HUJAN, Kita Dan Mimpi part 6A
Potongan mimpi, yang teronggok mati.
*
Menekuri catatanku yang tinggal beberapa lembar lagi. Gila! Sudah sebanyak apakah aku menulis? Sampai-sampai aku tak sadar buku catatanku hampir habis. Ya, aku memang tak pernah mereview ulang tulisanku, bahkan aku lupa apa saja yang pernah aku tulis. Haha, pikun kamu Fy. Apa sebaiknya ku alihkan saja tulisanku pada laptop ini? Lagian sudah kuno juga harus menulis di catatan seperti ini. Tidak. Aku lebih senang menulis dengan tinta daripada harus menekan-nekan keyboard. Bagiku, menulis adalah hal yang paling sederhana, lebih sederhana dari berbicara, jadi aku akan menulis dengan cara yang sederhana pula.
"Fy..." Suara lembut itu datang, ke kamarku? Ya Tuhan, mimpikah aku? Kalau mimpi, cubit aku biar bangun. Aww, aku mencubit pipiku. Sakit. kalau sakit berarti ini bukan mimpi.
Aku menoleh ke sumber suara. Benar saja. Berdiri disana seorang bidadari cantik, tatapannya sangat meneduhkan. Perlahan dia menghampiriku dan duduk di dekatku.
"Besok, mama sama papa mau ngajak kamu makan, boleh?" tanya mama.
Tunggu dulu, mimpi aneh apalagi ini. Seorang bidadari cantik yang sibuk mengobati orang-orang mengajakku makan? Ah, ini bukan mimpi kan? Sebenarnya ini mimpi kecilku. Meskipun kecil jangan anggap enteng ya, kamu tahu, mimpi ini tak pernah tewujud dan sekarang sebuah titik terang menghampiri mimpi kecilku ini.
"Mama ga ada operasi kan?" tanyaku sinis, padahal ingin sekali aku langsung mengangguk mengiyakan dan dengan manis berkata 'iya mama', tapi tidak ya, gengsiku terlalu tinggi. Yah, bukan apa-apa sih, aku hanya ingin mengetes saja keseriusannya soal ini. Aku tak ingin ini hanya rayuannya saja agar aku menjadi anak yang manis untuknya.
"Besok, kami milikmu." katanya selalu dengan senyum yang mempesona.
"Gimana besok aja deh ma!" kataku sok acuh, padahal... Ah, dasar munafik! Biarlah, aku hanya menirunya dari sinetron. Bukankah kisahku bak sinetron, kan?
"Ya sudah, tidur gih!" mama melenggang menuju pintu kamar. "Selamat malem ya sayang!" lalu pergi keluar dari kamar.
'Mama, jangan pergi dulu, tinggalah dulu disini' kataku -dalam hati tentunya-. Ya, aku ingin mama lebih lama di kamarku, ngapain dulu kek, basa-basi juga ga apa-apa, nanyain gimana sekolahku, teman-temanku, atau apalah yang sering di lakukan ibu-ibu yang lainnya. Huh, sebenarnya aku ingin sekali bercerita padamu ma, ceritaku sudah sebanyak ikan di lautan. Lalu aku berceloteh ria denganmu, lalu... stop! Berhenti jadi pemimpi yang selalu mempunyai mimpi aneh.
Hah, aku menghempaskan tubuhku ke atas ranjang, mulai menutup mata sambil perlahan mengintip ke alam mimpi, dan akhirnya terlelap dalam nikmat illahi.
*
Pagi buta aku sudah bangun, menyongsong dunia nyata yang aku harap akan lebih baik dari mimpiki tadi malam. Aku menggeliat, mengumpulkan nyawa yang berserakan. Setelah itu, bergegas ke dekat jendela, membuka tirai dan terlihatlah...loh, kok bola kuning itu masih terlihat malu-malu menampakkan batang hidungnya. Ya ampun begitu paginya aku tejaga.
Aku melenggang menuju balkon kamarku yang tepat menghadap ke ufuk tmur, tempat awal mulanya si Kuning itu muncul. Aku melihat ke sekelilingku,belum ada kehidupan nampaknya. Burung-burung pun masih mendengkur di sarangnya, menjaga sang telur agar tak ada yang mencurinya. Entah kenapa, aku yang biasanya 'kebo' dan membuat bi Surti serak karena kesusahan membangunkanku. Pagib ini, tanpa suara cemprengnya pun aku bisa bangun, mungkin karena dampak ajakan mama tadi malam. Oh iya, hari ini kan aku mau makan di luar.
Aku masuk kembali ke kamar, meninggalkan balkon dan matahari yang kini sudah muncul sempurna. Lalu melangkah menuju lemari besar dari jati tempatku menyimpan pakaian-pakaianku. Aku membuka pintu lemari dan terlihatlah tumpukan pakaian dan gantngan dress yang anggun nan cantik. Hari ini aku pakai baju apa ya?
Aku mencoba satu persatu pakaian itu sambil berlenggak-lenggok di depan kaca. Tuhan, kok jadi ribet gini ya? Ribetnya lebih dari ada seorang pangeran tampan yang ngajakin makan. Huh, biasanya juga ga begini. Hei, biasa apanya? Kapan coba terakhir kali mereka ngajak aku makan di luar? Sudah lama sekali, dua tahun ada lah.
