HUJAN, Kita Dan Mimpi part 11

Minggu, 30 Oktober 2011

HUJAN, Kita Dan Mimpi part 11


Cobaan yang kita hadapi, adalah bukti cinta Tuhan pada kita sebagai umat-Nya.

*

Sebuah prahara menyelinap tanpa terduga. Prahara yang tanpa sadar disuguhkan oleh sisi lain dari kehidupan. Tak terbaca gerak-geriknya. Belum tersentuh wujudnya. Dan sesungguhnya, cepat atau lambat akan mengusik sang cinta. Semoga Tuhan, mencegah sang prahara untuk berkuasa.

*

Pemuda itu melipat dua tangannya di depan dada. Menggeleng-gelengkan kepala dan berdecak. Dia menghitung deretan bunga-bunga besar berwarna kuning yang berjejer di hadapannya. Mencium baunya satu persatu. Menggaruk-garuk kepala bagian belakang. Kebingungan.

Aku, yang sedari tadi duduk di bawah kerindangan pohon jati, dan di atas kokohnya akar jati mengerutkan kening memperhatikan tingkahnya. Heran juga, kenapa lelaki yang selalu mengundang jeritan histeris wanita seantero sekolah saat berlaga di lapangan basket itu gemar sekali melakukan hal aneh seperti itu. Menghitungi jumlah bunga matahari yang berbaris rapi di tepi kolam. Untuk apa? Apa dia mau menjualnya pada peternak hamster, karena dia tahu biji bunga matahari adalah makanan kesukaan para hamster. Bukan hanya itu, dia juga menciumi bunga matahari tersebut. Memangnya bunga matahari punya aroma seperti apa? Aku yakin, mawar, melati, dan kenanga punya aroma yang lebih baik, daripada bunga matahari. Aku mendesah.

Setelah menghitung dan menciumi aroma bunga matahari satu persatu, Rio merogoh tasnya. Mengambil sebuah cutter, dan akhirnya menggunakan cutter tersebut untuk memotong tangkai bunga matahari yang berada di paling ujung.

Rio lalu menghampiriku dengan wajah berseri. Tangan kanannya menggenggam setangkai bunga matahari yang baru saja ia petik. Bunga tersebut berukuran sebesar piring makan, warnanya kuning cerah, dan selembar daun menempel di tangkainya. Ah, lucu sekali bunga itu.

Sambil menghela nafas, Rio duduk di sampingku. "Ify." ucapnya.

"Iya.." jawabku singkat sambil terus memandangi katak yang berloncatan di atas daun teratai yang mengapung di kolam kecil di hadapan kami berada.

"Kalau aku bisa, aku ingin beri kamu matahari itu." ujarnya sambil menunjuk bola kuning yang masih terlihat superior, meski senja mulai menyapa.

"Tapi..." aku menunduk, menunggu kelanjutan perkataanya sambil menikmati tiap inci getaran yang mulai berancang-ancang menjalari seluruh pembuluh darahku.

"Aku ga bisa" dia menunduk, kecewa. "Jadi, aku beri kamu bunga matahari ini." Rio mengangsurkan bunga matahari tersebut.

Dengan getaran misterius yang semakin menggila, buncahan perasaan asing dalam jiwa, dan juga euphoria yang tak terbendung lagi, aku meraih sang bunga. "Makasih!" ucapku.

Aku mengelus lembut mahkota-mahkota sang bunga, mencium aromanya dan memejamkan mata. Ah, aku menyukai aroma bunga ini. Tidak harum sebenarnya, tapi aku menyukainya karena pengaruh dari sosok yang memberikan bunga tersebut.

"Menurut kamu, cantikan matahari atau bunga ini?" tanya Rio.

"Emm..." aku berfikir sejenak bahwa kedua benda luar biasa ciptaan Sang Esa itu, sama cantiknya.

"Ya cantikan kamu lah!" ujarnya terkekeh lalu menepuk puncak kepalaku.

Hei. Kenapa dia melakukannya? Hal itu hanya akan membuat getaran misterius itu semakin meningkatkan frekuensinya. Dan dengan kentara, semburat merah akan terlukis di tiap lekuk pipiku.

