HUJAN, Kita Dan Mimpi part 10

Minggu, 30 Oktober 2011

HUJAN, Kita Dan Mimpi part 10


Sebelumnya tak ada yang mampu mengajakku untuk bertahan di kala sedih.
Sebelumnya ku ikat hatiku hanya untuk aku seorang.
Sekarang kau di sini, hilang rasanya semua bimbang, tangis, kesepian.

~Sherina Munaf~

*

Hari ini, tepat seminggu setelah insiden menyedihkan di restoran Padang itu terjadi. Saat seorang gadis jelek ditelantarkan oleh dua orang yang seharusnya memperlakukannya dengan baik. Dan itu hanya berhenti pada kata seharusnya. Takkan ada yang berubah. Mengenaskan.

Maaf. Dari seminggu yang lalu sampai detik ini pun aku belum mendengar kata itu dari mereka. Jangankan mendengar, sekedar menghirup aroma khasnya dan melihat sosoknya pun aku belum pernah. Mereka terlalu sibuk. Sehingga hidupnya pun harus mereka habiskan di rumah sakit, bersama ribuan orang yang bernama 'pasien. Meninggalkan aku yang harus selalu menguatkan diriku sendiri. Naas.

Sejujurnya, aku tak berharap besar. Ya, hanya harapan kecil yang secepatnya akan pupus terhembus angin. Hilang tertelan badai. Dan pada akhirnya, nasib harapan kecilku ini akan sama dengan harapan-harapanku sebelumnya. Terbunuh. Mati. Tragis.

Justru, harapan besar aku ciptakan untuk seorang jauh di sana. Seorang pangeran Matahari yang memberi sebongkah kebahagiaan untukku. Tak percaya? Lihat apa yang tergantung manis di leherku! Kalung cantik berbandul pelangi kecil. Benda menggemaskan ini adalah visualisasi dari kebahagiaan yang dia beri.

Aku masih di sini. Berdiri sendiri di balkon kamarku sambil memejamkan mata dan menggenggam erat bandul pelangi kalungku. Aku tak sekedar berdiri. Aku sebenarnya sedang menunggumu, hujan. Sudah tiga hari kau tak datang. Aku merindukanmu beserta seluruh pasukanmu. Aku rindu saat rintikanmu jatuh tepat di puncak kepalaku. Aku rindu saat kita saling berkejar-kejaran. Aku rindu saat tiap rinaimu mengiringi kebersamaanku dengannya. Aku rindu saat kau sedia menghapus bulir-bulir air mataku. Aku rindu saat kau mau menemaniku menjaganya yang sedang terlelap. Aku rindu semua itu.

Aku rasa, kau marah padaku. Karena kau fikir setelah aku dekat dengannya, aku akan melupakanmu. Tapi sungguh, aku takkan pernah bisa melupakanmu. Bukankah kamu yang telah berjasa mempertemukanku dengannya di sore kala itu? Bukankah kamu juga yang selalu membuatnya terlelap di bahuku? Jadi, mana mungkin aku melupakanmu.

Baiklah. Mungkin hari ini kau enggan menemuiku. Tapi, aku akan terus menunggumu.

*

Persahabatan merupakan bagian dari hidup kita. Binalah persahabatan. Kita akan merasakan betapa kayanya hidup kita. Berbagi kesedihan pada sahabat, mengurangi kesedihan. Berbagi kebahagiaan pada sahabat, memperkokoh kebahagiaan. Orang bijak bilang bahwa sahabat adalah satu jiwa dalam tubuh yang berbeda. Barangkali, itulah mengapa bersahabat meringankan beban kita, karena di dalam persahabatan tidak ada perhitungan. Di sana kita belajar menghindari hal-hal yang tidak kita setujui, dan senantiasa mencari hal-hal yang kita sepakati. Itu juga mengapa persahabatan adalah kekuatan. Sebagaimana kata pepatah, hidup tanpa teman, mati pun sendirian.

~Jendela Motivasi~

*

Melanjutkan tiap deretan kata penuh makna. Menggerakkan sebuah pena di atas kertas putih tak bernoda. Menorehkan tinta hitam tanpa ragu. Mungkin, rangkaian kata-kata sederhana ini akan membuat hidupku lebih baik. Aku yakin. Karena itu mimpiku.

Aku menoleh ke samping kiriku. Ah, masih kosong. Penghuninya belum datang. Kemana sebenarnya dia? Bel masuk sebentar lagi kan berbunyi. Aku mendesah.

Aku kembali menggoreskan penaku, menciptakan deretan kata lagi untuk memenuhi tiap lembar buku catatanku.

Dan tak lama kemudian aku mengerjap lalu spontan menutup buku catatanku, saat seseorang dengan tiba-tiba mengguncang bahuku. "Alyssa Saufika Umariiiii!" pekiknya.

