HUJAN, Kita Dan Mimpi part 19A

Jumat, 02 Desember 2011

HUJAN, Kita Dan Mimpi part 19A


Segala yang dilakukan dengan sebuah kesederhanaan, akan menghasilkan ketulusan. Maka yakinlah, hati kita akan terbuka ketika ketulusan itu merasuki hati kecil kita. Satu-satunya tempat yang tak menyediakan seonggok pun kemunafikan.

***



Merasakan sebuah kegagalan memang sangat menyedihkan. Tapi saat kita tahu bahwa ketika kita kembali bangkit lantas mengulang semuanya dari awal, kita mempunyai kekuatan ajaib yang selalu tersedia kapan pun dibutuhkan, sungguh segala kegetiran pun hilang seketika. Seperti apa yang ku rasakan. Saat aku merasa bahwa aku takkan mampu untuk bertahan dengan hati yang terdapat jutaan luka menganga yang seakan mustahil untuk disembuhkan. Saat aku yakin bahwa aku akan mati bersama harapan-harapan yang tertimbun ke dalam batas permukaan lautan. Saat aku berfikir bahwa Tuhan terlalu berlebihan memberikan cobaan. Saat aku percaya bahwa aku memang terlahir menjadi gadis hampa tanpa secuil pun bahagia. Dia dating. Membawa segudang penyangkalan dari perkiraan-perkiraan konyolku yang bukan tanpa alasan. Mengantarkanku menuju jalan kebahagiaan yang sesungguhnya. Bukan lagi semu, seperti yang selama ini mengusik benakku.



Kamu. Dia. Seluruh dunia harus tahu, bahwa pemuda pemilik senyum lebar menenangkan itu adalah pemuda yang ajaib. Dengan kesederhanaannya ia memapah langkah susah payahku menyusuri jembatan curam yang menghadang. Lantas setelah berada di sebrang, ia membasuh sedikit demi sedikit luka bersimbah nanah yang ada di hatiku. Menyusun kepingan hati yang telah carut marut. Kemudian menyusupkan kekuatan melalui dahsyatnya lengkungan senyumnya. Dia hebat. Dia luar biasa. Dia ajaib. Dialah Gabriel, Pangeran Hujan.



***



Gabriel menarik lenganku tiba-tiba, sehingga aku tak sempat menolak. Lagipula tarikannya terlalu keras, tak bisa ku tahan. Maka aku pun mengikuti langkahnya. Meninggalkan Keke yang sebelumnya beriringan denganku. Sebelum langkahku terlalu jauh, aku menengok ke belakang. Mendapati Keke tengah tersenyum manis. Seakan mendukung perlakuan Gabriel padaku. Lalu aku pun membalas senyumannya, karena aku juga tak keberatan lenganku ditarik olehnya. Tentu saja. Saat anggota tubuhku bersentuhan dengan pemuda ajaib di depanku ini, aku selalu merasakan sensasi yang tak biasa. Rasa nyaman, hangat dan merasa terlindungi. Ah, Gabriel memang hebat.



Gabriel membawaku ke gerbang sekolah. Lalu setelah itu ia meminta izin untuk mengambil sepeda kesayangannya yang ia simpan di tempat parkir. Namun sebelum itu, ia sempat berkata pada salah seorang gadis yang kebetulan tengah berada di gerbang juga.



“Aku titip Ify sebentar ya! Awas, jangan ampe lecet!” Gabriel mewanti-wanti.



Ia mendelik jahil ke arahku. Lantas berlari menuju tempat parkir. Ranselnya ikut bergoyang seirama dengan pergerakkan lincah kakinya. Aku tersenyum melihat siluetnya yang telah menjauh.



Gadis tadi ternyata Sofia, gadis yang menjadi salah satu rekan satu timku pada saat bertanding basket dulu. Iya, dia gadis yang pertama yang percaya bahwa aku bisa bermain basket setelah sekian lama predikat bodoh itu aku sandang. Ah, aku rindu pada Sofia. Setelah pertandingan basket menegangkan satu bulan silam, aku belum pernah bertemu lagi dengannya. Selain karena aku jarang berkeliaran di sekolah, kelas Sofia sendiri pun berada cukup jauh dari kelasku.



Sofia menoleh ke arahku. Lalu tersenyum dan memasang wajah ramah da bersahabatnya. “Hai Fy! Udah lama ga ketemu. Kangen main basket bareng kamu deh!” ujarnya.



