. Sudahlah. Toh, semuanya sudah kembali lagi. Aku dan Agni kini juga sudah bersahabat baik lagi.
Kemudian, aku tertarik untuk menanyakan suatu hal. "Kenapa? Kenapa kamu tak mengajakku ke tempat ini dari dulu? Kita udah hampir 3 tahun sekolah di sekolah yang sama."
Gabriel mendesah. Menepuk pundakku pelan. Kemudian tersenyum. "Kamu tidak seterbuka dulu. Aku menunggu waktu yang tepat."
Aku menghela nafas. Baru sadar, ternyata banyak sekali dampak dari perubahan sikapku. Aku kembali mendesah.
"Kamu ingat ini?" Gabriel menunjukkan sebuah pistol mainan yang terbuat dari bambu.
Aku mendongak. Tersenyum melihat pistol mainan yang menggemaskan itu. Lalu secepatnya, aku raih pistol mainan itu dari tangan Gabriel.
"Ayo cari burung! Kita tembak dia!" ujarku antusias lantas mengerjapkan mata beberapa kali.
Gabriel tersenyum. Menggeleng-gelengkan kepala. Mendaratkan telapak tangannya pada puncak kepalaku. Lalu mengacaknya gemas. Dan sejurus kemudian, dia meraih tanganku yang tengah mengarahkan pistol bambu ke sasaran tembak dari belakang. Membuatku terkurung dalam lingkar tangan kokohnya untuk yang kedua kali.
"Tuh ada burung!" kata Gabriel.
Sayang. Bukanlah burung yang ku lihat. Tapi adegan menyakitkan dari dua pelakon jahat di bawah sanalah yang ku lihat. Di taman itu. Mereka kembali mempertunjukan adegan yang -sok- romantis. Berkejaran sambil meniup gelembung. Menjijikan.
Aku melepaskan genggamanku dari pistol bambu. Merasakan betapa luka di hatiku semakin parah dan kembali bernanah. Harapan kecilku menghilang. Cintaku tertimbun sampai ujung kedalaman bumi. Menyesakkan.
Maka aku mengepalkan tangan. Menggigit bibir. Merasakan kini buliran bening kembali menggenangi mataku. Bersiap tumpah. Menciptakan sungai di permukaan pipiku.
"Hujan udah pergi. Sekarang kalau aku menangis, siapa yang akan menghapusnya?" ujarku dengan suara yang sangat bergetar.
"Aku akan menggantikan hujan." bisik Gabriel pelan namun berenergi, disertai ketulusan yang kembali menggetarkan hati.
Dan pada akhirnya, aku berbalik dan langsung menghambur pada pelukan pemuda yang tak pernah berkeberatan dengan keadaanku yang sangat menyedihkan. Dia malah menangkap tubuhku. Kembali membuat lingkar tulus dan menguatkan oleh kedua tangannya. Mendorong kepalaku agar tenggelam di dadanya. Mengelusnya lembut. Dan lantas, apa kini yang bisa ku lakukan selain menangis? Ya, aku menangis lagi. Dan lagi-lagi, pemuda berhati malaikat inilah yang ikhlas menawarkan apa yang dia punya untuk menguatkan dan menenangkanku.
"Aku...lemah. Aku...rapuh. Aku...ga bisa bertahan." ujarku terisak, masih menumpahkan tangis dalam keikhlasannya.
Lalu Gabriel membisikkan sebuah kalimat. Kalimat yang sederhana, namun ketulusannya berjuta kali lipat dari kalimat sebelum-sebelumnya. Kalimat yang bukan hanya menggetarkan penghuni bumi, namun kini seluruh penghuni langit pun ikut takjub akan dahsyatnya kalimat itu.
"Kamu kuat. Dan akan selalu kuat."
*
bersambung.
*
0 Komentar :
Posting Komentar
Komentari