Aku mengerutkan kening. Heran juga, kenapa gadis berambut ikal di hadapanku ini senang sekali mengagetkanku dengan pekikannya yang selalu muncul tanpa terduga. Aku hanya bisa tersenyum jengah.

Keke -gadis di hadapanku- mengangkat tangannya dari bahuku. Melepaskan ransel biru miliknya dan meletakannya di atas meja. Lalu sejurus kemudian duduk di kursinya.

"Aduh!" Keke menepuk keningnya sendiri, seakan melupakan sesuatu. Dia nampak gusar dan gelisah. Dia menggigiti telunjuknya. Menggeleng-gelengkan kepala. Mengetuk-ngetuk meja. Kenapa dia?

"Aku nyesel banget tahu!" ujarnya lagi.

Aku memegangi tangannya, menggenggam erat lima jari tangan kanannya dan mencoba menenangkannya. "Kenapa Ke?" tanyaku lembut.

"Ahhh, aku ga liat kamu main basket!" erangnya lalu mengulum bibir.

Ya ampun Keke! Aku kira ada sesuatu yang besar, ternyata hanya itu. "Hehe..." aku terkekeh.

"Padahal kangen tahu, liat kamu main basket!" Keke berdecak. "Papa sih, nyuruh aku pulang!"

"Ga pa-pa lah Ke!" ujarku lalu menjawil pipi tembem miliknya.

"Eh, kata Agni kalian udah baikan ya?" tanya Keke antusias.

Aku tersenyum. Ah, mengingat peristiwa dua hari yang lalu itu, aku merasa bahagia. Aku hanya mengangguk pelan.

"Yeeee...!" Keke bersorak lalu memelukku. "Aku seneeeng banget!"

"Apalagi aku." ujarku dengan mata berbinar.

Ya Tuhan, Engkau harus tahu, bahwa dengan kembali eratnya ikatan persahabatan antara aku, Keke, dan Agni adalah sebuah kebahagiaan yang tak terperikan. Dan Kau juga harus tahu, ternyata aku sangat amat membutuhkan sahabat di sampingku. Bukan benda-benda mati yang selama ini aku anggap sahabat. Tapi sahabat yang sesungguhnya. Sahabat yang mengangkatku dari segara keterpurukan. Sahabat yang menopangku saat ku rapuh. Sahabat yang kau beri untukku.

*

Gadis cantik itu sedang memainkan jari-jarinya di atas tust-tust piano. Rambut hitamnya yang ikal ikut bergoyang, mengikuti gerak tubuhnya. Sesekali dia menyingkirkan poninya yang kelihatannya cukup mengganggu ke pinggir. Lalu mulutnya ikut bergerak, melantunkan sebuah lagu yang sangat indah.

Setelah sepenggal lagu dia kumandangkan, dia beralih ke alat musik yang berada di sudut kiri ruangan, sebuah drum. Dia mengambil stik yang diberikan oleh temannya yang baru menabuh drum. Lalu dengan anggun, dia mulai memukul-mukul drum itu, menghasilkan suara yang menggemaskan.

Gadis itu memang masih belajar bermain drum. Jadi, ia masih ragu-ragu memainkannya. Ah, tapi lihatlah! Sekarang dia mengambil sebuah gitar, lalu dengan fasih memetiknya. Dia tidak takut jari-jari cantiknya rusak karena memetik gitar. Karena dia menyukainya.

Gadis cantik itu adalah Gabriel Angeline Thalita Pangemanan. Keke. Teman sebangkuku. Sahabat karibku. Keke memang gadis yang sangat berbakat dalam bidang musik. Hampir semua alat musik dia bisa memainkannya -termasuk drum yang baru dua minggu ia pelajari-. Dan alat musik yang sangat ia kuasai adalah piano dan gitar.

Suara Keke sangat mengganggu. Suaranya selalu membuat telingaku sakit. Tapi, saat dia bernyanyi, suara mengganggunya berbubah menjadi sebuah simfoni indah dari surga. Ya, dia pandai bernyanyi.

Ceria. Keke adalah gadis berumur 15 tahun yang sangat ceria. Dia selalu tersenyum dan tertawa setiap hari. Selama aku mengenalnya, hanya sekali aku melihatnya menangis, saat dulu Agni memarahiku. Setelah itu, aku tak pernah melihat cairan bening yang bernama 'air mata' itu jatuh dari pelupuk mata bulatnya. Dan sungguh, aku tak pernah mau melihat hal itu lagi. Aku tak tega, jika keceriaanya ternoda hanya dengan setetes air mata. Aku tak rela senyumannya luntur hanya karena kebodohanku. Maka, dengan segala cara aku harus tetap mempertahankan dan menjaga keceriaannya.

