Hanya Kemustahilan (Sebuah Kisah Yang Telah Tertinggal)
Kalau tak ada yang tak mungkin di dunia ini, mengapa hanya menyentuh hatimu saja serasa begitu mustahil untukku? Mengapa tak ada setitik pun celah untuk ketulusanku menyapa kenelangsaan hatimu? Mengapa kau tak menyediakan segenggam harapan agar aku dapat menggelayutimu dengan kasih sayang? Dan mengapa berjuta keikhlasanku tak pernah sekalipun menyambar menara keangkuhanmu? Mengapa? Tak pantaskah aku untuk hanya sekedar menjadi bayangan yang mengiringi tiap langkahmu? Semua pertanyaan itu tak pernah aku tahu jawabannya, sampai Tuhan yang menutup kisah ini. Kisah mengenaskan tentang aku yang selalu tinggal bersama seonggok perasaan yang selalu terabaikan. Lantas ikut menghilang bersama akhir kisah ini yang tertelan kepedihan.
***
Kau mungkin takkan mengerti bagaimana aku yang setiap saat selalu kau sakiti. Dan kau juga tak pernah mengerti seberapa menyesakkannya dadaku saat kau mengeluarkan cacianmu yang pedas itu. Kau tak mau mengerti akan hal itu. Dan kau tak pernah berusaha untuk mengerti.
Aku takkan memintamu untuk mengerti. Karena aku sendiri pun takkan mengerti. Tapi paling tidak, hargailah aku yang selalu mendampingimu. Aku yang tak pernah mundur selangkah pun untuk membelamu. Aku yang selalu jadi yang pertama yang membasuh kesakitanmu. Aku yang selalu memupus peluh yang melumuri tubuhmu tatkala kau lelah untuk tetap terbang menantang angin. Dan aku yang selalu jadi pelampiasan amarahmu. Aku yang bernasib sangat menyedihkan.
Tapi nampaknya, kau enggan melakukan hal itu. Jangankan menghargai, menganggap aku ada pun kau tidak. Bagimu aku hanya desauan angin yang berlalu lantas kembali menghilang. Aku hanya benalu yang selalu membebani tiap pergeseran langkahmu. Aku racun yang mengotori kuota udara yang kau hela. Aku sampah yang harus segera enyah. Sehina itukah aku?
Lalu kalau aku memang penuh cela, mengapa kau tak pergi saja? Mengapa kau tetap tinggal di sisiku? Mengapa kau tetap bertahan walau hatimu tertekan? Mengapa? Mengapa kau melakukan semuanya yang membuat hati kita masing-masing terluka? Apa karena dia?
Ya, kau bersikap keji seperti saat ini karena permintaan dia. Dia yang pertama tinggal di hatimu. Dia yang cintanya selalu kekal bersemayam di setiap hembusan nafas hidupmu. Dia yang kenangannya selalu terukir abadi dalam benakmu. Dia yang membuat kau tak pernah mengizinkan hatimu untuk menyambut siapa saja yang hendak menyentuh rapuhnya hatimu. Dia yang teramat beruntung, karena meski dia telah berada di antah berantah, kasihnya tetap menjadi penghuni utama di tempat teristimewa di relung jiwamu. Dia yang sangat mencintaimu. Begitu pun sebaliknya.
Dia memang sangat berharga bagimu. Kau tak pernah mau membuatnya kecewa. Kau tak pernah tega menolak kehendaknya. Maka saat ia memohon padamu di penghujung usianya untuk selalu bersamaku pun kau mau. Kau bersedia. Kau tak mengelak. Walau aku tahu kau sangat membenciku. Ya, tentu. Kau menganggap kepergiannya dari dunia fana ini adalah kesalahanku. Kalau saja saat itu dia tak tergesa-gesa menengok keadaanku yang sudah sangat menyedihkan-saat itu-, semuanya tak akan terjadi.
Kala itu aku tengah berada di taman, dan asmaku kambuh. Aku lupa tak membawa alat yang membantu pernafasanku. Sahabatku menelpon dia dan memintanya untuk membawakan alat yang dimaksud. Terburu-buru ia bergegas mendatangiku untuk menolong nafasku yang sudah tercekat. Ia berlari. Yang ada dalam benaknya hanyalah aku. Hanya keselamatan adik sematawayangnya. Sampai ia tak meyadari sebuah mobil tengah melaju kencang menyongsong siluetnya. Lantas dalam sekejap keduanya saling bertabrakan. Dia tak sempat menghindar. Maka tubuhnya terpental hingga beberapa meter. Dan akhirnya ia tergeletak pasrah dengan tubuh bersimbah darah.
