Hujan Berangin Di Bulan Desember (Sekuel Aku Dan Hujan Bulan Juni)

Kamis, 15 Desember 2011

Hujan Berangin Di Bulan Desember (Sekuel Aku Dan Hujan Bulan Juni)







Aku ingin seperti angin, desauannya selalu menyejukkan hati.
Aku ingin seperti angin, sapuannya selalu menggelitik sukma.
Aku ingin seperti angin, aromanya selalu melesak angan.
Dan semoga angin pulalah yang menghantarkan Sang Hujan kembali dalam dekapan.

***

Kala menunggu adalah hal yang paling terkutuk di muka bumi ini, maka menunggumu adalah sesuatu termenyenangkan untukku. Karena pada saat itu, cinta sucimu selalu hadir di setiap deru nafasku.

*

~30 Juni 2008~

“Gue pergi. Jangan nangis! Hujan ga pernah suka liat lo nangis.”

Siluet tampan itu pun bergegas setelah menyelesaikan ucapan termanisnya. Ia berlari menerobos hujan. Sampai sosoknya pun hilang tertelan kabut yang enggan luput. Ia kini benar-benar pergi. Angin yang mengiringi kehadiran sang hujan turut serta dalam setiap pergerakan langkahnya.

Sementara aku hanya bisa menunduk. Merasakan sesak yang bergelung mencekat rongga pernafasanku. Menara yang selama ini berdiri kokoh ditopang hujan, runtuh seketika saat pemuda itu dengan tega membiarkanku menanggung sendiri jutaan harapan itu. Membiarkan aku berjuang mengerahkan seluruh kekuatanku untuk bertahan dari gelombang yang suatu saat pasti menerjang. Mecampakkan perih yang tertabur menyakitkan tepat pada ulu hati yang terdalam.

Namun ternyata, dibalik keangkuhannya, dia sangatlah peduli padaku. Pada perasaanku. Pada harapan-harapanku. Maka kali ini, disertai kerendahan hatinya, dia memintaku untuk tidak terus membanjiri dunia ini dengan buliran air mataku. Dia memberikanku keyakinan bahwa kelak suatu saat nanti, disaat yang tepat dia sendirilah yang akan mewujudkan semua harap yang ku panjat. Dia mendorongku untuk tidak menyerah lantas membanting segudang harapan itu sampai batas terdalam dari jurang tercuram. Menimbunnya dengan bermiliyar penyesalan. Lalu mati dan tak dapat melesak kembali. Dia menitipkanku pada hujan. Hujan yang baik dan menyenangkan. Hujan yang selalu membumbungkan angan hingga ke awang-awang. Hujan yang selalu menyisipkan kekuatan lewat tiap rinainya yang sederhana. Hujan yang hebat dan bijaksana. Hujan yang tak pernah menyukai adanya tangisan di muka bumi ini. Hujan yang akan segera mengkamuflase aliran sungai yang merembesi pipiku. Hujan yang selalu menjadi saksi dari tiap inci kisah ini.

Dan aku tak pernah merasa sendiri. Atau sepi karena hanya ada letupan yang diciptakan oleh rintikan hujan yang menemani tiap hembusan nafasku. Karena, bukan sekedar hujan yang ia tinggalkan. Tapi ia juga memberikanku angin. Angin yang tanpa aku sadari menjadi satu diantara tiga alasan untuk aku tetap bertahan. Walau logika telah gencar melakukan pemberontakkan.

***

~1 Juni 2009~

Di tanggal yang sama, setahun silam, aku dan dia terjebak di sini. Di halte tua yang keadaannya tak banyak berubah. Hanya cat dari bangku panjang halte saja yang terlihat sedikit memudar. Lebih dari itu, semuanya sama. Dan suasananya tetap sama. Menenangkan. Apalagi diiringi hujan di awal bulan juni seperti ini. Hujan yang selalu saja bersikap bijak.

