Eksekusi Di senja Terakhir
Ketika kita dihadapkan pada pilihan, maka pilihlah apa yang kita butuhkan, bukan apa yang kita inginkan.
*
Senja, langit mulai menguning, menyeruakkan mega yang amat cantik. Matahari mulai bersiap sembunyi. Angin mendesau lembut, menggerakkan ilalang dan dedaunan. Sesekali terdengar kicauan burung. Ah, suasana yang sangat indah. Memang, taman ini selalu menyajikan keindahan, apalagi senja seperti ini. Ditambah sebuah kolam kecil dengan pohon-pohon yang berjejer rapi makin membuat taman ini sempurna.
Gadis cantik itu terlihat murung, wajahnya mengguratkan kegalauan teramat kentara. Matanya yang cukup kecil menatap kosong ke arah kolam di hadapannya. Sementara lelaki di sampingnya nampak tak begitu baik. Sedari tadi dia hanya melempari kolam dengan kerikil kecil, menciptakan letupan yang menggemaskan.
Lelaki itu mulai bosan dengan kegiatannya, dan kerikil di sekitarnya pun sudah mulai habis olehnya. Dia mengacak rambutnya, lalu mendesah. Ah, dia sebal, dari awal dia duduk disini, gadis manis itu selalu mengacuhkannya, sibuk dengan dunia dan pikirannya sendiri.
"Ehm" lelaki itu berdeham, mencoba manghapus hening yang tercipta. Tapi gadis itu masih saja terpaku.
Oik -gadis itu- menunduk, melihat rumput yang ia duduki, lalu mengangkat kepala dan menghembuskan nafas "aku capek" ujar Oik.
Lelaki yang agak berisi itu mengerjap, melirik Oik yang baru bersuara "kenapa?" tanya Cakka -lelaki itu-.
Oik menunduk, saat ini dia merasa tertekan "aku capek ada dalam keadaan seperti ini" kata Oik dengan suara bergetar.
Cakka merangkul tubuh Oik, mendaratkan kepala Oik pada bahunya, mengusap-usap puncak kepala gadis yang ia cintai "sabar ya, sebentar lagi, aku akan bawa kamu keluar dari keadaan ini" kata Cakka pelan.
"kadang, aku menyesal karena aku pernah bertemu denganmu."
Cakka mendelik mendengar gadis itu berkata. Apa? Dia menyesal?
"kenapa senja itu ada? Senja yang indah yang mempertemukan kita?" tanya Oik sarkatis.
Cakka hanya menunduk, mencibir dalam hati.
Oik begitu mnyesali senja itu, kala dia harus dipertemukan dengan pemuda di sampingnya. Senja yang indah. Senja yang tak pernah ia harapkan kehadirannya. Senja itu...
*
Terlanjur aku jatuh cinta padamu
meski ku tahu terlarang
namun bagaimana perasaan hatiku
harusku biarkan atau tetap begini
*
"Aduh, cepet dong Ik, ntar pacar gue keburu pergi!" ujar Shilla dengan wajah kalut sambil menarik tangan Oik.
"Shill, jangan cepet-cepet dong, capek gue!" rengek Oik dari belakang.
Shilla menoleh ke arah Oik, menatap tajam Oik yang sedang terengah-engah. "Oik, jadi putri keratonnya libur dulu ya! Ntar Cakka keburu pergi."
"ish lo, emang kaya gimana sih Cakkanya lo itu? Sampe-sampe lo ngebet banget pengen ngenalin dia ama gue?" tanya Oik penasaran.
"pokoknya lo ikut aja deh!" Shilla menarik lebih keras tangan Oik. Sampai akhirnya dua dara itu sampai di sebuah cafe.
"mana pacar lo itu?" tanya Oik dengan cemberut.
"itu tuh!" Shilla menunjuk salah satu meja "yuk!" lalu kembali menarik tangan Oik, membuat Oik harus sekali lagi mengekorinya.
"hai sayang!" sapa Shilla pada seorang pemuda tampan yang mengenakan kaos ungu dan jeans hitam.
"Hai Shill!" pemuda itu berdiri memeluk Shilla lalu tersenyum.
Sementara tanpa Shilla tahu, Oik terpaku melihat siluet tampan di hadapannya. Menatapi setiap lekuk wajah pemuda yang kali ini meliriknya.
"ini siapa Shill?" tanya Cakka -pemuda itu-.
"ini sahabat aku, namanya Oik" Shilla memperkenalkan sahabatnya yang masih terpaku.
"Cakka" mengulurkan tangan pada Oik yang di balas dengan uluran tangan ragu-ragu Oik, sampai akhirnya tangan mereka saling berjabat.
Biasa. Bagi Shilla itu memang biasa, tapi tidak bagi Oik. Saat tangannya bersentuhan dengan tangan hangat Cakka, tiba-tiba tubuhnya menegang, lalu menciptakan buncahan liar yang sulit ia kendalikan. Membuat tubuhnya mengeluarkan keringat.
