Coretan Seorang Gadis Kecil-nya Ayah

Senin, 12 Desember 2011

Coretan Seorang Gadis Kecil-nya Ayah


Ayahku orang yang tampan. Badannya tinggi. Kulitnya gelap. Memiliki kumis hitam yang menggemaskan.

*

"Ini dia pacarku, tampan kan?" ujar salah seorang temanku saat memperkenalkan pacarnya padaku.


Ya, harus ku akui. Lelaki itu memang tampan. Tinggi. Berkulit putih. Memiliki lesung pipi. Giginya rapi. Gaya rambutnya keren.

Tapi, tentulah lelaki yang selalu membangungkanku untuk sembahyang shubuh, yang selalu menelponku saat aku pulang terlambat, yang selalu menggodaku sampai aku tersipu malu, yang selalu menggeleng-gelengkan kepala saat aku bertingkah bodohlah lelaki tertampan bagiku. Dialah ayahku.


*

Ayahku orang yang setia. Pada Tuhan. Pada mama. Pada pekerjaannya. Pada sahabat-sahabatnya. Pada partai politik yang ia percayai. Dan padaku, anak sematawayangnya.

*

Malam itu, aku sedang duduk sendiri di depan rumah. Menatap langit. Menunggu bulan. Aku butuh bulan. Aku ingin bercerita padanya. Dan aku harus meneguk ludah, saat sampai larut malam, bulan tak kunjung datang.

Dan saat aku menunduk kecewa, seorang lelaki gagah menghampiriku. Dia membelai lembut rambut hitamku. Memberikan tatapan teduhnya. Lalu tersenyum penuh wibawa.

"Biarkanlah bulan beristirahat! Kau masih punya ayah, yang takkan beristirahat sebelum jutaan ceritamu habis."

Aku tersenyum.

*

Ayah orang yang keras. Aku sama seperti ayah. Maka dari itu, aku sering bertengkar dengannya. Tapi, sekeras apa pun dia, pada akhirnya dialah yang akan mengalah untukku.

*

"Ayah cuma mau kamu jadi yang terbaik!"

"Tapi ayah memaksaku!"

"Kadang untuk menjadi yang terbaik, butuh paksaan!"

"Tapi aku ga mau jadi yang terbaik!"

Ayah melayangkan tangannya menuju pipiku. Dia mau menamparku dalam pertengkaran hebat itu. Tapi sebelum telapak tangan kasarnya menyentuh pipiku, dia malah memelukku.

"Kamu selalu jadi yang terbaik. Apa pun keadaannya!"

*

Ayah seperti tukang kredit panci, cerewet. Kadang, aku sering menulikan telingaku sendiri. Dan cerewet memang sudah menjadi bakatnya. Dia akan terus bicara. Dan berhenti hanya pada saat terlelap dalam nafas teratur.

*

"Disana jangan macam-macam! Jangan lakukan hal yang aneh! Jangan dekat-dekat dengan sungai! Setelah kegiatan selesai, telpon ayah! Minyak kayu putihmu jangan sampai ketinggalan! Jaket juga, nanti kamu kedinginan!"

Saat dia berceloteh, dia tak tahu saja, bahwa aku tak mendengarkannya. Aku sudah tidur.

*

Hati ayah lapang. Dan dia selalu melapangkanku.

*

"Ayah, aku jelek ya?"

"Kamu cantik!"

"Ayah, aku bodoh ya?"

"kamu pintar!"

"Ayah, aku menyebalkan ya?"

"Kamu menyenangkan!"

"Kenapa?"

"Karena kamu gadis ayah!"

*

Ayah sangat mencintaiku. Sebagaimana aku yang juga sangat mencintainya.

*

Kini, aku memang masih gadis kecil-nya ayah.
Kini, aku masih membutuhkan nyanyian anehnya untuk mengantarkanku ke alam mimpi.
Aku masih membutuhkan tangannya untuk menyuapiku sarapan.
Aku masih membutuhkan seluruh nasihatnya, walau aku mungkin sering tak mendengarkannya.
Aku masih membutuhkan jemarinya untuk menyeka air mataku.
Aku masih membutuhkan punggungnya untuk menggendongku ke kamar mandi.
Aku masih membutuhkan segalanya tentang ayah.

Dan kata masih itu akan berganti menjadi kata tetap. Ya, sampai kapan pun, aku akan tetap membutuhkan ayah. Karena aku akan tetap jadi Gadis kecil-nya ayah.

*

Segala wujud cintaku pada ayah, takkan ada yang bisa menggambarkannya. Tapi yakinlah ayah, cintaku lapang, selapang hatimu.

*

Bandung Barat, 7 agustus 2011.

*