Tidakkah pemuda ini merasakan hal yang sama sepertiku? Apakah dia juga melakukan hal yang sama sepertiku saat kita melewati tiap detik waktu yang telah tertinggal? Oh, kamu, dia, kalian dan seluruh dunia harus tahu, bahwa di setiap detik yang ku lalui bersamanya, aku harus susah payah menjinakkan getaran sialan itu agar tidak terus menerus menghambat fungsi otakku. Aku selalu hampir saja mati karena menahan nafas saat aroma khas tubuhnya yaitu wangi bedak bayi, ikut masuk ke dalam organ pernafasanku bersama oksigen. Bahkan, aku rasa 99% udara yang ku hirup, telah terkontaminasi wangi bedak bayinya. Aku selalu menjaga perasaan asing bernama 'cinta' agar selalu hidup dan berkembang dalam hatiku. Aku selalu menikmati kegilaan euphoria yang tercipta saa diriku bersamanya. Dan satu lagi, kali ini aku merasa tubuhku mengejang saat tangannya masih terus menapaki ubun-ubunku.

Rio menggerakkan tangannya ke pelipis kiriku, lalu mendorongnya agar kepalaku dapat bersandar pada bahu kokohnya. Hei, tidakkah terbalik? Bukankah seharusnya dia yang bersandar di bahuku? Tapi, cinta memang kadang adalah sesuatu yang aneh, dapat membalikkan sebuah keadaan. Tapi, aku bahagia melakukannya. Karena dia yang menginginkannya.

Nyaman. Ternyata bersandar di bahunya sangat amat nyaman. Aku bisa beradaptasi dengan keadaan ini. Aku dapat lebih tenang saat menangkis tiap hentakan getaran misterius itu, yang aku rasa akan selalu abadi kehadirannya, kala aku bersamanya. Aku sudah mampu meresapi aroma bedak bayinya yang memenuhi tiap sudut rongga pernafasanku dengan lebih seksama. Badanku pun telah berhenti mengejang, kala desauan nafasnya menyapa hangat kepalaku. Aku memejamkan mata.

"Aku sayang kamu pelangi!" ujarnya.

Hatiku bersorak gembira saat ini. Getaran misterius itu pun melonjak tertawa. Menertawakan ekspresi wajahku yang salah tingkah.

"Aku juga!" ucapku sangat pelan, tak dapat tertangkap oleh gendang telinga pemuda yang terus membelai lembut kepalaku. Bahkan, ucapanku tadi lebih pelan dari hembusan angin senja. Tentu saja, aku mengucapnya dalam hati. Tulus. Jujur. Penuh harap.

Cinta. Cinta. Cinta. Diucapnya ribuan kali pun, kata itu akan tetap sama. Indah. Ah, pantas saja para penyair sering menggunakan cinta sebagai tema dari ribuan bait puisi yang ditulisnya. Karena ternyata, cinta menorehkan rona bahagia pada jiwa yang sedang dihinggapinya.

Cukup lama aku bersandar di bahunya. Sambil menikmati betapa indahnya cinta. Sampai akhirnya, ponsel Rio berdering, membuatku -terpaksa- mengangkat kepalaku yang sedari tadi nyaman terkulai di bahunya.

Rio merogoh saku celananya. Mengambil ponsel. Lalu membaca pesan singkat yang baru saja ia terima.

"Mama nyuruh pulang. Kamu ga pa-pa kan?" tanya Rio dengan air muka yang mengguratkan kekhawatiran.

"Iya" jawabku sambil memberikan senyum terbaik yang aku punya.

Rio berdiri. Menoleh ke arahku. Dan akhirnya mengulurkan tangan kanannya padaku.

Dan masih dengan diiringi sang getaran misterius itu, aku meraih tangannya, lalu bangkit dari duduk.

"Kenapa?" tanyaku mengerutkan kening, melihat ekspresi kekhawatiran yang masih kentara tergambar pada air mukanya.

"Jangan pernah buat orang khawatir lagi!" Rio mewanti-wanti.

Aku kembali tersenyum, mencoba meyakinkannya bahwa aku akan baik-baik saja. Aku tak akan dan tak ingin membuat orang lain khawatir. Janjiku dalam hati.

Dan setelah dia cukup yakin, dia berbalik lalu bergegas pulang.

Siluetnya kini sudah menghilang dari pandanganku, meninggalkanku sendiri yang masih berdiri terpaku di bawah pohon jati. Aku mendesah.

Senja kali ini sangat cerah. Tak ada awan hitam setitik pun yang menodai hamparan langit senja. Matahari di ufuk barat pun memancarkan sinar dengan sangat bersemangat. Dan aku sungguh tidak menyukai keadaan seperti ini. Karena dalam keadaan cerah, hujan tak mungkin datang. Aku mendesah lagi.