Aku duduk di bangku panjang halte. Mengedarkan pandangan ke seluruh sudut halte. Tersenyum miring. Wajahnya kembali berkelebat dalam benakku saat merasakan setetes air baru saja jatuh tepat di punggung tanganku. Ah, sepertinya aku diserang perasaan rindu yang bearak mengelilingi relungku.

Aku terkesiap saat mendengar deru mesin yang berhenti tidak jauh dari tempatku berada. Bis baru saja tiba. Aku hanya menatapi bis itu. Aku tak berniat untuk naik dan menumpang bis itu untuk mencapai suatu tempat. Aku ke halte ini pun bukan dengan tujuan apa-apa. Aku hanya mengikuti tuntutan rindu yang sudah membuncah tak bisa dibantah. Ya, berdiam diri dan menikmati ketukan berirama dari sang hujan selalu berhasil menawar rindu yang mengendap di dasar permukaan hatiku. Seperti sekarang.

Setelah beberapa saat, bis itu pun kembali melaju dengan kecepatan yang sedikit di atas batas kewajaran. Tentu saja hal itu menciptakan sehembus angin yang langsung menyapu wajahku. Rambutku yang terurai berterbangan terhempas sang angin.

Aku merapikan rambutku yang tak beraturan akibat sapaan angin. Lalu aku pun tertegun. Sejenak, memori tentang awal kisah ini tercipta kembali berputar di otakku. Menampilkan peristiwa penting yang memulai kisah sederhana ini. Ketika aku yang sedang merutuki hujan yang menyebalkan karena telah menghambat kepulanganku. Lalu tiba-tiba dia hadir dengan cibirannya yang –cukup- pedas. Lalu setelah itu aku membentaknya dan dia hanya terkekeh dan sama sekali tak peduli. Lalu semua kejadian itu silih berganti menempati kotak memori.

Angin yang telah berlalu, mengajakku menjelajahi lebih jauh akan kisah ini. Mengungkap kebenaran yang selama ini tak pernah terkatakan. Semuanya nampak begitu kentara. Begitu juga perasaan asing yang dititipkan Tuhan sejak kejadian itu yang selalu berusaha ku sangkal. Dan kali ini, seakan abadi memenuhi ruang di hati. Setidaknya sampai rasa jenuh dan lelah mengungkung perasaan itu.

“Ifyyyy!”

Aku mengerjap. Seseorang baru saja melafalkan namaku. Lengkap dengan kelembutan yang lekat mengiringi. Aku menoleh kea rah sumber suara. Gabriel. Teman dekatku.

“Ayo! Acara sudah mau dimulai!” Gabriel melambaikan tangannya dari dalam mobil mewahnya. Ia mengedikkan kepala.

“Tunggu!”

Aku mendesah. Mungkin memang saat ini aku harus lekas bergegas. Mungkin, dia memang tak akan kembali dulu. Juni ini bukan saatnya. Tapi aku yakin, juni berikutnya, atau juni-juni mendatang, atau bahkan di waktu yang aku yakin akan jauh lebih indah dari waktu mana pun, dia akan kembali. Menyambung kembali potongan hati yang telah ia curi. Ia akan mengembalikannya. Lengkap dengan kesempurnaan kasihnya. Aku percaya itu.

Aku berjalan menuju mobil Gabriel. Membuka pintu. Lantas duduk di jok penumpang depan.

Gabriel menoleh ke arahku. Tersenyum lalu mengusap lenganku. Sebuah perasaan janggal mulai mengintip dari celah kejenuhan yang mulai terbuka.

***

~30 Juni 2010~

Juni lagi. Dua tahun setelah dia tak lagi menjadi sandaran saat kenelangsaan melanda. Dua tahun bukan waktu yang sebentar untuk tetap menjaga perasaan itu agar tetap berkuasa sebagaimana mestinya. Membangun benteng pertahanan untuk mengusir rasa mana pun yang hendak menyisihkan keadidayaan sang rasa istimewa. Berniat untuk menempati hati lebih dari batas kewajaran. Aku masih menantinya. Menanti dia berlari dan menyongsongku dengan jutaan kabar gembira bahwa dia mempunyai hadiah untukku. Yaitu segudang rindu.