“Eh…” aku terkesiap. “Ah iya. Aku juga. Tapi, aku kan ga bisa main basket. Dulu Cuma kebetulan aja.” Aku tersenyum.



“Kamu suka ngerendah terus deh! Eh, kamu pacaran ya sama Gabriel?” Tanya Sofia. Ia menaik turunkan kedua alis tebalnya.



Aku terkekeh. Lantas menggelengkan kepala. Menyanggah pernyataan sekaligus pernyataan yang dilontarakan oleh Sofia. “Dia sahabat aku,” ucapku. Ya, dia memang sahabatku. Sahabat ajaibku. Dan entah bagaimana awal mulanya, hatiku mulai disergap sebuah perasaan bahagia yang diselingi harap luar biasa saat ucapan Sofia menelisik gendang telingaku. Menggetarkan inci demi inci luas permukaan hatiku. Memancing desauan angin yang menyejukkan sukmaku. Perlahan harapan itu mengembang. Harapan agar Gabriel tak hanya menjadi sekedar sahabat ajaibku, tapi juga menjadi Pangeran Hujanku, dengan kejaiban yang tak sebutir pun terbuang. Menjadi pangeran yang kelak akan bersemayam dalam kalbuku untuk menyembuhkan memar di hatiku yang masih berbekas. Menggantikkannya dengan senyum berbuncah kebahagiaan. Mengabadikannya agar tetap tetap melekat dalam tiap pompaan darahku.



“Ah, tapi kok kelihatannya kalian berdua deket banget. Mana Gabrielnya perhatian gituh sama kamu.” Sofia menggodaku. Aku tersipu. Merasakan pipiku mulai memanas pada saat itu juga. Oh Tuhan, ada apa dengan pipiku? Juga hatiku?



Selang beberapa detik, Gabriel menghampiri aku yang menunduk menyembunyikan rona merah pipiku dan Sofia yang tengah tersenyum menggodaku. Ia menaiki sepeda kesayangannya.



“Yuk Fy!” ajak Gabriel.



“Eh…” aku terkesiap mendengar suara lembutnya menggelitik hatiku. Nafasku berubah memburu. Aku mendesah lantas menoleh padanya dengan ekspresi sebiasa mungkin. Namun nampaknya itu semua gagal. Aku memang tak pandai mengelabuhi seseorang. Terlihat dari Gabriel yang memicingkan mata ke arahku. Aku menggigit bibir.



Gabriel menoleh pada Sofia yang terlihat menahan tawa. Uh… Sofia menyebalkan. Ia pasti menertawakanku yang salah tingkah.



“Kamu apain Ify? Kok mukanya ampe merah gituh?” Tanya Gabriel. Matanya mendelik ke arahku.

Sial. Gabriel ternyata dapat menangkap semburat merah yang terlukis menggemaskan pada pipiku. Segamblang itukah perasaanku? Perasaan apa yang ku maksud? Cintakah? Sekilat itukah hatiku menemukan kembali cinta yang baru. Meninggalkan cinta yang lama yang nyatanya selalu luput dari perhatian. Menggantinya dengan cinta yang aku fikir jauh lebih ‘sederhana’. Mungkin saja.



“Aku godain Ify pacar kamu.” ujar Sofia dengan enteng. Lalu terkekeh saat menangkap mataku yang tengah menatap tajam padanya.



Aku mempelototi Sofia. Gadis ini sungguh menyebalkan. Dia tak tahu saja, ucapannya baru saja dapat mengacaukan fungsi kerja otakku yang selalu saja bermasalah saat melihat badai yang bergelung dalam bola elang coklat milik Gabriel. Dan sekarang, monster yang beberapa saat terlelap itu pun kembali terjaga. Monster yang menyeramkan. Namun sekarang, mengapa monster itu tersenyum dan sungguh bersahabat denganku. Walau tetap saja, keberadaannya selalu mengundang getaran yang seakan tak dapat tertanggungkan.



“Bener Fy?” Tanya Gabriel. Ia tersenyum lebar padaku. Senyum yang lagi-lagi menyumbat pembuluh darah di pipiku, sehingga darah seakan berkumpul hanya pada satu tempat. Intinya, pipiku semakin memerah, bagai tomat ranum yang sering dibuat sambal oleh Bi Surti di rumah.