Meskipun hatiku diliputi rasa cinta, tapi kau seharusnya tahu, cintaku tak akan sempurna tanpa kehadiranmu hujan.

Aku tahu, saat ini kau sedang mengintaiku dari atas sana. Kau sedang sembunyi di balik semburat kekuningan yang perlahan menghampiri langit. Kau hanya menunggu waktu saja untuk bermain bersamaku lagi, kan? Dan aku harus mengelus dada, karena sore ini bukan waktunya.

Aku menarik nafas, lalu menghembusnya perlahan, dan memutuskan untuk pulang.

Aku berjalan perlahan di atas hamparan hijau rumput taman. Sore ini, nampak sedikit ramai dari sebelumnya. Banyak pasangan pemuda-pemudi yang sedang asyik bercengkrama. Ibu-ibu muda yang mengajak balitanya berjalan-jalan pun tak sedikit jumlahnya. Ada juga yang membawa hewan peliharaannya seperti kucing dan anjing untuk menikmati indahnya sore di taman ini.

Langkahku terhenti, saat melihat enam orang bocah laki-laki yang sedang menendang-nendang bola plastik berwarna biru. Tingkah mereka sangat menggemaskan.

Dan begitu terkejutnya aku, saat aku berbalik seorang gadis menabrakku, membuatku jatuh tersungkur di atas rumput.

"Aww!" aku meringis kesakitan dan mengusap-usap kedua telapak tangan untuk menghilangkan tanah yang menempel.

"Aduuh! Maaf ya!" ujar gadis tadi, yang ternyata memiliki suara yang lembut.

Aku mulai berdiri, dan aku hanya bisa ternganga saat mengetahui siapa yang menabrakku tadi. Gadis itu memakai sepatu hitam dengan tali berwarna merah muda, kaos berwarna putih dengan aksen kepala kucing berpita yang sering ada di film kartun di bagian dadanya, dan rok mini berbahan jeans berwarna biru tua. Gadis itu mengikat rambut tebalnya menjadi dua. Dan yang terpenting adalah, gadis itu membuat lengkungan di bibirnya. Ya, dia tersenyum. Senyuman yang dulu. Manis. Menggoda. Memabukkan. Dan tepat sekali, gadis itu adalah 'Gadis Senyum Manis'.

"Maaf ya!" ujarnya lagi.

Aku mengangguk pelan. Masih terhipnotis oleh senyumnya.

"Ih, nyebelin! Masa aku di tinggalin!" aku mengerjap saat mendengar suara renyah seorang pemuda berambut gondrong yang baru saja menghampiri Gadis Senyum Manis. Pemuda itu, Ray.

"Abisan kamu, malah main sama kupu-kupu. Akunya dicuekkin!" gadis itu mengulum bibir.

"Maaf deh maaf! Jangan marah!" Ray menjawil dagu tumpul milik Gadis senyum manis.

"Aaaa... Raaayy!" Gadis Senyum Manis itu merengek, terganggu dengan sikap Ray yang cukup 'nakal'. Tapi, beberapa detik kemudian semburat merah mewarnai pipinya. Dan akhirnya tersipu malu.

Lucu. Mungkin begitulah raut wajahku saat Rio melakukan hal yang tak terduga padaku, seperti Ray melakukannya pada Gadis senyum manis. Aku terkekeh.

"Eh, maaf ya sekali lagi!" ujar Gadis Senyum Manis.

"Iya, ga pa-pa!"

Gadis itu melirik jam tangannya, dan menepuk jidatnya sendiri. "Udah jam lima, kita harus pulang Ray!" pekik sang gadis.

"Ya udah, yuk!" Ray menarik tangan Gadis Senyum Manis untuk pergi.

"Aku pulang ya!" ujar Sang gadis, lalu bergegas bersama Ray yang terus menarik tangannya.

Aku berdecak. Menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah mereka. Sungguh serasi mereka berdua. Ray yang memiliki wajah menyenangkan dan Gadis Senyum Manis yang memiliki senyum mempesona.

Aku mendesah, lalu bergegas pulang.

*

Bunga matahari itu nampak cantik berada di vas bunga yang terbuat dari kaca. Bi Surti sengaja mengisi vas tersebut dengan air, katanya agar bunga tersebut dapat tetap segar.

