HUJAN, Kita Dan Mimpi part 13

Minggu, 30 Oktober 2011

HUJAN, Kita Dan Mimpi part 13


Tak ada cinta yang menyakitkan. Semua cinta mengandung keindahan. Dan apabila kita merasa sakit, itu adalah sepenuhnya perbuatan prahara yang tak pernah sudi melihat cinta berbahagia.

*

Segalanya berubah hanya dalam sekejap mata. Perubahan yang terjadi akibat tiap aksi yang digencarkan oleh Aurora. Pelan namun pasti. Ya, mungkin itulah taktiknya. Taktik yang dilakukan oleh gadis cantik nun jauh di sana. Taktik yang hampir menyerupai taktik seekor cicak memburu mangsanya. Mengintip terlebih dahulu. Meraba-raba dengan sangat hati-hati. Merayap perlahan. Lalu dalam hitungan sepersekian sekon, menjerat mangsanya. Telak. Mematikan.

Dan ternyata, taktik itu sangat ampuh. Terbukti saat ini, hanya dengan aksi perdananya, dia mampu mengesampingkan peranan cinta dalam kancah kisah yang tersusun oleh tiap jengkal harap. Lalu setelahnya, mengusir kejam cinta. Dan akhirnya, sampai pada tujuan utamanya, yaitu menimbun dalam-dalam sang cinta, setelah sebelumnya ia cabik dengan semena-mena.

Lalu, aku menyalahi sang cicak. Kenapa pula dia menciptakan taktik semacam itu? Kalau taktik itu tak pernah ada di muka bumi ini, maka prahara takkan melakukan hal jahat dengan cara yang tak terduga seperti ini. Aku takkan pernah merasa begitu tertohok karena perbuatan sang prahara yang sangat tiba-tiba, menyadarkanku dari buai pesona indah cinta. Dan organ vital bernama hati milikku, tak harus merasakan betapa menyakitkannya hujaman perih yang ditebarkan prahara.

Dan sekarang, memang apa yang bisa ku perbuat? Memusnahkan seluruh cicak yang ada di muka bumi ini? Jelas tidak. Lalu, apa aku harus menghapus prahara yang disuguhkan oleh Aurora? Itu tak mungkin. Semuanya sudah terlambat. Sebagaimana terlambatnya aku, untuk mengamankan hatiku, melindungi cintaku.

Maka akhirnya, yang dapat aku lakukan hanyalah bertahan dengan segala luka perih yang menganga lebar pada seluruh permukaan hatiku. Mencoba sekuat tenaga, menjunjung tinggi cinta, tanpa pernah membiarkannya harus tertimbun makin dalam. Menyusun keping harap yang sempat hancur berserak.

*

Pemuda tampan itu memang pintar. Sayang, hatinya tak pernah pintar dalam menangkap bagaimana perasaan orang yang berada di sekitarnya. Pemuda itu memang pemuda yang sangat tidak peka, walau sinyal kesedihanku terpancar amat kentara.

"Kemarin dia bermain seksopon lagi. Pipinya kembang kempis lagi deh! Uuuh! Lucu!" cerita Rio dengan raut muka bahagia dan mata yang berbinar.

Sementara hatiku kembali mencelos. Seakan luka menganga yang semalam sempat -sedikit- terobati oleh kehadiran hujan, terobek lagi. Dan aku menggenggam erat bandul pelangiku. Menguatkan diri.

"Dia cantik! Poninya lucu!" ujar Rio lagi.

Terus saja dia memuji dan memuja Auroranya. Atau, boleh saja sekarang aku bilang Gadis Senyum Manis-nya. Aku yakin, meski belum seratus persen hal itu benar. Ya, kemarin kan aku mendapatkan buktinya. Bukti bahwa Aurora adalah Gadis Senyum Manis. Aku menunduk sambil terus menggenggam bandul pelangi.

"Dia juga tertawa. Tawanya sangat renyah!"

Renyah? Seperti keripik singkong mungkin. Aku merutuk dalam hati sambil terus mengeratkan genggamanku pada bandul pelangi. Mencipta kekuatan, agar tak ambruk di hadapannya.

"Dia juga merengek! Haha, menggemaskan!"

Aku makin menunduk. Seakan ribuan kilo beban harus ditanggung oleh diriku. Memejamkan mata. Menggenggam bandul pelangi makin erat. Mengepalkan tangan yang satunya lagi. Dan menggigit bibir. Menahan amarah yang kian membuncah.