Aku menggeleng cepat. Menyikut lengan Sofia yang sudah tak kuat menahan tawanya yang dalam hitungan detik akan segera meledak.



“Ih, apaan sih?” aku mengulum bibir. “Ayo ah pulang!” aku menepuk pundak Gabriel.



Gabriel terkekeh geli. Lantas mengedikkan bahu, menyuruhku untuk segera naik ke sepedanya. Maka aku pun meloncat naik ke atas sepeda. Duduk dan memegang pinggang Gabriel agar tak terjatuh kala sepeda mulai melaju.



“Sofia, kita pulang dulu ya! Sering-sering deh godain Ifynya. Lucu tauuuuu!” ucap Gabriel dengan gaya tengilnya yang semakin membuatku tersipu.



Aku mencubit pinggang Gabriel gemas. “Udah deh! Ayo berangkat!”



“Siap Putri Pelangi.” Kata Gabriel. Ia mulai mengayuh pedal sepedanya.



Sementara aku tertegun mendengar apa yang baru saja terucap dari mulut Gabriel. Putri Pelangi. Dia memanggilku dengan sebutan yang sungguh cantik. Dia memang bukan orang pertama yang memanggilku Pelangi. Jauh sebelum itu, Rio, Sang Pangeran Matahari yang tampan itu pun memanggilku Pelangi. Pelanginya yang ia sayang. Namun kali ini, Gabriel menambahkan kata ‘Putri’ di awalnya. Apakah itu pertanda bahwa aku memang lebih dari sekedar pelangi di hati pemuda berhati malaikat itu? Apakah aku istimewa baginya?



Maka, wajarlah apabila harapku semakin mengembang tak terkendali. Harapan berisikan kalau pemuda pemilik tatapan tajam nan meneduhkan itu bersedia menjadi Pangeran Hujanku, sebagaimana aku yang dengan senang hati bersedia untuk menjadi Putri pelanginya. Harapan itu kian melambung seiring perputaran waktu yang kian menderu.



Aku menoleh ke belakang. Ku dapati Sofia mesih berdiri di tempat yang sama. Ia terlihat tersenyum sambil mengacungkan jempolnya. Tanda bahwa ia mendukung sepenuhnya akan sejuta harapku. Aku mengangguk. Tersenyum.



***



Ketiga laki-laki berbeda usia itu langsung bertepuk tangan seusai gadis berkuncir dua itu mengakhiri tiupan seksoponnya. Dua lelaki yang masih anak-anak itu langsung bergelayut manja pada kedua lengan sang gadis. Semantara lelaki yang lain hanya bisa mengulum bibir.



“Ih, Kakak Tembem keren deh!” ujar Deva, bocah lelaki bermata bulat sambil mengerjapkan matanya beberapa kali. Lucu sekali.



“Iya, sebagai pacarnya, Ozy bangga deh sama Kakak!” bocah yang satunya yang mengenakan topi ungu ala Justin Bieber itu menepuk-nepuk bahu Sang Gadis yang menjelma menjadi primadona dalam sekejap mata.



Dan sisanya, hanya bisa mendengus kesal. Apa-apaan dua bocah ingusan itu? Seenaknya bergelayut manja pada lengan Auroranya. Dialah yang lebih berhak melakukan itu. Gadis itu kan miliknya sekarang. Tak ada yang boleh mengusiknya. Sekali pun anak-anak yang belum mengerti apa-apa seperti dua bocah ganjen di hadapannya. Ia mengulum bibir. Mendelik dengan tatapan mencibir.



Keke -gadis itu- mengernyit. Mendapati pemudanya yang memasang wajah kusut.



“Kenapa sih Yo?” tanya Keke. Ia mencolek dagu Rio.



Rio langsung memalingkan wajahnya. Ia melipat kedua tangannya di depan dada. Berdecak dan mengerucutkan bibirnya. Merajuk macam anak kecil yang gagal mendapatkan mainan yang diinginkannya.

Keke mengangkat sebelah alisnya. “Yeyy… ngambek nih yeee!” Keke mendorong tubuh Rio pelan. Lalu tertawa menyeringai.



“Aku cemburu.” ujar Rio ketus. Ia menoleh sekilas pada dua bocah tak tahu diri itu. Lantas memutar bola matanya. Tak suka melihat tangan mereka yang masih menggamit kedua lengan Auroranya.