Dan begitu juga Cakka, dia merasakan sesuatu yang berbeda, yang tergambar dari siluet anggun dihadapannya. Matanya yang kecil, hidungnya yang kecil, dua lesung pipi yang cukup dalam, rambut berponi, membuat Cakka tertarik padanya. Melupakan tanpa sadar statusnya dengan Shilla.
*
Oik mengangkat kepalanya dari bahu Cakka, mendesah berat, lalu berujar "kamu tahu, saat pertama aku melihatmu, badanku menegang, jantungku berdebar sangat keras, napasku tertahan. Mataku tak bisa ku alihkan dari tajam dan teduhnya tatapanmu. Senyummu sangat indah dan menyenangkan. Mungkin aku akan pingsan kalau aku terlalu lama melihat mata dan senyummu. Untung saja...
*
Drrt...drrt...ponsel Oik bergetar, membuat Oik mengerjap lalu melepaskan jabatanya, membenahi dirinya yang terlihat salah tingkah.
Oik merogoh sakunya, mengambil ponsel lalu membaca pesan yang baru ia terima.
"mama nyuruh pulang, aku duluan ya Shill, Kka,," pamit Oik lalu dengan tergesa-gesa pergi meninggalkan cafe.
*
"untung saja mama menyuruhku pulang. Dan begitu terkejutnya aku, saat aku menoleh ke arahmu, kamu memberikan senyum itu padaku, membuat buncahan itu makin mengembang, dan sesungguhnya membuat aku bahagia" suara Oik makin bergetar. Dia menggigit bibir, menahan buliran air mata agar tak mengalir.
Sementara Cakka merasa terpukul, hatinya terhantam dengan semua yang di lontarkan oleh gadis itu. Dia kembali mencari kerikil lalu melemparnya ke kolam, sambil merutuk dalam hati.
*
Sudah cukup lama kau dan aku begini
jalani kisah tak jelas
aku tahu kasih engkau milik dirinya
sampai dimana ku kan bergantung pada dirimu
Dan, setelah senja itu. dunia menjadi lebih indah dan berwarna -setidaknya untuk Oik dan Cakka-. Tak di sangka ternyata tatapan tajam namun meneduhkan, senyuman manis nan menyenangkan dan tautan tangan itu membawa perubahan yang sangat signifikan.
Waktu terus berlalu, seiring kedekatan mereka yang terjalin tanpa kendali. Mereka berhubungan, meski itu tak pernah jelas dan terlarang.
Oik sangat tahu, betapa tidak bolehnya ia merasakan ini. Tapi, buncahan itu tak dapat ia cegah. Ia pasrah, mengikuti kemauan buncahan liar itu.
Dan Cakka pun tahu, sudah seharusnyalah ia tidak memberikan harapan pada gadis lain selain Shilla. Tapi, rasa itu terlalu kuat, menggoyahkan benteng kesetiaannya.
*
Bagaimana bila ku mengalah
walau sebenarnya ku tak rela
muginkah ini, harus ku jalani
walaupun hati takkan mampu
menjadi kekasih yang tersimpan
Pada akhirnya, senja itulah yang membawa dampak terbesar, saat dengan berani lelaki itu membawa gadis manis-nya ke taman yang indah. Hanya dengan modal keberanianlah -dan tentunya cinta- ia melakukannya.
"ini ga boleh, kamu pacarnya shilla" sanggah Oik.
"tapi aku sayang dan cinta sama kamu Ik"
Oik menggeleng, berbalik lalu berancang-ancang pergi, dan tepat saat Cakka menahan tangan Oik, memutar kepala Oik dengan kedua tangannya agar menghadap ke arahnya.
"aku cinta kamu" tiga kata yang melelehkan hati Oik, dengan tatapan dan senyum itu membuat Oik lemah, tak mampu berontak dan akhirnya pasrah dalam hubungan yang tak jelas dan statusnya sebagai kekasih yang tersimpan.
*
Ingin rasanya untuk aku akui
namun itu tak mungkin
sampai kapan ku bergantung padamu
Oik menghela nafas makin berat. Sesungguhnya sudah terlalu lelah dia menjalani kedaan seperti ini. Dia benar-benar ingin keluar dari penjara kesakitannya. Mengingat betapa teririsnya hatinya karena harus menutupi gejolak hatinya di depan Shilla, seseorang yang tak boleh tahu mengenai hubungannya dengan Cakka.
"Sebentar lagi ya. Pasti setelah ini aku akan membawa kamu pergi" Cakka mengelus lembut ubun-ubun Oik.
Oik menunduk dalam. Sebentar lagi? Tidak. Sudah terlalu lama ia merasa sakit dan mungkin menyakiti. Ia berfikir semuanya harus di selesaikan saat ini juga.
Gadis manis tu mengangkat kepalanya, menatap lurus ke seberang kolam kecil, memicingan mata. Kemudian memutar otak.
Oik menarik nafas, menghembusnya perlahan dan mulai berujar "Kka.." sedikit ragu.