"Aku suka saat dia berlari. Rambutnya yang diikat dua jadi ikut bergoyang. Haha, pokoknya dia...."

Aku menggelengkan kepala, saat kini tiap katanya berdenging menusuk-nusuk gendang telingaku. Membuatku tak bisa bertahan dalam tekanan amarah yang terus menghimpitku. Dan tanpa aku sadari, aku mendongak lalu dengan lantang berkata "Berhenti!" membungkam jutaan kata indah yang dilontarkan Rio untuk menggambarkan Aurora -Gadis Senyum Manis- nya.

Rio mengerutkan kening. Menautkan kedua alisnya. Heran. "Ify?"

Seperti baru saja tersadar dari sebuah kebodohan, aku mengerjap. Merutuki sikapku yang dengan jahat membentak Pangeran Matahari. Hei. Memangnya kenapa? Salah? Bukankah dia juga tak pernah mempedulikan perasaanku? Lalu, kenapa sekarang aku harus mempedulikannya?

Aku bangkit dari kursi. Menatapnya tajam dan berkata "maaf, aku ke kelas dulu!" dan setelahnya aku bergegas meninggalkanya yang masih terdiam, sedikit tak percaya atas apa yang baru saja ku lakukan.

Dan tidak peka memang sudah menjadi bakatnya. Setelah tujuh langkah aku membiarkanya sendiri di pojok perpustakaan, dia bukannya merenungi diri mengenai apa penyebab sehingga aku berani membentaknya, dia malah menggelengkan kepala, mengangkat bahu tak acuh. Lalu sejurus kemudian menyandarkan tubuhnya pada kepala kursi, tersenyum sendiri, membayangkan keindahan gadis pujaannya.

Aku berdecak. Lalu dengan gumpalan amarahku pada pemuda itu beserta gadis lucunya, aku benar-benar melengos pergi. Tanpa sadar, rentetan air mata berbondong-bondong merembesi pipiku. Melewati tiap lekuk pipiku. Lalu berhenti dan bergelayut di ujung dagu runcingku. Maka sebelum air mataku menyentuh bumi, segera ku hapus air mata itu, lalu ku bendung bening yang belum sempat ku teteskan.

Karena tertutupi oleh tanganku saat menghapus air mata, aku tak dapat melihat apa dan siapa yang berada di depanku. Lalu aku pun akhirnya menabrak seseorang.

Aku meringis sambil memicingkan mata, melihat siapakah yang tidak sengaja ku tabrak. Meskipun mataku hanya dapat melihat samar, karena nyatanya air mataku masih menggenang, aku dapat mengetahui orang tersebut. Seorang lelaki yang selalu memamerkan senyum lebar khas miliknya, namun kali ini terlihat -sedikit- berbeda dengan kacamatanya.

"Alyssa." ucap Gabriel.

"Aku..." menghela nafas. "Ga kenapa-napa!"

Kalian dengar apa yang ku katakan? Aku tak kenapa-napa. Seperti, janjiku pada Rio, untuk tidak membuat siapa pun khawatir. Ah, kenapa aku masih saja memegang kukuh janji itu. Toh, janji Rio untuk tak akan pernah pergi dariku saja tidak ia tepati. Dia malah meniru matahari, yang kala malam menyapa, pergi meninggalkan hari. Dia mungkin tak pernah ingat akan janjinya itu. Aku mendesah.

"Tapi kok kamu nangis?" tanya Gabriel sambil meraih tanganku yang sedari tadi menempel pada pipiku.

Menangis. Bahkan, aku tak bisa membuktikan ucapanku sendiri. Aku tidak kenapa-napa. Lalu air mata ini? Tangis ini? Luka hati ini? Cinta tertimbun ini? Semuanya hanya kemunafikan. Bagus. Aku kembali menjadi gadis munafik seperti pemeran di sinetron itu kan? Tepuk tangan untuk aktris yang sangat frofesional ini.

"Aku cuma kelilipan."

Bagus. Alasan yang sangat bagus. Gabriel saja sampai mengerutkan kening. Dia pasti berfikir, tak mungkin kelilipan menyebabkan bertetes-tetes air mataku jatuh. Kecuali kelilipan biji salak.

"Aku ga apa-apa!" ujarku pada akhirnya dan bergegas pergi ke kelas. Tak peduli dengan tanda tanya yang tercipta pada benak Gabriel.

*

Aku mendesah lalu menghempaskan tubuhku di tempat dudukku. Keke yang awalnya sedang mengobrol bersama Aren, langsung menoleh ke arahku. Menatap jengah diriku yang kembali menenggelamkan kepala di atas meja.