Keke. Ya Tuhan. Dia sangat sempurna. Rasanya aku dan dia bagai pluto dan matahari, sangat jauh jarak terbentang. Dia sangat cantik. Rambutnya ikal, panjang, hitam dan berponi. Kulitnya berwarna sawo matang. Matanya bulat, tajam dan indah. Lengkungan senyumnya juga manis -tapi tak melebihi senyum milik Gadis Senyum Manis-. Pipinya tembem menggemaskan. Dan itu sangat berbeda jauh denganku, Si Itik Buruk Rupa.

Hanya cantik? Tidak. Dia juga pintar. Dia selalu mendapat peringkat pertama di kelas. Membuatku harus ikhlas dengan peringkat ke-dua yang rasanya akan abadi kalau aku selalu sekelas dengannya. Dia juga sering menyabet medali emas dalam olimpiade sains. Ah, jenius sekali, bukan?

Tapi, semua kelebihan yang Keke miliki, tidak membuatnya jiwanya angkuh dan besar kepala. Justru, Keke sangatlah baik. Dia rendah hati dan berteman dengan siapa saja. Dia seorang gadis yang suka menolong. Maka pantaslah kalau dia disukai oleh banyak orang.

"Ifyyyy!" aku terkesiap, saat seseorang memanggilku, membuyarkan kekagumanku pada sosok gadis yang berada di dalam ruangan musik di depanku ini. Dan orang yang memanggilku adalah dia. Rio.

*

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu.

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada.

~Sapardi Djoko Damono~

*

Aku meletakkan kotak bekalku di atas meja. Menggigit bibir. Menggaruk pipi kananku. Mengayunkan kedua kakiku secara bergantian. Dan menunduk.

Lelaki di depanku mengetukkan jarinya ke meja. Mendesah dan berkata. "Aku menunggumu!"

Tuhan. Aku jahat telah membuatnya menunggu. "Maaf!" ujarku sambil memainkan ujung dasiku.

"Kamu buat aku khawatir!" ujarnya lagi.

Sial. Kenapa getaran misterius itu muncul lagi? Kenapa dia selalu datang saat aku bersamanya? Aku mendesah sepelan mungkin. Aku tak mau dia mendengarnya. Karena kalau hal itu terjadi, maka dia akan mengetahui getaran yang membuncah di seluruh tubuhku.

"Aku..." Rio meraih tangan kananku. Menggenggam erat dengan kedua tanganya, lalu melanjutkan ucapannya. "Kangen sama kamu!"

Ups. Pipiku memanas. Aku yakin, sebentar lagi, semburat merah akan mewarnai pipiku. Aku menunduk, menyembunyikannya dari Rio. Ah, aku malu.

"Aku juga kangen sama pisang goreng kamu!" Rio melepaskan genggamanya lalu mengambil kotak bekal yang duduk manis di antara kami. "Ini, buat aku, kan?"

Aku tersenyum dan mengangguk pelan.

"Makasih pelangi!" ujarnya lalu membuka tutup kotak bekal. Mengambil sepotong pisang goreng. Dan akhirnya, melahapnya habis.

Aku terus menatapinya. Memperhatikan tiap lekuk pahatan sempurna wajahnya. Menjelajahi dua danau penyulut semangat miliknya. Melihat rahangnya yang bergerak-gerak saat mengunyah tiap potong pisang goreng. Menelusuri setiap keindahan yang tertoreh sempurna pada siluetnya.

Aku tak pernah merasa direpotkan saat dia memintaku untuk membawakannya pisang goreng. Aku tak pernah merasa lelah saat menantinya menghabiskan pisang goreng yang ku bawa. Aku tak pernah merasa bosan saat memperhatikan minyak dari pisang goreng yang melumuri bibir mungilnya. Sebaliknya, aku ikhlas dan bahagia melakukannya.

Mungkin, cinta yang membuatku ikhlas dan bahagia melakukannya. Apa? Cinta. Ya, aku fikir aku mencintainya. Tapi cinta, bukan hanya sekedar fikir. Cinta adalah sebuah rasa yang dianugerahkan oleh Sang Pencipta untuk kita. Dan sudah seharusnya kita menjaga sang Cinta.

Aku belum berani mengakui sepenuhnya, bahwa getaran misterius yang selalu membuncah kala aku berada di dekatnya adalah pertanda cinta.

Namun, kalau ternyata itu cinta, aku akan menjaganya. Aku akan mencintainya dengan caraku sendiri, cara yang sederhana. Yaitu ikhlas dengan semua kekurangannya dan bahagia dengan segala kelebihannya.

Hujan, tolong sampaikan pada Tuhan,
abadikanlah rasa ini.

*

bersambung.

0 Komentar :

Posting Komentar

Komentari