Keke terperanjat. Lucu sekali. Rio cemburu pada dua anak ingusan yang mengapit dirinya. Keke baru tahu kalau Rio itu cemburuan. Ia tertawa tertahan.



Rio menggertakkan rahangnya. Sebal pada ekspresi Keke yang seakan mencibirnya. Ia membulatkan kedua matanya. Menatap Keke, lalu mengalihkan pandangannya pada dua bocah yang seperti hama baginya. Rio berkacak pinggang. “Heh bocah-bocah jelek!” hardiknya.



Sungguh diluar dugaan. Kedua bocah itu bukannya ketakutan, malah tertawa cekikikkan.



“Kakak…” Ozy menggoyangkan tangannya yang tetap bertaut dengan Kakak tembemnya. “kok mau sih temenan sama Kakak jelek ini?” Ozy menunjuk Rio.



Rio terperangah pada ucapan polos Ozy. Sementara Keke tertawa menyeringai.



“Heh, aku ini pacarnya Keke. Awas! Jangan deket-deket pacar aku!” Rio menarik lengan Keke agar terlepas dari kungkungan lengan Ozy. Ozy mengulum bibir. Dasar kakak jelek menyebalkan. Ia mencubit perut Rio.



“Adaaww…” Rio meringis. Kalau saja Ozy itu bukan anak kecil, sudah ia tendang sampai Afrika. Ia mengusap-usap area dimana ia mendapatkan cubitan ‘manis’ dari Ozy.



“Ih, Kakak jelek apa-apaan pegang tangan pacarnya Deva?” Deva merengut.

Rio menoleh kea rah Deva. “ini satu lagi bocah nyebelin. Awas! Jauh-jauh dari pacar aku!” Rio mengibas-ngibaskan tangannya.



“Ga mauuuu! Wleee!” Deva menjulurkan lidahnya. Mencibir Rio.



“Ih…” Rio mendengus. Tak tahan juga melihat gadisnya dikelilingi bocah tengil nan menyebalkan seperti Deva dan Ozy. Membuat hatinya dihinggapi bola api yang membakar amarahnya. Menyulutnya semakin membara.



Rio tersenyum miring. Ia tahu bagaimana untuk menyingkirkan dua kuman yang sudah sangat mengganggu kenyamanannya. Rio bangkit berdiri. Menggerakkan kakinya menghampiri Deva. Mengangkat sebelah alisnya penuh rencana. Membungkukkan badan dan meraih tubuh Deva. Rio membawa Deva menjauh dari Keke.



Ozy menggaruk belakang tengkuknya. Meskipun deva adalah’saingannya’ dalam merebut perhatian Kakak Tembemnya, tetap saja Deva adalah sahabatnya. Ia harus menyelamatkan Deva dari jerat Rio. Ozy bangkit dari tempat duduknya. Tanpa menoleh pada Keke, ia pun berlari. Menyusul Rio yang telah menculik Deva.



Dan Keke hanya bisa megulum senyum. Tergelitik melihat Pangeran-nya yang bersikap sangat konyol. Masa ia cemburu pada dua jagoan-nya? Sangat tidak masuk akal. Tapi, gadis berabut ikal itu pernah mendengar bahwa cemburu itu tanda cinta seseorang. Mungkin, Rio terlalu mencintainya, sampai-sampai ia cemburu pada anak-anak yang tak selayaknya dicemburui. Atau mungkin, Rio itu memang tipe orang yang selalu ingin diperhatikan? Entahlah. Yang pasti, Keke senang saat Rio bersikap seperti itu.



***



Deva meronta-meronta. Memberontak untuk terlepas dari Rio yang telah menculiknya. Ia memukul-mukul punggung Rio yang menggendongnya. Sedangkan Rio mencoba menahan sakit akibat pukulan berubi-tubi yang dihadiahkan Deva. Ia mencari tempat ang strategis untuk membuang kuman kecilnya.



Rio berhenti saat mendapati seorang penjual kembang gula tengah sibuk melayani beberapa pelanggannya. Sepertinya itulah yang dia cari. Ia menurunkan Deva tak jauh dari kerumunan pecinta kembang gula tersebut.



“Ish…” Deva mengibaskan rambutnya. “Kakak jelek kok bawa aku ke sini?”