Beberapa orang yang berada di sekitar tempat kejadian lansung mengerubunginya. Lantas berinisiatif untuk membawanya ke rumah sakit. Sementara aku yang berada di tempat lain sudah tak bisa menahan sesak yang terasa mencekik leherku. Tak ada sedikit pun udara yang dapat ku hela. Aku jatuh tak sadarkan diri. Sahabatku membawaku ke rumah sakit yang sama dengannya.
Benturan di kepalanya sangat hebat. Dia mengeluarkan banyak darah. Dia tak bisa lagi bertahan. Namun sebelum dia benar-benar pergi, dia berpesan padamu untuk selalu ada bersamaku. Dan kamu tak sempat menyanggah. Jiwanya telah terbang seiring nyawa yang melayang meninggalkan raga yang tak lagi berdaya.
Dan kamu pun melaksanakan isi dari segenggam pesannya. Kau ada di sampingku. Bersamaku dalam setiap waktu, Keindahan parasmu menjadi penghuni utama di dalam sini. Di dalam organ vital bernama hati ini. Kau selalu ada. Namun adakahcinta lusuhku menyempil di sela-sela ketertutupan hatimu? Dan jawaban mutlak dari pertanyaan retorisku adalah tidak ada. Tak. Akan. Pernah. Ada. Selamanya. Final.
Ya, kau tak pernah memberiku kesempatan untuk menyibak penghalang yang menutup rapat mata hatimu. Bahkan menjamah permukaannya saja, kau menolak mentah-mentah. Apalagi masuk dan bersanding dengan seseorang yang menjadi penghuni abadi hatimu. Sungguh sebuah kenustahilan bagi gadis lemah sepertiku. Seperti mendinginkan matahari yang panasnya tak terbantahkan lagi.
Tapi tahukah kamu, di setiap malam sebelum lelapku, aku selalu memanjatkan doa pada Tuhan. Kau mau tahu apa isinya? Kalau tidak pun taka pa. Karena aku akan tetap memberitahukannya. Walau aku yakin kau akan berusaha sekeras mungkin untuk menulikan pendengaranmu.
“Ya Tuhan, sebelum aku memejamkan mata dalam kenikmatan-Mu, bolehkah aku merepotkan-Mu? Ya, aku meminta-Mu untuk menjaga seseorang yang Kau anugerahkan padaku. Jagalah ketika ia terlelap. Berikan ia kenikmatan saat bergelung bersama nafas yang teratur. Dan hadirkan dia dalam mimpiku. Karena hanya itu yang dapat sedikit membasuh baret-baret luka hatiku.”
Begitulah doaku setiap malam. Sungguh malang dan menyedihkan. Namun saat aku tahu bahwa doaku selalu dikabulkan oleh-Nya hampir setiap malam pula, aku sangat bahagia. Ya, aku sangat senang saat kau bersedia hadir untuk menghiasi mimpiku. Tentu. Karena mengharapmu untuk hadir walau sejenak dalam dunia nyata hanya akan membuat hatiku mencelos saja. Maka sekedar mimpi semu pun tak apa. Namun aku sempat bertanya, mungkinkah aku hadir dalam mimpimu? Tapi aku rasa tidak. Kalau pun ada, pasti itu mimpi terburukmu.
Oh iya, kamu juga pasti tak tahu mengenai hal ini. Aku selalu menangis tersedu saat kau mengaitkan kecerobohan yang ku lakukan dengan kepergiannya. Aku fikir, kau adalah orang yang pendendam. Bagaimana tidak, kejadian itu terjadi tiga tahun silam. Dan sampai saat ini kau tak pernah bisa memaafkan kesalahan yang sangat berat ku akui. Karena menurutku kepergiannya adalah salah satu takdir Tuhan. Kalau pun dia tak menemuiku, kalau sudah seharusnya terjadi, maka terjadilah. Takkan ada yang bisa mencegah.
Ingat tidak saat kau memarahiku di depan umum? Di depan teman-temanku. Padahal hari itu adalah hari jadiku yang ke-17. Kau begitu marah saat aku tak sengaja menumpahkan minumanku pada jas hitam mahalmu. Kau memakiku. Mengeluarkan sumpah serapahmu.
“Dasar Ify bodoh! Kau tahu, ini adalah jas yang dipilihkan oleh Sivia saat acara prom night dulu. Dan kamu malah mengotorinya dengan minuman itu. Otakmu sebenarnya ada di mana? Kalau saja bukan karena permintaan Sivia, sudah ku campakkan gadis bodoh sepertimu!”