Dalam segala kelemahanku, nyatanya aku masih tetap bertahan. Aku masih mengharapkannya kembali hadir dan menawarkan dekapan hangatmya untuk mengenyahkan gundah yang meresah. Berharap dia masih tak menyukai tetesan bening yang menganak sungai di pipiku. Berharap dia akan membuktikan bahwa dia akan tetap menyayangiku sampai juni-juni yang kelak akan terlewati. Namun, akankah segenggam harapan itu menjadi sebuah kenyataan yang membuncahkan kebahagiaan. Atau kemungkinan buruknya, harapan itu akan terhempas ke tengah-tengah samudera. Terombang-ambing kepahitan yang menyesakkan. Lalu akhirnya, menghilang tertelan gulungan ombak.

Angin menerpa wajahku. Menerbangkan rambut ikalku yang ikut melambungkan setiap jengkal harapan. Sang angin berjanji, ia akan menyampaikan harapan-harapan itu padanya yang berada di antah berantah. Lalu membawanya kembali ke dalam atmosfer kasihku. Aku meyakini itu. Karena Tuhan pun berjanji.

***

~6 Desember 2010~

“Happy birthday Ifyyyy!”

Kalimat itu langsung menyambutku saat aku baru saja membuka pintu. Aku tersenyum mendengarnya. Kalimat itu terucap dari pemuda tampan yang kini sungguh tampan dengan kemeja putih yang sangat pas membalut tubuh jangkungnya.

“Thanks Yel!” ucapku.

“Aku punya hadiah untuk kamu.” Gabriel meraih jemariku. Lantas mengumpulkannya menjadi satu. Berpadu dengan kelima jarinya. Lalu ia menariknya. Membawaku ke tempat yang ia tuju.

*

Gabriel nampaknya sudah merancang semua ini dengan baik. Ia sengaja menyewa café ini hanya untukku. Untuk hari spesialku. Ulang tahunku yang ke-18. Ia menyulap café ini menjadi  sebuah kerajaan di negeri dongeng. Para pelayan yang melayani kami berpakaian layaknya pegawai kerajaan. Dengan baju berwarna cerah dan dihiasi renda putih yang menawan. Di salah satu sudut, terdapat sebuah miniature kereta kuda yang sangat menggemaskan. Senyumku mengembang melihatnya.

“Thanks banget ya Yel!” ujarku sumringah. Aku membekap mulutku. Masih belum percaya dengan apa yang ada di hadapanku.

Gabriel hanya tersenyum.

Kami berdua pun duduk. Hendak menikmati cake coklat yang sudah tersedia diatas meja.

Aku mengambil cake dengan garpu. Lantas memasukannya ke dalam mulut. Enak. Manisnya pas. Aku suka. Lalu aku pun mengulang kegiatan itu berulang kali.

Lalu pada saat aku hendak melakukan suapanku yang ke-lima, aku berhenti sejenak. Melirik Gabriel yang entah karena apa terus menerus mematri senyum lebar pada wajah tampannya. Aku memicingkan mata. Melanjutkan suapanku yang sempat tertunda.

“Thanks ya Yel!” ujarku.

“Semuanya untukmu.” Ujarnya setengah bergumam. Matanya menatap lembut padaku. Nampak sekali bahwa ia melakukan segalanya dengan tulus.

Maka aku tersentak. Semuanya untukku. Dia melakukan semuanya untukku. Dengan ketulusan hati pula. Lalu mengapa pemuda yang sudah lebih dari dua tahun aku nanti itu tak pernah melakukan apa-apa untukku? Dia bahkan pergi. Memaksaku untuk tetap bertahan untuknya, tanpa adanya dia disisi. Lalu sekarang, kemanakah ia? Kenapa ia tak kembali saja? Untukku? Sebagaimana Gabriel yang melakukan segalanya untukku. Tiba-tiba aku kembali dijejali rasa jenuh yang perlahan mengikis perasaan yang telah sekian lama bersemayam dalam hati yang terdalam.