“Begini ya…” Rio menekuk lututnya. Mensejajarkan tingginya dengan Deva. “Kamu…” Rio terpaksa menghentikan ucapannya saat ia merasakan sebuah kerikil baru saja menghantam kepalanya. “Aduuhh!” Rio mengaduh. Memegangi kepalanya yang terkena kerikil yang ternyata dilempar Ozy yang baru saja tiba.



“Pergi kau Kakak penculik!” ujar Ozy lantang dengan gaya khas anak-anak. Ia berkacak pinggang. Membulatkan kedua matanya, walau tetap saja kalah bulat dengan mata Deva.



“Oke, aku bakalan pergi. Tapi… kalian jangan ganggu aku sama Keke ya! Kalian berdua jajan kembang gula aja.” Rio merogoh saku celananya. Mengeluarkan selembar uang dua puluh ribu lantas menyerahkannya pada Deva dan Ozy.



Ozy hendak mengambil uang tersebut dari tangan Rio. Namun Deva segera mencegahnya. Ia berbisik pada Ozy. “Jangan ketipu sama Kakak Jelek!”



“Aduh Depaaa… tapi kan sayang uangnya. Lagian, kembang gula kan enak. Ambil aja ah!” Ozy langsung mengambil uang tersebut. “Makasih ya kakaaaakk!” Ozy berlari menuju penjual kembang gula sambil bersiul-siul. Seakan mencibir Deva.



Deva mendengus. Ia mengerucutkan bibirnya. Menunjuk wajah Rio seraya mempelototinya. Lantas berdesis. “Kakak menang sekarang, tapi liat aja nanti!” Deva langsung berbalik dan menyusul Ozy yang kini tengah memesa kembang gula pada Abang penjualnya.



Rio tersenyum miring. Menepuk-nepuk kedua telapak tangannya. Dua pengganggu sudah berhasil ia sisihkan. Rio mengangkat kerahnya bangga. Lalu bergegas kembali untuk menemui Auroranya yang pasti sedang menantinya.

Rio berlari. Tak sabar untuk melihat wajah gadisnya yang selalu saja membuat hatinya terpesona, apalagi dengan pipi kembang kempisnya yang sangat menggemaskan. Ia jadi ingin buru-buru menjawil ujung hidung gadisnya. Lalu setelah itu mendapatkan sebuah manyunan yang bisa-bisanya menciptakan buncahan rasa bahagia di relung jiwanya. Ia semakin mempercepat laju pergerakkan langkahnya. Seulas senyum ia kembangkan. Menambah ketampanan pemuda bergigi gingsul itu yang semakin hari, semakin menawan.



Dan desauan angin kini menghantarkan fokusnya menuju siluet cantik yang sejak awal pertemuannya telah berhasil menerbitkan cinta yang seindah pancaran cahaya yang menyala-nyala di ufuk utara sana. Dialah Keke, Auroranya.

Kini, Keke tengah duduk menekuk lutut di atas hamparan rumput hijau taman. Gadis itu memainkan ujung-ujung rambutnya yang terbagi dua. Bibirnya tertarik ke ujung-ujungnya, membentuk lengkungan manis yang sungguh mempesona. Sesekali ia bersenandung kecil, menyuarakan sebuah lagu yang mendeskripsikan apa yang tengah menggelayuti hatinya.



“Kamu buat aku tersipu, buatku malu-malu saat bersamamu, saat ku sapa dirimu.”



Suara lembutnya memanggil gerombolan burung senja untuk terbang seraya melenguh merdu melintasi hamparan langit yang mulai menguning. Berseru gembira kepada sang surya yang mulai bergegas menuju tempat persembunyiannya. Gadis itu menyapa seluruh dunia dengan bisikkan manjanya.



Maka Rio yang mengintainya dari balik pohon hanya bisa menggelengkan kepala, takjub melihat keajaiban gadisnya yang mampu menjadikan apa yang berada di sekitarnya berubah menjadi lebih indah dari biasanya. lantas ia pun tersenyum. Menunda untuk segera menyongsong Auroranya. Menahan kakinya agar tidak berlari lantas menghambur untuk merengkuhnya. Ia berniat memberikan sesuatu yang ia harap akan berkesan di hati dan membekas di benak gadis tembemnya. Ia memutar badannya. Berlari menuju tempat yang beberapa menit lalu ia datangi. Mengambil ‘sesuatu’ tersebut.



***



Bersambung!



***

0 Komentar :

Posting Komentar

Komentari