Lantas dengan ringannya kau mendorongku sampai aku terduduk di lantai. Sejurus kemudian, kau melangkah dan bergegas meninggalkanku yang menjadi tontonan seluruh tamu undangan yang datang. Pasti mereka juga mengiyakan bahwa aku memanglah seorang gadis bodoh. Tentu saja. Mana ada gadis yang tak pernah marah atau mencoba berontak sedikit pun kala diperlakukan seperti itu. Di depan khalayak ramai pula. Memalukan. Dan teramat menyedihkan.
Dan kini, nampaknya tulang-tulang kakiku sudah tak kuat menopang tubuh ringkihku yang selalu dijejali kepedihan. Dan ternyata, hatiku tak sekuat tembok baja yang berdiri kokoh di sana. Kau benar. Aku bodoh. Aku selalu mengira aku kuat. Aku mampu bertahan dan tak tergoyahkan. Namun guncanganmu terlalu dahsyat menerjang. Maka aku mengalah. Memutuskan untuk menutup kisah ini. Membiarkannya tertinggal bersama kepahitan yang selama ini aku dapatkan darimu.
Malam sunyi ku impikanmu, ku lukiskan kita bersama
Namun selalu aku bertanya adakah aku di mimpimu?
Tok..tok..tok.. Suara ketukan di balik pintu jati itu terdengar begitu memburu seakan memintaku untuk sesegera mungkin untuk membukanya. Terbukti dengan suara baritone yang khas yang kini memanggilkan namaku.
“Ifyyyy! Buka pintunya! Ini aku, Rio. Aku mau ngomong sesuatu sama kamu. Tentang perasaanku. Tentang hatiku.”
Aku memejamkan mata. Mencerna dua kalimat terakhir yang suara lembut itu ucapkan.Itu suaramu. Dan kau ingin berbicara tentang hatimu. Apa? Apa kau akan mengatakan bahwa kau telah membuka hatimu untukku? Atau kau telah menyadari bahwa akulah yang pantas mengisi relung kalbumu? Ah itu sekedar fantasi. Termasuk ke dalam mimpi-mimpi yang selalu menghantui.
Dan kini, aku takkan lagi bermimpi. Memimpikanmu selalu menjadi hal tabu dalam hariku. Maka aku akan berhenti. Kini hiduplah aku dalam mimpi yang sesungguhnya. Tanpa kamu. Aku sendiri. Bersama hati yang tak lagi tersimpan secuil pun cinta di dalamnya. Semuanya enyah, sejurus enyahnya aku dari hidupmu.
Di hatiku terukir namamu, cinta rindu beradu Satu
Namun selalu aku bertanya adakah aku di hatimu?
Tentu aku tak akan lagi bertanya tentang hal itu. Aku sudah hafal jawabannya. Maka sekarang aku juga akan mengenyahkanmu dari hatiku. Biarkanlah hatiku kosong. Tanpa lentera. Gelap gulita. Karena kehadiranmu pun hanya untuk menyesakkan organ vitalku yang sudah sangat berantakan.
Suara ketukan pintu semakin keras. Bahkan kini terdengar kasar. Mungkin kamu mengetuknya tanpa perasaan. Ya, sebagaimana kau bersikap padaku.
“Ify please! Buka pintunya! Aku tahu kamu ada di dalam. Tolong jangan siksa aku!”
Hei. Apa kamu tak salah bicara? Bukankah selama ini yang lebih sering menyiksa itu adalah kamu? Selama ini akulah yang tersiksa. Jadi kenapa sekarang aku tak boleh membiarkanmu tersiksa. Aku bukan seorang pendendam seperti dirimu. Aku hanya ingin kau tahu, betapa tak mengenakkannya terus terbelenggu dalam hukuman atas dosa yang tak pernah aku lakukan.
“Ify aku mohon! Maafkan aku!” Kau mengucapnya dengan sedikit erangan. Mungkin kau kesal. Terdengar kau mendengus frustasi.
Telah ku nyanyikan alunan-alunan senduku
Telah ku bisikkan cerita-cerita gelapku
Telah ku abaikan mimpi-mimpi dan ambisiku
Tapi mengapa ku takkan bisa sentuh hatimu?
Itu perjuanganku dulu. Ya, dulu. Sekarang tidak lagi. Aku bukan menyerah hingga lantas memutuskan untuk tidak lagi bersusah payah menjamah duniamu. Tapi kapasitasku hanya sampai situ saja. Aku tak ingin memaksakan apa yang tak dapat ku genggam. Toh, memaksa pun tak ada jaminan untukku mendapatkan seonggok kasihmu. Aku bukan pengecut. Tapi aku hanya menyadari apa yang ada pada diriku. Aku bukanlah dia yang sempurna bagimu. Aku hanya debu yang sekilas menyapa lantas hilang tertelan desauan angin.
Aku merasa nafasku tercekat. Asmaku kembali kambuh. Asma yang sangat terkutuk bagimu. Aku tahu itu. Maka sekarang biarkan aku pergi bersama asmaku ini. Bukankah kau juga membenciku?