Aku pun berfikir, apakah ia masih menyimpan rasa itu di hatinya. Atau malah membuangnya pada gadis lain yang jauh lebih baik dariku? Mungkin saja. Di Inggris sana, ada jutaan gadis yang hebat yang mampu menyelinap masuk ke dalam hatinya. Lalu aku yang tak punya kuasa, harus tersisih sia-sia. Begitukah? Lalu untuk apa selama ini aku masih mengharapkan dekapannya kembali hadir untuk menghangatkan sepiku? Untuk apa aku berusaha menjaga sang rasa agar tetap menjadi yang paling berkuasa, sementara dia yang jauh disana, belum tentu melakukan hal yang sama? Untuk apa aku menutup rapat hatiku agar tak ada siapa pun yang menyusup dan menggantikan posisinya di hatiku? Kadang, aku merasa bersalah pada beberapa pemuda yang ku tolak. Alvin, Cakka, dan Ray adalah tiga diantaranya. Lalu Gabriel? Tegakah aku kembali menolak pemuda yang sangat baik itu? Yang benar saja. Aku takkan mampu membuatnya terluka.

Aku terjebak dalam kebimbangan. Tetap bertahan dengan beberapa alasan. Atau berpaling dan menganggap alasan yang ku punya hanyalah lelucon belaka. Entahlah.

Aku membalas tatapan Gabriel. Matanya menyala-nyala. Menyambar  hatiku agar memilih kehadirannya saja. Namun pada saat aku hendak mengangguk menyetujui, tiba-tiba aku terkesiap. Hembusan angin membuatku tersadar dari lamunan-lamunan yang menjerumuskan. Tidak. Bentaknya. Dia akan kembali. Sebentar lagi. Tunggulah. Dia punya semilyar hadiah yang akan ia suguhkan untukku. Percayalah. Bersabarlah.

Aku memalingkan muka. “Aku hanya ingin dia kembali. Aku ingin melewati ulang tahunku bersamanya.” Aku mendesah. “Aku belum pernah.”

Lalu Gabriel meraih tanganku. Mengusapnya. Lalu menggenggamnya begitu erat. Hendak mengalirkan kekuatan untuk aku agar terus bertahan.

Maka aku kembali tersenyum miring.

***

~30 juni 2011~

Kami sungguh sial. Sore berhujan ini, kami terjebak dalam kemacetan kota metropolitan yang sudah rutin terjadi. Kami harus membuang waktu berharga kami hanya dengan berdiam diri di dalam mobil. Tanpa suara pula. Entah karena apa, tanpa ada yang meminta, kami sama-sama tak mengeluarkan sepatah kata pun. Kami membisu. Menikmati kemacetan diiringi ketukan berirama sang hujan pada kaca jendela. Terhanyut dalam fikiran masing-masing. Terutama aku yang selalu saja terlarut dalam kenangan yang selalu saja muncul kala hujan menyapa bumi.

Gabriel berinisiatif untuk memecah keheningan. Ia menyalakan radio dan berharap sebuah senandung atau mungkin sekedar cuap-cuap sang penyiar mampu mengusir sepi yang ada diantara kami. Dan sebuah suara serak-serak basah kini terdengar melantunkan sebuah lagu.

Kekasihmu tak mencintai dirimu sepenuh hati
Dia selalu pergi meninggalkan kau sendiri

Aku tersentak mendengar lirik lagu tersebut. Aku menoleh pada Gabriel. Dia tengah menatapiku lekat-lekat. Aku menohok matanya. Menautkan kedua alis. Menyibak kebenaran dibalik selaput bening miliknya. Benarkah dia yang selama ini ku nanti tidak benar-benar mencintaiku? Dan kepergiannya adalah pertanda bahwa memang dia bukan tercipta untukku?

Gabriel meletakan telapak tangannya di dahiku. Menyibak jumputan poniku ke belakang. Ia tersenyum. Membuat kebimbangan semakin bergelung di dalam relung jiwaku.