Cakka menoleh ke arah gadis manis-nya, menatap kagum akan setiap lekuk wajah Oik. Bahkan dari samping pun gadis itu terlihat sempurna, membuat Cakka tak kan bisa melepasnya.
"lihat anak lelaki itu deh!" Oik menunjuk ke seberang kolam, membuat Cakka berpaling lalu ikut melihat ke arah yang ditunjuk Oik.
"kenapa dengan anak itu?" tanya Cakka.
Oik tersenyum getir, mendesah lagi "Perhatiin deh anak itu, bermain layang-layang dengan sangat senang. Anak itu bahagia bisa menerbangkan layangan itu. Anak itu tersenyum. Baginya kebahagiaannya adalah layangan itu"
Cakka mengernyit, masih melihat anak lelaki itu, lalu menggaruk kepala bagian belakang "lalu, apa hubungannya anak itu dengan kita?"
"anak itu bermain layangan karena dia menginginkannya, bukan karena membutuhkannya. Anak itu berfikir kalau layangan dapat membuatnya bahagia, walau sebenarnya kebahagiaan yang tercipta oleh layangan itu hanyalah secuil"
Cakka masih terus menerjemahkan makna tersirat dari apa yang dikatakan Oik.
"dan lihatlah ibunya datang, memaksa anak itu agar segera pulang karena waktu sudah terlalu sore. Dan nampaknya anak itu tak mau pulang, karena itu berarti dia harus melepaskan layangannya, dia tidak mau kehilangan kebahagiaannya. Maka dia tak menghiraukan ibunya dan tetap terus bermain dengan layangannya...
"tapi, beberapa saat kemudian anak itu melepas layangannya, berlari, lalu memeluk ibunya. Kenapa? karena dia bosan, layangan itu hanya memberi sedikit kebahagiaan, sedangkan ibunya dapat memberikan kebahagiaan abadi. Karena sesungguhnya yang dibutuhkan anak itu adalah ibunya."
"maksud kamu?" tanya Cakka
"layangan itu adalah aku, anak itu adalah kamu, dan ibu itu adalah Shilla. Kamu, tak membutuhkan aku."
Cakka menoleh ke arah Oik, memutar kepala Oik dengan tangannya, menatapi dalam dua pelihat Oik "aku membutuhkanmu, karena aku selalu bahagia denganmu."
Oik menggeleng "tidak, yang membuatmu bahagia bukan aku, tapi Shilla. Kamu tahu, kamu merasa bahagia bersamaku karena sebelumnya kau bertemu dengan Shilla. Aku hanya pelengkap sedangkan Shilla kebahagiaan utama kamu."
"kenapa kamu yang harus jadi layangan? Kenapa Shilla yang harus jadi ibu anak itu?" tanya Cakka sarkatis.
"karena semua sudah rencana Tuhan. Karena kamu memang membutuhkan Shilla. Lihatlah dirimu kka, begitu bahagianya kamu setelah bertemu Shilla dan kalutnya hatimu kala kamu rindu pada Shilla. Itu kentara, teramat kentara...
"kamu hanya menginginkan aku sebagai pengahdir euphoria, euphoria kecil yang cepat atau lambat akan menghilang, lalu setelah itu melepasku dan berpaling pada euphoria yang abadi..
"Kka..lepaskan aku, biarkan aku terbang sendirian seperti anak itu melepas layangannya. Tolong!" Oik mulai menitikan air mata.
"aku ga bisa" Cakka menggeleng.
"kamu bisa, karena sebelum kamu mengenal aku pun, kamu sudah bersama Shilla, Shilla yang mempertemukan kita, seperti layangan itu yang di berikan ibunya...
"Kka..." Oik memegangi kedua pipi Cakka "bagaimana bila ku mengalah? Aku akan pergi, terbang jauh melawan badai yang disediakan langit."
Cakka merengkuh tubuh Oik, ia tak mampu melepaskan Oik. Tapi, apa yang dikataan Oik itu benar. "Ik, izinkan aku memelukmu, sebentar aja!" dekapan hangat Cakka membuat Oik sedikit berharap waktu akan berhenti, masa akan membeku. Tapi. waktu akan terus berjalan, hingga akhirnya dia harus terlepas dari dekapan itu.
"aku pergi Kka, aku akan menemukan seseorang yang membutuhkan sebuah layangan kecil sepertiku" Oik bangkit dari duduknya, melangkah pergi. Dia terlepas. Dia terbang melayang. Menerjang kehidupan. Melawan badai. Menaklukan kenyataan.
Maka, Cakka terus saja menatapi punggung Oik yang mulai menjauh. Dia berhasil melepasnya, walau dengan sekuat tenaga. Membiarkan gadis itu sendiri, susah payah melanglang, menawarkan cinta pada orang yang membutuhkannya. Dia hanya berdoa, secepat Oik menemukannya, sebagaimana dia yang telah menemukan apa yang di butuhkannya, bukan sekedar di ingnkannya, Shilla.
The end