“Aku mencintaimu Ify! Sungguh! Maafkan selama ini tak pernah menganggapmu. Tapi kau harus tahu sesuatu..” Kau menghela nafas. Kembali melanjutkan ucapanmu. “Aku bersikap seperti ini padamu karena aku takut. Aku takut kalau suatu saat kau juga akan pergi. Aku takut kehilangan lagi. Aku takut menghadapi kenyataan bahwa perlahan aku mulai mencintaimu. Bahkan kini, cintamu telah menyingkirkan bayangan Sivia dari benakku. Aku mencintaimu.”
Sungguh deretan kalimat yang menakjubkan. Sejenak aku terpana. Namun semuanya kini terlambat. Hatiku telah mati. Bersamaan dengan nafas yang sudah berada di ujung tenggorokkan. Perlahan, aku mencoba menghela oksigen yang berterbangan di sekitarku. Namun nihil. Tak ada lagi yang bisa ku hirup. Begitu pula aroma ketulusan yang menyeruak melalui kalimat ajaibmu yang menghantar hatiku melesak. Menyesali segala yang pernah aku dan kamu alami.
Bila saja kau di sisiku kan ku beri kau segalanya
Namun tak henti aku bertanya, adakah aku di mimpimu?
Klise. Bahkan menarik ujung-ujung bibirmu untuk menampilkan seulas seyum manis yang pasti akan terlihat sangat menawan di wajahmu saja aku tak mampu. Lantas apa yang dapat ku beri? Hanya kebencian yang semakin mengembang tak terkendali. Maka aku yang kini lebih baik pergi. Kepergianku adalah hadiah terindah bagimu.
“Beri kesempatan untuk aku merubah segalanya. Biarkan aku menjadi salah satu dari seseorang yang pernah membahagiakanmu.” Nada bicaramu terkesan memelas.
“Dengan… hhh… kau berada… di sampingku… hhh… aku sudah cukup.. hhh…ba…hagia…” Aku memegangi dadaku. Melapangkan rongga pernafasanku. Berharap kuota udara yang ku butuhkan akan terpenuhi.
“Ify, kamu kenapa? Apa asmamu kambuh lagi? Ku mohon bukalah! Agar aku bisa memelukmu. Aku ingin menguatkanmu.”
Tak bisakah kau sedikit saja dengar aku, dengar simfoniku, simfoni hanya untukmu.
Aku berusaha untuk menghela oksigen yang kini serasa menghindar dariku. Dengan buliran keringat sebesar biji jagung yang membingkai parasku, aku memegangi leherku. Seperti tengah dicekik. Oh Tuhan, inikah saatnya?
Dan untuk yang terakhir kalinya, aku memohon padamu, dengarkan hatiku berucap. Ini sebuah kejujuran. Tak ada kebohongan sama sekali. Aku mencintaimu. Aku selalu berusaha menyentuhmu. Bukan ragamu. Namun hatimu. Hati yang telah tertutup oleh belenggu kenelangsaanmu. Aku hanya ingin hati kita bertemu. Saling berbagi jutaan mimpi. Dan hanya itulah yang aku ingini. Keinginan yang akan tersapu oleh keangkuhanmu. Tak tersisa seperti kisah ini.
Dan kini aku benar-benar pergi. Diiringi ketukan pintu yang semakin mengeras. Raungan tak terkendali. Lalu akhirnya isakkan tangis yang terdengar menyayat hati. Kamu menangis. Menangisi kepergianku. Aku bisa lihat dari atas sini, kau menangis hingga tersedu. Tangismu bahkan lebih kencang dari tangisan saat kau kehilangan Sivia. Aku tersenyum.
“Selamat tinggal Rio! Kelak kau akan bertemu lagi dengan seseorang yang jauh lebih baik dariku. Tapi percayalah, aku akan tetap mencintaimu sampai waktu yang tak ada batasnya.” Aku berbisik pada angin yang membawaku terbang menuju keabadian. Semoga sang angin dapat menghantarkan bisikanku melalu desauan lembutnya.
Telah ku abaikan mimpi-mimpi dan ambisiku
Tapi mengapa ku takkan bisa sentuh hatimu?
Tanya itu tetap bergelung meski hatiku tak lagi terkungkung. Aku tak ingin tahu apa jawabannya. Kalau pun aku tahu, semuanya sudah terlambat. Kisah ini benar-benar berakhir. Tak ada harapan untuk dilanjutkan. Semuanya tertinggal bersama kenangan kelam. Terhempas mengenaskan dan terabaikan. Akhirnya menghilang seiring rembulan yang ditelan datangnya siang.
***
The end
***