Menaklukan Sang Waktu
Tiap detik yang berdetak adalah sejuta pengharapan.
Tiap dentangan jarum jam adalah jutaan pengorbanan.
Tiap waktu yang bergulir adalah jutaan permohonan.
Dan tiap helaan nafas adalah satu perjuangan.
Perjuangan meraih impian.
*
Ify berlari secepat yang ia bisa. Nafasnya terengah-engah seiring hentakkan kakinya. Tangannya memegangi topi abu-abu yang ia kenakan agar tidak terjatuh. Lantas ia berhenti sejenak. Menatap lapangan upacara di depannya yang sudah dipenuhi siswa-siswi SMA-nya. Sialan. Dia merutuk dalam hati. Harusnya ia datang lebih pagi. Andai saja bis menyebalkan yang ia tumpangi tidak mogok di tengah jalan, ia takkan terlambat seperti ini. Gadis bermata indah itu pun mendengus kesal lantas bergabung bersama siswa yang lain. Masuk dalam barisan, walau harus kebagian paling belakang.
Sebenarnya, ia belum terlambat, karena upacara pun belum dilaksanakan. Tapi yang ia sesalkan, ia tak bisa berdiri di barisan paling depan. Melihat dengan seksama bagaimana sang merah putih dikibarkan. Dari belakang, ia kurang bisa melihatnya. Mengingat fostur tubuhnya yang cukup pendek untuk gadis seusianya. Tapi bukan itu alasan ia selalu ingin berdiri di baris terdepan. Ia merasa upacara bendera adalah sebuah penghormatan dan penghargaan terhadap jasa para pahlawan yang telah bersusah payah merebut kemerdekaan Indonesia dan mengibarkan sang saka di tanah air tercinta. Maka dari itu, Ify selalu berusaha datang lebih pagi ke sekolah -apalagi saat upacara-, walau jarak dari rumah ke sekolah cukup terbentang. Sekali lagi ia mendengus.
Terdengar suara sang pemimpin upacara memberi komando agar seluruh peserta upacara melakukan penghormatan pada bendera merah putih yang siap dikibarkan diiringi lagu Indonesia Raya. Ify mengangkat lengan kanannya, melakukan penghormatan. Kedua bola matanya terfokus pada sang saka yang lamat-lamat meninggi, mendekati ujung tiang. Hatinya ikut bernyanyi. Jiwanya begitu meresapi tiap pergeseran sang bendera. Ah, selalu saja begini. Terharu menyaksikan pengibaran bendera. Dan hatinya begitu tertohok, mengingat dirinya yang pagi ini terlambat dan tersisihkan dari deretan pengisi baris depan. Lalu kini ia mulai merasakan panas pada matanya. Maka ia menutup mata. Mendesah tak kentara. Pada akhirnya menangis dalam diam. Sebuah tangis penyesalan.
Sementara, tanpa ia tahu, seorang pemuda yang lebih tinggi darinya yang tengah berdiri di sampingnya mengerutkan kening. Heran mendengar sebuah isakkan pelan. Maka ia mendelik ke arah Ify. Menggelengkan kepala lantas berdecak. Dasar aneh!
*
Pemuda yang tempo lalu bersebelahan dengan Ify adalah Gabriel. Pemuda tinggi dengan kulit yang gelap, namun tetap manis. Pemuda yang ternyata teman sekelas Ify. Bukan hanya itu, bahkan kini mereka menjadi teman dekat.
Ify tengah membuat peta konsep mengenai budaya politik. Sementara Gabriel, masih tetap asyik dengan game di ponselnya. Sesekali Ify berdehem untuk mengalihkan perhatian Gabriel agar berpaling dari ponselnya. Tapi Gabriel sama sekali tak menggubrisnya. Ia terus sibuk di dunianya.
Ify berdecak. Kesal juga dengan sikap Gabriel. Lantas ia pun berujar. "Besok lusa tugasnya dikumpulin." dengan nada sinis.
"Kan masih ada besok. Santai aja!" ujar Gabriel seraya berhenti sejenak memainkan ponselnya. Ia melirik Ify yang masih terus menekuri tugas PKN-nya.
"Besok, masih banyak hal yang harus kita lakukan. Kalau bisa sekarang, kenapa harus nunggu besok?" ujar Ify.
Gabriel terkekeh. Kembali melanjutkan prosedur bermain gamenya yang sempat terhambat. "Dasar budak waktu!"
Ify mendelik tajam. Apa-apaan Gabriel? "Orang yang melalaikan waktu adalah budak waktu. Dan orang yang menghargai waktu adalah orang yang mampu menaklukkan waktu."