Mengapa kau mempertahankan cinta pedih menyakitkan
Kau masih saja membutuhkan dia, membutuhkan dia

Jemarinya kini bergerak menyentuh pipiku. Telunjuknya sedikit menekan. Aku bisa merasakan gesture hangat yang ia berikan dalam tiap sela jemarinya.

“Aku sayang kamu.” Kata Gabriel. Suaranya tertahan. Ia menyisipkan nada pengharapan diantaranya.

Kau harusnya memilih aku
yang lebih mampu menyayangimu berada di sampingmu
Kau harusnya memilih aku
Tinggalkan dia, lupakan dia
Datanglah kepadaku

Lalu tangan Gabriel yang lain meraih tanganku. Mengangkatnya lantas menyimpannya di tempat yang memungkinkanku untuk aku mengetahui apa yang tengah bergemuruh di hatinya. Dada kokohnya.

“Beri aku kesempatan!” ujarnya. Kali ini terdengar sedikit memaksa.

Tanpa sadar, air mata mengalir dari sudut mataku. Pertanda bahwa kebimbangan yang kian membuncah tak terkendali ini sangat menyiksaku. Menekanku dalam sebuah keadaan dimana aku harus memilih. Memilih yang sudah benar-benar pasti dan berada di depan mata kepalaku. Atau memilih yang semu yang keberadaannya kini dipertanyakan.

Kau tak pantas tuk disakiti
Kau pantas dicintai
Bodohnya dia yang meninggalkanmu demi cinta yang tak pasti

Gabriel mempererat genggamannya. Seakan ia ingin menunjukkan betapa ia jauh lebih baik dari pemuda yang selalu aku harapkan. Meyakinkan agar aku memilihnya saja. Dia yang sudah jelas-jelas selalu ada untuknya. Bukan dia yang nun jauh disana, yang hanya bisa membuatku lelah menunggu. Yang hanya mencampakkanku dengan seonggok cinta yang ia paksa untuk ku jaga. Gabriel ada. Untukku.

Mulutku terbuka membentuk huruf ‘a’ tanpa suara. Berniat untuk mengatakan sesuatu. Namun terasa berat. Tertahan di pangkal tenggorokkan.

“Kamu istimewa untukku.” Gabriel mengangkat genggamannya. Mendekatkannya pada mulutnya. Lalu sejurus kemudian mengecupnya lembut. Agak lama dan begitu hangat.

“Aku… aku… aku masih mengharapkan dia kembali. Rio itu belahan jiwa aku.”

Aku mengambil tanganku. Memalingkan muka. Lebih memilih memandangi tetesan hujan yang membasahi kaca jendela, daripada terus menerus menatapi wajahnya. Karena semakin lama aku mendapati wajah tampannya, aku akan semakin terperangkap dalam buai pesonanya. Itu sama saja aku mengkhianati penantianku selama 3 tahun yang telah berlalu.

“Sampai kapan kamu mau menunggunya?” Tanya Gabriel sarkatis.

“Sampai aku lelah. Sampai secuil cinta ini habis dan menguap bersama setumpuk rindu yang mengendap disini.” Aku menunjuk dadaku.

Kembali ku dengar suara itu mengalunkan lagu yang rasanya sangat pas dengan keadaanku saat ini.

Kau harusnya memilih aku
yang lebih mampu menyayangimu berada di sampingmu
Kau harusnya memilih aku
Tinggalkan dia, lupakan dia
Datanglah kepadaku

Dan akhirnya, lagu dari Tery itu pun usai. Namun suasana yang tercipta masih enggan berubah. Tetap mencekam. Bahkan kini, semilir angin yang berhembus melewati celah kaca jendela menambah dingin suasana.

Dapat ku rasakan, tangan Gabriel menyusuri punggungku. Ia mengusapnya perlahan. Kembali menguatkan. Kali ini, bukan untuk pertahananku. Namun untuk hatiku agar berani mengambil keputusan yang paling besar dalam perjalanan kisah hidupku.