*
Hampir satu jam aku mengubrak-abrik isi lemari, belum mandi, tapi sudah basah kuyup dengan keringat. Dan akhirnya, mataku tertuju pada sebuah dress yang tergantung di sudut kiri lemari. Ini dia.
Aku pergi ke kamar mandi yang ada di kamarku. Membasuh tubuh ini, meluluhkan beban berat yang bergelayut di raga. Guyuran air ini menyelipkan sebuah asa, asa kecil agar hari ini berjalan baik dan asa yang lebih besar adalah seterusnya seperti itu, berjalan lancar bak mentari melintasi pagi hingga sore.
Setelah membersihkan diri, ku kenakan baju pilihanku tadi, baju yang sebenarnya tak pernah ku kenakan, bahkan aku tak tahu aku punya baju seindah itu.
Cantik. Itulah yang ku rasa. Setidaknya dress putih selutut dengan renda di ujung-ujung dress dan pita kecil yang tercantel di pinggangku mampu menutupi keburuk rupaanku. Sepatu merah jambu dengan aksen boneka beruang kecil menghiasi kaki mungilku dan ditambah kunciran berwarna merah jambu -juga- mengikat jumputan rambut hitam ikalku.
Aku menghela nafas, lalu menuju ruang tamu.
"Yuk sayang!" ajak mama.
Kami beranjak keluar dan mendapati jaguar hitam milik papa diam manis disana.
Mama masuk ke mobil, lalu duduk di depan bersama papa yang menyetir mobil, sementara aku duduk di belakang.
"Sudah siap peri kecil? Tanya papa menoleh ke belakang. Sudah lama aku tak mendengar panggilan itu. 'peri kecil', meski aku bukan lagi anak kecil.
"Tentu" tersenyum merekah.
Papa mulai menyetir mobil, memecah jalanan menuju suatu tempat. Aku senang sekali, sudah lama aku tak melakukan hal yang biasa keluarga lain lakukan.
Aku menatap ke arah langit lewat jendela. Cerah sekali. Bantal empuk berterbangan di sana. Si kuning itu tampak tersenyum. Mungkin dia juga ikut bahagia sepertiku. Syukurlah. Mudah-mudahan sampai nanti terus begini. Iya kan kuning?
Akhirnya papa berhenti di depan sebuah restoran Padang. Restoran milik Uda Lintar, teman papa. Dulu hampir setiap weekend kami selalu menyempatkan diri makan masakan Padang di Restoran Uda Lintar.
"Udah lama ya pa, ma, ga makan disini, kangen aku sama rendangnya Uda Lintar" ujarku sambil keluar dari mobil yang diikuti mama dan papa.
Kami segera masuk dan suasana yang tenang dan sederhana menyambut kami. Kami bergegas menuju saung yang terletak di paling ujung, tempat yang palin nyaman untuk menikmati lezatnya makanan khas Padang. Kami duduk di atas tikar yang terbuat dari pandan dan mengelilingi meja persegi yang terbuat dari jati. Suasana ini memang layaknya di pedesaan. Aku sangat suka.
Tak lama Uda Lintar, pemilik restoran menghampiri kami, lalu bersalaman dengan sohibnya, yaitu papa dan mama.
"Ify, sudah lama sekali kau tak kesini. Sudah besar kau ya!" Kata Uda lintar padaku.
"hehe..iya!" ucapku terkekeh.
"Seperti biasa, kan?" tanya lelaki berkulit hitam itu.
"ya," kata papa.
Aku melirik ke arah mereka. Sungguh ya, sampai detik ini aku masih belum percaya, hal ini terjadi lagi. Ya, memang hal kecil yang sulit sekali di percaya.
Tak lama kemudian Uda Lintar datang dengan membawa langsung sepuluh piring di tangannya, biasa kan? Itulah hal unik dan kepiawaian orang-orang Padang. Ga ribet kali ya? Ckckck
Uda Lintar meletakkan makanan yang menggugah selera itu. Ada nasi padang, rendang, dan ayam balado, ditambah sambal dan teh manis. Maknyoss deh! Apalagi suasana restoran yang bernuansa pedesaan, menambah kenikmatan saat menikmati hidangan-hidangan ini.
Baru saja dua suap aku menyantap nasi Padang dengan rendang yang super pedas ini, ponsel papa berdering. Papa mengangkatnya. "halo...iya...apa?...ya udah, saya segera kesana...iya..." ujar papa.
"Ma, kita harus cepat-cepat ke rumah sakit, ada pasien yang sedang dalam keadaan gawat" Kata papa dengan ekspresi yang sangat cemas.
Mendengar hal itu, mama juga ikutv cemas, dan aku tak kalah cemasnya. Bukan, aku sama sekali tak mencemaskan keadaan pasien, aku hanya cemas karena takut kehilangan kebahagiaanku. Masa secuil kebahagiaan yang baru sekejap ku kecap harus direnggut oleh orang yang bernama 'pasien' itu.
"Ya udah yuk!" kata mama seakan tak menyadari keberadaanku.
*
0 Komentar :
Posting Komentar
Komentari