Aku kembali merutuk dalam hati. Mencibir sikap Rio yang tak pernah peka. Menghina perlakuan Aurora padaku yang -secara tak langsung- menyakiti hatiku. Bukan Aurora. Tapi Gadis Senyum Manis. Dan aku pun menyalahi sang gadis. Kenapa dulu aku sempat mengagumi dan terbuai akan lengkung senyumnya? Kalau pada akhirnya, ini hanya cara licknya untuk merebut Rio dariku. Taktik sang cicak dia lakukan dengan sempurna.

Kini, tak tersisa sedikit pun kekagumanku pada senyum gadis itu. Bahkan sekarang aku teramat membenci senyuman itu, senyuman penjahat. Bukan hanya itu, aku juga benci segalanya tentang sang Gadis. Terutama pipinya yang kembang kempis yang mampu memacu getaran cinta untuk menjalari seluruh pembuluh Rio. Aku benci Gadis Senyum Manis.

"Aku kan udah bilang, kamu bisa cerita sama aku." Keke angkat bicara.

Aku tak menggubris ucapan Keke. Aku masih terus bergelung tentang kejahatan Gadis Senyum Manis. Dan entah karena apa, -mungkin karena aku yang terlalu mengagumi senyuman sang gadis dan tak tega untuk membenci senyuman yang kelewat indah-, maka sebuah desauan angin menyapa relung hatiku. Angin itu menyelipkan sebuah pesan tersirat berisikan penolakan atas dugaanku yang terlebih dahulu. Menyalahi hipotesisku bahwa Aurora adalah gadis senyum manis. Lalu, apa satu fakta yang kemarin ku dapatkan itu belum cukup? Tentu tidak. Butuh jutaan fakta lagi untuk membuktikan kebenarannya. Tapi setidaknya satu fakta itu mendukung 99 % hipotesisku. Tunggu. Aku lupa yang 1 % persen lagi. Sesungguhnya, sekecil apa pun kemungkinan itu, atas kehendak Tuhan semuanya bisa terjadi. Termasuk kemungkinan bahwa Aurora bukanlah Gadis Senyum Manis.

Menolehlah aku pada Keke yang setia menantiku untuk bercerita padanya. Keke selalu punya jawaban dari tiap pertanyaanku. Maka aku pun bertanya padanya.

"Menduga-duga itu salah ya Ke?" tanyaku.

Keke mengerenyit lalu menghela nafas. "Ga salah. Cuma ga baik aja!"

"Terus?"

"Memastikan lebih baik!" ujar Keke sambil tersenyum.

Keke benar. Memastikan lebih baik. Pada akhirnya aku pun memutuskan, sepulang sekolah nanti, aku akan pergi ke taman, menemui sang gadis, meminta sebuah kepastian.

*

Pemuda gondrong dengan wajah menyenangkan itu nampak mengolesi lelehan krim coklat pada pipi mulus gadis di sebelahnya. Sementara gadis itu nampak sebal dan mengulum bibirnya. Lalu membalas mengoleskan krim vanilla pada wajah pemuda 'nakal' itu. Namun, dia sempat menghindar. Dan krim itu pun tertoreh pada rambut gondrongnya.

"Hahaha..." mereka tertawa bersama.

Mereka berdua sangatlah dekat. Dimana pun berada, mereka selalu bersama. Aku tak pernah melihat gadis itu sendirian atau sebaliknya, pemuda itu yang ku dapati sedang sendiri. Mereka selalu bersama setiap saat. Hanya berdua. Tak ada seksopon di antara mereka. Ya, aku semakin yakin saja Gadis itu bukanlah Aurora. Semoga saja.

Aku mulai melangkah perlahan menghampiri mereka. Agak ragu sebenarnya. Namun ucapan Keke terngiang dan menghapus keraguanku. "Memastikan lebih baik."

Aku menggigit bibir. Bingung sendiri saat aku sudah berada tepat di depan mereka.

"Eh..." seruku tertahan.

Mereka berdua menghentikan adegan colek-mencolek krim. Menatapku heran, lalu saling berpandangan.

"Temennya Rio ya?" tanya Ray -pemuda itu-.

Aku mengangguk pelan.

"Ada apa? Duduk sini!" kata sang Gadis sambil menepuk pelan rumput di sebelahnya.

"Aku..." kataku terbata-bata sambil mendudukkan diriku di sebelah gadis itu.