Aku meletakan vas bunga tersebut di atas meja kecil di dekat jendela kamarku, agar aku dapat sekaligus menikmati keindahan bunga matahari dan sinar matahari yang nampak dari jendela.

"Aku akan jaga kamu!" ucapku pelan.

Terdengar suara derap kaki bersahutan mendekati kamarku. Dan suara tersebut berhenti di balik pintu jati di belakangku.

Tok...tok...tok... Suara ketukan yang terdengar jelas di telingaku.

Aku berjalan mendekati pintu kamar, memegang kenop pintu lalu membukanya.

Blaasss. Hatiku mencelos saat mendapati siapa yang berada di balik pintu. Dua siluet yang masih memakai jas putih kebanggaanya berdiri memamerkan senyum teduh miliknya.

"Ify." ucap seorang lelaki yang berkaca mata.

Aku menatapi lelaki tersebut. Lalu beralih menatapi wanita di sebelahnya yang masih terus tersenyum.

Aku tersenyum masam. Dan sejurus kemudian menutup kembali pintu jati kamarku. Ah, kenapa aku tak ingin melihat wajah mereka? Bukankah selama delapan hari ke belakang, merekalah yang ku tunggu?

Sejujurnya, aku ingin menghambur ke pelukan mereka. Menumpahkan rindu yang tercipta untuk mereka. Dan mencoba menata hati yang sempat mereka hancurkan.

Namun, aku takut. Aku takut berharap. Aku takut mereka mengulang kembali perlakuannya yang sangat tidak mengenakkan. Dan harapanku kembali menguap.

Tertunduk tak berdaya. Aku menekuk kedua lutut. Menggigiti bibir. Dan mulai menangis.

"Fy!" ucap mama sambil terus mengetuk pintu yang sekarang menjadi sandaran tangisku.

"Buka pintunya Fy! Kita khawatir!" ujar mama lagi.

Khawatir? Aku tidak salah dengar, kan? Aku kan sudah berjanji pada Rio untuk tidak membuat orang lain khawatir. Maka, dengan memberanikan diri, aku berkata "Ify ga apa-apa. Jangan khawatirin Ify!"

"Tapi sayang..." mama berkata lagi dan aku cepat memotongnya.

"Ify ga akan kenapa-napa!" ucapku dengan suara parau.

Aku memejamkan mata. Menajamkan pendengaranku. Dan derap kaki itu kembali terdengar. Makin lama suara derap tersebut mengecil, dan akhirnya lenyap termakan angin.

Aku mencoba menghela nafas. Menyeka air mata yang sedari tadi merembesi pipiku. Kembali memejamkan mata. "Maafin Ify!"

*

Well, hidup pada hakikatnya adalah perjalanan untuk melewati tiap prahara yang disediakan Tuhan. Sampai mana kita mampu bertahan. Dan apakah kita mampu menaklukan tiap prahara sampai kematian menjelang.

Dan, di pojok perustakaan, ditemani sekotak pisang goreng, diiringi dendang rintikan hujan, dia datang membawa sebuah prahara yang -tanpa sadar- telah lama mengintip cerita ini, cerita tentang Hujan, Kita dan mimpi.

Dia terlihat gusar. Sedari tadi dia terus saja mondar-mandir di depanku. Mengacak-acak rambutnya yang agak basah dan berdecak. Gelisah.

Aku menggaruk pipi kananku, lalu memberanikan diri menanyakan padanya, apa yang membuat dirinya begitu gundah. "Kenapa?"

Dia menoleh ke arahku. Menatapku tajam. Lalu melangkah menghampiriku.

Dia meletakkan dua tangannya di bahuku. Menohok dua pelihatku. Mengundang getaran misterius itu untuk menjalari tiap jengkal pembuluh darahku.

"Pelangi" ucapnya.

"Iya"

"Aku suka..." dia meralat perkatannya. "Ga, aku sayang... bukan, lebih dari sayang. Cinta. Ya, aku cinta. Aku cinta sama..." dia menggantungkan kata katanya.

Aku mengerutkan kening. Menunggu kelanjutan ucapannya. Dan ternyata, diam-diam aku berharap bahwa namakulah yang akan menjadi pelengkap dari ucapannya yang belum usai.

"Aku cinta sama...." Rio menggigiti bibirnya, dan akhirnya menyelesaikan ucapannya. "Sama... Aurora"

*
bersambung.
*

0 Komentar :

Posting Komentar

Komentari