Gabriel menyimpan ponselnya. Menatap wajah Ify yang kini nampak serius dengan kening yang berkerut. "Maksud kamu?" tanyanya retoris.
"Kamu tahu, berapa lama waktu yang dibutuhkan Indonesia untuk merdeka? Lama. Lamaaaa... banget. Dan proses yang sangat lama itu adalah perjuangan. Perjuangan memburu waktu sampai waktu kemerdekaan berhasil diraih. Aku ga bisa bayangin, kalau para pejuang bangsa kita dulu selalu melalaikan waktu kaya kamu. Mungkin waktu kemerdekaan kita pun tak akan pernah bisa kita raih. Karena waktu yang selalu menguasai." Ify mendesah seraya mengambil jeda. "Oh iya, setiap detik yang terlewat adalah setiap detik menuju kematian."
Gabriel terkesiap. Ify kok jadi bicara tentang mati sih? Gabriel bergidik ngeri. "Serem ah Fy!"
Ify tersenyum menyeringai. "Makanya, jangan melalaikan waktu terus! Waktu ga bisa dibekukan. Waktu ga bisa dipinjam. Kita ga bisa mengutangi masa. Detik yang terlewat ga akan mungkin bisa dikembalikan. Masa lalu ga bisa kita ulang."
Gabriel menggigit bibir. Ia baru tahu, betapa waktu adalah hal terkrusial dalam hidup. Ia mengangguk.
"Aku ga mau melalaikan waktu yang aku punya. Karena tiap jengkal waktu adalah perjuanganku. Perjuangan untuk mengejar jutaan mimpiku."
Kembali Gabriel menganggukkan kepala. Oh, jadi ini alasan Ify selalu ingin tepat waktu dalam melakukan setiap kegiatan apa pun.
"Kamu juga harus menghargai waktu. Agar kamu dapat meraih mimpi kamu. Katanya kamu mau jadi penulis. Kalau masih tetap lalai, gimana bisa jadi penulis? Kayaknya satu buku aja, lima tahun baru selesai." Ify mencibir.
Gabriel meneguk ludah. Hatinya tertohok. Disadarkan secara telak dari keterbuaiannya pada waktu. Waktu yang memang selalu menyuguhkan kenikmatan. Kenikmatan sesaat yang secepatnya pasti akan teronggok mati.
Dan setelah itu, Gabriel pun bertekad dalam hati. Ia harus bisa menaklukkan waktu. Mengalahkan waktu yang setiap saat selalu memburu. Bergulir tak terbantahkan. Berjalan tanpa hambatan. Ia harus bisa. Untuk mimpinya. Untuk hidupnya.
***
Wanita cantik berambut panjang dengan balutan jas putih itu tengah duduk di sebuah kursi empuk dalam ruang kerjanya. Ia meraih sebuah kotak yang tergeletak di atas meja. Sejurus kemudian lantas membukanya. Senyuman terlukis selepas ia mendapati apa yang berada dalam kotak tersebut. Sebuah buku. Tangannya meraih sang buku. Lantas ia mengamati buku tersebut. Buku yang disampulnya tertera sebuah gambar weker berwarna biru, di belakangnya, lengkungan pelangi ikut menghiasi. Ia lantas membaca huruf-huruf yang berukuran besar pada jilid buku tersebut.
"WAKTUMU BERMIMPI, by: Gabriel Stevent Damanik."
Wanita itu mendesah. Lantas senyumannya semakin merekah.
***
~Selesai~
***
Itu dia cerpen saya. Cerpen yang saya pake buat lomba pada event sumpah pemuda di sekolah. Cerpen yang terinspirasi dari Cerpen kakak saya, Kak Rara. Juga, terinspirasi dari Ulatku Ana. Jadi malu kalau inget dulu pernah nangis gara-gara terlambat. Semua orang pada ngeliatin. Mana saya udah kelas sebelas. Malu ama adek kelas. #tutupmukapakeraketnyamuk. Dan karena itu pula, Ana kasih saya weker biru. Katanya biar ga telat lagi. Sekarang, saya ga pernah telat deh! saya juga suka bawa weker saya ke mana-mana. Thanks Ana! Thanks juga Ka Rara! I love you!
***
yang udah baca, WAJIB LIKE DAN KOMENT!
*
Bandung Barat, 26 oktober 2011
By: Sinta Nurwahidah
twitter: @sintaSnap
*
Salam Pisang Goreng!
*