"Oh ya, kenalan dulu! Aku Sivia, ini sahabat aku Ray." kata gadis itu. Akhirnya, setelah sekian lama aku mengagumi keindahan senyum miliknya, aku bisa mengetahui namanya. Sivia. Nama yang cantik. Sama seperti senyumnya.

"Aku ify."

"Kamu mau apa?" tanya Sivia.

"Aku mau tanya sama kamu. Kamu..." aku mendesah.

Sivia dan Ray menatapiku tajam. Mereka menunggu pertanyaan apa yang akan ku berikan.

"Kamu... bisa main seksopon?"

Sivia dan Ray saling bertatapan dengan kedua alis yang bertautan. Dan tiga detik kemudian, tawa Ray pecah. Dia memegangi perutnya yang sakit karena tertawa terlalu bersemangat.

Aku dan juga Sivia mengerenyit melihat Ray yang tertawa terpingkal-pingkal. Aneh sekali tingkah Ray. Memangnya ada yang lucu dari pertanyaanku? Aku rasa tidak.

"Ish! Kamu kenapa sih Ray?" tanya Sivia.

"hahahahaha..." Ray terus tertawa. Makin keras.

"Ada yang lucu ya Ray?" tanyaku.

"Ada. Hahahaha.."

"Apa?" tanyaku dan Sivia bersamaan.

"Pertanyaan kamu lucu Fy! Haha..." Ray mencoba mengontrol tawanya. Dia menarik nafas lalu mulai menjelaskan apa penyebab tawanya yang begitu terpingkal-pingkal. "Sivia itu ga bisa main satu pun alat musik. Jangankan seksopon, kecrekan aja fals. Hahaha..."

Sivia mengulum bibir. Menatap tajam Ray dengan tatapan: Dasar-tukang-buka-aib-orang. Yang ditatap malah terus saja melanjutkan 'ceremony' tertawa dengan wajah tanpa raut bersalah.

Sivia berdecak. Lalu tangan kanannya ia ulurkan ke depan, meraih perut Ray. Setelah berhasil, dia menghadiahi cubitan kesal untuk pemuda yang langsung berhenti tertawa dan meringis kesakitan sambil mengusap-usap perutnya. "Sakiiitt!"

"Abisan nyebelin banget sih!" Sivia melipat kedua tangannya di depan dada, lalu memalingkan muka.

Aku jadi terkekeh sendiri melihat mereka. Sepertinya mereka lebih dari sepasang sahabat. Pacar mungkin.

Aku mengerjap. Teringat tujuan awalku menanyakan ini pada Sivia, untuk memastikan apakah dia Aurora. Namun sepertinya, hipotesisku itu akan mementah seiring Sivia yang mulai berujar.

"Seperti yang Ray katakan. Aku ga bisa main seksopon. Emang kenapa?"

Sesungguhnya, aku lega mengetahui bahwa Sivia tidak bisa bermain seksopon yang beraqti pula bukan dia Auroranya. Dan aku bersyukur, karena aku tak harus membenci senyuman manisnya. Aku takkan mampu melakukannya.

Tapi, dengan penyangkalan terhadap hipotesisku ini, berarti aku harus kembali memutar otak mencari tahu siapa sebenarnya Aurora.

"Ngomong-ngomong soal seksopon, inget ga Vi sama gadis tembem yang kemaren main seksopon di taman ini?" ujar Ray tiba-tiba.

Hatiku seakan tergelitik saat dengan gamblang Ray mengatakan gadis tembem yang bermain seksopon. Pastilah gadis yang Ray maksud adalah Aurora.

"Oh gadis itu, aku ingat!" ujar Sivia antusias.

Aku menunggu lanjutan percakapan antara Sivia dan Ray. Potongan informasi yang akan menciptakan hipotesis yang tak mungkin mementah lagi.

"Dia cantik ya, apalagi dia masih memakai seragam sekolahnya." ucap Ray lalu menoleh ke arahku.

Aku jengah ditatapi Ray seperti itu, tatapan menyelidik. Dan kini Sivia malah ikut menatapiku. Aku meneguk ludah. Kenapa dua mahluk Tuhan ini aneh sih?

Mereka saling bertatapan, lalu sejurus kemudian mereka memekik bersamaan. "SERAGAM ITU!"

"seragam gadis itu sama kaya seragam kamu!" ujar Ray sambil mengguncang lenganku.

"Berarti, gadis itu satu sekolah sama kamu!" kata Sivia sambil mengguncang lenganku yang lainnya.

*
bersambung
*

0 Komentar :

Posting Komentar

Komentari