“Aku hanya ingin kamu bahagia Ify.”

***

~06 Desember 2011~

Hari ini, detik ini, aku berdiam diri disini. Sendiri. Hanya berkawan sepi. Mungkin inilah hari eksekusi hati. Penentuan apakah aku akan bertahan atau mungkin berlari menerima cinta yang ditawarkan oleh pemuda tampan beberapa waktu silam.

Aku kembali ke tempat ini dengan tujuan agar cinta yang hanya tinggal seberapa ini kembali mengembang. Memenuhi setiap sudut hatiku. Karena nyatanya, rasa jenuhlah yang kini menjadi penguasa. Menyingkirkan cinta yang kemungkinan akan segera menghilang.

Menyisir pandangan ke seluruh penjuru halte. Berharap dapat meredam rindu yang sudah tak dapat terbendung lagi. Duduk memandangi sang hujan. Berdoa agar tiap rinai hujan akan membasuh kesakitan yang telah menetes di hatiku.

Sayang. Semuanya terasa sia-sia. Yang mampu menyelesaikan prahara yang membelitku ini adalah kehadirannya. Kembalinya ia dari penjelajahannya akan membuat segalanya menjadi baik-baik saja. Seperti semula. Seperti apa yang selalu ia katakan dahulu kala. Seperti yang selalu ia tekankan saat aku mulai dilanda keraguan. Aku butuh dia. Ku mohon kembali.

Baik. Kalau itu maunya. Aku menyerah. Sekarang, biarlah ia tetap disana. Biarlah ia selamanya tak pernah kembali. Dan biarlah aku mendekap pemuda lain yang sungguh-sungguh mencintaiku. Bukan pengecut yang tak pernah menunjukkan seberapa besar cintanya untukku.

Cih. Aku mendengus. Bangkit. Dan melangkah pergi meninggalkan tempat memuakkan ini.

Dan langkahku terhenti saat suara baritone yang selama ini ku rindukan menyapa telingaku, dihantar angin yang senantiasa menenangkan hatiku.

“Happy birthday Ify! Putri Desemberku!”

Aku membalikkan tubuhku. Begitu terkejutnya aku, mendapati siluet tampan nan gagah itu tengah berdiri di bawah ribuan rinai hujan yang menggemaskan. Aku segera berlari menyongsongnya. Melompat dan menghambur ke dalam dekapan hangatnya yang teramat ku rindukan.

Dan dia masih seperti dulu. Tak pernah keberatan untuk memberikan pelukannya. Dia merengkuhku. Menenggelamkan kepalaku pada dada lapangnya yang kini bergemuruh dengan suara detakkan jantungnya yang bertalu-talu.

“Aku kangen kamu. Kamu ga kangen aku?” tanyaku. Menengadahkan kepalaku.

“Aku kangen banget sama kamu.” Rio membelai rambutku. Lalu melanjutkan kembali ucapannya. “Aku penuhi janji aku. Aku pulang. Untuk kamu. Semuanya untuk kamu. Termasuk cinta aku.”

Aku tersenyum. Diiringi air mata bahagia yang mengalir tersamarkan hujan. Aku mengeratkan dekapanku.
Benar saja, kehadirannya memang yang aku butuhkan. Maka semua perasaan jenuhlah yang menguap. Tergantikan rasa cinta yang kembali mengembang sebagaimana seharusnya. Kebimbangan itu pun menghilang. Takkan pernah kembali. Tak kan ada lagi keraguan yang merayapi hatiku. Kini yang ada hanya cinta. Cinta. Cinta. Dan semilyar cinta yang takkan ada habisnya,

Terimakasih Tuhan, Terimaksih Hujan. Terimakasih angin. Terimakasih Rio. Dan terimakasih Hujan berangin di bulan desember yang telah membawanya kembali dengan sejuta hadiah yang ia berikan untukku. Yaitu akhir kisah yang bahagia.

~selesai~